- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menkeu: Subsidi Pertanian Bisa Ditambah Jika Butuh
TS
omtimo.org
Menkeu: Subsidi Pertanian Bisa Ditambah Jika Butuh
Quote:
Menkeu: Subsidi Pertanian Bisa Ditambah Jika Butuh
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan pemerintah tidak akan serta merta menaikkan subsidi pertanian meski World Trade Organization sudah menyepakati negara berkembang berhak memberi subsidi pertanian lebih besar. Ia mengaku masih akan mengkaji efektivitas subsidi tersebut.
"Kita akan lihat review-nya bagiamana, ada kebutuhan atau nggak, sejauh mana efektivitasnya, begitu. Kalau nggak begitu, nanti semua akan diminta, yang nggak ada subsidinya akan diminta juga," ujar Chatib ditemui di kantornya kemarin.
Demi menyukseskan program swasembada dan menjaga stabilitas stok pangan, Chatib setuju masih perlu ada tangan pemerintah mendorong sektor pertanian. Namun, ia tidak mengelaborasi lebih jauh. "Kalau untuk pangan, kayak untuk stabilisasi pangan, memang dibutuhkan (subsidi) misalnya seberapa besar," katanya.
Pemerintah saat ini memberi subsidi benih, subsidi pupuk, dan beberapa subsidi lainnya untuk mendukung pertanian. Pemerintah juga mematok harga tertentu untuk komoditas strategis dan akan melakukan intervensi jika harga tinggi, misalnya pada beras lewat Perum Bulog.
Sumber
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan pemerintah tidak akan serta merta menaikkan subsidi pertanian meski World Trade Organization sudah menyepakati negara berkembang berhak memberi subsidi pertanian lebih besar. Ia mengaku masih akan mengkaji efektivitas subsidi tersebut.
"Kita akan lihat review-nya bagiamana, ada kebutuhan atau nggak, sejauh mana efektivitasnya, begitu. Kalau nggak begitu, nanti semua akan diminta, yang nggak ada subsidinya akan diminta juga," ujar Chatib ditemui di kantornya kemarin.
Demi menyukseskan program swasembada dan menjaga stabilitas stok pangan, Chatib setuju masih perlu ada tangan pemerintah mendorong sektor pertanian. Namun, ia tidak mengelaborasi lebih jauh. "Kalau untuk pangan, kayak untuk stabilisasi pangan, memang dibutuhkan (subsidi) misalnya seberapa besar," katanya.
Pemerintah saat ini memberi subsidi benih, subsidi pupuk, dan beberapa subsidi lainnya untuk mendukung pertanian. Pemerintah juga mematok harga tertentu untuk komoditas strategis dan akan melakukan intervensi jika harga tinggi, misalnya pada beras lewat Perum Bulog.
Sumber
Quote:
Setuju Paket Bali WTO, Indonesia akan tambah subsidi pertanian
Merdeka.com - Pemerintah mengklaim, tiga poin kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang populer disebut 'Paket Bali' pekan lalu menguntungkan. Sebab, dengan adanya batas subsidi hingga 15 persen dari total produksi nasional, maka posisi Indonesia akan lebih seimbang bersaing dengan produk pangan negara maju.
Cuma, selepas kesepakatan itu dicapai, pemerintah mengakui belum merespon secara konkret implementasinya di dalam negeri.
Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, belum ada permintaan dari kementerian teknis soal penambahan subsidi pertanian, baik untuk benih maupun pupuk pada APBN 2014. Selama memang dibutuhkan, pihaknya siap menambah anggaran subsidi sektor pangan tahun depan.
"Kebutuhannya ada atau enggak. Pangan mau dikasih subsidi, oke sekarang ada batasnya 15 persen, tapi tergantung ada kebutuhan enggak, sejauh mana efektivitasnya," ujarnya di Jakarta, Senin (9/12).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengakui pihaknya tak berpikir untuk segera menyesuaikan pola subsidi Indonesia sesuai Paket Bali. Saat ini, bantuan benih dan pupuk, maupun operasi pasar buat komoditas beras menelan dana Rp 40 triliun. Tak sampai 10 persen dari total output pertanian nasional.
Bachrul berkilah, meski tak langsung mengikuti skema subsidi 15 persen, putusan Paket Bali akan menguntungkan dalam jangka panjang. Apalagi bila solusi itu permanen buat negara berkembang dan miskin.
"Yang penting kan kita sudah ada ruang gerak untuk kasih subsidi lebih besar. Suatu saat Indonesia kan terus bertumbuh jadi ekonomi ke-7 dunia, kan kita bisa manfaatkan, beri subsidi lebih besar untuk produk-produk kita," katanya.
Kalaupun untuk APBN 2014 subsidi pertanian mau ditambah, mengikuti keleluasaan dari WTO, maka harus dibahas bersama dalam rapat kemenko. Kementerian Perdagangan sendiri belum punya gambaran, komoditas apa yang idealnya diberi tambahan subsidi agar lebih bersaing di pasar internasional.
"Itu terkait mana produk-produk strategis yang perlu penanganan. Sekarang kan baru beras, apakah nanti kedelai, daging, tergantung rapat bersama dengan stakeholder," kata Bachrul.
Sumber
Merdeka.com - Pemerintah mengklaim, tiga poin kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang populer disebut 'Paket Bali' pekan lalu menguntungkan. Sebab, dengan adanya batas subsidi hingga 15 persen dari total produksi nasional, maka posisi Indonesia akan lebih seimbang bersaing dengan produk pangan negara maju.
Cuma, selepas kesepakatan itu dicapai, pemerintah mengakui belum merespon secara konkret implementasinya di dalam negeri.
Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, belum ada permintaan dari kementerian teknis soal penambahan subsidi pertanian, baik untuk benih maupun pupuk pada APBN 2014. Selama memang dibutuhkan, pihaknya siap menambah anggaran subsidi sektor pangan tahun depan.
"Kebutuhannya ada atau enggak. Pangan mau dikasih subsidi, oke sekarang ada batasnya 15 persen, tapi tergantung ada kebutuhan enggak, sejauh mana efektivitasnya," ujarnya di Jakarta, Senin (9/12).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengakui pihaknya tak berpikir untuk segera menyesuaikan pola subsidi Indonesia sesuai Paket Bali. Saat ini, bantuan benih dan pupuk, maupun operasi pasar buat komoditas beras menelan dana Rp 40 triliun. Tak sampai 10 persen dari total output pertanian nasional.
Bachrul berkilah, meski tak langsung mengikuti skema subsidi 15 persen, putusan Paket Bali akan menguntungkan dalam jangka panjang. Apalagi bila solusi itu permanen buat negara berkembang dan miskin.
"Yang penting kan kita sudah ada ruang gerak untuk kasih subsidi lebih besar. Suatu saat Indonesia kan terus bertumbuh jadi ekonomi ke-7 dunia, kan kita bisa manfaatkan, beri subsidi lebih besar untuk produk-produk kita," katanya.
Kalaupun untuk APBN 2014 subsidi pertanian mau ditambah, mengikuti keleluasaan dari WTO, maka harus dibahas bersama dalam rapat kemenko. Kementerian Perdagangan sendiri belum punya gambaran, komoditas apa yang idealnya diberi tambahan subsidi agar lebih bersaing di pasar internasional.
"Itu terkait mana produk-produk strategis yang perlu penanganan. Sekarang kan baru beras, apakah nanti kedelai, daging, tergantung rapat bersama dengan stakeholder," kata Bachrul.
Sumber
Quote:
Pemerintah yakin tidak diakali WTO soal subsidi pertanian
Merdeka.com - Kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali pekan lalu dikecam aktivis dan sejumlah ekonom karena membuka ruang impor produk pertanian dari negara maju.
Negara berkembang diberi peluang memberi subsidi hingga 15 persen dari total produk pertanian nasional hingga 4 tahun ke depan. Setelah periode itu selesai, tidak jelas apakah subsidi hanya dijalankan oleh negara berkembang dan miskin.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi membantah kekhawatiran para aktivis dan ekonom. Sebab, subsidi ini sudah lama dibahas tapi tak pernah meraih hasil di WTO. Justru, dengan adanya poin soal subsidi di Paket Bali, maka posisi negara berkembang dengan negara maju seimbang.
"Sehingga negara maju mengurangi subsidi, sedang negara berkembang dapat melakukan subsidi dalam rangka ketahanan pangan. Ini justru kemajuan, karena selama 13 tahun terakhir, WTO tidak pernah membahas isu ini, posisi subsidi yang selama ini menguntungkan negara maju jadi seimbang," ujarnya selepas rapat di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/12).
Berdasarkan KTM WTO kemarin, disepakati setelah 2014, isu subsidi akan dibahas kembali, untuk mencari solusi permanen. Bachrul yakin, dalam pertemuan berikutnya, negara maju khususnya Amerika Serikat akan memilih menghapus subsidi mereka atau akhirnya membiarkan negara miskin dan berkembang menerapkan subsidi 15 persen tanpa batas waktu.
"Subsidi selama ini enggak adil lho. Kita enggak memberi secara langsung, sementara Amerika memberikan hampir USD 100 miliar ke petani mereka. Makanya 2014 ini interim solution untuk jadi permanen," urainya.
Bachrul yakin, negara-negara G33 yang ekonominya ditopang pertanian, akan sukses mendesak negara maju untuk menyepakati subsidi bisa dipertahankan 15 persen. "Bisa dong, harus yakin, kenapa enggak," cetusnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Global Justice (IGJ) mengecam putusan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 di Bali. Tiga poin kebijakan yang populer disebut 'Paket Bali' itu dinilai tak memihak petani, dan justru mendorong setiap negara semakin membuka keran impor terhadap produk negara maju.
Dari hasil analisis IGJ terhadap draf final Paket Bali, bantuan benih dan pupuk memang bisa diberikan hingga 15 persen dari total output nasional, tapi ada jangka waktu maksimal 4 tahun.
Dikhawatirkan, kalau menjadi solusi permanen, negara maju akan menuntut agar subsidi diterapkan pada semua negara. Alhasil, situasi perdagangan produk pangan akan sama saja seperti selama ini. Bahkan berpotensi makin merugikan Indonesia, karena produk pertanian negara maju juga memperoleh subsidi sama besar dengan negara miskin.
"Sehingga keleluasaan negara kita memberi subsidi pada petani semakin sulit," kata Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik.
Sumber
Merdeka.com - Kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali pekan lalu dikecam aktivis dan sejumlah ekonom karena membuka ruang impor produk pertanian dari negara maju.
Negara berkembang diberi peluang memberi subsidi hingga 15 persen dari total produk pertanian nasional hingga 4 tahun ke depan. Setelah periode itu selesai, tidak jelas apakah subsidi hanya dijalankan oleh negara berkembang dan miskin.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi membantah kekhawatiran para aktivis dan ekonom. Sebab, subsidi ini sudah lama dibahas tapi tak pernah meraih hasil di WTO. Justru, dengan adanya poin soal subsidi di Paket Bali, maka posisi negara berkembang dengan negara maju seimbang.
"Sehingga negara maju mengurangi subsidi, sedang negara berkembang dapat melakukan subsidi dalam rangka ketahanan pangan. Ini justru kemajuan, karena selama 13 tahun terakhir, WTO tidak pernah membahas isu ini, posisi subsidi yang selama ini menguntungkan negara maju jadi seimbang," ujarnya selepas rapat di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/12).
Berdasarkan KTM WTO kemarin, disepakati setelah 2014, isu subsidi akan dibahas kembali, untuk mencari solusi permanen. Bachrul yakin, dalam pertemuan berikutnya, negara maju khususnya Amerika Serikat akan memilih menghapus subsidi mereka atau akhirnya membiarkan negara miskin dan berkembang menerapkan subsidi 15 persen tanpa batas waktu.
"Subsidi selama ini enggak adil lho. Kita enggak memberi secara langsung, sementara Amerika memberikan hampir USD 100 miliar ke petani mereka. Makanya 2014 ini interim solution untuk jadi permanen," urainya.
Bachrul yakin, negara-negara G33 yang ekonominya ditopang pertanian, akan sukses mendesak negara maju untuk menyepakati subsidi bisa dipertahankan 15 persen. "Bisa dong, harus yakin, kenapa enggak," cetusnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Global Justice (IGJ) mengecam putusan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 di Bali. Tiga poin kebijakan yang populer disebut 'Paket Bali' itu dinilai tak memihak petani, dan justru mendorong setiap negara semakin membuka keran impor terhadap produk negara maju.
Dari hasil analisis IGJ terhadap draf final Paket Bali, bantuan benih dan pupuk memang bisa diberikan hingga 15 persen dari total output nasional, tapi ada jangka waktu maksimal 4 tahun.
Dikhawatirkan, kalau menjadi solusi permanen, negara maju akan menuntut agar subsidi diterapkan pada semua negara. Alhasil, situasi perdagangan produk pangan akan sama saja seperti selama ini. Bahkan berpotensi makin merugikan Indonesia, karena produk pertanian negara maju juga memperoleh subsidi sama besar dengan negara miskin.
"Sehingga keleluasaan negara kita memberi subsidi pada petani semakin sulit," kata Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik.
Sumber
Quote:
WTO dan Pertanian Kita
KOMPAS.com - Akhir minggu lalu pertemuan tingkat menteri 159 negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-9 di Bali menelurkan kemajuan cukup menggembirakan. Kesepakatan utama meliputi keamanan pangan (food security), penyederhanaan prosedur kepabeanan yang menghambat perdagangan, dan fasilitasi perdagangan untuk mempermudah akses ekspor negara-negara miskin ke pasar negara maju.
Walaupun kesepakatan itu hanya bagian kecil dari Putaran Doha, Paket Bali merupakan kemajuan berarti dalam sejarah perjalanan WTO sejak terbentuk hampir 20 tahun silam. Kajian Peterson Institute of International Economics memperkirakan kesepakatan ini memompakan 960 miliar dollar AS dalam perekonomian global dan menciptakan 21 juta tambahan pekerja, 18 juta pekerja di antaranya di negara berkembang.
Kesepakatan tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10 persen dari output sesuai ketentuan WTO. Pelonggaran berlaku untuk empat tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin.
Apa relevansi kompromi itu bagi Indonesia? Nyaris tidak ada. Sejauh ini pemerintah sangat kikir mengalokasikan subsidi pertanian untuk memperkokoh ketahanan dan keamanan pangan. Bulog tidak melakukan operasi pasar secara berarti untuk membantu petani ketika panen dengan harga di atas harga pasar dan menjualnya kepada konsumen dengan harga terjangkau. Bulog pun tidak memperoleh subsidi dari APBN untuk melakukan operasi pasar. APBN hanya mengalokasikan subsidi pangan, pupuk, dan benih yang nilainya dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 30 triliun setahun, jauh lebih rendah ketimbang subsidi energi.
Dalam Global Food Security Index 2012 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit, Indonesia hanya menduduki urutan ke-64 dengan nilai 46,8 dari nilai tertinggi 100. Sebagai perbandingan, Malaysia di urutan ke-33, China ke-38, Thailand ke-45, Vietnam ke-55, dan Filipina ke-63.
Pemburukan ketahanan/keamanan pangan kita juga terlihat dari defisit perdagangan pangan yang sudah terjadi sejak tahun 2007. Sekalipun produksi beras dilaporkan meningkat dan pada 2012 surplus ditaksir mencapai 5,8 juta ton, impor beras tetap besar dan cenderung naik. Tahun 2011 impor beras hampir 2,5 juta ton.
Luas panen jagung dan kedelai cenderung turun dari tahun ke tahun, sementara yield naik tetapi relatif lambat. Produksi jagung relatif tak berkembang dan produksi kedelai cenderung turun. Akibatnya, impor kedua komoditas pangan ini cenderung naik. Dalam tiga tahun terakhir, impor jagung sekitar 1,5 juta ton sampai 3,2 juta ton, dan impor kedelai sekitar 1,7 juta ton sampai 2,1 juta ton. Target swasembada pangan terasa kian jauh. Tak hanya beras dan jagung, tetapi juga banyak komoditas pangan lainnya, seperti daging sapi, hortikultura, bahkan garam.
Dengan kinerja pangan yang semakin melorot, apa yang bisa kita nikmati dari kesepakatan WTO di Bali? Justru, sebaliknya, kita harus bersiap-siap menghadapi gempuran impor pangan sejalan dengan tekad WTO untuk memangkas berbagai hambatan prosedur kepabeanan. Selama ini kita terbuai dengan julukan negara agraris. Padahal, porsi lahan pertanian di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan India, China, dan Brasil, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia.
Arable land (tanah yang siap ditanami) per kapita di Indonesia hanya 0,1 hektar. Setiap tahun terjadi konversi dari lahan pertanian ke non-pertanian, sedangkan pencetakan lahan baru, khususnya untuk pertanian pangan dan hortikultura, praktis tak terjadi. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan kemerosotan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 5,1 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Penurunan terjadi di semua subsektor pertanian. Yang paling tajam dialami rumah tangga petani hortikultura sebanyak 6,3 juta, diikuti oleh rumah tangga peternakan sebanyak 5,6 juta. Jumlah penurunan di kedua subsektor ini lebih besar dibandingkan penurunan keseluruhan usaha pertanian, karena satu rumah tangga usaha pertanian dapat mengusahakan lebih dari satu subsektor usaha pertanian.
Pola penurunan jumlah rumah tangga pertanian itu mengindikasikan peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke non-pertanian. Apakah mereka berpindah ke sektor industri manufaktur?
Agaknya tidak demikian, apalagi mengingat penurunan tajam terjadi untuk rumah tangga petani gurem dan mayoritas terjadi di Jawa. Selama 2003-2013, rumah tangga petani gurem turun tajam sebanyak 4,8 juta. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah sehingga amat sulit diserap industri manufaktur. Mengingat pula industri padat karya, seperti garmen dan sepatu, kian meredup sejalan dengan kenaikan upah. Belakangan industri yang makin berkembang adalah industri padat modal dan industri yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi. Tak pelak lagi, pilihan bagi kebanyakan rumah tangga petani yang semakin terjepit kehidupannya, menyemut sebagai pekerja informal atau berusaha di sektor informal non-pertanian.
Tak ada pilihan bagi Indonesia kecuali merestorasi sektor pertanian. Selain itu, mulailah serius mengelola sumber daya maritim. Kita memiliki sumber daya kelautan melimpah: luas lautan tiga kali lebih besar daripada luas daratan, garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, dan kandungan kekayaan beraneka ragam biota laut dan potensi minyak dan gas alam. Lebih dari cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Faisal Basri, Ekonom
Sumber
KOMPAS.com - Akhir minggu lalu pertemuan tingkat menteri 159 negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-9 di Bali menelurkan kemajuan cukup menggembirakan. Kesepakatan utama meliputi keamanan pangan (food security), penyederhanaan prosedur kepabeanan yang menghambat perdagangan, dan fasilitasi perdagangan untuk mempermudah akses ekspor negara-negara miskin ke pasar negara maju.
Walaupun kesepakatan itu hanya bagian kecil dari Putaran Doha, Paket Bali merupakan kemajuan berarti dalam sejarah perjalanan WTO sejak terbentuk hampir 20 tahun silam. Kajian Peterson Institute of International Economics memperkirakan kesepakatan ini memompakan 960 miliar dollar AS dalam perekonomian global dan menciptakan 21 juta tambahan pekerja, 18 juta pekerja di antaranya di negara berkembang.
Kesepakatan tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10 persen dari output sesuai ketentuan WTO. Pelonggaran berlaku untuk empat tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin.
Apa relevansi kompromi itu bagi Indonesia? Nyaris tidak ada. Sejauh ini pemerintah sangat kikir mengalokasikan subsidi pertanian untuk memperkokoh ketahanan dan keamanan pangan. Bulog tidak melakukan operasi pasar secara berarti untuk membantu petani ketika panen dengan harga di atas harga pasar dan menjualnya kepada konsumen dengan harga terjangkau. Bulog pun tidak memperoleh subsidi dari APBN untuk melakukan operasi pasar. APBN hanya mengalokasikan subsidi pangan, pupuk, dan benih yang nilainya dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 30 triliun setahun, jauh lebih rendah ketimbang subsidi energi.
Dalam Global Food Security Index 2012 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit, Indonesia hanya menduduki urutan ke-64 dengan nilai 46,8 dari nilai tertinggi 100. Sebagai perbandingan, Malaysia di urutan ke-33, China ke-38, Thailand ke-45, Vietnam ke-55, dan Filipina ke-63.
Pemburukan ketahanan/keamanan pangan kita juga terlihat dari defisit perdagangan pangan yang sudah terjadi sejak tahun 2007. Sekalipun produksi beras dilaporkan meningkat dan pada 2012 surplus ditaksir mencapai 5,8 juta ton, impor beras tetap besar dan cenderung naik. Tahun 2011 impor beras hampir 2,5 juta ton.
Luas panen jagung dan kedelai cenderung turun dari tahun ke tahun, sementara yield naik tetapi relatif lambat. Produksi jagung relatif tak berkembang dan produksi kedelai cenderung turun. Akibatnya, impor kedua komoditas pangan ini cenderung naik. Dalam tiga tahun terakhir, impor jagung sekitar 1,5 juta ton sampai 3,2 juta ton, dan impor kedelai sekitar 1,7 juta ton sampai 2,1 juta ton. Target swasembada pangan terasa kian jauh. Tak hanya beras dan jagung, tetapi juga banyak komoditas pangan lainnya, seperti daging sapi, hortikultura, bahkan garam.
Dengan kinerja pangan yang semakin melorot, apa yang bisa kita nikmati dari kesepakatan WTO di Bali? Justru, sebaliknya, kita harus bersiap-siap menghadapi gempuran impor pangan sejalan dengan tekad WTO untuk memangkas berbagai hambatan prosedur kepabeanan. Selama ini kita terbuai dengan julukan negara agraris. Padahal, porsi lahan pertanian di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan India, China, dan Brasil, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia.
Arable land (tanah yang siap ditanami) per kapita di Indonesia hanya 0,1 hektar. Setiap tahun terjadi konversi dari lahan pertanian ke non-pertanian, sedangkan pencetakan lahan baru, khususnya untuk pertanian pangan dan hortikultura, praktis tak terjadi. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan kemerosotan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 5,1 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Penurunan terjadi di semua subsektor pertanian. Yang paling tajam dialami rumah tangga petani hortikultura sebanyak 6,3 juta, diikuti oleh rumah tangga peternakan sebanyak 5,6 juta. Jumlah penurunan di kedua subsektor ini lebih besar dibandingkan penurunan keseluruhan usaha pertanian, karena satu rumah tangga usaha pertanian dapat mengusahakan lebih dari satu subsektor usaha pertanian.
Pola penurunan jumlah rumah tangga pertanian itu mengindikasikan peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke non-pertanian. Apakah mereka berpindah ke sektor industri manufaktur?
Agaknya tidak demikian, apalagi mengingat penurunan tajam terjadi untuk rumah tangga petani gurem dan mayoritas terjadi di Jawa. Selama 2003-2013, rumah tangga petani gurem turun tajam sebanyak 4,8 juta. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah sehingga amat sulit diserap industri manufaktur. Mengingat pula industri padat karya, seperti garmen dan sepatu, kian meredup sejalan dengan kenaikan upah. Belakangan industri yang makin berkembang adalah industri padat modal dan industri yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi. Tak pelak lagi, pilihan bagi kebanyakan rumah tangga petani yang semakin terjepit kehidupannya, menyemut sebagai pekerja informal atau berusaha di sektor informal non-pertanian.
Tak ada pilihan bagi Indonesia kecuali merestorasi sektor pertanian. Selain itu, mulailah serius mengelola sumber daya maritim. Kita memiliki sumber daya kelautan melimpah: luas lautan tiga kali lebih besar daripada luas daratan, garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, dan kandungan kekayaan beraneka ragam biota laut dan potensi minyak dan gas alam. Lebih dari cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Faisal Basri, Ekonom
Sumber
Quote:
Pemerintah Akan Menambah Subsidi Pertanian Jika Dibutuhkan
Banyak yang beranggapan kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali pekan lalu yang dikecam aktivis dan sejumlah pakar ekonomi akan membuka ruang impor produk pertanian dari negara maju. Dimana hasil dari konferensi tersebut memberikan peluang kepada negara berkembang memberikan subsidi hingga 15 % dari total produk pertanian nasional mereka hingga 4 tahun ke depan dan setelah periode itu selesai, tidak ada kejelasan apakah subsidi hanya dijalankan oleh negara miskin dan berkembang.
Bachrul Chairi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri membantah kekhawatiran para aktivis dan pakar ekonomi tersebut. Dikarenakan, pembahasan tentang subsidi ini telah lama dibahas namun tidak pernah meraih kesepakatan di konferensi WTO sebelumnya. Justru, dengan adanya poin soal subsidi di konferensi Bali ini, maka posisi negara-negara berkembang dengan negara maju akan seimbang.
“Dimana negara maju akan mengurangi subsidi, negara-negara berkembang dapat melakukan subsidi dalam rangka ketahanan pangan mereka. Hal ini merupakan suatu kemajuan, karena selama 13 tahun terakhir, WTO tidak pernah membahas isu tersebut, posisi subsidi yang selama ini menguntungkan negara maju menjadi seimbang sekarang,” ujarnya selesai rapat di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/12).
Berdasarkan konferensi WTO pekan lalu, telah disepakati bahwa isu tentang subsidi akan dibahas kembali pada tahun tahun berikutnya, untuk mencari solusi permanen terhadap masalah tersebut. Bachrul meyakini, dalam pertemuan berikutnya, negara-negara maju khususnya Amerika Serikat akan memilih menghapus subsidi mereka atau akhirnya membiarkan negara miskin dan berkembang menerapkan subsidi 15 persen tanpa batas waktu yang ditentukan.
Dilain pihak, Chatib Basri, Menteri Keuangan mengatakan pemerintah tidak akan serta merta menaikkan subsidi pertanian meski WTO sudah menyepakati negara berkembang berhak memberi subsidi pertanian lebih besar hingga 15%. Ia mengaku masih akan mengkaji efektivitas subsidi tersebut terhadap pertanian kita.
“Kita akan lihat kedepannya bagaimana, ada kebutuhan atau tidak, sejauh mana efektivitasnya, begitu. Kalau tidak begitu, nanti semua akan diminta, yang tidak ada subsidinya akan diminta juga,” ujar Chatib ketika ditemui di kantornya kemarin (9/12).
Untuk menyukseskan program swasembada dan menjaga stabilitas stok pangan di negara kita, Chatib sangat setuju bahwasannya masih perlu ada campur tangan pemerintah dalam mendorong sektor pertanian. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan lebih dalam mengenai hal tersebut. “Kalau untuk komoditas pangan, seperti untuk stabilisasi pangan, memang dibutuhkan (subsidi) misalnya seberapa besar subsidi tersebut,” ungkapnya.
Saat ini pemerintah memberi subsidi dalam bidang pertanian melalui subsidi pupuk, subsidi benih, dan beberapa subsidi lainnya untuk mendukung pertanian kita. Pemerintah juga mematok harga tertentu untuk komoditas strategis dan akan melakukan intervensi jika harga tinggi, misalnya pada beras melalui Perum Bulog.
Sumber
Banyak yang beranggapan kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali pekan lalu yang dikecam aktivis dan sejumlah pakar ekonomi akan membuka ruang impor produk pertanian dari negara maju. Dimana hasil dari konferensi tersebut memberikan peluang kepada negara berkembang memberikan subsidi hingga 15 % dari total produk pertanian nasional mereka hingga 4 tahun ke depan dan setelah periode itu selesai, tidak ada kejelasan apakah subsidi hanya dijalankan oleh negara miskin dan berkembang.
Bachrul Chairi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri membantah kekhawatiran para aktivis dan pakar ekonomi tersebut. Dikarenakan, pembahasan tentang subsidi ini telah lama dibahas namun tidak pernah meraih kesepakatan di konferensi WTO sebelumnya. Justru, dengan adanya poin soal subsidi di konferensi Bali ini, maka posisi negara-negara berkembang dengan negara maju akan seimbang.
“Dimana negara maju akan mengurangi subsidi, negara-negara berkembang dapat melakukan subsidi dalam rangka ketahanan pangan mereka. Hal ini merupakan suatu kemajuan, karena selama 13 tahun terakhir, WTO tidak pernah membahas isu tersebut, posisi subsidi yang selama ini menguntungkan negara maju menjadi seimbang sekarang,” ujarnya selesai rapat di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/12).
Berdasarkan konferensi WTO pekan lalu, telah disepakati bahwa isu tentang subsidi akan dibahas kembali pada tahun tahun berikutnya, untuk mencari solusi permanen terhadap masalah tersebut. Bachrul meyakini, dalam pertemuan berikutnya, negara-negara maju khususnya Amerika Serikat akan memilih menghapus subsidi mereka atau akhirnya membiarkan negara miskin dan berkembang menerapkan subsidi 15 persen tanpa batas waktu yang ditentukan.
Dilain pihak, Chatib Basri, Menteri Keuangan mengatakan pemerintah tidak akan serta merta menaikkan subsidi pertanian meski WTO sudah menyepakati negara berkembang berhak memberi subsidi pertanian lebih besar hingga 15%. Ia mengaku masih akan mengkaji efektivitas subsidi tersebut terhadap pertanian kita.
“Kita akan lihat kedepannya bagaimana, ada kebutuhan atau tidak, sejauh mana efektivitasnya, begitu. Kalau tidak begitu, nanti semua akan diminta, yang tidak ada subsidinya akan diminta juga,” ujar Chatib ketika ditemui di kantornya kemarin (9/12).
Untuk menyukseskan program swasembada dan menjaga stabilitas stok pangan di negara kita, Chatib sangat setuju bahwasannya masih perlu ada campur tangan pemerintah dalam mendorong sektor pertanian. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan lebih dalam mengenai hal tersebut. “Kalau untuk komoditas pangan, seperti untuk stabilisasi pangan, memang dibutuhkan (subsidi) misalnya seberapa besar subsidi tersebut,” ungkapnya.
Saat ini pemerintah memberi subsidi dalam bidang pertanian melalui subsidi pupuk, subsidi benih, dan beberapa subsidi lainnya untuk mendukung pertanian kita. Pemerintah juga mematok harga tertentu untuk komoditas strategis dan akan melakukan intervensi jika harga tinggi, misalnya pada beras melalui Perum Bulog.
Sumber
Komen TS :
Semoga dengan langkah ini para petani indonesia bisa lebih berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan dalam negri jangan kebanyakan impor mulu ah :
0
3.6K
Kutip
30
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan