Masih segar dalam ingatan kita berita mengejutkan dari sebuah sekolah menengah pertama (SMP) beberapa bulan yang lalu mengenai perilaku sex bebas yang didokumentasi menggunakan gadget. Di dalam video tersebut terdapat adegan yang menunjukkan organ intim si perempuan yang tak lagi malu di pertontonkan pada rekan sesama pelajar bahkan di depan kamera handphone.
Tak hanya itu, di beberapa tempat seperti Yogyakarta, Surabaya, Bandung, kota-kota lainnya kasus-kasus ini sering terpampang di media cetak atupun elektronik. Tampaknya sex sudah menjadi trend dan wajib hukumnya bagi pasangan muda, remaja, ataupun tua untuk pembuktian kasih sayang yang salah di artikan.
Contoh kasus di atas mungkin satu dari sekian banyak kasus sex bebas yang melibatkan anak-anak di bawah umur. Sebenarnya, apa yang salah dalam fenomena ini? Apakah sex memang sudah menjadi trend yang berjalan sejak lama sejak jaman Pak Harto, hanya saja orang tua yang ketinggalan informasi sehingga begitu mendengar kabar melalui media kita orang dewasa seolah seperti kebakaran jenggot? Ataukah ini bentuk resiko dari kemajuan teknologi dan perkembangan kota besar yang tidak disadari orang dewasa?
Saya sebagai orang yang menjadi pelaku atau korban dari sex bebas tidak keberatan untuk sedikit membagikan ide dan masukan dari sudut pandang sebagai “anak” yang semoga saja dapat membantu para orang tua dalam memerankan peran sebagai figur pengawas, pendidik, dan pemberi kasih sayang. Berikut kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan anak yang berani memutuskan untuk mencoba sex :
Quote:
1. Peran orang tua terlihat sebagai “supplier” (penyedia) bukan “manager” (pengatur).
Spoiler for Papa itu nama makanan baru?:
Berhubung saya sendiri bekerja dalam lingkungan perusahaan ritel, saya menggunakan istilah supplier dan manager untuk memudahkan perumpamaan kasus. Begini, terkadang banyak persepsi salah orang tua mengenai pemenuhan kebutuhan, “Dengan memenuhi semua kebutuhan anak, orang tua berpikir mereka sudah memberikan yang terbaik untuk anak”. Salah besar! Anak masih kelas 2 SD kok handphonnya sudah Samsung galaxy Note yang terbaru, atau Smartphone-smartphone sejenis. Masih SMP, si anak ngambek minta dibelikan motor, tak lama kemudian motor pun hadir.
Orang tua terlihat seperti penyedia barang (supplier). Para supplier selalu berharap banyak kepada perusahan ritel untuk menggenjot barang-barangnya entah melalui promosi, program, yang penting sekreatif orang lapangan deh. Tugas mereka hanya memenuhi order. Berharap orang lainlah yang menaikkan omzet barang dagangannya dengan promo atau program. Sama seperti orang tua di kota besar ini yang berharap sekolahlah yang berperan mencetak moral & prestasi anak. Note : “Mengenai Moral dan Prestasi orang tua terlalu mengandalkan sekolah, soal kebutuhan barulah kita bicarakan dirumah.”
Quote:
2. Sekolah seperti mesin judi Jackpot, “Angkanya pas, dialah yang menang”.
Spoiler for Stress karena nilai:
Kesalahan terbesar sekolah-sekolah di Indonesia ini adalah selalu fokus dan mengandalkan nilai AKADEMIK. Yang nilainya bagus atau memenuhi standar sekolah tentu akan aman. Tetapi bagaimana nasib murid yang memang kesulitan memahami materi pelajaran?Thats right, muncul lah pangkat dan jabatan seperti Tolol, Bodoh, ga berbakat, Malas, Bandel terhadap murid yang kurang berprestasi. Pengucilan-pengucilan tersebut menjadi pandemik. Masalahnya yang jenius itu sedikit, lalu bagaimana nasib murid yang pas-pasan ada banyak? Setahu saya kecerdasan itu ada banyak deh, Klo tidak salah ada kecerdasan Linguistik (bahasa), Kecerdasan Matematis, Kecerdasan Jasmani, Kecerdasan Spasial, Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, dll (check http://indonesia-educenter.net/doc/m.../mimateri2.pdf). Lalu kenapa yang di fokuskan sekolah hanya Matematis dan Linguistik? Contohnya, Anak kota jaman sekarang pintar main Band, koq bisa mereka lebih berkembang diluar sekolah ketimbang di dalam sekolah?
Inilah yang menyebabkan Murid merasa tak mampu menyaingi yang pintar akademis, lalu mulai kehilangan semangat dalam berkompetisi. Padahal ia memiliki kemampuan lain selain akademis. Dan setelah itu sekolah menjadi tempat yang membosankan. Orang tua saja yang kebelet pipis pengen si anak sekolah, sedangkan si anak tidak menemukan hal positif lain yang sesuai dengan usianya di sekolah selain hanya ingin bertemu teman-teman saja.
Si murid sudah kehilangan passion belajar, lalu sekolah menambah masalah dengan memperkerjakan guru-guru cuek (nyang penting di gaji) yang dengan asyiknya mengendarai sepeda motor lalu melewati murid-murid laki-laki yang sedang merokok di warung depan gerbang sekolah tanpa bicara dan memperhatikan ataupun menegur. Secara psikologi, murid merasa dibiarkan ketika melakukan kesalahan lalu dia menyimpulkan jika yang dilakukan tidak ada masalah. Dan Lanjutkan saja deh.
Note : “Jangan ngomongin moral atau nilai masyarakat di sekolah deh, disini (sekolah) yang penting nilai bagus”.
Quote:
3. Kemajuan teknologi hanya bisa diikuti oleh Anak, Orang tua mah Gaptek (Gagap Teknologi).
Spoiler for Hidden dolo akh..:
Membelikan anak berumur 8 tahun gadget canggih seperti Smartphone, seperti memberikan anak remote kontrol yang terdapat tombol “Oke” untuk peluncuran bom Nuklir. Jika memang orang tua ingin anaknya memahami teknologi dan termasuk fitur-fitur jejaring social, youtube, kamera, video, ya tentu orang tua juga ikut memahami fungsi fitur tersebut berdasarkan umur. Anaknya punya hape canggih, ortunya malah ga bisa sms’an. Anaknya ampe lembur di Warnet Game Online, ortunya ga bisa ngbuka file yang di hidden anaknya di hape or komputer. (BB++).
Jika saja para orang meluangkan waktu untuk melihat-lihat siapa yang sedang di sms/bbm anaknya, atau siapa orang yang sedang chat di social media mungkin anak juga tidak akan berani berdialog mesum di gadget.
Note : “Ga sadar pak anak sibuk pegang handphone seolah sedang sms’an/bbm, ga tau nya membuka google search n mendownload video 3gp terbaru?”
Quote:
4. Lingkungan udah Semrawut, malah dikasih keluar malam-malam.
Spoiler for Cabe-cabean:
Bukannya tidak boleh melarang anak untuk bergaul tetapi tentu harus juga mengawasi siapa teman pergaulannya. Yang kita pelihara itu manusia Pak, bukan anak kucing. Kucing mau kimpoi dengan bermacam-macam kucing lain juga terserah. Tapi anak sendiri, cewe lagi. Koq kita ga tahu siapa teman pria nya? Memangnya muka bajingan cowo ga keliatan apa?
Tampang udah item, rambut ud ga jelas bentuknya, motor juga keliatan rangka doang, di tambah knalpot motor yang dari 1 KM udah kedengeran suaranya. Yang bikin heran, itu kenapa dikasih jalan juja ma si bajingan itu? Malam hari lagi.
Jujur saya katakan di artikel ini, Lingkungan lah yang paling berpengaruh dalam kenakalan-kenakalan remaja kota besar. Jika saja kita orang tua lebih disiplin dalam mengatur jam-jam main dan berkumpul dalam keluarga, tentu persentasi kasus kenakalan akan berkurang.
Mengenai gengsi, memang jelas ada keanehan mengenai psikologi anak kota jaman sekarang. Mereka itu berani mengambil keputusan berbahaya hanya berdasarkan pada gengsi semata. Mereka beranggapan, sepertinya kurang keren jika tidak bergaul di malam hari seperti teman-teman tetangganya. “Temen sudah coba ML, dia bilang enak, trus gw juga mau coba akh. Daripada diledekin ga gaul.” Begitu ucap siswi SMP kelas 1.
Note : “Pak / Bu, ajak anak-anak bersama-sama makan bakso di akhir pekan sepertinya tidak membuat miskin kantong belanja deh, daripada nanti anaknya makan bakso dengan cowo alay lho”.
Spoiler for Kesimpulan:
Sebenarnya anak hanya membutuhkan sosok pemimpin di keluarga, jika tidak diatur. Maka ia yang akan mengatur. Dan peran kita sebagai pengawas sangat diperlukan. Sisihkan sedikt waktu untuk mencari tahu siapa yang dihubungi di gadgetnya.
Terima kasih, sekian ringkasan artikel yang saya tulis.
Berikan semangat pada saya untuk tetap menulis, dengan memberikan komentar dan :