jundi17jundiAvatar border
TS
jundi17jundi
Ketika Supir Penolong Dipidana 11 Bulan
Fenomena tragis dan unik terjadi lagi di negeri ini. Ketika seorang supir berjiwa sosial sedang menolong korban kecelakaan di jalan justru disalahkan dan dipenjara selama 11 bulan hanya karena dakwaan yang aneh dan lucu yang mengakibatkan kematian korban. Padahal banyak saksi ahli menyebutkan bahwa penyebab kematian korban yang ditolong adalah kejadian yang diluar kuasa manusia. Namun karena yang melakukan dakwaan tersebut adalah hakim senior dan berintegritas tinggi masyarakat yakin bahwa supir benar-benar bersalah. Akhirnya media masa mengungkapkan secara tidak berimbang mengungkapkan keburukan para sopir Indonesia hanya karena temannya yang menolong korban kecelakaan dipidana. Hakim bukan manusia juga bisa salah dan tidak bijaksana, apalagi kalau di otaknya sudah terkooptasi bahwa supir tidak kebal hukum harus dipidana.

Cerita unik terjadi bermula ketika saat tiga orang sebut saja bernama Unyil, Ucrit dan Ucok ingin melamar sebagai sopir taksi di Blue Bird. Tetapi ketiganya hanya memiliki SIM A padahal blue bird mensyaratkan harus mempunyai SIM B1 atau SIM umum. Sehingga ketiganya berencana akan mengambil SIM B1 dengan belajar mengendarai di kursus mobil terpercaya “Tintons Driver”. Saat sedang belajar mobil dengan sebuah kursus mobil “Tintons Drivers” mengendarai mobil di jalan, ketiga orang tersebut naik dalam satu mobil yang sama dengan tujuan instruktur memberikan ilmu mengendarai mobil yang baik terhadap ke tiga calon sopir tersebut. Dari ke tiga orang tersebut ada dalam satu mobil dengan Unyil yang lebih mahir berkendara dan berpengalaman mengendarai mobil. Sedangkan Ucrit dan Ucok hanya duduk dalam jok belakang mobil ikut mendengarkan instruksi npelatihnya.

Tetapi saat di tengah jalan si Unyil melihat seorang korban yang diketahui bernama ARTJ junior tergeletak mengalami kecelakaan lalulintas yang tergeletak di tengah jalan tanpa ada yang menolong. Sebagai manusia berjiwa sosial Unyil yang sedang belajar tersebut berusaha turun dan menolong korban kecelakaan untuk dibawa ke Rumah sakit. Namun naas saat di tengah perjalanan ternyata mobilnya tertimpa meteor dengan kecepatan dahsyat menembus mobil sehingga menimpa korban dalam mobil dan meninggal seketika. Saat itu keluarga korban sangat merasa kehilangan karena korban merupakan sosok yang sangat disayangi dan menjadi tumpuan keluarga. Akhirnya keluarga menuntut dan melaporkan ke polisi karena Unyil dianggap salah saat mengangkat korban sehingga menyebabkan kematian saudaranya. Keluarga korban juga berusaha mencari berbagai kesalahan Unyil seperti tidak punya SIM khusus sehingga berani membawa masuk ARTJ junior ke mobilnya dan bahkan keluarga tidak terima karena Unyil saat menolong tidak meminta ijin dulu ke keluarga. Bahkan supir dianggap keluarganya mentelantarkan korban karena terlalu lama mebawa korban karena supir baru belajar mobil dan jalanan macet.

Tetapi polisi bingung saat menentukan apakah si sopir sebagai penyebab kematiaan korban atau bukan. Akhirnya karena desakan keluarga yang juga keluarga dekat penegak hukum di daerah itu memaksa terus melakukan BAP dan menyerahkan ke kejaksaan dan diajukan ke pengadilan. Jaksa tetap ngotot bahwa penyebab kematian ARTJ junior karena si sopir tidak punya SIMB1 atau SIM umum, tidak memeriksa ARTJ junior terlebih dahulu dan tidak minta ijin dulu kepada keluarga saat mau menolong. Dengan pikiran yang logis dan akal sehat pengadilan negeri sudah mendatangkan para ahli kedokteran dan ahli astronomi. Saksi ahli telah memastikan bahwa berdasarkan otopsi penyebab kematian ARTJ junior tepat di jantungnya tertimpa meteor. Ahli astronomi juga menyebutkan bahwa kasus kejatuhan meteor adalah kasus yang langka, jarang terjadi, tidak bisa diprediksi dan dicegah siapapun. Akhirnya dengan bijaksana dan pikiran logis hakim pengadilan negeri membebaskan Unyil, Ucok dan Ucrit karena jiwa sosialnya tidak dipersalahkan sebagai penyebab kematian ARTJ junior. Hakim berkeyakinan bahwa alsan si sopir tidak punya SIMB1 atau SIM umum, tidak memeriksa ARTJ junior terlebih dahulu dan tidak minta ijin dulu kpada keluarga saat mau menolong tidak terbukti sebagai penyebab kematian.

Tetapi tampaknya keluarga dan Jaksa tidak puas dan dengan keterbatasan pemaham medisnya dengan keras kepala menganggap bahwa kematian ARTJ junior karena kesalahan Unyil, Ucrit dan Ucok. Akhirnya jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung hakim agung yang hebat dan pintar dan berintegritas tinggi di bidang hukum hanya berdasarkan tumpukan berkas dakwaan dari pengadilan negeri dan mempunyai keterbatasan pengetahuan medis langsung memvonis Unyil, Ucrit dan Ucok dengan 11 bulan kurungan. Karena menganggap bahwa sopir tidak kebal hukum tetap bisa dipidana. Mahkamah Agung (MA) memvonis Unyil dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaannya mengakibatkan kematian ARTJ yang justru sedang ditolongnya.

Para hakim Agung tersebut ternyata dalam benaknya terkooptasi bahwa hakim daerah tidak berpengalaman, mudah dipengaruhi dan Supir tidak kebal hukum. Pola pikir yang berlebihan tersebut mengakibatkan subyektifitas Hakim Agung terganggu. Dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari Dr ARTJ senior, Dr Didi Petet dan Dr Sofyan Saiful Jamil dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Namun dasar dakwaannya sangat aneh dan lucu bahwa ketiganya salah dan lalai didakwa karena ikut mengangkat dan menolong ARTJ junior memasukkan ke dalam mobil karena sebelum mengangkat korban ARTJ junior tidak memeriksakan dulu korban ke dokter untuk di rontgen apakah ada gangguan di jantungnya. Selain itu Unyil didakwa karena berani menolong korban memasukkan ke mobil meski hanya memiliki SIM A. Dasar dakwaan lainnya terdakwa bersalah karena tidak ijin dulu terhadap keluarganya.

Jadi hakim yang bergelar doktor dengan kehebatan ilmu hukumnya mendakwa tidak terdakwa melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian ARTJ junior. Dan tragisnya Ucok dan Unyil juga ikut didakwa ikut lalai karena kematian ARTJ junior padahal tidak ikut menyetir mobil tapi hanya membantu mengangkat ARTJ junior. Dalam pandangan hukum sebenarnya dalam Undang-undang sopir Indonesia bahwa secara prosedural Unyil, Ucrit dan Ucok sudah melakukan prosedur yang ada. Memang dalam Undang-Undang Persopiran Indonesia terdapat pasal yang menunjukkan bawa sopir bisa didakwa pidana bila tidak mempunyai SIM B. Tetapi ternyata undang-undang tersebut dibatalkan demi hukum oleh MK karena tidak manusiawi. Kalaupun ada masalah tidak adanya SIM B1 bukan masalah pidana tetapi masalah administrasi yang tidak bisa dipidana. Tetapi hakim yang dalam otaknya terus tertanam bahwa sopir tidak kebal hukum mengalihkan dakwaannya kedalam pelangggaran pasal 359 karena kelalaian mengkibatkan kematian seseorang.

Permasalahan tersebut diatas menunjukkan fenomena tragis ketika tiga calon supir taksi didakwa lalai mengakibatkan kematian korban kecelakaan hanya karena SIM nya tidak memadai, tidak ijin ke keluarga dan tidak memeriksakan dulu jantungnya sebelum mengangkat korban ARTJ junior kedalam mobilnya. Padahal penyebab kematiannya karena jantungnya tertembus meteor yang sangat langka, tidak bisa diprediksi dan dicegah oleh siapapun. Ketika Unyil berusaha meyakinkan bahwa kematian ARTJ karena hal langkja dan ukan kuasa manusia, keluarga dan hakim tetap dengan keras kepala bahwa Unyil, Ucrit dan Ucok lalai.

Tragisnya saat itu semua media dan masyarakat dengan keterbatasan informasi dan pengetahuan medisnya menganggap bahwa Calon Supir adalah kriminal meski Ikatan Sopir Indonesia melakukan aksi solidaritas untuk tidak bekerja membawa taksi kecuali masyarakat yang gawat dan urgen memerlukan transpotasi. Saat itu juga secara terus menerus masyarakat dan media mengupas keburukan sopir taksi selama ini, Jadi hanya karena supir taksi naas menolong ARTJ junior semua kesalahan supir dikupas tuntas boroknya di media tanpa pemberitaan berimbang.

Tetapi ternyata sopir taksi bijaksana, meski saat ini terus dianiaya oleh hakim, masyarakat dan media. Para sopir terus berdoa dan yakin setiap pemberitaan negatif yang tidak benar dan teraniaya oleh hukum nantinya akan berbalik kepada manusia yang menganiayanya. Hukum alam dan sutradara alam mungkin akan menghukum para media dan masyarakat yang terus menganiaya profesi supir. Mungkin sangkaan negatif akan berbalik saat mereka tergeletak di jalanan dan tidak ada yang menolong. Tetapi para supir masih mempunyai hati nurani dan moral . Para sopir tetap terus bekerja melayani masyarakat dengan tulus. Dan akan tetap peduli dan menolong korban seperti ARTJ -ARTJ lainnya saat tergeletak meski beresiko mendapat ancaman hukum seperti temannya yang naas di bui hanya karena menolong korban lalu lintas di jalan. Si Supir dengan hati yang mulia dan tidak akan dendam akan tetap menolong ARTJ lainnya bila terjadi musibah di jalan meski hatinya dan profesinya dianiaya oleh hakim karena tidak bijaksana dan salah dalam menginterpreattasi hukum hanya karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan medisnya.

Fakta dan fenomena yang Ada

Ilustrasi kasus tersebut di atas ternyata sama dengan yang dialami oleh kasus dugaan malpraktek dokter Ayu. Mahkamah Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari Dr Artidjo Alkostar, Dr Dudu Duswara dan Dr Sofyan Sitompul dalam pertimbangannya menyatakanpara terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluhkan putusan hakim agung Artidjo Alkotsar kepada dr Ayu dkk. Tiga dokter yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Namun MA tidak berkopeten dan bukan ahlinya dalam menilai kasus kedokteran. Jangankan orang awam, bahkan dokter umum, dokter spesialis anak atau dokter ahli forensikpun tidak berkopeten menilai salah benarnya tindakan dokter Ayu karena yang berkopeten menilai adalah dokter spesialis obsetri gineloogi yang ahli di bidangnya. Idealnya malpraktek harus diadili di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Namun sayangnya banyak orang mencurigai bahwa dokter akan selalu melindungi sejawatnya

Kesalahan Hakim Karena Keterbatasan

Menurut ahli hukum pidana Profesor Andi Hamzah dalam ILC (3/12/2013) menilai justru kasus dokter Ayu bukan ranah kasus pidana tetapi kasus perdata. Dasarnya jaksa mengajukan kasasi karena surat visum dan surat keterangan ahli yang menunjukkan penyebab kematian karena emboli. Dasar kasasi yang dibawa jaksa terjadi missing link karena justru keterangan visum tersebut menunjukkan bahwa penyebab kematian adalah karena emboli bukan karena kelalaian dokter Ayu. Sehingga dalam hal ini menurut pakar hukum pidana tersebut yang benar seharusnya dituntut kasus perdata dengan menuntut ganti rugi seperti tidak adanya surat ijin praktek, masalah pelayanan perawat anestesi dll, bukan dituntut hukum pidana yang harus dipenjarakan.

Saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy ­Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis. Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal bukan karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi. Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur.

Beberapa kesalahan MA dalam menilai tindakan medis dokter karena keterbatasan pemahaman medis para hakim. Diantaranya adalah hakim menganggap bahwa tidak dilakukan pemeriksaan janting dan rotgen, pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah operasi. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Hal ini dianggap karena saat pemberian obat atau infus karena komplikasi persalinan. Hakim juga menganggap terjadi pembiaran pasien selama delapan jam. Hakim juga mendakwa karena terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP). Hakim juga mempermasalahkan menhgapa pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah operasi.

Karena pemahaman medis yang terbatas hakim salah dalam menerapkan dakwaan. Dalam kasus emergency tidak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung dan rontgen tidak ada urgensinya dan tidak diperlukan. Justru pemeriksaan rontegen adalah kontraindikasi karena berdampak buruk bagi janin yang dikandungnya. Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan, bayi dan pasien pasti meninggal. Apalagi sebelumnya tidak ada kecurigaan terjadinya gangguan jantung. Kecuali kalu pasien dalam riwayat sebelum mengalami gangguan jantung. Keluargapun menyangkal bahwa pasien selama ini sehat-sehat saja dan tidak pernah mengalami sakit jantung. Gangguan detak jantung yang dialami oleh penderita saat sebelum meninggal bukan karena murni kelainan jantunmg tetapi salah satu dampak manifestasi dari gangguan emboli yang dapat mengganggu jantung. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Dugaan hakim karena saat pemberian obat atau infus juga tidak benar secara medis karena penyebab kematian adalah komplikasi persalinan.

Karena hakim tidak memahami pengetahuan medis maka juga salah menganggap bahwa terjadi pembiaran pasien selama delapan jam. Saat menerima pasien Siska, Ayu telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal. Saat pukul 07.00 pagi saat pasioen datang di Rumah Sakit setelah dilakukan evaluasi pembukaan ternyata masih pembukaan 2, meski sebelumnya di puskemas terjadi pembukaan yang lebih. Dalam hal terjadi perbedaan penilaian pembukaan biasanya terjadi karena perbedaan kopetensi saat di puskesmas bidan sedangkan di RS adalah dokter. Untuk mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam pada umumnya sekitar 8 jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang dilakukan dokter Ayu. Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi sehingga diputuskan operasi. Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal.

Hakim juga mendakwa terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP) Tidak benar mereka tidak memiliki kompetensi. Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan operasi. Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter. Undang-undang kedokteran yang mengancam pidana kurungan pada dokter yang tidak punya ijin praktekpun sudah dibatalkan demi hukum oleh Mahkamah Konstitusi karena tidfak manusiawi. Tetapi karena para hakim terkooptasi bahwa Dokter tidak kebal hukum berusaha mengalihkan ke pasal 359 karena masalah kelalaian yang mengakibatkan kematian seseorang. Padahal para ahli sudah mengatakan bahwa penyebab kematian adalah gangguan yang langka yang sulit diprediksi dan dicegah oleh siapapun di dunia ini.

Karena keterbatasan pemahaman medis itulah maka keluarga, hakim, media masa dan masyarakat umum masih menganggap bahwa supir taksi dan dokter Ayu melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian korban kecekaaan dan pasiennya. Saat ini media juga dengan keterbatasan pemahamam medis tersebut secara tidak berimbang selalu memberitakan dan ikut memvonis bahwa dokter Ayu salah dan patut dihukum karena dokter tidak kebal hukum. Bahkan saat ini setiap opini yang ada selalu menyudutkan dokter apapun salah dan benarnya dokter. Padahal bila dicermati dari sekian jutaan tindakan medis dokter wajar kalu timbul kesalahan dan malpraktek yang dilakukan dokter. tetapi saat ini berbaik seakan-akan dokter sebgain besar salah dan melakukan tindakan buruk. Datta YLKIpun menunjukkan bahwa keluhan konsumen tentang ketidakpuasan dokter tidak termasuk sepuluh besar hanya kurang dari 3 persen dari keseluruhan pengaduan yang masuk. Tidak dipungkiri hal ini seharusnya menjadi intropeksi dari para dokter Indonesia dan dokter Indonesia lebih sabar bahwa segala cacian dan makian kepada profesi dokter adalah kekuatan baru. Dokter harus yakin dan tidak harus cemas ancaman hukum bila menolong pasien dengan lebih tulus, lebih beretika dan sesuai kaidah kedokteran yang ada. Pencipta kehidupan ini akan selalu melindungi umatnya yang selalu berdoa, berbuat tulus dan kebaikkan untuk menolong sesamanya.

Komentarnya agan agan , masa karena tuduhan yang terdengar lucu di dakwa emoticon-Cape d... (S)

Sumber
0
4.5K
29
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan