Kaskus

Entertainment

kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
Giliran Kajari Tertangkap Korupsi
Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, Subri tertangkap tangan menerima suap dari seorang wiraswasta asal Jakarta, Lucyta Anie Razak. Keduanya diduga mencoba merekayasa sebuah kasus hukum berkaitan dengan sengketa tanah di sekitar Pantai Senggigi untuk pembangunan hotel.

Dalam operasi tangkap tangan ditemukan 164 lembar uang pecahan 100 dollar AS dan ratusan lembar uang rupiah. Total uang yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi diperkirakan bernilai Rp 213 juta.

Dari penelusuran yang dilakukan KPK, Lucy tidak bekerja sendirian. Ia bekerja atas nama perusahaan tempat ia bekerja yaitu PT Pantai Aan. Untuk itulah KPK mencegah direksi perusahaan yang lain untuk bepergian ke luar negeri termasuk mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Bambang Wiratmadji Soeharto yang menjabat sebagai direktur utama.

Apakah kita pantas terkejut dengan terungkapnya kasus korupsi ini? Sama sekali tidak. Kasus ini hanya sekadar mengonfirmasikan bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme memang sudah sistemik menghinggapi bangsa ini.

Perubahan sistem politik besar dari otokrasi ke demokrasi tidak mengubah sikap dan perilaku kita dalam memahami arti sebuah kekuasaan. Tetap saja kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa, power is privilege, sehingga para pemegang kekuasaan merasa sah untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

Berulangkali kita sampaikan bahwa ada yang keliru dalam pemahaman kita akan arti dari hidup ini. Seakan-akan tujuan dari hidup adalah untuk menjadi kaya. Ketika kaya menjadi tujuan, maka kita akan menjadikan materi sebagai berhala.

Padahal dalam hidup ini, kekayaan bukanlah satu-satunya tujuan. Orang diberi kesempatan untuk memilih kehormatan sebagai tujuan hidup. Orang yang memilih untuk menjadi pegawai negeri dan pejabat negara adalah orang yang memilih jalur kehormatan sebagai tujuan.

Oleh karena kehormatan yang menjadi tujuan, maka ia tidak pernah boleh silau oleh yang namanya harta. Semua hidupnya didedikasikan untuk pengabdian kepada rakyat dan kepuasan hidupnya diukur dari penghormatan yang diberikan rakyat kepada pejabat itu.

Selalu kita mengambil contoh pribadi seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia memilih jalur perjuangan dan memutuskan hidupnya untuk mengabdi kepada negara. Padahal dengan belajar ilmu ekonomi di Belanda, terbuka peluang bagi Bung Hatta untuk menetap di sana dan bekerja di sana.

Bung Hatta tidak pernah menyesali putusan yang diambilnya. Meski karena pilihan itu ia harus hidup bersahaja, Bung Hatta tidak pernah mengeluhkannya. Ia tidak pernah merasa rendah diri apalagi mau menggadaikan kehormatan, meski sampai akhir hayatnya tidak pernah bisa membeli sepatu "Bally" yang diinginkannya.

Namun di mata kita, Bung Hatta akan selalu dikenang sebagai pribadi yang luar biasa. Ia adalah dikenang sebagai sosok pribadi yang tidak pernah tergoyahkan oleh yang namanya harta. Bung Hatta merupakan contoh pemimpin tanpa noda dan itulah warisan yang paling berharga dari proklamator kemerdekaan kepada bangsa dan negara ini.

Sekarang kita sulit untuk menemukan lagi pribadi seperti Bung Hatta. Oleh karena harta menjadi tujuan, orang rela untuk menggadaikan kehormatannya. Hukuman yang dijatuhkan pada banyak pejabat yang terbukti korupsi tidak juga membuat orang jera untuk tidak melakukannya.

Inilah sebenarnya persoalan terberat yang dihadapi bangsa ini. Kita harus memutuskan rantai korupsi yang terus terjadi silih berganti. Hampir semua pilar demokrasi terjangkit korupsi. Trias politica sudah dipelesetkan menjadi trias corruptica di negeri ini.

Kalau lembaga penegakan hukum sudah terjangkit korupsi memang demokrasi sudah ada dalam kondisi darurat. Setelah eksekutif dan legislatif yang tertangkap terlibat korupsi, kita kini melihat anggota yudikatif yang melakukan korupsi.

Anggota yudikatif yang melakukan korupsi bukan hanya satu-dua jaksa, tetapi banyak jaksa. Bahkan yang membuat kita kita pantas prihatin bukan hanya jaksa yang tertangkap korupsi, tetapi juga polisi dan juga hakim.

Kita bahkan pernah menemukan bagaimana ketiga penegak hukum merekayasa sebuah kasus hukum. Ketika kasus korupsi yang dilakukan pegawai pajak Gayus Tambunan diproses pada persidangan pertama, polisi, jaksa, dan hakim bersama-sama bersepakat untuk membebaskan terdakwa dari tuntutan. Padahal Gayus jelas-jelas melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.

Pertanyaannya, masihkah ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kondisi yang sudah rusak parah ini? Bisa kalau kita bisa menemukan pemimpin yang bersih dan tanpa noda. Kita membutuhkan pemimpin yang seperti Bung Hatta menerapkan asketisme dalam hidupnya, sehingga berani untuk memerangi korupsi.

Mata air itu pasti akan mengalirkan air yang bersih hingga ke hilir, kalau tidak pernah dikotori. Bangsa ini pun pasti akan bisa bersih dari korupsi, kalau pemimpinnya benar-benar bersih dan tidak pernah tergoda oleh yang namanya materi. Kita butuh pemimpin yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk kemajuan bangsa dan negara ini.
0
1.4K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan