kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
Pro-Kontra Pelarangan Ekspor Mineral
Mulai bulan Januari mendatang, pemerintah melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah. Untuk mendapatkan nilai tambah, semua produk mineral harus diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Sebagai konsekuensinya perlu dibangun smelter untuk mengolah mineral yang ditambang.

Tuntutan agar sumber daya alam bisa dimaksimalkan bagi kemakmuran rakyat sudah lama disuarakan. Selama ini sumber daya alam hanya diekspor dalam bentuk mentah, sehingga nilai tambahnya dinikmati negara lain.

Keputusan pelarangan ekspor mineral dalam bentuk mentah ditetapkan oleh Presiden. Artinya tidak ada lagi toleransi bagi perusahaan pertambangan untuk mengolah terlebih dahulu hasil tambang mereka sebelum boleh diekspor.

Kita melihat keputusan Presiden itu sebagai sesuatu yang ideal. Sepantasnyalah kita menikmati hasil paling maksimal dari produk tambang yang kita hasilkan. Jangan seperti sekarang, kita menjual murah sumber daya alam yang kita miliki dan mengimpor mahal ketika sudah diolah oleh bangsa lain.

Contoh yang paling nyata adalah alumina yang kita miliki. Selama ini bahan tambang itu paling jauh diolah menjadi ingot. Ketika bahan itu diekspor ke Jepang, maka bahan itu mereka jadikan alumunium. Kita harus membeli dengan harga yang jauh lebih mahal ketika membutuhkannya.

Hanya saja keputusan Presiden untuk melarang produk mineral dalam bentuk mentah menimbulkan reaksi keras. Para penambang dalam negeri menilai keputusan tersebut mematikan usaha mereka. Ketika pengusaha dalam negeri tidak berdaya, maka tambang-tambang itu akan dikuasai oleh asing.

Mengapa mereka keberatan? Karena investasi untuk membangun smelter tidak murah. Setidaknya dibutuhkan investasi sekitar 2 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 20 triliun ketika harus membangun smelter untuk mengolah hasil tambang.

Industri di dalam negeri belum ada yang bisa menyediakan barang modal untuk membangun smelter. Kita harus mengimpor barang modal itu dari luar negeri. Sejauh ini Jepang yang paling andal untuk menghasilkan barang modal untuk itu.

Pertanyaannya, apakah perusahaan tambang asing bersemangat untuk membangun smelter dan benar mereka akan menguasai tambang-tambang milik pengusaha dalam negeri? Kita melihat para investor asing pun setengah hati untuk membangun smelter pengolahan.

Mengapa? Selain investasinya yang besar, pembangunan smelter membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai. Paling tidak diperlukan energi listrik yang besar. Para pengusaha asing keberatan kalau mereka harus melakukan investasi tambahan untuk membangun pembangkit listrik.

Alasan kedua yang disampaikan, pembangunan smelter untuk hasil tambang menuntut pengelolaan yang padat teknologi. Pengolahan hasil tambang melibatkan penggunaan bahan kimia dalam jumlah besar. Mereka akan kesulitan untuk membuang limbah bahan kimia yang terpakai, kecuali ada pabrik pupuk yang menampung bahan kimia tersebut.

Alasan ketiga, pembangunan smelter harus memiliki nilai keekonomian yang tinggi, karena investasi yang besar. Kalau skala ekonominya tidak terpenuhi maka akan merugikan, karena sulit untuk membuat investasinya bisa kembali.

Kita melihat ada perbedaan antara sesuatu yang ideal dengan sesuatu yang feasible. Yang terbaik keduanya seharusnya berrjalan beriringan. Sebab kita tidak hanya bisa mengejar sesuatu yang ideal, tetapi yang ideal itu harus layak untuk bisaa dikerjakan.

Oleh karena itu harus dilakukan studi kelayakan. Mineral apa saja yang kita miliki itu secara volume memang besar dan harga di pasar dunia tinggi. Bahkan volume itu harus dilihat penyebarannya agar pembangunan smelter dilakukan ditempat yang mudah dijangkau agr biaya transportasinya bisa lebih murah.

Persoalan lokasi menjadi penting karena biaya logistik di Indonesia sangatlah mahal. Biaya logistik di dalam Indonesia bisa dua kali lipat dibandingkan biaya logistik dari Indonesia. Kalau harga jagung lebih murah dari Argentina ke Jakarta daripada dari Gorontalo ke Jakarta, pasti ada yang keliru dalam biaya logistik di dalam negeri.

Salah satu contoh nyata adalah pembangunan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. Sebagian produksi dari PT Freeport Indonesia sejak beberapa tahun terakhir dilakukan di tempat tersebut. Namun perusahaan patungan antaraa Mitsubishi dan Freeport belum pernah untung sampai sekarang.

Teringat kita akan pendapat pengajar dari Missouri Science and Technology University Samuel Frimpong tentang empat hal yang setidaknya perlu diperhatikan apabila kita ingin memaksimalkan sumber daya alam yang kita miliki. Pertama benar adalah memberikan nilai tambah. Kedua agar kita bisa mendapatkan nilai tambah itu harus disiapkan manusia-manusia yang cekatan melalui sistem pendidikan. Ketiga adalah biaya untuk riset dan pengembangan. Dan terakhir adalah investasi yang berkelanjutan.

Inilah yang harus kita perhatikan agar keputusan Presiden bisa dilaksanakan dengan baik di lapangan. Sepanjang terjadi tarik menarik kepentingan dan tidak tercapai titik temu, maka kebijakan itu bukan hanya tidak bisa jalan, tetapi merugikan kita semua, karena barang tambang itu hanya akan disimpan di dalam perut Bumi.
0
1.3K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan