ndaruprasetyoAvatar border
TS
ndaruprasetyo
Soal BUMN dan Dahlan Iskan
Thread ini untuk melengkapi thread saya sebelumnya. Diambil dari opini saya di Majalah Aktual edisi Oktober 2013. emoticon-I Love Indonesia (S)
_____________________________________
Dalam waktu dekat, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan perkara uji materi Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebagaimana diketahui, uji materi ini dimohonkan oleh Forum Hukum BUMN dengan tujuan meminta kejelasan tafsir atas pengelolaan keuangan BUMN yang bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Pemohon menggugat ruang lingkup keuangan negara pada pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara sepanjang frasa “termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dan “Kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” Pasal tersebut dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena BUMN sebagai entitas bisnis diperlakukan berbeda dengan sektor swasta.

Keberadaan BUMN memang diatur oleh regulasi yang cukup ketat. Dibandingkan dengan pelaku ekonomi nasional lainnya, BUMN dipayungi oleh 38 macam ketentuan perundangan. Sektor swasta sendiri hanya terikat oleh sekitar 9 peraturan perundangan. Dalam praktiknya, regulasi ketat tersebut membuat BUMN tidak memiliki level of playing field yang sama dengan sektor swasta. Sementara di sisi lain BUMN juga dituntut menghasilkan laba yang besar. Di sinilah letak kegamangan dan titik persoalan yang saat ini dihadapi oleh BUMN.

Dualisme Tafsir
Di Indonesia, perdebatan tafsir atas keuangan negara sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Para akademisi dan praktisi sejak tahun 1980-an saling beradu argumentasi dalam mendefinisikan keuangan negara. Perbedaan pendapat tersebut mengerucut menjadi dua kutub yaitu kelompok yang menafsirkan keuangan negara secara sempit dan kelompok yang menafsirkan keuangan negara secara luas.

Dalam konteks kekinian, tafsir keuangan negara secara sempit diwakili oleh akademisi beken seperti J.B. Sumarlin, Hikmahanto Juwana, Erman Rajagukguk, dan juga Arifin P. Soeria Atmadja. Mereka mempertahankan argumentasi bahwa kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal BUMN sepenuhnya menjadi kekayaan BUMN, karena sudah menjadi suatu badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri. Modal negara dari kekayaan negara yang dipisahkan tersebut telah mewujud menjadi saham negara di BUMN, yang dalam praktikknya disetorkan kepada negara berupa deviden.

Selain itu, meminjam Hikmahanto Juwana (2013) secara alamiah pola pengelolaan keuangan negara berbeda dengan pengelolaan keuangan pada BUMN. Negara bukanlah entitas yang mencari untung dan bisa menderita kerugian akibat suatu keputusan bisnis. Beda halnya dengan BUMN di mana keuntungan dan kerugian merupakan hal lazim yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Intinya, pendukung madzab ini berpandangan bahwa ruang lingkup keuangan negara hanya mencakup keuangan yang diatur dalam APBN seperti tertuang dalam Pasal 23 UUD 1945. Karena itulah dalam tataran teknis BUMN seharusnya tidak tunduk pada UU Keuangan Negara, melainkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT).

Sementara itu, pendapat kedua menafsirkan ruang lingkup keuangan negara secara luas yang meliputi APBN, APBD, BUMN, BUMD, Badan Layanan Umum (BLU). Akademisi Siswo Sujanto, M. Hadi, M. Subagyo (1987) yang kemudian diikuti oleh pemerintah, BPK dan sebagian besar kalangan akademisi, menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh negara merupakan suatu sistem keuangan negara. Makna inilah yang kemudian termaktub dalam UU Keuangan Negara, UU Perbendaraan Negara dan Undang-Undang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara: “Keuangan negara merupakan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Pijakan Rapuh
Perbedaan pendapat merupakan hal wajar, selama perbedaan tersebut memiliki muatan positif bagi perbaikan bangsa. Dalam konteks uji materi ini, ada beberapa hal yang menurut penulis patut menjadi refleksi bersama. Pertama, uji materi ini dimohonkan oleh Forum Hukum BUMN yang notabene merupakan lembaga taktis yang dibentuk oleh Kementerian BUMN. Rasanya tidak etis bila Kementerian BUMN sebagai bagian dari pemerintahan melakukan gugatan terhadap UU yang dibentuk bersama DPR. Ini akan menjadi preseden kurang baik di masa depan.

Kedua, uji materi ini merupakan langkah yang terlalu berlebihan. Jika selama ini UU Keuangan Negara dirasa memberatkan para pengurus BUMN, semestinya mereka─melalui Kementerian BUMN─dapat bermusyawarah dengan lembaga-lembaga negara seperti DPR, DPD dan BPK untuk mencari titik solusi. Argumentasi bahwa selama ini kerugian BUMN sama dengan kerugian negara merupakan argumentasi yang berdiri di atas pijakan rapuh. Sebab, tidak mungkin semua kerugian BUMN akibat keputusan bisnis yang dimaksud digebyah-uyah (disamaratakan) dengan kerugian negara. BPK RI, yang dalam hal ini bertindak sebagai lembaga yang berhak menentukan mana kerugian perseroan dan kerugian negara, tidak mungkin bertindak gegabah. Jika BPK RI berpendapat bahwa kerugian keuangan negara sebatas diperlukan tindakan administratif (administrative measures), penyidik dan penuntut tidak memiliki wewenang lebih jauh memasuki wilayah keuangan negara yang secara administratif merupakan wilayah pengawasan BPK RI.

Ketiga, penulis curiga ada muatan politis dan agenda tersembunyi di balik uji materi ini. Jika uji materi ini dikabulkan, maka negara tidak lagi dapat turut campur (intervensi) dalam sistem pengelolaan BUMN. Hal ini sama saja menyerahkan tata ekonomi kepada mekanisme pasar, sebagaimana ajaran dan anjuran sistem ekonomi neoliberal. Patut diingat bahwa di negara-negara lain state corporation (BUMN) merupakan perpanjangan tangan negara dalam mengurus perekonomian. Di Indonesia sendiri, eksistensi BUMN adalah manifestasi penguasaan negara atas sumber daya ekonomi seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.

Seperti dikatakan Paul Krugman (2010), intervensi negara dalam aktifitas perekonomian masih sangat penting untuk pemicu atau merangsang timbulnya aktifitas ekonomi. Fachry Ali (2013) menyebut peran negara pada BUMN harus bersifat embedded (melekat) mengingat sejarah panjang kegagalan neoliberalisme hanya membuahkan kepahitan ekonomi negara-negara berkembang. Sebab itulah, meminggirkan negara dalam sistem ekonomi dapat disebut sebagai langkah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pada akhirnya, keputusan ada di tangan hakim konstitusi. Apapun keputusannya, satu hal yang patut kita ingat adalah bahwa BUMN tidak hanya semata-mata bertujuan mengejar keuntungan, tetapi juga mengemban amanat untuk menopang perekonomian negara demi mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (*) Semoga.
0
1.3K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan