- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Melihat Identitas Orang Dayak di Kayan Mentarang
TS
audifighter
Melihat Identitas Orang Dayak di Kayan Mentarang
Melihat Identitas Orang Dayak di Kayan Mentarang
Quote:
Berburu, juga mengambil kayu, dan membuka hutan untuk berladang memang dilakukan masyarakat di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Utara. Tapi itu bukan untuk kepentingan komersial. Semua dilakukan secukupnya. Justru karena mereka sangat bergantung pada hutan, maka masyarakat di sekitar Kayan Mentarang tak mau merusaknya. “Bagi orang Dayak, hutan adalah identitas mereka. Tanpa hutan, tak ada orang Dayak,” kata Cristina Eghenter, peneliti asal Italia di WWF yang mendapatkan gelar doktor antropologi di Amerika Serikat untuk penelitian tentang dayak, kepada tim Tempo (penulis Qaris Tajudin dan fotografer Aditya Noviansyah) yang berkunjung ke sana pada Oktober lalu.
Misalnya soal berladang. Memang, untuk berladang, mereka membuka hutan. Setiap keluarga memiliki 2-3 ladang, tapi hanya satu yang dipakai. Yang lain dibiarkan menjadi hutan. Setiap 5-10 tahun, setelah ladang tak lagi subur, mereka pindah ke ladang lain yang sudah jadi hutan itu. Ladang yang ditinggalkan dibiarkan menjadi hutan kembali. “Untuk apa membuat ladang besar? Kami menanam hanya untuk dimakan sendiri. Tak mungkin menjual beras karena semua orang di sini punya ladang. Dijual ke kota, transportasi terlalu mahal,” kata Ding, warga setempat.
Selain mengambil dalam jumlah secukupnya, mereka juga tidak bisa memanfaatkan sembarang hutan. Ada kawasan yang masuk dalam tana ulen, atau tanah terlarang. Hutan di tana ulen tak boleh dimanfaatkan untuk berladang, berburu, dan lain sebagainya. “Hukum adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan di sana,” kata Eghner lagi. Jika ada yang ketahuan menembak rusa atau banteng di Long Tua, mereka kena denda Rp 10 juta.
Salah satu tokoh penting yang menjaga adat sekaligus kelestarian hutan di sana adalah Anyie Apuy. Dia adalah kepala adat besar Hulu Bahau. Dalam perjalanan menuju Apau Ping, kami sempat menginap di rumahnya di Long Alango. Anyie mendapatkan penghargaan Kalpataru pada 2009 atas jasanya menjaga hutan Kayan Mentarang. “Tanpa hutan, kami, masyarakat adat ini, akan mati,” kata Anyie yang berusia 70 ini.
Setiap tahun, Anyie mengumpulkan kepala adat dari sejumlah desa untuk mengevaluasi aturan adat, termasuk menambah hal yang diperlukan. Akhir bulan lalu, di Long Alango, mereka berkumpul dengan isu besar rencana pembangunan jalan darat ke kawasan tersebut. Ini berkah sekaligus ancaman.
Kayan Mentarang memang terpencil, berada di ujung wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. Untuk sampai ke sana hanya bisa lewat sungai yang tidak terlalu besar dan penuh jeram. Bandar udara di Long Alango yang berlandasan rumput hanya bisa melayani pesawat kecil, maksimal berpenumpang selusin. Jalan darat cuma setapak.
Dengan kondisi seperti itu, tidak ada perusahaan pembalakan atau tambang batu bara yang tertarik. Hampir mustahil menghanyutkan balok kayu hasil tebangan di sungai. Ini semua bisa berubah jika jalan dibangun menembus hutan.
SUMBER
Misalnya soal berladang. Memang, untuk berladang, mereka membuka hutan. Setiap keluarga memiliki 2-3 ladang, tapi hanya satu yang dipakai. Yang lain dibiarkan menjadi hutan. Setiap 5-10 tahun, setelah ladang tak lagi subur, mereka pindah ke ladang lain yang sudah jadi hutan itu. Ladang yang ditinggalkan dibiarkan menjadi hutan kembali. “Untuk apa membuat ladang besar? Kami menanam hanya untuk dimakan sendiri. Tak mungkin menjual beras karena semua orang di sini punya ladang. Dijual ke kota, transportasi terlalu mahal,” kata Ding, warga setempat.
Selain mengambil dalam jumlah secukupnya, mereka juga tidak bisa memanfaatkan sembarang hutan. Ada kawasan yang masuk dalam tana ulen, atau tanah terlarang. Hutan di tana ulen tak boleh dimanfaatkan untuk berladang, berburu, dan lain sebagainya. “Hukum adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan di sana,” kata Eghner lagi. Jika ada yang ketahuan menembak rusa atau banteng di Long Tua, mereka kena denda Rp 10 juta.
Salah satu tokoh penting yang menjaga adat sekaligus kelestarian hutan di sana adalah Anyie Apuy. Dia adalah kepala adat besar Hulu Bahau. Dalam perjalanan menuju Apau Ping, kami sempat menginap di rumahnya di Long Alango. Anyie mendapatkan penghargaan Kalpataru pada 2009 atas jasanya menjaga hutan Kayan Mentarang. “Tanpa hutan, kami, masyarakat adat ini, akan mati,” kata Anyie yang berusia 70 ini.
Setiap tahun, Anyie mengumpulkan kepala adat dari sejumlah desa untuk mengevaluasi aturan adat, termasuk menambah hal yang diperlukan. Akhir bulan lalu, di Long Alango, mereka berkumpul dengan isu besar rencana pembangunan jalan darat ke kawasan tersebut. Ini berkah sekaligus ancaman.
Kayan Mentarang memang terpencil, berada di ujung wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. Untuk sampai ke sana hanya bisa lewat sungai yang tidak terlalu besar dan penuh jeram. Bandar udara di Long Alango yang berlandasan rumput hanya bisa melayani pesawat kecil, maksimal berpenumpang selusin. Jalan darat cuma setapak.
Dengan kondisi seperti itu, tidak ada perusahaan pembalakan atau tambang batu bara yang tertarik. Hampir mustahil menghanyutkan balok kayu hasil tebangan di sungai. Ini semua bisa berubah jika jalan dibangun menembus hutan.
SUMBER
0
1K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan