- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
30 Tahun Mengajar Silat di Jerman


TS
dee.eel
30 Tahun Mengajar Silat di Jerman
Octav Dirgantara Setiadji, 30 Tahun Mengajar Silat di Jerman
Quote:
INTRODUCTION

MAHAGURU: Octav Dirgantara Setiadji (tengah, baju hitam) di antara murid-muridnya di markas Sigepi Institut. FOTO M. SALSABYL/JPNN
STORY
Quote:
Uang Pensiun untuk Dirikan Sigepi Institut
Pencak silat ternyata sudah mendunia. Buktinya, bela diri itu kini ada di mana-mana. Salah satunya di Berlin, Jerman. Lewat Sigepi (Silat Gerakan Pilihan) Institut, pencak silat cukup diminati warga setempat. Berikut catatan wartawan Jawa Pos (grup Radar Lampung) M. Salsabyl yang belum lama ini menemui pendiri Sigepi, Octav Dirgantara Setiadji, di Berlin.
CUACA Berlin malam itu (6/3) cukup membuat Octav Dirgantara Setiadji (66) kedinginan. Meski sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman, dia tetap tidak mampu menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Dengan jaket tebal yang membungkus tubuh, Octav buru-buru masuk ke gedung di kawasan Rheinstrasse, Berlin.

SiGePi (Silat Gerak Pilihan) di Berlin
Pendiri SiGePi Institut di Berlin, Octav Setiadji, menggabungkan gerak jurus pilihan yang diambil dari beberapa aliran pencak silat yang terkenal di Indonesia. Setiadji mulai memperkenalkan SiGePi (Silat Gerak Pilihan) pada tahun 1976 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Suasana agak hangat terasa di lantai dua gedung itu. Ya, di salah satu ruangan di lantai tersebut terdapat markas Sigepi Institut. Begitu keluar dari lift, tamu langsung ketemu front office dengan meja counter dan beberapa kursi tunggu. Dinding-dinding ruangan itu dihiasi foto-foto Octav pada masa muda ketika badannya masih tegap. Banyak juga potret para pesilat bule, murid Octav.

Bermodalkan Uang Pensiun
Tahun 2011 Octav Setiadji mendirikan SiGePi Institut di daerah Berlin-Steglitz dengan modal uang pensiun dari pekerjaannya di bagian imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin. Setiadji sempat mendapat kendala dalam mendirikan perusahaan di Jerman dengan paspor Indonesia, namun niatnya untuk mendirikan perguruan silat pertama di Jerman akhirnya terwujud.
Setelah menjabat tangan Jawa Pos, Octav langsung duduk di mejanya, membuka komputer dan browsing internet. ’’Ini yang saya ceritakan tadi. Yang ini video di YouTube ujian Sigepi. Itu foto-foto murid saya dari berbagai tempat. Kami berkomunikasi lewat internet,” ujarnya sambil terus membuka tautan-tautan di website resmi Sigepi Institut.

Duta Budaya Indonesia
Tahun 1981 Octav Setiadji berangkat ke Jerman untuk memperkenalkan pencak silat. "Jangankan pencak silat, Indonesia saja tidak dikenal, mereka tahunya Bali," ungkap Setiadji. Dengan bantuan PPI, Setiadji mendapat ruangan mengajar di TU Berlin dan 60 murid. "Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia-nya semakin sedikit, Jerman-nya semakin banyak," lanjut Setiadji yang kini memiliki hingga 600 murid.
Tak lama kemudian, seorang perempuan memasuki ruangan. Melihat sosok Octav, dia langsung mendekat ke konter. Perempuan berambut cokelat itu memberikan salam ala pencak silat kepada Octav. Badannya dibungkukkan dengan telapak tangan kanan di dada. Sapaan tersebut disambut Octav dengan jabat tangan dan ciuman pipi.
Setelah itu, murid-murid yang lain terus berdatangan. ’’Di sini memang saya terapkan tata cara Indonesia. Mereka boleh melakukan apa saja di luar. Tetapi, kalau sudah di sini, mereka harus bersikap seperti seorang murid yang sedang berguru silat,” ujar pria yang baru kehilangan sang istri tercinta tahun lalu itu.
Pukul 18.30, sebanyak 13 murid yang sudah berkostum silat masuk ke ruang latihan di sebelah front office. Disusul kemudian sang guru, Meister Octav –begitu dia dipanggil murid-muridnya. Setelah itu, latihan pun dimulai. Diawali dengan pemanasan lari-lari keliling ruangan, peregangan otot, lalu mengulang jurus-jurus yang sudah diberikan pada latihan sebelumnya.
Tak lama kemudian, musik pengiring dibunyikan dari tape recorder. Iramanya rancak kendang Jawa Baratan. Dengan musik pengiring itu, satu per satu murid membuat gerakan sesuai jurus-jurus yang telah diajarkan. Octav mengamati setiap gerakan sang murid dari jauh. Dia memang sudah jarang melatih langsung. Sejak beberapa tahun lalu, tanggung jawab melatih diberikan kepada murid-murid terbaiknya.

Foto Zaman Dahulu
Cikal bakal SiGePi Institut tahun 1991 di Berlin berfoto bersama Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Akbar Tandjung, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Hasjim Djalal, dan Konsul Jenderal Oetaryo.
’’Mereka sudah bisa mengajar karena telah banyak pengalaman. Ada yang sudah 15 tahun belajar pencak silat,” jelasnya.
Dari ucapan tersebut, sudah jelas bahwa perjalanan hidup Octav di Berlin tidak sekejap. Ya, Oktav hijrah ke Jerman sejak 1980. Waktu itu, dia sudah malang melintang di dunia persilatan Indonesia. Bahkan, bakatnya dalam seni bela diri tersebut pernah membuat dirinya menjadi fighting director (pengarah adegan pertarungan dalam film) pada era 1970-an.
’’Boleh dikatakan, saya adalah fighting director pertama di Indonesia. Sebab, sebelum itu, kebanyakan film bertema drama,” imbuh pria yang mulai belajar bela diri di perguruan Perisai Diri tersebut.
Sayangnya, dunia perfilman pada akhir ’70-an terus menurun. Octav pun berpikir untuk mencari peluang baru. Kebetulan, dia bertemu teman sekaligus mantan muridnya yang bekerja di Jerman. Saat itu, ide untuk mengajar pencak silat di Jerman pun tercetus. Alhasil, dengan tekad bulat, Octav rela meninggalkan istri dan empat anaknya di Indonesia untuk mengejar karir di Jerman.
’’Kali pertama ke sini (Berlin, Red), saya tak tahu harus bagaimana. Jangankan pencak silat, Indonesia saja sama sekali belum dikenal waktu itu. Saya sampai harus mendapatkan mosi dari teman-teman saya agar pemerintah Jerman mengizinkan saya bekerja,” ceritanya.

Aliran Pencak Silat di Jerman
Setiap tahun SiGePi Institut menggelar ujian kenaikan sabuk sebagai motivasi belajar untuk bertanding dan kenaikan tingkat. Maret 2014, SiGePi Institut rencananya menggelar kejuaraan se-Jerman. Menurut Octav Setiadji, ada 10 aliran pencak silat di Jerman, seperti Tapak Suci, SiGePi dan Perisai Diri: "Yang penting setiap aliran itu maju dan bagus agar budaya Indonesia digemari orang Jerman."
Untungnya, pekerjaan Octav menjadi mudah setelah mendapat izin dari pemerintah Jerman. Dia masih ingat, kelas pertama tempat dirinya mengajar ada di sekolah bela diri Jepang, Budokan Sportschule. Waktu itu, dia menerima sekitar 60 murid. ’’Setelah itu, saya menjadi guru di sekolah lain. Yakni, Randori Sportcshule dan Berd Grossmann Sportschule,” jelasnya.
Namun, tidak berarti hidup Octav menjadi mudah dan tenang. Secara finansial, itu memang mungkin. Sebab, gaji sebagai guru silat saat itu sudah lebih dari cukup untuk hidup sendiri dan mengirim sebagian untuk keluarga di Indonesia. Tetapi, kerinduan pria tersebut kepada istri dan empat anaknya sulit dibendung.
’’Dua tahun saya sendirian di Jerman. Apalagi, saya bukan diplomat, sehingga tidak boleh mengajak keluarga. Syukurlah, konsulat Berlin akhirnya memberi saya pekerjaan. Dengan begitu, saya bisa membawa istri dan anak-anak ke Berlin,” ucap dia.
Kehidupan tersebut terus dijalani hingga Octav memutuskan untuk mendirikan Sigepi Institut pada 2011. Saat itu, Octav yang baru pensiun dari KJRI Berlin langsung menghabiskan dana sekitar EUR 70.000 (Rp912 juta, kurs EUR 1 = Rp12 ribu) untuk menyewa satu flat seluas 400 meter persegi. Flat itulah yang kemudian dijadikan markas Sigepi Institut. Dana tersebut merupakan tabungannya plus sekitar EUR 14 ribu (Rp182 juta) utang dari pihak ketiga.

Berawal dari Fight Choreographer
Octav Setiadji juga pernah menjadi Fight Choreographer untuk Perfilman Nasional Indonesia pada tahun 70-an. Ia pernah terlibat dalam 15 produksi film nasional, salah satunya "Si Buta dari Gua Hantu." Setiadji mengaku memanfaatkan kesempatan syuting film untuk belajar dan saling bertukar ilmu dengan para pendekar beladiri baik dari dalam maupun luar negeri.
"Tahun lalu siswa saya baru 40 orang. Tapi, sekarang sudah sekitar 150 orang, sehingga mampu untuk membiayai operasi Sigepi," ujarnya.
Meski muridnya kini banyak, Octav belum bisa bangga. Sebab, kakek delapan cucu itu prihatin karena sangat sedikit orang Indonesia yang mau belajar pencak silat. Justru orang asing yang menggebu berlatih warisan budaya nenek moyang orang Indonesia itu.
"Di antara seluruh murid saya, 98 persen orang asing. Orang Indonesia tak sampai sepuluh," ungkapnya.
Padahal, warga negara Indonesia yang berdomisili di Berlin tak bisa dikatakan sedikit. Maklum, Berlin merupakan salah satu tujuan utama para mahasiswa dan orang Indonesia yang mencari pekerjaan. "Orang Indonesia yang tinggal di sini justru memilih bela diri lain. Misalnya, taekwondo. Padahal, mereka juga tahu bahwa di sini ada tempat latihan pencak silat," ujarnya.

Diplomasi Budaya
Pengurus dan anggota SiGePi Institut berfoto bersama Duta Besar Indonesia untuk Jerman 2009-2013, Eddy Pratomo. SiGePi Institut di Berlin mendapat dukungan KBRI karena dianggap sebagai bentuk diplomasi budaya Indonesia di Jerman. Tahun 2013, mereka sempat tampil di hadapan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pameran turisme ITB di Berlin.
Menurut Octav, pencak silat harus menghilangkan beberapa image kuno. Misalnya, pendekar silat mesti berkumis tebal dan berwajah garang. Atau, gambaran tukang silat yang suka mencari gara-gara. "Sekarang zamannya sudah berbeda. Orang-orang sekarang ingin belajar bela diri untuk kesehatan. Tidak untuk kelahi," tegasnya.
Hal itu terbukti selama dia mengajar silat di Berlin. Meski Octav mendapat banyak murid, tak semua ilmu yang diberikan diterima muridnya. "Saya pertama belajar bela diri di Perisai Diri yang banyak menggunakan tenaga pernapasan, sehingga terkesan sedikit mistis. Tapi, murid saya di sini nggak ada yang mau belajar itu," ujar Octav. (jpnn/p6/c1/fik)
Pencak silat ternyata sudah mendunia. Buktinya, bela diri itu kini ada di mana-mana. Salah satunya di Berlin, Jerman. Lewat Sigepi (Silat Gerakan Pilihan) Institut, pencak silat cukup diminati warga setempat. Berikut catatan wartawan Jawa Pos (grup Radar Lampung) M. Salsabyl yang belum lama ini menemui pendiri Sigepi, Octav Dirgantara Setiadji, di Berlin.
CUACA Berlin malam itu (6/3) cukup membuat Octav Dirgantara Setiadji (66) kedinginan. Meski sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman, dia tetap tidak mampu menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Dengan jaket tebal yang membungkus tubuh, Octav buru-buru masuk ke gedung di kawasan Rheinstrasse, Berlin.
Spoiler for foto:

SiGePi (Silat Gerak Pilihan) di Berlin
Pendiri SiGePi Institut di Berlin, Octav Setiadji, menggabungkan gerak jurus pilihan yang diambil dari beberapa aliran pencak silat yang terkenal di Indonesia. Setiadji mulai memperkenalkan SiGePi (Silat Gerak Pilihan) pada tahun 1976 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Suasana agak hangat terasa di lantai dua gedung itu. Ya, di salah satu ruangan di lantai tersebut terdapat markas Sigepi Institut. Begitu keluar dari lift, tamu langsung ketemu front office dengan meja counter dan beberapa kursi tunggu. Dinding-dinding ruangan itu dihiasi foto-foto Octav pada masa muda ketika badannya masih tegap. Banyak juga potret para pesilat bule, murid Octav.
Spoiler for Bermodalkan Uang Pensiun:

Bermodalkan Uang Pensiun
Tahun 2011 Octav Setiadji mendirikan SiGePi Institut di daerah Berlin-Steglitz dengan modal uang pensiun dari pekerjaannya di bagian imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin. Setiadji sempat mendapat kendala dalam mendirikan perusahaan di Jerman dengan paspor Indonesia, namun niatnya untuk mendirikan perguruan silat pertama di Jerman akhirnya terwujud.
Setelah menjabat tangan Jawa Pos, Octav langsung duduk di mejanya, membuka komputer dan browsing internet. ’’Ini yang saya ceritakan tadi. Yang ini video di YouTube ujian Sigepi. Itu foto-foto murid saya dari berbagai tempat. Kami berkomunikasi lewat internet,” ujarnya sambil terus membuka tautan-tautan di website resmi Sigepi Institut.
Spoiler for Duta Budaya Indonesia:

Duta Budaya Indonesia
Tahun 1981 Octav Setiadji berangkat ke Jerman untuk memperkenalkan pencak silat. "Jangankan pencak silat, Indonesia saja tidak dikenal, mereka tahunya Bali," ungkap Setiadji. Dengan bantuan PPI, Setiadji mendapat ruangan mengajar di TU Berlin dan 60 murid. "Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia-nya semakin sedikit, Jerman-nya semakin banyak," lanjut Setiadji yang kini memiliki hingga 600 murid.
Tak lama kemudian, seorang perempuan memasuki ruangan. Melihat sosok Octav, dia langsung mendekat ke konter. Perempuan berambut cokelat itu memberikan salam ala pencak silat kepada Octav. Badannya dibungkukkan dengan telapak tangan kanan di dada. Sapaan tersebut disambut Octav dengan jabat tangan dan ciuman pipi.
Setelah itu, murid-murid yang lain terus berdatangan. ’’Di sini memang saya terapkan tata cara Indonesia. Mereka boleh melakukan apa saja di luar. Tetapi, kalau sudah di sini, mereka harus bersikap seperti seorang murid yang sedang berguru silat,” ujar pria yang baru kehilangan sang istri tercinta tahun lalu itu.
Pukul 18.30, sebanyak 13 murid yang sudah berkostum silat masuk ke ruang latihan di sebelah front office. Disusul kemudian sang guru, Meister Octav –begitu dia dipanggil murid-muridnya. Setelah itu, latihan pun dimulai. Diawali dengan pemanasan lari-lari keliling ruangan, peregangan otot, lalu mengulang jurus-jurus yang sudah diberikan pada latihan sebelumnya.
Tak lama kemudian, musik pengiring dibunyikan dari tape recorder. Iramanya rancak kendang Jawa Baratan. Dengan musik pengiring itu, satu per satu murid membuat gerakan sesuai jurus-jurus yang telah diajarkan. Octav mengamati setiap gerakan sang murid dari jauh. Dia memang sudah jarang melatih langsung. Sejak beberapa tahun lalu, tanggung jawab melatih diberikan kepada murid-murid terbaiknya.
Spoiler for Foto Zaman Dahulu:

Foto Zaman Dahulu
Cikal bakal SiGePi Institut tahun 1991 di Berlin berfoto bersama Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Akbar Tandjung, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Hasjim Djalal, dan Konsul Jenderal Oetaryo.
’’Mereka sudah bisa mengajar karena telah banyak pengalaman. Ada yang sudah 15 tahun belajar pencak silat,” jelasnya.
Dari ucapan tersebut, sudah jelas bahwa perjalanan hidup Octav di Berlin tidak sekejap. Ya, Oktav hijrah ke Jerman sejak 1980. Waktu itu, dia sudah malang melintang di dunia persilatan Indonesia. Bahkan, bakatnya dalam seni bela diri tersebut pernah membuat dirinya menjadi fighting director (pengarah adegan pertarungan dalam film) pada era 1970-an.
’’Boleh dikatakan, saya adalah fighting director pertama di Indonesia. Sebab, sebelum itu, kebanyakan film bertema drama,” imbuh pria yang mulai belajar bela diri di perguruan Perisai Diri tersebut.
Sayangnya, dunia perfilman pada akhir ’70-an terus menurun. Octav pun berpikir untuk mencari peluang baru. Kebetulan, dia bertemu teman sekaligus mantan muridnya yang bekerja di Jerman. Saat itu, ide untuk mengajar pencak silat di Jerman pun tercetus. Alhasil, dengan tekad bulat, Octav rela meninggalkan istri dan empat anaknya di Indonesia untuk mengejar karir di Jerman.
’’Kali pertama ke sini (Berlin, Red), saya tak tahu harus bagaimana. Jangankan pencak silat, Indonesia saja sama sekali belum dikenal waktu itu. Saya sampai harus mendapatkan mosi dari teman-teman saya agar pemerintah Jerman mengizinkan saya bekerja,” ceritanya.
Spoiler for Aliran Pencak Silat di Jerman:

Aliran Pencak Silat di Jerman
Setiap tahun SiGePi Institut menggelar ujian kenaikan sabuk sebagai motivasi belajar untuk bertanding dan kenaikan tingkat. Maret 2014, SiGePi Institut rencananya menggelar kejuaraan se-Jerman. Menurut Octav Setiadji, ada 10 aliran pencak silat di Jerman, seperti Tapak Suci, SiGePi dan Perisai Diri: "Yang penting setiap aliran itu maju dan bagus agar budaya Indonesia digemari orang Jerman."
Untungnya, pekerjaan Octav menjadi mudah setelah mendapat izin dari pemerintah Jerman. Dia masih ingat, kelas pertama tempat dirinya mengajar ada di sekolah bela diri Jepang, Budokan Sportschule. Waktu itu, dia menerima sekitar 60 murid. ’’Setelah itu, saya menjadi guru di sekolah lain. Yakni, Randori Sportcshule dan Berd Grossmann Sportschule,” jelasnya.
Namun, tidak berarti hidup Octav menjadi mudah dan tenang. Secara finansial, itu memang mungkin. Sebab, gaji sebagai guru silat saat itu sudah lebih dari cukup untuk hidup sendiri dan mengirim sebagian untuk keluarga di Indonesia. Tetapi, kerinduan pria tersebut kepada istri dan empat anaknya sulit dibendung.
’’Dua tahun saya sendirian di Jerman. Apalagi, saya bukan diplomat, sehingga tidak boleh mengajak keluarga. Syukurlah, konsulat Berlin akhirnya memberi saya pekerjaan. Dengan begitu, saya bisa membawa istri dan anak-anak ke Berlin,” ucap dia.
Kehidupan tersebut terus dijalani hingga Octav memutuskan untuk mendirikan Sigepi Institut pada 2011. Saat itu, Octav yang baru pensiun dari KJRI Berlin langsung menghabiskan dana sekitar EUR 70.000 (Rp912 juta, kurs EUR 1 = Rp12 ribu) untuk menyewa satu flat seluas 400 meter persegi. Flat itulah yang kemudian dijadikan markas Sigepi Institut. Dana tersebut merupakan tabungannya plus sekitar EUR 14 ribu (Rp182 juta) utang dari pihak ketiga.
Spoiler for Berawal dari Fight Choreographer:

Berawal dari Fight Choreographer
Octav Setiadji juga pernah menjadi Fight Choreographer untuk Perfilman Nasional Indonesia pada tahun 70-an. Ia pernah terlibat dalam 15 produksi film nasional, salah satunya "Si Buta dari Gua Hantu." Setiadji mengaku memanfaatkan kesempatan syuting film untuk belajar dan saling bertukar ilmu dengan para pendekar beladiri baik dari dalam maupun luar negeri.
"Tahun lalu siswa saya baru 40 orang. Tapi, sekarang sudah sekitar 150 orang, sehingga mampu untuk membiayai operasi Sigepi," ujarnya.
Meski muridnya kini banyak, Octav belum bisa bangga. Sebab, kakek delapan cucu itu prihatin karena sangat sedikit orang Indonesia yang mau belajar pencak silat. Justru orang asing yang menggebu berlatih warisan budaya nenek moyang orang Indonesia itu.
"Di antara seluruh murid saya, 98 persen orang asing. Orang Indonesia tak sampai sepuluh," ungkapnya.
Padahal, warga negara Indonesia yang berdomisili di Berlin tak bisa dikatakan sedikit. Maklum, Berlin merupakan salah satu tujuan utama para mahasiswa dan orang Indonesia yang mencari pekerjaan. "Orang Indonesia yang tinggal di sini justru memilih bela diri lain. Misalnya, taekwondo. Padahal, mereka juga tahu bahwa di sini ada tempat latihan pencak silat," ujarnya.
Spoiler for nn:

Diplomasi Budaya
Pengurus dan anggota SiGePi Institut berfoto bersama Duta Besar Indonesia untuk Jerman 2009-2013, Eddy Pratomo. SiGePi Institut di Berlin mendapat dukungan KBRI karena dianggap sebagai bentuk diplomasi budaya Indonesia di Jerman. Tahun 2013, mereka sempat tampil di hadapan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pameran turisme ITB di Berlin.
Menurut Octav, pencak silat harus menghilangkan beberapa image kuno. Misalnya, pendekar silat mesti berkumis tebal dan berwajah garang. Atau, gambaran tukang silat yang suka mencari gara-gara. "Sekarang zamannya sudah berbeda. Orang-orang sekarang ingin belajar bela diri untuk kesehatan. Tidak untuk kelahi," tegasnya.
Hal itu terbukti selama dia mengajar silat di Berlin. Meski Octav mendapat banyak murid, tak semua ilmu yang diberikan diterima muridnya. "Saya pertama belajar bela diri di Perisai Diri yang banyak menggunakan tenaga pernapasan, sehingga terkesan sedikit mistis. Tapi, murid saya di sini nggak ada yang mau belajar itu," ujar Octav. (jpnn/p6/c1/fik)
DATA PENDUKUNG
DATA PENDUKUNG
Quote:
SALAM
RATE 5 YAH GAN
CENDOLNYA BAGI YAH GAN
RATE 5 YAH GAN

CENDOLNYA BAGI YAH GAN

NB : Semoga aja pencak silat budaya indonesia tidak d klaim oleh jerman menjadi budaya mereka
Diubah oleh dee.eel 07-12-2013 23:13
0
4.9K
Kutip
41
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan