- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Demokrat Ambil Kesempatan dalam Kasus Banten
TS
sariflubis
Demokrat Ambil Kesempatan dalam Kasus Banten
Selama dua bulan terakhir masyarakat Indonesia disuguhkan drama kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh sebuah keluarga di Banten. Walaupun belum terbukti secara hukum dan masih bersifat dugaan, namun hembusan mengenai keluarga ini terus bergerak semakin kencang. Bahkan, media seakan mengamini apa yang menjadi prasangka KPK terhadap keluarga ini. Paling anyar, KPK bahkan menyebut dugaan kasus korupsi di Banten jika terbukti merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh keluarga.
Gubernur Banten sekarang, Ratu Atut Chosiyah, pentolan dari keluarga yang diduga melakukan korupsi tersebut. Sosok perempuan yang sudah memimpin Banten selama 13 tahun ini menjadi Sandra atas dugaan kasus suap yang dilakukan oleh adik kandungnya, Tb. Chaeri Wardhana alias Wawan. Tak main-main, Wawan juga ikut menyeret istrinya sendiri, Airin Rachmi yang juga merupakan Walkot Tangerang Selatan. Alhasil, bak efek domino, kasus yang mulanya merupakan kasus suap Pilkada Kabupaten Lebak berkembang menjadi kasus korupsi Pengadaan Alat Kesehatan Tangsel dan berkembang lagi menjadi kasus korupsi Pengadaan Alat Kesehatan Provinsi Banten.
Melihat hal tersebut, elit politik rival dari Ratu Atut mulai bergerak. Adalah Demokrat, yang merupakan seteru Golkar-PDIP di Banten ini yang gencar melakukan gebrakan “menyudutkan” Ratu Atut. Bukan tanpa pertolongan, Ratu Atut pun diberikan “dukungan” tak langsung oleh Golkar yang menyatakan bahwa Ratu Atut akan mengikuti setiap proses hukum dan Golkar akan mengawasi proses hukum yang terjadi agar tidak cacat.
Melihat celah yang sangat besar untuk menjatuhkan seterunya, Demokrat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan yaitu mendapatkan posisi Banten1, alias menjadi Gubernur Banten. Namun mengapa Banten sangat diminati oleh Demokrat? Jelas, ada unsur penguasaan populasi-suara yang ingin dicapai oleh Demokrat. Jumlah populasi suara yang dipegang Demokrat di seluruh Indonesia dengan asumsi Demokrat menjadi Kepala Daerah, adalah sebesar 67.857.718 jiwa, masih kalah dengan PDIP yang memiliki kantong suara perkiraan 73.841.218 jiwa. Jika Demokrat berhasi menguasai Banten, maka Demokrat mendapatkan asupan populasi suara Banten sebesar 10.632.166 sehingga Demokrat bisa menaikkan populasi suaranya menjadi 78.489.884 jiwa, dan PDIP menjadi 63.209.052 jiwa. Ini adalah hal besar yang diasumsikan sangat diperjuangkan oleh Demokrat dalam kasus korupsi di Banten.
Gerakan Demokrat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui statement tokoh Demokrat dan langkah legislatif di Banten. Dua langkah ini dirasa mampu untuk menjatuhkan kredibilitas Ratu Atut di Banten. Wahidin Halim, Kader Demokrat yang juga mantan Walikota Tangerang secara terbuka menyatakan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menuntaskan kasus Akil Mochtar yang merembet ke Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. KPK telah menetapkan status cegah kepada Gubernur Atut.
Lain lagi yang dilakukan oleh kader Demokrat di DPRD Banten. Pada lini DPRD/legislatif, Demokrat sengaja mempertanyakan RAPBD Banten 2014 yang diajukan oleh Atut. Anehnya, dalam DPRD tersebut hanya Demokrat yang meminta peninjauan kembali yang mana karena permintaan fraksi Demokrat ini, pemerintahan Banten tersendat kinerjanya.
Ada beberapa perkiraan yang mungkin saja bisa dilakukan oleh Demokrat untuk mendapatkan keuntungan dari kasus yang menimpa Ratu Atut dan keluarganya.
1. Demokrat bisa menutupi kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Mulyadi Jayabaya selaku mantan Bupati Lebak dan Wahidin Halim yang merupakan mantan Walikota Tangerang.
2. Demokrat memecah suara Golkar dan PDIP di Banten dengan menunggangi isu keretakan hubungan Ratu Atut dan Rano Karno
3. Berusaha untuk melakukan impeachment di DPRD Banten terhadap Ratu Atut dan Rano Karno agar turun dari kursi jabatannya. Dan mengajukan Pilkada untuk memajukan kader Demokrat Mulyadi Jayabaya atau Wahidin Halim yang pada tahun 2011 gagal bersaing dengan Ratu Atut.
4. Menggunakan isu “politik dinasti” dalam menggembosi kekuatan politik Atut di Banten yang bahkan dihembuskan oleh Ketua Umum Demokrat, SBY.
KPK sebagai pihak yang menghembuskan kasus Banten ini sebenarnya menjadi penentu apakah langkah Demokrat ini akan lancer atau tidak. Karena jika kita telusuri, ada kader Demokrat di Banten yang juga terkena kasus korupsi seperti Mulyadi Jayabaya dan Wahidin Halim. Apalagi, beberapa anggota DPRD Banten yang berasal dari fraksi Demokrat dicurigai melakukan gratifikasi. Jika KPK menyadari ini, maka Demokrat akan tersendat rencana besarnya di Banten. Apalagi, secara tidak sadar kasus Banten ini lebih menarik perhatian dari Kasus Hambalang dan Century yang sedang menimpa Demokrat, tentu Demokrat akan memainkan isu Banten ini sebagai pengalihan isu yang menimpa Demokrat.
Ratu Atut sendiri pernah menyinggung KPK mengenai penyelidikan ini. Menurut Ratu Atut yang melakukan politik dinasti bukan hanya keluarganya saja, tetapi juga keluarga Kepala Daerah yang ada di Banten, yaitu keluarga Wahidin Halim, Ismet, Mulyadi Jayabaya, dan keluarga Natakusuma di Pandeglang. Dari pernyataan tersebut Ratu Atut juga meminta KPK untuk menyelidiki kasus keluarga lainnya agar adil.
Yah, bagaimana kelanjutannya. Kita tunggu saja kelanjutan drama politik yang ada di Banten ini.
Gubernur Banten sekarang, Ratu Atut Chosiyah, pentolan dari keluarga yang diduga melakukan korupsi tersebut. Sosok perempuan yang sudah memimpin Banten selama 13 tahun ini menjadi Sandra atas dugaan kasus suap yang dilakukan oleh adik kandungnya, Tb. Chaeri Wardhana alias Wawan. Tak main-main, Wawan juga ikut menyeret istrinya sendiri, Airin Rachmi yang juga merupakan Walkot Tangerang Selatan. Alhasil, bak efek domino, kasus yang mulanya merupakan kasus suap Pilkada Kabupaten Lebak berkembang menjadi kasus korupsi Pengadaan Alat Kesehatan Tangsel dan berkembang lagi menjadi kasus korupsi Pengadaan Alat Kesehatan Provinsi Banten.
Melihat hal tersebut, elit politik rival dari Ratu Atut mulai bergerak. Adalah Demokrat, yang merupakan seteru Golkar-PDIP di Banten ini yang gencar melakukan gebrakan “menyudutkan” Ratu Atut. Bukan tanpa pertolongan, Ratu Atut pun diberikan “dukungan” tak langsung oleh Golkar yang menyatakan bahwa Ratu Atut akan mengikuti setiap proses hukum dan Golkar akan mengawasi proses hukum yang terjadi agar tidak cacat.
Melihat celah yang sangat besar untuk menjatuhkan seterunya, Demokrat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan yaitu mendapatkan posisi Banten1, alias menjadi Gubernur Banten. Namun mengapa Banten sangat diminati oleh Demokrat? Jelas, ada unsur penguasaan populasi-suara yang ingin dicapai oleh Demokrat. Jumlah populasi suara yang dipegang Demokrat di seluruh Indonesia dengan asumsi Demokrat menjadi Kepala Daerah, adalah sebesar 67.857.718 jiwa, masih kalah dengan PDIP yang memiliki kantong suara perkiraan 73.841.218 jiwa. Jika Demokrat berhasi menguasai Banten, maka Demokrat mendapatkan asupan populasi suara Banten sebesar 10.632.166 sehingga Demokrat bisa menaikkan populasi suaranya menjadi 78.489.884 jiwa, dan PDIP menjadi 63.209.052 jiwa. Ini adalah hal besar yang diasumsikan sangat diperjuangkan oleh Demokrat dalam kasus korupsi di Banten.
Gerakan Demokrat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui statement tokoh Demokrat dan langkah legislatif di Banten. Dua langkah ini dirasa mampu untuk menjatuhkan kredibilitas Ratu Atut di Banten. Wahidin Halim, Kader Demokrat yang juga mantan Walikota Tangerang secara terbuka menyatakan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menuntaskan kasus Akil Mochtar yang merembet ke Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. KPK telah menetapkan status cegah kepada Gubernur Atut.
Lain lagi yang dilakukan oleh kader Demokrat di DPRD Banten. Pada lini DPRD/legislatif, Demokrat sengaja mempertanyakan RAPBD Banten 2014 yang diajukan oleh Atut. Anehnya, dalam DPRD tersebut hanya Demokrat yang meminta peninjauan kembali yang mana karena permintaan fraksi Demokrat ini, pemerintahan Banten tersendat kinerjanya.
Ada beberapa perkiraan yang mungkin saja bisa dilakukan oleh Demokrat untuk mendapatkan keuntungan dari kasus yang menimpa Ratu Atut dan keluarganya.
1. Demokrat bisa menutupi kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Mulyadi Jayabaya selaku mantan Bupati Lebak dan Wahidin Halim yang merupakan mantan Walikota Tangerang.
2. Demokrat memecah suara Golkar dan PDIP di Banten dengan menunggangi isu keretakan hubungan Ratu Atut dan Rano Karno
3. Berusaha untuk melakukan impeachment di DPRD Banten terhadap Ratu Atut dan Rano Karno agar turun dari kursi jabatannya. Dan mengajukan Pilkada untuk memajukan kader Demokrat Mulyadi Jayabaya atau Wahidin Halim yang pada tahun 2011 gagal bersaing dengan Ratu Atut.
4. Menggunakan isu “politik dinasti” dalam menggembosi kekuatan politik Atut di Banten yang bahkan dihembuskan oleh Ketua Umum Demokrat, SBY.
KPK sebagai pihak yang menghembuskan kasus Banten ini sebenarnya menjadi penentu apakah langkah Demokrat ini akan lancer atau tidak. Karena jika kita telusuri, ada kader Demokrat di Banten yang juga terkena kasus korupsi seperti Mulyadi Jayabaya dan Wahidin Halim. Apalagi, beberapa anggota DPRD Banten yang berasal dari fraksi Demokrat dicurigai melakukan gratifikasi. Jika KPK menyadari ini, maka Demokrat akan tersendat rencana besarnya di Banten. Apalagi, secara tidak sadar kasus Banten ini lebih menarik perhatian dari Kasus Hambalang dan Century yang sedang menimpa Demokrat, tentu Demokrat akan memainkan isu Banten ini sebagai pengalihan isu yang menimpa Demokrat.
Ratu Atut sendiri pernah menyinggung KPK mengenai penyelidikan ini. Menurut Ratu Atut yang melakukan politik dinasti bukan hanya keluarganya saja, tetapi juga keluarga Kepala Daerah yang ada di Banten, yaitu keluarga Wahidin Halim, Ismet, Mulyadi Jayabaya, dan keluarga Natakusuma di Pandeglang. Dari pernyataan tersebut Ratu Atut juga meminta KPK untuk menyelidiki kasus keluarga lainnya agar adil.
Yah, bagaimana kelanjutannya. Kita tunggu saja kelanjutan drama politik yang ada di Banten ini.
0
719
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan