nusantaralinkAvatar border
TS
nusantaralink
Malaysia Kuasai Frekuensi 3G Nasional, Bahaya Sadap?


Sebagai warga negara Indonesia (WNI) terkadang saya suka bingung melihat cara pemerintah menata negara ini. Bagaimana tidak, setelah ramai isu penyadapan oleh Australia, kok sebagian besar blok frekuensi 3G nasional malah akan diberikan ke perusahaan asing? Malaysia pula yang akan dominan menguasai blok 3G kita, apa kata dunia?

Saya sudah sangat maklum kalau pemerintah kita terlalu pro asing, bukankah itu spirit dari demokratisasi yang orang bilang punya nama lain, kapitalisasi yang didukung investasi asing. Kalau kelompok kiri akan menyebutnya sebagai penguasaan aset-aset nasional. Ada benarnya juga.

Yang saya heran, kenapa sih kita harus melulu berikan aset-aset strategis kita ke asing? Apa itu mahar dari demokratisasi? Seperti frekuensi 3G contohnya. Saya baru tahu kalau PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mayoritas sahamnya (67%) dikuasai Malaysia melalui salah satu anak usaha BUMN bernama Axiata Investment Sdn Berhad, ternyata bakal menguasai sendiri 5 dari 12 blok 3G yang ada di Indonesia. Padahal Telkomsel saja (BUMN telekomunikasi) hanya memiliki 3 blok 3G.



Kalau dihitung-hitung secara persentase, Malaysia melalui kakinya di Indonesia, XL Axiata bakal punya porsi 42%, sedangkan perusahaan telekomunikasi kita sendiri, Telkomsel hanya mengambil porsi 25% dalam penguasaan blok 3G.



Sengaja Indosat tidak saya masukkan sebagai BUMN telekomunikasi, karena sejak divestasi tahun 2003, kemudian diambil alih oleh Qatar Telecom pada tahun 2008, perusahaan telekomunikasi asal Qatar ini menjadi pemilik mayoritas saham di Indosat. Lebih cocok ganti nama jadi Qatarsat kali yah.

Ini daftar jumlah kepemilikan blok 3G oleh operator-operator yang beroperasi di Indonesia :

1. Telkomsel (RI) kuasai 3 blok 3G
2. XL (Malaysia) kuasai 3 blok 3G
3. Indosat (Qatar) kuasai 2 blok 3G
4. Three (China dan Thailand) kuasai 2 blok 3G
5. Axis (Arab Saudi) kuasai 2 blok 3G

Total memang ada 12 blok 3G di Indonesia. Axis milik Saudi Telecom baru saja dibeli oleh XL melalui transaksi di level induk perusahaan, sehingga secara otomatis 2 blok 3G milik Axis akan menjadi milik XL, karena keduanya, XL dan Axis akan dimerger.

Dengan begitu, dari total 12 blok 3G, penguasaan pemerintah pada blok 3G hanya sebesar 25%, sisanya sebanyak 75% dimiliki oleh asing. Tidak apa-apa asalkan jika dilihat per perusahaan jumlah kepemilikan blok 3G-nya masih di bawah pemerintah. Saya sendiri agak heran, kalau 3G Axis diberikan ke XL, maka XL akan menguasai 5 blok 3G, yang berarti secara porsi melebihi penguasaan pemerintah (Telkomsel) pada frekuensi 3G.

Bukankah ini berbahaya? Kemarin kita baru digegerkan isu penyadapan oleh Australia. Lha ini kok malah hampir 50% jalur blok 3G kita akan dikuasai Malaysia? Bukankah ini perlu diperhatikan?

Bukankah seharusnya dilakukan penataan yang lebih adil, setidaknya bagi kepentingan masyarakat banyak dan efisiensi industri.

Contohnya, penerapan peraturan Tower Bersama. Sebelum ini diberlakukan, masing-masing operator membangun sendiri menara-menara telekomunikasinya untuk masing-masing BTS-nya dipasang. Ini tentu menimbulkan pemborosan. Padahal 1 menara bisa dipakai untuk memasang beberapa BTS dari operator-operator yang berbeda-beda, sehingga 1 area tidak perlu memasang 5 menara untuk 5 BTS dari 5 operator. Cukup 1 menara berisi 5 BTS.

Langkah efisiensi industri seperti ini sudah bagus menurut saya dan seharusnya menjadi contoh untuk penataan di berbagai sektor lainnya. Saya tidak tahu persis bagaimana sebaiknya penataan frekuensi 3G itu dilakukan. Tapi saya sebagai warga pengguna frekuensi melihat perlunya dilakukan penataan frekuensi 3G agar tidak melulu dikuasai asing, apalagi Malaysia menguasai frekuensi lebih banyak dari pemerintah kita sendiri. Saya kira ini patut disorot dan menjadi perhatian banyak pihak.

Tapi ya memang begitulah karakter pemerintahan kita. Terlalu tunduk pada kepentingan asing.

Contoh lain bentuk ketertundukan kita pada kepentingan asing adalah penolakan PT Perusahaan Gas Nasional Tbk (PGAS) menerapkan “Open Access” secara menyeluruh di seluruh jalur pipa gas yang dimilikinya sepanjang 6.000 kilometer. BUMN pengelola gas ini hanya mau menerapkan “Open Access” pada 2.000 kilometer pipa gasnya saja.



Padahal, dengan menerapkan “Open Access” pipa gas secara menyeluruh, PGN bisa mengelola gas bersama dengan saudaranya sendiri, Pertamina untuk penyediaan gas kepada masyarakat. Pertamina memang memiliki jalur pipa gas sendiri, tapi setahu saya hanya untuk mensuplai ke PLN, sedangkan pipa gas PGN untuk kebutuhan suplai ke kebutuhan gas industri dan rumah tangga (masyarakat).

Sayangnya, PGN belum mampu memenuhi ketersediaan gas secara lebih optimal. Atas dasar itu pula, Pertamina siap membantu memenuhi penyediaan gas dengan produksi gas yang dimilikinya. Tapi Pertamina tentu memerlukan jalur pipa gas PGN dengan perjanjian sewa, dalam rangka menyalurkan gas Pertamina melalui pipa gas PGN kepada industri dan rumah tangga. Karena, pipa gas pertamina tidak dibangn untuk menyuplai industri dan rumah tangga.



Untuk itu, perlu diberlakukan kebijakan “Open Access” agar jalur pipa gas PGN bisa digunakan bersama melalui kerjasama sewa. Usulan ini ditolak oleh PGN dengan alasan membuka jalur pipa gas PGN secara menyeluruh akan mengurangi pendapatan perusahaan yang tentunya akan berpengaruh ke perolehan keuntungan juga harga saham. Padahal, biaya produksi gas PGN hanya sebesar US$ 2 per kubik dan dijual lagi dengan harga US$ 8 per kubik. Untungnya cukup besar kan, US$ 6 per kubik.

Persoalan harga ini pernah dikeluhkan oleh pelaku-pelaku bisnis seperti keramik, pupuk dan lain sebagainya. Tapi toh PGN belum merespon keluhan-keluhan tersebut dan lebih memilih memprioritaskan laba ketimbang kebutuhan industri dan rumah tangga.

Sayangnya, demi mengejar keuntungan, PGN enggan masuk pada kompetisi pasar persaingan sempurna, bahkan kepada Pertamina saudaranya sendiri. Ini tentu menjadikan tidak adanya kompetisi harga. Dan ini berarti, PGN lebih menyukai monopoli ketimbang bersaing secara sehat dan kompetitif.

Agak miris mendengarnya. Di satu sisi masyarakat membutuhkan ketersediaan gas yang memadai, di sisi lain PGN malah mementingkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Lagi-lagi masyarakat kita harus kekurangan karena kerakusan korporasi.

Meski PGN adalah BUMN, tapi terlalu disetir oleh asing, sehingga pada akhirnya pun harus manut pada kepentingan asing dalam memperoleh keuntungan. Asing memang tidak pernah peduli pada kebutuhan masyarakat.

PGN sejak mengubah statusnya jadi perusahaan publik, memang 43% sahamnya dikuasai pihak non pemerintah. Menurut Lin Che Wei, sebesar 36% saham PGN dimiliki oleh JP Morgan sebagai perwakilan asing di PGN.

Data ini cukup menjelaskan kenapa PGN pun harus tunduk pada kepentingan asing dan melulu mengejar keuntungan, ketimbang memprioritaskan kebutuhan masyarakat pada ketersediaan gas.



Indonesiaku, kenapa sih selalu berpihak pada kepentingan asing. Pada aspek telekomunikasi, Malaysia dominan menguasai. Pada aspek energi, khususnya gas AS menguasai (JP Morgan). Kapan ya ini semua berubah? Wondering…
0
3K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan