It’s true, bahwa sebuah rockumentary, seringnya berupa selebrasi terhadap ketenaran sebuah band atau sosok, mostly phenomenal ones, dibalik perjalanan degup kencang musik rock-nya. Overlaps with concert sequences or live performances, tapi juga bukan sekedar concert videos. Bahwa ada batasan porsi dokumentasi dari banyak elemen serta sudut pandang selayaknya dokumenter, genre ini menjadi crossover dari gelaran konser dan more backstage access, where mostly the fans could explore more about the subjects.

Tapi mari lupakan batasan-batasan definitif itu. In terms of movies, banyak effort melalui pendekatan berbeda untuk menyorot apa yang menjadi pilihan penceritaan filmmaker-nya. Dari rekaman-rekaman faktual bahkan metafora filmis yang jauh lebih absurd seperti ‘Pink Floyd’s The Wall’ atau ‘Metallica : Through The Never’ barusan, semua bisa kemana saja. Anything goes, dengan visi-visi berbeda dari pembuatnya, tapi yang terpenting, ada satu hal yang tak boleh tidak harus tergelar dengan jelas di dalamnya, sekaligus menjadi jiwa dalam wrapping keseluruhannya. Kenapa fans-nya pantas begitu mendukung dan memuja mereka lebih dari sekedar pahlawan.

Di tangan Putrama Tuta dari ‘Catatan Harian Si Boy’, proses dan perjalanan panjang ‘NOAH’, once known as ‘Peterpan’, yang sekaligus menjadi suguhan rockumentary layar lebar pertama kita ini, lebih berupa sebuah backstage rockumentary yang lebih pure seperti ‘In Bed With Madonna’ atau ‘Metallica : Some Kind Of Monster’ yang menolak untuk lebih berkompromi. That it’ll bumped to many kinds of reception, semua adalah pilihan. But once again, rockumentary doesnt have to be all concert sequence with full length-hits. Silahkan menonton konsernya, melihat video-video performance-nya, yang dengan mudah bisa didapat dimana saja, tapi ini, jauh lebih dalam dari sekedar live performance.

Revisiting the conflicts among personnels, dibawah tekanan atas ketenaran instan di awal debut rekaman band Peterpan 2 tahun setelah terbentuk yang berlanjut lebih dan lebih lagi, ‘Awal Semula’ dimulai dengan konsekuensi konfliknya terhadap nama itu. Antara Andika dan Indra yang terpaksa dilepas dan Lukman, Uki, Reza serta Nazril Irham a.k.a. Ariel yang bertahan dengan sebuah awal dan nama baru. Namun menjelang dikumandangkannya nama itu, mereka terpuruk ke dasar paling dalam atas kasus yang menimpa Ariel dan mengharuskannya mendekam di penjara selama dua tahun. Disinilah hubungan mereka teruji, dibalik ekses-ekses yang turut menimpa orang-orang terdekat band-nya, termasuk bergabungnya David sebagai kekuatan baru di dalamnya. Toh mereka mencoba bangkit kembali diatas sebuah keyakinan kuat, bahkan saat lagi-lagi David harus melawan problem kesehatannya, bahwa satu-satunya jalan adalah membawa ‘NOAH’ ke level lebih lagi, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya

Unmasking satu-persatu personil hingga kru dan manajemen mereka lewat footage-footage yang dirangkai dengan kuat oleh editing Cesa David Luckmansyah, Aline Jusria dan Faesal Rizal, Tuta membawa kita menelusuri perjalanan ini dengan detil-detil yang terasa sangat jujur, bahkan tanpa harus didistraksi dengan sekuens-sekuens konser berisi full-length hits mereka, yang sekilas boleh jadi tampil jadi sekedar latar namun bersama tambahan scoring dari Aghi Narottama dan sound design Khikmawan Santosa berhasil menekankan emosinya jauh lebih dari itu. Bahwa Ariel dkk kemudian memilih untuk tak menyerah dan berjuang di tengah masalah-masalah berat itu memang adalah fokus utamanya, semua tergambar sangat kuat dalam sorotan-sorotan yang dipilih. Dari rancangan unik konsep yang kita dengar di album instrumental ‘Suara Lainnya’, dengan bantuan violin maestro Idris Sardi ke gebrakan live tour ke banyak negara secara tak main-main selepas Ariel kembali bergabung di tengah-tengah rekannya.

Memang, bagi sebagian orang, ‘Awal Semula’ akan jadi sebuah penuturan tak biasa yang mungkin di luarnya akan terlihat bagai behind the scenes documentary yang menyisakan hanya rehearsal sessions tanpa stage performance, yang dinantikan sebagian pemirsanya, but if you’re willing to look a little deeper, rangkaian footage dari rekaman lama yang dibiarkan se-raw mungkin demi menampilkan kesan realistik tanpa rekayasa hingga eksplorasi aktual dalam penekanan dokumenternya juga menjadi jauh lebih solid. Tak ada dramatisasi berlebihan, dan ini yang terpenting. Bahwa petikan gitar, tabuhan drum, betotan bass, pencetan tuts keyboard hingga tarikan suara para personil yang di-capture Tuta secara efektif dalam durasi singkatnya sungguh-sungguh berhasil menerjemahkan keteguhan luarbiasa dalam kecintaan mereka atas profesi serta konsekuensi pilihannya. Ketenaran instan di awal karir mereka boleh jadi sudah mengubur nama ‘Peterpan’ dalam-dalam, tapi ‘NOAH’, kini berdiri diatas sebuah kekuatan konsep, as a greater new beginning.

Pilihan akhir scene ending yang kabarnya dipenuhi perdebatan itu juga justru membuat nafas perjuangan itu jadi tergelar jauh lebih kuat. That in the end, nama NOAH yang kerap mereka artikan sebagai membuat nyaman, memberi ketenangan dan panjang umur itu sekaligus meletakkan penekanan terhadap sebuah awal baru dari perjalanan panjang yang belum lagi bakal berakhir, dengan victorious feels yang jauh lebih terasa, mostly di tengah dukungan para fans setianya. Dan disitulah rockumentary ini benar-benar melengkapi keunikan cara bertuturnya. More than just a journey, it captured the deepest passion of musical souls. Truthfully, keren sekali!