Miris rasanya profesi dokter yang mulia dan tidak tercela dipersamakan dengan Front Pembela Islam yang sering merusak dan mengganggu masyarakat kita.
Walau sama-sama berjubah putih, namun sesungguhnya dokter melakukan profesinya dengan mulia, tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun dan berorientasi melayani pasien. Dokter adalah profesi yang terpelajar dan memerlukan tahapan tahapan yang susah dan profesional.
Dokter adalah sebuah pengabdian, dan bukan makan gaji belaka.
Dokter mementingkan nyawa pasien bukan tebalnya dompet pasien.
Kalau ada yang menyamakan aksi solidaritas dokter dengan aksi massa FPI saya rasa sungguh tidak pantas sekali:
Kita sungguh kecewa dengan pernyataan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia di Belanda yang telah mengkritik dokter:
Peristiwa yang menarik perhatian masyarakat banyak akhir-akhir ini terkait kegiatan malpraktik dokter di Sulawesi Utara menjadi semakin besar setelah korps baju putih melakukan aksi mogok kerja (berdasarkan berita kompas disini).
Pada tulisan ini saya tidak ingin memberikan komentar dari sudut pandang medis, karena itu jelas diluar keahlian saya.
Akan tetapi sebagai seorang ahli hukum sudah sepatutnya saya turut memberikan pandangan dari sisi hukum terkait peristiwa ini.
1. Pertama, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pasal 1 pada ayatnya yang ketiga secara JELAS mengatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”
2. Kedua, suatu negara dapat dikatakan negara yang berdaulat, maju dan berkeadilan bilamana negara tersebut dijalankan berdasarkan atas hukum bukan atas kekuatan rimba.
3. Ketiga, terlepas dari apa Putusan Pengadilan Negeri Manado yang membebaskan dokter pada kasus tersebut, akan tetapi putusan tersebut tidak lagi dapat dipegang sejak keluarnya Putusan Pengadilan yang lebih tinggi yakni Mahkamah Agung.
4. Ketika pengadilan (Mahkamah Agung) telah mengatakan bahwa seseorang bersalah, maka seluruh lapisan masyarakat, baik pihak yang kalah maupun menang, harus menghargai putusan pengadilan tersebut. Tidak perduli apa profesinya, baik dia arsitek, tukang ojek, dokter, pengusaha bahkan presiden sekalipun!!
5. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus bebas dari intervensi siapapun. Mahkamah Agung sebagai penyelenggara sistem peradilan yang tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai independensi dan otoritas untuk memutuskan suatu perkara tanpa paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
6. Pengadilan adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengatakan seseorang itu terbukti bersalah, ataupun tidak bersalah.
6. Tetapi, aksi korps baju putih yang menuntut pembebasan kriminal yang telah TERBUKTI bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, telah melecehkan sistem kenegaraan Republik Indonesia.
7. Aksi tersebut adalah salah satu bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, karena yang berhak membebaskan seseorang dari ancaman hukum bukanlah aksi massa PREMAN korps baju putih melainkan putusan pengadilan.
8. Tidak ada satupun manusia yang kebal hukum dan tidak ada satupun manusia yang berhak melawan keputusan pengadilan dengan cara-cara diluar hukum (premanisme)
9. Sungguh disayangkan ketika dokter yang dianggap sebagai profesi bermartabat dan terpelajar tidak menaati hukum dan mengajarkan masyarakat untuk bermain hukum rimba.
10. Dokter seharusnya melakukan langkah hukum yang bermartabat bila tidak setuju dengan putusan pengadilan. Bukan dengan melakukan aksi demo, massa, mogok, main perintah hakim untuk membebaskan kriminal.

(IDI Kaltim Surati Presiden Minta Bebaskan Dokter Ayu)
11. Tindakan ini membuktikan bahwa IDI tidak lebih baik dari Front Front Preman Garis Keras, yang ketika tidak setuju dengan putusan hukum pengadilan melakukan aksi-aksi premanisme untuk menekan independensi hakim.
12. Aksi melawan keputusan pengadilan dengan tuntutan bebas, atau aksi mogok kerja yang dikoordinir IDI dapat dianggap sebagai bentuk terorisme karena berlaku secara nasional, berpotensi menghilangkan nyawa tanpa memandang
korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, dan oleh karena itu adalah bentuk ancaman terhadap kedaulatan lembaga negara sebagaimana dituliskan pada UU No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
13. Negara tidak boleh kalah oleh aksi-aksi segelintir preman berjubah putih yang ingin memenangkan kepentingannya sendiri.
14. Aksi massa yang menyuarakan hukum rimba oleh kalangan terpelajar ini harus segera ditangani oleh negara, karena dikemudian hari dapat dicontoh oleh ormas garis keras lainnya, yang membenarkan aksi intervensi terhadap lembaga negara.
Bahwasanya dengan menggalang massa, maka HUKUM BISA DIBENGKOKKAN!! Kalau Dokter saja bisa melecehkan hukum, kenapa saya tidak?
15. Merujuk dari peristiwa ini, mungkin sudah saatnya kita merevisi ulang bagaimana pandangan kita terhadap profesi dokter yang sudah melawak secara nasional.
Apakah mulai saat ini kepanjangan IDI adalah Ikatan Dagelan Indonesia?? Kita tunggu saja lawakan selanjutnya dari korps badut putih ini.
Karena, Apapun itu: Hukum harus ditegakkan, walau langit runtuh sekalipun!!
– Benny Hutabarat, S.H., LL.M. –
Advanced Master of Laws, Universiteit Leiden, The NEtherlands