Kaskus

Entertainment

elieonieAvatar border
TS
elieonie
Mayat bisa bangkit dan berjalan pulang di Toraja
Unik tapi Menyeramkan...
Terungkap: Penyebab mayat di Tana Toraja bisa bangkit dan berjalan pulang.
Apa penyebabnya? cekidod...


Menyeramkan! Tradisi Ma'nene di Tana Toraja
Di Tana Toraja ada sebuah ritual atau
kebiasaan dalam prosesi pemakaman. Cukup
unik dan, mungkin menyeramkan karena mayat
yang telah disemayamkan bertahun-tahun di
sebuah tebing tinggi dan kuburan batu, tiba-
tiba jasadnya bangkit...
Mayat itu kemudian berjalan mencari
rumahnya. Setiba di rumah, dia akan tidur lagi.
Cerita mayat berjalan ini sudah dikenal
masyarakat Toraja sejak jaman leluhur. Hingga
kini ritual tersebut masih ada dan bisa dilihat
dengan mata telanjang.
Berani lanjut?
Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla,
Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi
Selatan. Di tengah balai-balai rumah, warga
menggelar sebuah ritual. Mereka menyebutnya:
Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang
leluhur, saudara dan handai taulan yang sudah
meninggal. Dari sinilah misteri budaya Tana
Toraja terkuak.
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga.
Semua orang memandang serius. Siapa wanita
itu? Entahlah. Dilihat dari belakang, dia
usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua.
Rambutnya tergerai dengan lebat. Rambutnya
sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak
bergerak. Kedua tangannya disilangkan ke
depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian
kegemarannya: warna biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih
kecoklat-coklatan. Kelihatannya dulu dia
pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya
menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi
puluhan orang, wanita itu tetap tak bergeming.
Mematung. Tidak menoleh atau berbicara.
Setelah didekati, alamak, ternyata dia adalah
sesosok mayat!
Ma’nene, begitu kata orang Toraja. Apa itu? Itu
adalah mayat yang telah diawetkan. Bagi
masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu
yang disakralkan. Bagi mereka, kematian harus
dihormati. Mereka yang mati biasanya
diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-
tahun didiamkan di sana.
Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu
sekaligus nenek yang telah meninggal selama
bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut
masih utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah
tentang mayat utuh ini sudah ada sejak tahun
1905.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan
di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat
ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun
sampai sekarang. Uniknya, mayat untuh itu
tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.
Menurut Tampubolon, (45), anak ketua adat
setempat, kemungkinan ada semacam zat di
gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan
mayat manusia. “Kalau saja ada ahli geologi
dan kimia yang mau membuang waktu
menyelidiki tempat itu, sepertinya teka teki gua
Sillanang dapat dipecahkan,” kata Tampubolon.
Awal Mula Tradisi Ma’nene
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu
binatang bernama Pong Rumasek, ratusan
tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu
hingga masuk kawasan hutan pegunungan
Balla.
Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek,
warga Toraja, menemukan jasad seseorang
yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di
tengah jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya
mengenaskan.
Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong
Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad
itu dibungkus dengan baju yang dipakainya.
Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian
melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar
binatang buruan, dia selalu mudah
mendapatkannya, termasuk buah-buahan di
hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika
Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman
pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen
lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya
berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong
selalu menemui arwah orang mati yang pernah
dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering
diajak berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad
orang yang meninggal dunia harus tetap
dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang
belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali
sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap
penduduk Baruppu selalu mengadakan
Ma`nene, upacara pemakaman untuk
menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong
Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga
dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara
mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat
yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap
warga.
Ketika salah satu pasangan suami istri
meninggal dunia, maka pasangan yang
ditinggal mati tak boleh kimpoi lagi sebelum
mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap
sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status
mereka masih dianggap pasangan suami istri
yang sah.
Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka
pasangan yang masih hidup dianggap sudah
bujangan dan berhak untuk kimpoi lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun
sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan
leluhur yang masih dipertahankan secara rutin
hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah
leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan
adat yang diwariskan dilanggar maka akan
datang musibah yang melanda seisi desa.
Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga
akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai
orang yang berdiam di negeri atas atau
pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri
lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang
Maraya atau orang keturunan bangsawan yang
bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya,
masyarakat Baruppu lebih mengenal asal
usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang
dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang
menyamar sebagai pemburu ini menetap di
kawasan hutan Baruppu dan kimpoi dengan
Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering
terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia,
mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep
hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya
yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka,
tak semestinya orang yang meninggal dunia,
jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka
hal itu akan merusak kesucian bumi yang
berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar
Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual
Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan.
Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan
serangkaian kegiatan ritual yang diawali
dengan memotong kerbau dan babi. Bagi
keluarga Tumonglo maupun sebagian besar
masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian
yang tak terpisahkan setiap kali menghormati
orang yang akan menuju nirwana. Meski
mereka sudah banyak yang menganut agama-
agama samawi, adat dan tradisi yang
diwariskan para leluhurnya ini tak mudah
ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani
ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan
tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul
menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur
keluarga Tumonglo yang meninggal dunia
setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling
bergandengan tangan membentuk lingkaran
sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak
dan lagu yang melambangkan ratapan
kesedihan mengenang jasa mendiang yang
telah wafat sekaligus memberi semangat pada
keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazahpun mulai
diturunkan dari lubang batu secara perlahan-
lahan. Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu.
Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada
kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya
kematian bukanlah akhir dari segala risalah
kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi
setiap keluarga untuk mengenang dan merawat
jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia
beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan
kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat
tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain
baru oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda
dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di
tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga
akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya
Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat
dan handai taulan berkumpul di pelataran desa
di bawah deretan rumah tradisional khas
Toraja, Tongkonan.
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu
seperti umumnya, melainkan Patane, semacam
kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan
untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti
yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah
meninggal setahun yang lalu itu dibungkus
ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini
atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa
hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada
untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang
meninggal pantang diletakkan di dasar tanah.
Karena itu, para sanak keluarga selalu
menjaganya dengan memangku jasad
leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali
merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil
menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah
dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali
ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes
pun telah selesai melaksanakan amanah
leluhur.
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan
tebing atau kuburan batu (patane)–setelah
bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan
dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan
menangis. Tapi ada tradisi kuno yang
dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan
mayat, mereka juga membangkitkan mayat.
Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh
berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri.
Yah, inilah fakta yang terjadi di Tana Toraja.
Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika
selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton
di film-film yang tidak nyata, maka tradisi
mayat berjalan di Tanah Toraja benar-benar
ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak
versinya. Versi yang pertama menyebutkan,
dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi
perang saudara di Tana Toraja. Perang itu
melibatkan orang-orang Toraja Barat dan
Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah
telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat
akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja
Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan.
Sedang orang Toraja Timur, walaupun hanya
sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong
mayat saudara mereka yang mati. Perang itu
dianggap seri.
Sementara versi kedua menurut Tampubolon,
mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak
itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan
masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa
menjelajah daerah-daerah yang bergunung-
gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-
mana mereka hanya dengan berjalan kaki.
“Dari zaman purba sampai sekarang tetap
begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman,
gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan
itu, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan
mati,” cerita Tampubolon.
Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di
daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat
menghormati roh orang mati), maka dengan
satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-
mayat itu kemudian dapat berjalan pulang.
Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak
menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat
tidak mungkin menggotong terus-menerus
jenazah sepanjang perjalanan yang makan
waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru
berhenti bila ia sudah meletakkan badannya di
dalam rumahnya sendiri.
Kendati demikian masih ada satu pantangan,
yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh.
“Kalau disentuh hopnotisnya akan hilang,”
terang Tampubolon yang sudah sejak kecil
melihat ayahnya menghipnotis mayat berjalan.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang
Toraja sering menguburkan mayatnya dengan
cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang
kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang
atau dikangeni keluarganya. Di rumah, memang
telah disediakan satu tempat khusus untuk
mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat)
pulang, mereka bisa menghuni rumah itu.
Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi
jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni
patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan,
Ardiansyah (28), warga asli Tanah Toraja. Dia
mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri
dengan mata telanjang, ada mayat berjalan
sendiri.
“Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu
saya baru kelas 3 SD. Pada saat itu di desa
saya ada seorang bernama Pongbarrak yang
ibunya meninggal. Seperti adat orang Toraja,
sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi
masih harus melalui prosesi adat rambu solo
atau penguburan,” jelas Ardiansyah.
Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah,
mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur
dalam sebuah kamar khusus sebelum
dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam
ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk
membicarakan bagaimana prosesi pemakaman
yang akan dilaksanakan nanti.
“Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba
ada kegaduhan dalam rumah. Semua ibu-ibu
berteriak. Karena penasaran, saya berusaha
melongok ke dalam rumah. Dan astaga, mayat
ibu Pngbarrak berjalan keluar dari kamar,”
kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan
temannya kontan berteriak histeris. Saking
takutnya mereka langsung berlari menuruni
tangga.
“Saya berlari dan mendapatkan ayah saya
sambil berteriak histeris. Setelah itu saya
langsung dibawa pulang ke rumah dan saya
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya,” cerita
Ardiansyah yang mengaku baru pertama kali
melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat
seluruh warga heboh. Dan informasi yang
diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja
melakukan ritual tersebut karena dia ingin
menghormati ibunya. Cuma pada malam itu,
dia tidak ingin memindahkan ibunya.
Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan
ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah
berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia
akan menarik ibunya kembali untuk diajak
pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah,
memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi,
kecuali orang-orang Toraja yang berada di
pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah
tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau
orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu.
Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas
Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan
keluarganya di kuburan batu.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah, adalah
mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan
sembarangan dilakukan oleh orang Tanah
Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu
sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang
diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh
adat.
“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang tak banyak
orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah.
Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga
pernah diajari kakeknya. Tapi karena
membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia
urung mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu
membangkitkan orang mati, mereka awalnya
mempraktekkan pada binatang seperti ayam
atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher
terputus.
“Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong
kepalanya dan dikuliti habis pun, jika diberi
mantera-mantera atau ilmu gaib Tanah Toraja,
mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari
kencang, mengamuk ke sana sini,” kutip
Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat
leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan
mayat dari rante (tempat persemayaman) ke
patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa
dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-
mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa
yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah
almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan.
Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang
memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene
sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai
saja. Tapi bila mau masuk ke pelosok desa,
ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan.
Sebab warga Toraja masih percaya dengan hal-
hal mistik dan karena mereka ingin menjaga
kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.
Sumber: siaga.co.
0
10.6K
80
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan