- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[Wawancara Terbaik tahun ini] Iwan Pangka: Kita Semua Kalah
TS
AkuCintaNanae
[Wawancara Terbaik tahun ini] Iwan Pangka: Kita Semua Kalah
Quote:
Kasus dugaan perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan penyair Sitok Srengenge terhadap seorang mahasiswi berusia 22 tahun, menjadi perbincangan hangat, terutama di sosial media. Pro dan kontra menjadi sorotan di kalangan budayawan dan aktivis yang fokus pada isu perempuan. Interviu kali pertama ini menampilkan Iwan Pangka, pengacara korban, banyak off the record demi melindungi psikis korban. Interviu ini tidak mengabaikan bahwa pelaku belum diproses tuntas secara hukum dan praduga tidak bersalah.
Awalnya, Paulus Irawan Chandra, nama lengkap Iwan Pangka, menolak untuk diwawancarai. Pengacara berusia 50 tahun ini menyatakan bahwa dia tidak mau banyak bicara, ingin konsentrasi di proses hukum. Namun, saat dijelaskan pentingnya mendengar dari pandangannya agar tidak ada korban jatuh lagi, akhirnya Iwan bersedia.
Wawancara dilakukan pada 10 Desember lalu di sebuah kafe di Ambarukmo Plaza,Yogyakarta. Pengacara yang sedang mengambil S3 di UGM ini tampil bersahaja dengan kemeja putih bergaris-garis, celana panjang hitam, dan sandal jepit cokelat muda. Saat wawancara, beberapakali Iwan menangis, terutama ketika menceritakan pertemuannya dengan korban. Meski beberapa pengunjung kafe melirik heran melihat Iwan emosional, lelaki kelahiran Banjarmasin ini tidak
Q: Kenapa anda memutuskan menerima kasus ini?
A: Pertengahan Oktober lalu, ada empat orang mahasiswa UI (tiga laki-laki dan satu perempuan) datang mengunjungi teman saya. Kemudian mereka bercerita bahwa ada seorang mahasiswi yang pernah ingin bunuh diri akibat perbuatan seseorang. Teman-teman si korban bingung mencari orang tua yang bisa diajak bicara. Begitu diceritakan peristiwa tersebut, saya langsung menerima kasus ini, nggak pakai pikir apa-apa dan probono (gratis).
Q: Kenapa probono?
A: Saya memang sering menolong orang secara probono. Anak ini harus ditolong. Ia masih kuliah, putri seorang guru, sangat menyentuh hati saya. Kemudian pelakunya seorang seniman yang menurut saya harus ada standar tinggi, yang mempunyai rasa tinggi, keindahan dan nurani lebih dari orang lain. Kalau dia tidak punya hal itu, jangan ngaku jadi seniman. Saya tidak lihat dia dari Salihara atau dari mana. Menurut saya, keterlaluan sekali seniman berbuat begitu. Itu yang membuat saya marah dan mau menerima kasus ini.
Q:Apa yang anda lakukan setelah menerima kasus ini
A: Saya sudah bertemu keluarga korban, termasuk ibunya. Saat orangtua korban mengetahui masalah ini, langsung menghubungi Sitok pada 7 September. Saat itu korban minta Sitok datang sebelum tanggal 10 September karena (orangtuanya) mau naik haji. Dia menjawab, ”Sudah dijaga ya, jangan sampai ada yang tahu. Saya ada di Yogya.” (Iwan mengambil handphone dan membacakan isi pembicaraan yang dikirim korban ke-emailnya). Kalimat ini berulang ketika korban menelepon dan menanyakan Sitok kapan bisa bertemu dengan orangtuanya, bahkan sambil membentak korban sehingga (korban) trauma. Korban sangat (merasakan) luka batin. Sitok memperlakukan korban seperti majikan terhadap babu (air mata Iwan mengalir). Kemudian saya datang ke UI dan minta didampingi empat mahasiswa tadi untuk mulai advokasi. Tidak ada yang tahu saat itu.
Q: Karena itu masuk ke ranah hukum?
A: Karena tidak ada niat baik.
Q: Korban dan anda tahu kasus terkait asusila hukum tidak berpihak kepada korban?
A: Saya sudah ingatkan bahwa ini sulit, ini bicara hukum tidak bisa memaksa yang sesuai dengan keinginan korban. Sangat patriarkis, saya sadar betul. Saya bilang sama anak-anak ini, saya ingin masalah ini menjadi besar supaya menjadi perhatian, terutama untuk DPR yang membuat UU. Harusnya UU Perempuan dan Perlindungan Anak dijadikan satu. UU kita selalu kalah dengan kriminal masyarakat. UU-nya sudah ketinggalan 20 tahun, masyarakatnya sudah maju sekali melakukan kejahatan. Saya sangat memikirkan perempuan dan anak-anak karena mereka landasan buat bangsa ini. Jangan macam-macam dengan perempuan. Perempuan itu luar biasa karena menciptakan anak-anak bangsa. Mau diapakan kalau perempuan diperlakukan begini. Bisa ambruk ini bangsa!
Untuk menenangkan emosinya Iwan menyeruput Cappucino hangat kemudian menyalakan sebatang rokok.
Awalnya saya minta orang lain membuatkan kronologis tapi saya tunggu beberapa saat tidak ada. Kemudian saya sendiri mewawancarai korban. Nangis saya mendengar cerita korban (off the record saat cerita kronologis). Saya tanya kepada teman saya seorang pendeta di Australia yang biasa menangani kasus seperti ini, seperti apa korban kekerasan seksual. Teman saya menekuni bagaimana memulihkan korban kekerasan seksual secara spiritual. Menurut teman saya itu, ada dua macam, pertama, korban kekerasan seksual saat terjadi tidak bisa melawan karena terintimidasi. Artinya, sudah tidak punya harga diri di alam bawah sadarnya. Bujukan dan rayuan sebelum kejadian sebenarnya soft rape, di alam bawah sadar korban. Tipe kedua, menjadi galak luar biasa, berani kepada pelaku.
Klien saya termasuk kategori yang pertama. Jadi saya mengerti korban. Sepertinya suka sama suka, padahal itu intimidasi pemerkosaan. Kalau anak ini tidak menurut, kemudian dibentak sehingga anak ini takut. (Off the record kembali saat menceritakan bagaimana pelaku mengintimidasi korban). Jadi memang sudah direncanakan seolah-olah korban yang butuh pelaku karena memang dia pembuat skenario. Ini modusnya.
Iwan yang lulusan S1 Universitas Surabaya ini menerima panggilan telepon dari salah satu pendamping, seorang mahasiswa yang menjelaskan perkembangan kasus ini. Setelah menutup teleponnya, Iwan kembali meminta off the record untuk menjelaskan posisi dan sikap korban. “Semua perempuan di dunia ini tidak ada yang mau kehormatannya direnggut sebelum masa sakral itu tiba. Apa pun alasannya,” ujar Iwan dengan nada tinggi.
Q: Kenapa akhirnya memutuskan untuk melapor ke Polda?
A: Dari pertama kami sepakat memang mau melaporkan kasus ini ke kepolisian. Asal tahu saja, laporan pertama kami ditolak di Polres Jakarta Selatan. Sangat menyakitkan (suaranya meninggi). Lazimnya orang melapor di SPK. Itu tidak ditanya deskripsinya apa, cuma ditanya pelakunya sopo (siapa). Pelakunya Sitok Srengenge, langsung tidak ada register, kosong. Langsung dibawa ke PPA ditanyakan lagi, siapa pelakunya, kami bilang, Sitok Srengenge, langsung di-drop.
Q: Alasan mereka menolak?
A: Oooo tidak bisa, ini sudah sama-sama dewasa (Iwan menirukan gaya polisi). Ada perempuan di sana kayaknya Kanit-nya, menanyakan klien saya seperti nanya maling, tambah ketakutan anak ini. Perempuan ini bilang, kamu harus mengetuk hatinya Sitok supaya mau mengawini kamu. Mengetuk hati Sitok, mengetuk hati Sitok. Bayangkan! Saya bilang, pulang, karena saya tahu bukan ini maksud dari pelaporan (Iwan mengatakan dengan nada tinggi).
Q: Lho, anda sudah mendampingi korban saat itu?
A: Ya, saya sudah mendampingi.
Q: Anda menemani korban dengan siapa?
A: Dengan empat orang teman korban. Saya sempat tidak boleh ikut bicara. Saya berdebat, saya katakan saya pengacaranya. Saya bilang, anda penyidik atau siapa sih, saya pelapor lho, bukan maling, bukan terlapor.
Q: Lalu korban dan anda ke Polda?
A: Belum. Kami membuat surat ke Komnas Perempuan, diterima bukan oleh komisioner tapi bagian pemantauan. Saya tidak ketemu komisioner nya dan disarankan untuk membawa korban ke psikolog di Yayasan Pulih, setelah itu baru ke Polda Metro Jaya.
Q: Tapi berdasarkan pengalaman, putusan hukum atas kasus ini tidak akan maksimal untuk korban, apalagi Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).
A: Dari awal kami sudah sadar, makanya tag kita “melawan”, tidak ada kata menyerah. Kami di sini bukan bicara menang dan kalah, tapi kami memperjuangkan keadilan perempuan, jangan sampai terjadi lagi. UI kenapa marah dalam kasus ini? Karena Sitok menghina lembaga pendidikan ini. Dengan enaknya dia bilang, mbok ya kamu minum (obat) antihamil, minta sama anak-anak UI, banyak kok yang mengerti. Di situ yang membuat UI marah. Akhirnya, seperti terjadi perang lembaga dengan lembaga (Salihara dengan UI) karena mulutnya Sitok. Jadi bukan tanpa alasan UI ikut, Sitok terlalu melecehkan.
Q: Kembali lagi keadilan buat korban, apa yang anda persiapkan untuk korban menghadapi hasil akhir proses ini?
A: Saya bilang sama korban, kita lawan ya nak. Saya memanggil korban “nak” karena usia dia 22 tahun, saya 50 tahun, dia pantas jadi anak saya. Iya, dia bilang. Kamu siap di-bully oleh masyarakat? Siap, katanya.Dia marah luar biasa. Dia bilang, kalau nggak saya, siapa lagi yang melawan. Tapi kenyataannya masyarakat pro sama dia, hampir-hampir tidak ada yang bully dia. Semua karena keberanian dia. Saya siapkan mental dia. Saya bilang, nanti ada yang bilang kamu cari sensasi karena Sitok sastrawan terkenal, kamu cuma dihamili Sitok nggak mau tanggung jawab kamu teriak, padahal kamu sama-sama enak. Saya bilang kamu bakal dibilang begitu. Dia bilang saya tetap akan melawan. Ini juga baru sebulan menimbulkan keberanian dia. Saya didampingi teman-temannya yang intens ketemu dia. Setelah dia menyatakan siap mentalnya barulah kami melawan dan melapor. Korban ini pernah mencampur sepuluh amoxan dan sepuluh antalgin, dia mau minum, dilihat temannya kemudian dibuang. Sekarang dia melawan.
Q: Orangtuanya mendukung korban untuk melawan?
A: Sangat mendukung sekali. Malah saya dengar Sitok menggunakan seorang kepala sekolah SMAN di Jakarta untuk menemui keluarga korban.
Q: Hubungannya apa dengan kepala sekolah itu?
A: Karena sama-sama guru, tapi tetap orang tuanya tidak mau. Saya heran kenapa harus begitu? Takut masuk penjara? Buktikan saja di pengadilan, kenapa harus takut? Ada pertanyaan yang menarik dari Saut Situmorang, kenapa dia mundur dari Salihara kalau dia bilang hubungannya karena suka sama suka.
Q: Kembali lagi ke proses hukum, Pasal 335 KUHP kan pasal “sampah”…
A: Sitok harus bertanggungjawab secara hukum. Kita lihat perkembangannya nanti.
Q: Banyak korban mundur karena proses hukum yang membuat korban trauma. Anda sudah siapkan korban, misalnya saat di-BAP?
A: Dari awal kami sudah membuat rekonstruksi sendiri, bagaimana rasanya di-BAP. Jadi ketika membuat kronologis, saya bersikap seperti polisi. Saya menekan dia, kadang saya tanya lembut, kadang keras, dan dia bisa mengatasi itu. Saya bilang sama dia, begitulah suasana BAP. Dia bilang dia siap meski dia pernah sempat linglung, matanya kosong, saya goyang tangannya, saya bilang bersuara nak, bersuara, (akhirnya) dia bicara lagi.
Q: Tapi anda sudah menyiapkan yang terburuk, bahwa hukum ini tetap tidak berjalan sebagaimana yang dibayangkan korban dan anda?
A: Kami akan tetap melawan dengan segala cara. Saya lebih bangga menjadi pelawan tangguh daripada menyerah. Itu komitmen kami. Kami tidak akan pernah berhenti di tengah jalan. Kalah-menang urusan belakang, itu biasa dalam pertarungan. Sudah saatnya Indonesia mengubah perlawanan terhadap dimensi kekerasan tehadap perempuan.
Sesaat penasihat hukum yang suka musik ini terdiam, kemudian menyatakan keinginannya mempunyai organisasi yang khusus untuk menangani kekerasan anak dan perempuan. “Saya maunya satu paket, membantu proses hukum juga rehabilitasinya.” Keponakan pengusaha dan konsultan hokum terkenal Kartini Mulyadi ini ingin mengumpulkan ahli hukum, psikolog, dan psikiater dalam satu wadah dengan tujuan menolong korban secara probono. Iwan menyatakan, cita-citanya bukan karena menangani kasus ini tapi pengalaman pribadi yang mempengaruhinya. ”Ibu saya meninggal saat melahirkan saya, dan saya dirawat oleh mami yang sebenarnya bukan kandung tapi memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri.” Tuturnya. Dia ingin membalas budi dua orang perempuan yang berjuang demi dirinya dengan membantu perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Q: Bentuknya apa bertanggung jawab terhadap janin?
A: Bentuknya bukan menikah, ora sudi. Kan ada putusan MK, kita sekarang mengakui anak tanpa bapak sama dengan anak lainnya. Jangan berharap lain dari itu. Dia bilang istri saya siap dipoligami, bukan itu kok. Sitok jangan GR (gede rasa), korban tidak mau, tidak sudi. Sitok ditelepon oleh keluarganya bukan untuk minta dinikahi. Sitok hanya disuruh datang menceritakan peristiwanya, tidak ada kata minta dinikahi. Ora panteslah, anak umur 22 mau dinikahi umur seket (50).
Q: Kasus ini melebar ke mana-mana terutama di media sosial, juga menyinggung komunitas Salihara, apakah mengganggu advokasi anda?
A: Saya hanya fokus pada korban, kemudian berkembang di twitter dan media social lainnya, kemudian ada musuh-musuhnya Salihara dan yang lain-lain. Kami tidak mengerti. Tapi ada juga yang bantu, tapi kami tidak kenal.
Q: Jadi anda merasa terbantu?
A: Ya,paling tidak, ini jadi ramai, menjadi perhatian, ini tidak dapat dipungkiri. Salahe dewe akeh musuhe (salahnya sendiri banyak musuh). Saya tidak peduli siapa, yang penting mendukung korban.
Q: Menurut anda, ada “penumpang gelap” dalam kasus ini?
A: Ada, tapi wajar menurut saya, saya sediakan panggung buat mereka, saya juga tidak suka pencitraan. Saya persilakan saja selama kontribusinya positif. Mereka punya kepentingan lain, silakan saja. Saya tahu siapa saja yang punya kepentingan, jangan dikira saya tidak tahu. Tapi saya anggap semua untuk memperlebar perlawanan. Saya mengerti sangat sulit dapat panggung, mumpung ada ya pakai saja.
Q: Anda tidak merasa diserobot atau diambil kasusnya?
A: Nggak..nggak.. Saya merasa malah mereka yang berpikir saya yang menyerobot kasus mereka...hahahaha
Q: Lawan anda memakai pengacara perempuan, anak dan istrinya mendukung selalu di sampingnya. Bagaimana menurut anda?
A: Saya prihatin. Ketika dia melakukan asusila itu dia tidak memikirkan anak dan istrinya, ketika masuk ranah hukum dia mencari anak dan istrinya. Dia menggunakan magis perempuan untuk melawan perempuan. Sitok lupa sudah menyakiti anak dan istrinya, korban, menyakiti janin dari hasil perbuatan dia. Saya tidak kenal Mbak Ria (Dwi Ria Latifa, pengacara Sitok) secara fisik, tapi saya tahu dia orang baik, dia profesional. Tapi seharusnya dia mengerti bahwa korbannya perempuan.
Pengacara lulusan S2 Universitas Brawijaya ini tiba-tiba menangis histeris sambil berkata, ”Dalam kasus ini semua kalah, semua kalah, Sitok kalah, gagal menjadi bapak dan suami, karirnya hancur, apalagi korban masa depannya terenggut. Semua kalah. Sitok tidak berpikir, bagaimana sakit hatinya anak dan istrinya. Banyak yang tersentuh dengan pernyataan anak dan istrinya, bagaimana dengan klien saya? Dia masih muda, dia menanggung masa depan yang ada di janinnya, bagaimana secara psikis dia membesarkan anak itu, tidak gampang.” Kemudian Iwan terdiam, matanya masih basah menahan tangis.
Q: Anda emosional sekali kayaknya
A: Kasus ini sangat menguras emosi saya. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa kamu (korban) berkali-kali datang, itulah bedanya pemerkosaan fisik dan mental. Kalau dirudapaksa mental, dia menjadi seperti kerbau dicocok hidung. Mendengar suara Sitok saja anak ini gemetar
Q: Menurut anda apa yang harus dilakukan korban untuk masa depannya?
A: Dia harus lulus kuliahnya. Saya bilang kepada dia, jangan ditutup-tutupi siapa kamu, kamu harus melangkah lebih tegas, berani, masyarakat akan mengakui kamu. Tidak usah malu, masyarakat akan angkat topi. Kalau bisa kerja sendiri, kamu punya keahlian menulis, itu yang saya katakan kepada dia.
Sesaat sebelum wawancara berakhir Iwan memberikan puisi yang dibuat oleh korban. ”Ini boleh dimuat, sudah diizinkan oleh korban,” ucap Iwan.
Awalnya, Paulus Irawan Chandra, nama lengkap Iwan Pangka, menolak untuk diwawancarai. Pengacara berusia 50 tahun ini menyatakan bahwa dia tidak mau banyak bicara, ingin konsentrasi di proses hukum. Namun, saat dijelaskan pentingnya mendengar dari pandangannya agar tidak ada korban jatuh lagi, akhirnya Iwan bersedia.
Wawancara dilakukan pada 10 Desember lalu di sebuah kafe di Ambarukmo Plaza,Yogyakarta. Pengacara yang sedang mengambil S3 di UGM ini tampil bersahaja dengan kemeja putih bergaris-garis, celana panjang hitam, dan sandal jepit cokelat muda. Saat wawancara, beberapakali Iwan menangis, terutama ketika menceritakan pertemuannya dengan korban. Meski beberapa pengunjung kafe melirik heran melihat Iwan emosional, lelaki kelahiran Banjarmasin ini tidak
Q: Kenapa anda memutuskan menerima kasus ini?
A: Pertengahan Oktober lalu, ada empat orang mahasiswa UI (tiga laki-laki dan satu perempuan) datang mengunjungi teman saya. Kemudian mereka bercerita bahwa ada seorang mahasiswi yang pernah ingin bunuh diri akibat perbuatan seseorang. Teman-teman si korban bingung mencari orang tua yang bisa diajak bicara. Begitu diceritakan peristiwa tersebut, saya langsung menerima kasus ini, nggak pakai pikir apa-apa dan probono (gratis).
Q: Kenapa probono?
A: Saya memang sering menolong orang secara probono. Anak ini harus ditolong. Ia masih kuliah, putri seorang guru, sangat menyentuh hati saya. Kemudian pelakunya seorang seniman yang menurut saya harus ada standar tinggi, yang mempunyai rasa tinggi, keindahan dan nurani lebih dari orang lain. Kalau dia tidak punya hal itu, jangan ngaku jadi seniman. Saya tidak lihat dia dari Salihara atau dari mana. Menurut saya, keterlaluan sekali seniman berbuat begitu. Itu yang membuat saya marah dan mau menerima kasus ini.
Q:Apa yang anda lakukan setelah menerima kasus ini
A: Saya sudah bertemu keluarga korban, termasuk ibunya. Saat orangtua korban mengetahui masalah ini, langsung menghubungi Sitok pada 7 September. Saat itu korban minta Sitok datang sebelum tanggal 10 September karena (orangtuanya) mau naik haji. Dia menjawab, ”Sudah dijaga ya, jangan sampai ada yang tahu. Saya ada di Yogya.” (Iwan mengambil handphone dan membacakan isi pembicaraan yang dikirim korban ke-emailnya). Kalimat ini berulang ketika korban menelepon dan menanyakan Sitok kapan bisa bertemu dengan orangtuanya, bahkan sambil membentak korban sehingga (korban) trauma. Korban sangat (merasakan) luka batin. Sitok memperlakukan korban seperti majikan terhadap babu (air mata Iwan mengalir). Kemudian saya datang ke UI dan minta didampingi empat mahasiswa tadi untuk mulai advokasi. Tidak ada yang tahu saat itu.
Q: Karena itu masuk ke ranah hukum?
A: Karena tidak ada niat baik.
Q: Korban dan anda tahu kasus terkait asusila hukum tidak berpihak kepada korban?
A: Saya sudah ingatkan bahwa ini sulit, ini bicara hukum tidak bisa memaksa yang sesuai dengan keinginan korban. Sangat patriarkis, saya sadar betul. Saya bilang sama anak-anak ini, saya ingin masalah ini menjadi besar supaya menjadi perhatian, terutama untuk DPR yang membuat UU. Harusnya UU Perempuan dan Perlindungan Anak dijadikan satu. UU kita selalu kalah dengan kriminal masyarakat. UU-nya sudah ketinggalan 20 tahun, masyarakatnya sudah maju sekali melakukan kejahatan. Saya sangat memikirkan perempuan dan anak-anak karena mereka landasan buat bangsa ini. Jangan macam-macam dengan perempuan. Perempuan itu luar biasa karena menciptakan anak-anak bangsa. Mau diapakan kalau perempuan diperlakukan begini. Bisa ambruk ini bangsa!
Untuk menenangkan emosinya Iwan menyeruput Cappucino hangat kemudian menyalakan sebatang rokok.
Awalnya saya minta orang lain membuatkan kronologis tapi saya tunggu beberapa saat tidak ada. Kemudian saya sendiri mewawancarai korban. Nangis saya mendengar cerita korban (off the record saat cerita kronologis). Saya tanya kepada teman saya seorang pendeta di Australia yang biasa menangani kasus seperti ini, seperti apa korban kekerasan seksual. Teman saya menekuni bagaimana memulihkan korban kekerasan seksual secara spiritual. Menurut teman saya itu, ada dua macam, pertama, korban kekerasan seksual saat terjadi tidak bisa melawan karena terintimidasi. Artinya, sudah tidak punya harga diri di alam bawah sadarnya. Bujukan dan rayuan sebelum kejadian sebenarnya soft rape, di alam bawah sadar korban. Tipe kedua, menjadi galak luar biasa, berani kepada pelaku.
Klien saya termasuk kategori yang pertama. Jadi saya mengerti korban. Sepertinya suka sama suka, padahal itu intimidasi pemerkosaan. Kalau anak ini tidak menurut, kemudian dibentak sehingga anak ini takut. (Off the record kembali saat menceritakan bagaimana pelaku mengintimidasi korban). Jadi memang sudah direncanakan seolah-olah korban yang butuh pelaku karena memang dia pembuat skenario. Ini modusnya.
Iwan yang lulusan S1 Universitas Surabaya ini menerima panggilan telepon dari salah satu pendamping, seorang mahasiswa yang menjelaskan perkembangan kasus ini. Setelah menutup teleponnya, Iwan kembali meminta off the record untuk menjelaskan posisi dan sikap korban. “Semua perempuan di dunia ini tidak ada yang mau kehormatannya direnggut sebelum masa sakral itu tiba. Apa pun alasannya,” ujar Iwan dengan nada tinggi.
Q: Kenapa akhirnya memutuskan untuk melapor ke Polda?
A: Dari pertama kami sepakat memang mau melaporkan kasus ini ke kepolisian. Asal tahu saja, laporan pertama kami ditolak di Polres Jakarta Selatan. Sangat menyakitkan (suaranya meninggi). Lazimnya orang melapor di SPK. Itu tidak ditanya deskripsinya apa, cuma ditanya pelakunya sopo (siapa). Pelakunya Sitok Srengenge, langsung tidak ada register, kosong. Langsung dibawa ke PPA ditanyakan lagi, siapa pelakunya, kami bilang, Sitok Srengenge, langsung di-drop.
Q: Alasan mereka menolak?
A: Oooo tidak bisa, ini sudah sama-sama dewasa (Iwan menirukan gaya polisi). Ada perempuan di sana kayaknya Kanit-nya, menanyakan klien saya seperti nanya maling, tambah ketakutan anak ini. Perempuan ini bilang, kamu harus mengetuk hatinya Sitok supaya mau mengawini kamu. Mengetuk hati Sitok, mengetuk hati Sitok. Bayangkan! Saya bilang, pulang, karena saya tahu bukan ini maksud dari pelaporan (Iwan mengatakan dengan nada tinggi).
Q: Lho, anda sudah mendampingi korban saat itu?
A: Ya, saya sudah mendampingi.
Q: Anda menemani korban dengan siapa?
A: Dengan empat orang teman korban. Saya sempat tidak boleh ikut bicara. Saya berdebat, saya katakan saya pengacaranya. Saya bilang, anda penyidik atau siapa sih, saya pelapor lho, bukan maling, bukan terlapor.
Q: Lalu korban dan anda ke Polda?
A: Belum. Kami membuat surat ke Komnas Perempuan, diterima bukan oleh komisioner tapi bagian pemantauan. Saya tidak ketemu komisioner nya dan disarankan untuk membawa korban ke psikolog di Yayasan Pulih, setelah itu baru ke Polda Metro Jaya.
Q: Tapi berdasarkan pengalaman, putusan hukum atas kasus ini tidak akan maksimal untuk korban, apalagi Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).
A: Dari awal kami sudah sadar, makanya tag kita “melawan”, tidak ada kata menyerah. Kami di sini bukan bicara menang dan kalah, tapi kami memperjuangkan keadilan perempuan, jangan sampai terjadi lagi. UI kenapa marah dalam kasus ini? Karena Sitok menghina lembaga pendidikan ini. Dengan enaknya dia bilang, mbok ya kamu minum (obat) antihamil, minta sama anak-anak UI, banyak kok yang mengerti. Di situ yang membuat UI marah. Akhirnya, seperti terjadi perang lembaga dengan lembaga (Salihara dengan UI) karena mulutnya Sitok. Jadi bukan tanpa alasan UI ikut, Sitok terlalu melecehkan.
Q: Kembali lagi keadilan buat korban, apa yang anda persiapkan untuk korban menghadapi hasil akhir proses ini?
A: Saya bilang sama korban, kita lawan ya nak. Saya memanggil korban “nak” karena usia dia 22 tahun, saya 50 tahun, dia pantas jadi anak saya. Iya, dia bilang. Kamu siap di-bully oleh masyarakat? Siap, katanya.Dia marah luar biasa. Dia bilang, kalau nggak saya, siapa lagi yang melawan. Tapi kenyataannya masyarakat pro sama dia, hampir-hampir tidak ada yang bully dia. Semua karena keberanian dia. Saya siapkan mental dia. Saya bilang, nanti ada yang bilang kamu cari sensasi karena Sitok sastrawan terkenal, kamu cuma dihamili Sitok nggak mau tanggung jawab kamu teriak, padahal kamu sama-sama enak. Saya bilang kamu bakal dibilang begitu. Dia bilang saya tetap akan melawan. Ini juga baru sebulan menimbulkan keberanian dia. Saya didampingi teman-temannya yang intens ketemu dia. Setelah dia menyatakan siap mentalnya barulah kami melawan dan melapor. Korban ini pernah mencampur sepuluh amoxan dan sepuluh antalgin, dia mau minum, dilihat temannya kemudian dibuang. Sekarang dia melawan.
Q: Orangtuanya mendukung korban untuk melawan?
A: Sangat mendukung sekali. Malah saya dengar Sitok menggunakan seorang kepala sekolah SMAN di Jakarta untuk menemui keluarga korban.
Q: Hubungannya apa dengan kepala sekolah itu?
A: Karena sama-sama guru, tapi tetap orang tuanya tidak mau. Saya heran kenapa harus begitu? Takut masuk penjara? Buktikan saja di pengadilan, kenapa harus takut? Ada pertanyaan yang menarik dari Saut Situmorang, kenapa dia mundur dari Salihara kalau dia bilang hubungannya karena suka sama suka.
Q: Kembali lagi ke proses hukum, Pasal 335 KUHP kan pasal “sampah”…
A: Sitok harus bertanggungjawab secara hukum. Kita lihat perkembangannya nanti.
Q: Banyak korban mundur karena proses hukum yang membuat korban trauma. Anda sudah siapkan korban, misalnya saat di-BAP?
A: Dari awal kami sudah membuat rekonstruksi sendiri, bagaimana rasanya di-BAP. Jadi ketika membuat kronologis, saya bersikap seperti polisi. Saya menekan dia, kadang saya tanya lembut, kadang keras, dan dia bisa mengatasi itu. Saya bilang sama dia, begitulah suasana BAP. Dia bilang dia siap meski dia pernah sempat linglung, matanya kosong, saya goyang tangannya, saya bilang bersuara nak, bersuara, (akhirnya) dia bicara lagi.
Q: Tapi anda sudah menyiapkan yang terburuk, bahwa hukum ini tetap tidak berjalan sebagaimana yang dibayangkan korban dan anda?
A: Kami akan tetap melawan dengan segala cara. Saya lebih bangga menjadi pelawan tangguh daripada menyerah. Itu komitmen kami. Kami tidak akan pernah berhenti di tengah jalan. Kalah-menang urusan belakang, itu biasa dalam pertarungan. Sudah saatnya Indonesia mengubah perlawanan terhadap dimensi kekerasan tehadap perempuan.
Sesaat penasihat hukum yang suka musik ini terdiam, kemudian menyatakan keinginannya mempunyai organisasi yang khusus untuk menangani kekerasan anak dan perempuan. “Saya maunya satu paket, membantu proses hukum juga rehabilitasinya.” Keponakan pengusaha dan konsultan hokum terkenal Kartini Mulyadi ini ingin mengumpulkan ahli hukum, psikolog, dan psikiater dalam satu wadah dengan tujuan menolong korban secara probono. Iwan menyatakan, cita-citanya bukan karena menangani kasus ini tapi pengalaman pribadi yang mempengaruhinya. ”Ibu saya meninggal saat melahirkan saya, dan saya dirawat oleh mami yang sebenarnya bukan kandung tapi memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri.” Tuturnya. Dia ingin membalas budi dua orang perempuan yang berjuang demi dirinya dengan membantu perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Q: Bentuknya apa bertanggung jawab terhadap janin?
A: Bentuknya bukan menikah, ora sudi. Kan ada putusan MK, kita sekarang mengakui anak tanpa bapak sama dengan anak lainnya. Jangan berharap lain dari itu. Dia bilang istri saya siap dipoligami, bukan itu kok. Sitok jangan GR (gede rasa), korban tidak mau, tidak sudi. Sitok ditelepon oleh keluarganya bukan untuk minta dinikahi. Sitok hanya disuruh datang menceritakan peristiwanya, tidak ada kata minta dinikahi. Ora panteslah, anak umur 22 mau dinikahi umur seket (50).
Q: Kasus ini melebar ke mana-mana terutama di media sosial, juga menyinggung komunitas Salihara, apakah mengganggu advokasi anda?
A: Saya hanya fokus pada korban, kemudian berkembang di twitter dan media social lainnya, kemudian ada musuh-musuhnya Salihara dan yang lain-lain. Kami tidak mengerti. Tapi ada juga yang bantu, tapi kami tidak kenal.
Q: Jadi anda merasa terbantu?
A: Ya,paling tidak, ini jadi ramai, menjadi perhatian, ini tidak dapat dipungkiri. Salahe dewe akeh musuhe (salahnya sendiri banyak musuh). Saya tidak peduli siapa, yang penting mendukung korban.
Q: Menurut anda, ada “penumpang gelap” dalam kasus ini?
A: Ada, tapi wajar menurut saya, saya sediakan panggung buat mereka, saya juga tidak suka pencitraan. Saya persilakan saja selama kontribusinya positif. Mereka punya kepentingan lain, silakan saja. Saya tahu siapa saja yang punya kepentingan, jangan dikira saya tidak tahu. Tapi saya anggap semua untuk memperlebar perlawanan. Saya mengerti sangat sulit dapat panggung, mumpung ada ya pakai saja.
Q: Anda tidak merasa diserobot atau diambil kasusnya?
A: Nggak..nggak.. Saya merasa malah mereka yang berpikir saya yang menyerobot kasus mereka...hahahaha
Q: Lawan anda memakai pengacara perempuan, anak dan istrinya mendukung selalu di sampingnya. Bagaimana menurut anda?
A: Saya prihatin. Ketika dia melakukan asusila itu dia tidak memikirkan anak dan istrinya, ketika masuk ranah hukum dia mencari anak dan istrinya. Dia menggunakan magis perempuan untuk melawan perempuan. Sitok lupa sudah menyakiti anak dan istrinya, korban, menyakiti janin dari hasil perbuatan dia. Saya tidak kenal Mbak Ria (Dwi Ria Latifa, pengacara Sitok) secara fisik, tapi saya tahu dia orang baik, dia profesional. Tapi seharusnya dia mengerti bahwa korbannya perempuan.
Pengacara lulusan S2 Universitas Brawijaya ini tiba-tiba menangis histeris sambil berkata, ”Dalam kasus ini semua kalah, semua kalah, Sitok kalah, gagal menjadi bapak dan suami, karirnya hancur, apalagi korban masa depannya terenggut. Semua kalah. Sitok tidak berpikir, bagaimana sakit hatinya anak dan istrinya. Banyak yang tersentuh dengan pernyataan anak dan istrinya, bagaimana dengan klien saya? Dia masih muda, dia menanggung masa depan yang ada di janinnya, bagaimana secara psikis dia membesarkan anak itu, tidak gampang.” Kemudian Iwan terdiam, matanya masih basah menahan tangis.
Q: Anda emosional sekali kayaknya
A: Kasus ini sangat menguras emosi saya. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa kamu (korban) berkali-kali datang, itulah bedanya pemerkosaan fisik dan mental. Kalau dirudapaksa mental, dia menjadi seperti kerbau dicocok hidung. Mendengar suara Sitok saja anak ini gemetar
Q: Menurut anda apa yang harus dilakukan korban untuk masa depannya?
A: Dia harus lulus kuliahnya. Saya bilang kepada dia, jangan ditutup-tutupi siapa kamu, kamu harus melangkah lebih tegas, berani, masyarakat akan mengakui kamu. Tidak usah malu, masyarakat akan angkat topi. Kalau bisa kerja sendiri, kamu punya keahlian menulis, itu yang saya katakan kepada dia.
Sesaat sebelum wawancara berakhir Iwan memberikan puisi yang dibuat oleh korban. ”Ini boleh dimuat, sudah diizinkan oleh korban,” ucap Iwan.
Biasa pak yang berkali-kali nanya tapi gak ngert-ngerti itu anak JASMEV yang ingin menspin berita
0
4.5K
Kutip
23
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan