wakdalekAvatar border
TS
wakdalek
SETELAH RUMAH PANJANG (RUMAH ADAT DAYAK / RUMAH BETANG) TIDAK LAGI PANJANG
Makin sedikit masyarakat Dayak, terutama Dayak Kantuk, yang memilih tinggal di rumah betang. Alasan kesehatan atau privasi?


Menyusuri hunian masyarakat Dayak di PUTUSSIBAU, KALIMANTAN BARAT, membayangkan akan menemukan pemandangan rumah-rumah panjang dengan puluhan bilik yang dihuni ratusan orang. Sebuah “apartemen” tradisional di mana jarak tetangga hanya berbatas selembar papan, di mana nasi dan tuak saling dibagi, juga duka cita perkabungan yang membuat seluruh orang yang tinggal di tempat itu tak bisa menyetel musik dan menyalakan televisi selama puluhan jam.

Tapi yang sekarang terlihat banyak warga Dayak, terutama Dayak Kantuk, sudah lama memilih untuk tinggal di rumah-rumah tunggal, hanya dengan keluarga inti, atau sampai dengan cucu. Kalau pun ada rumah betang, sebutan untuk rumah panjang di masyarakat Dayak, saat ini hanya berfungsi untuk kegiatan adat atau pertemuan warga.

Dari penelusuran SH, saat ini hanya tinggal 18 rumah betang di wilayah Kalimantan Barat yag digunakan sebagai rumah hunian. Tujuh belas di antaranya berada di Kabupaten Kapuas Hulu, sementara satu rumah lainnya terletak di Kabupaten Landak.

Saat menyusuri Kapuas Hulu ada tiga rumah betang hunian yang sempat disinggahi, yakni di Desa Melapi, Kecamatan Putussibau Selatan, yang ditempati suku Dayak Taman; di Uluk Palin yang terletak di Desa Nanga Nyabau, Kecamatan Putussibau Utara, yang ditinggali suku Dayak Tamambaloh; dan di Sungai Utik di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, yang dihuni masyarakat Dayak Iban.

Sementara itu rumah betang yang dimiliki suku Dayak Kantuk yang terletak di Desa Bika, Kecamatan Bika Hulu, hanya berfungsi sebagai balai pertemuan.

Rumah betang adalah bangunan rumah panggung yang biasanya memiliki panjang hingga lebih dari 100 meter dengan puluhan pintu atau bilik. Masing-masing bilik biasanya dihuni atau ditempati oleh dua hingga empat keluarga.

Jamaknya, mematuhi adat turun temurun, pembuatan bagian hulu rumah iniharus searah dengan matahari terbit. Dan, sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam, sebagai simbol kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah saat matahari padam. Balok-balok penopang rumah terbuat dari kayu belian atau kayu ulin dan rata-rata memiliki ketinggian sekitar 7 meter dari tanah.

Rumah betang memang sengaja dirancang sebagai benteng para penghuni dari serangan binatang buas atau menghindari serangan suku-suku lain ketika dahulu tradisi memotong dan membawa pulang kepala manusia (ngayau) masih kerap terjadi.

Keberadaan bilik-bilik yang menjadi satu dalam rumah yang berukuran sangat panjang itu membuat penghuninya sangat dekat, beraktivitas bersama, bercengkrama bersama, juga melangsungkan upacara adat bersama.

Tokoh adat Dayak Iban yang tinggal di rumah betang Sungai Utik, Bandi atau yang lebih akrab dikenal sebagai Apay Janggut, menyebut rumah jenis ini sebagai simbol utama kearifan masyarakat suku Dayak.

Bagi pria berusia 71 tahun yang juga dikenal sebagai pejuang lingkungan ini, rumah betang adalah tempat pertama masyarakat adat untuk saling berinteraksi. Karena itu ia mengaku tidak pernah berpikir untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali saat ini.

“Rumah betang Sungai Utik dikenal sebagai yang paling tertata, bersih, dan rapi. Sejak awal rumah ini akan didirikan, interaksi masyarakat sudah kami libatkan. Karena memang itu inti karakter masyarakat Dayak. Maka kita bermusyawarah untuk mendirikan rumah ini,” ungkap Bandi.

Menurutnya, masyarakat di Sungai Utik dikenal sebagai masyarakat yang menjaga lingkungannya sebagai warisan leluhur yang sangat sakral. Atas alasan itu, lanjut Bandi, masyarakat di sana pun mempertahankan keberadaan rumah betang sebagai salah satu rumah hunian masyarakat di sana yang dianggap sebagai warisan leluhur mereka. Bandi berpendapat, dalam menjalankan tugas-tugasnya menjaga alam dan lingkungan, rumah betang menjadi tempat awal perjuangan mereka di sana.

“Karena adanya rumah betang, kami jadi lebih sering berinteraksi dan bertukar informasi. Selain itu sebulan sekali kita membuat pertemuan, dan memberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga lahan. Semua itu kami lakukan di rumah ini,” tuturnya.

Bagi Bandi, alam tempat mereka tinggal, dan segala yang ada di sana, termasuk rumah betang, adalah warisan dari leluhur mereka yang harus dipertahankan agar kelak dapat kembali diwariskan kepada anak cucu mereka.

Namun salah seorang tokoh adat Dayak Kantuk di Desa Nanga Awin, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Fransiskus Kadir, mengatakan keinginannya tinggal di rumah betang sudah tak lagi ada.

Meskipun di masa muda ia sempat tinggal di rumah betang, kini ia bahkan tak lagi memiliki kerinduan untuk sekadar berada di dalam rumah betang.

“Saya dulu memang tinggal di rumah betang. Tapi setelah rumah betang yang saya tempati rusak karena longsor, saya sengaja membangun rumah tunggal seperti yang saya tempati sekarang. Saya memang memilih rumah seperti ini untuk saya dan keluarga saya,” jelas Fransiskus.

Pria berusia 76 tahun ini menambahkan, pada umumnya keinginan masyarakat Dayak Kantuk untuk tinggal di rumah tradisional emang terus berkurang. Penyebabnya, kata dia, seiring waktu, sudah tidak ada lagi perang antarsuku ataupun serangan binatang buas. Selain itu ia berpendapat tinggal di rumah tunggal lebih nyaman karena dapat mengatur rumah sendiri tanpa terusik dengan keberadaan penghuni lain seperti di rumah bersama ini.

“Saya bisa atur keluarga saya sendiri tanpa ada pengaruh dari siapa pun. Lagi pula, kalau bicara kebersamaan, sampai sekarang kebersamaan dan keeratan masyarakat adat di Kalimantan tetap terjaga, meskipun sekarang lebih banyak rumah tunggal,” paparnya.

Operasi Sutera
Namun agaknya ada penyebab sistematik yang membuat suku Dayak ramai-ramai pindah dari betang. Tokoh dari Dayak Kantuk yang berprofesi sebagai pengacara, Tobias Ranggie, mengatakan program pemerintah yang diberi nama Operasi Sutera turut menjadi penyebab.

Sutera adalah kepanjangan Subur dan Sejahtera. Operasi yang dijalankan antara 1983-1988 ini merupakan program pemerintah Kalimantan Barat di bawah kepemimpinan Mayjen TNI Soedjiman yang menjabat sebagai gubernur Kalbar antara 1978-1988.

Operasi Sutera yang dalam implementasinya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menargetkan transformasi masyarakat Dayak dari kehidupan tradisional ke kehidupan “modern”, termasuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Kehidupan di rumah komunal saat itu dianggap kurang higienis.

Ketua masyarakat adat Dayak Kantuk di Kecamatan Empanang, Kabupaten Kaupuas Hulu, Antonius Suring, mengingat ia dan keluarganya meninggalkan rumah betang setelah wabah kolera melanda dan menyebabkan delapan penghuni di rumah betangnya meninggal dalam tempo satu bulan.

“Cuma sekarang sakit hati saya, setelah pergi dari rumah panjang,” ungkap Suring yang tinggal di rumah betang antara 1960-1982.

Ia merasa ada yang hilang. Terlebih kini, di desanya di Nanga Kantuk, tak ada dana dan lahan untuk membangun rumah betang. “Kalau ada acara adat, kami harus membikinnya di tenda,” ujar lelaki Dayak Kantuk ini.

Menurut Tobias, pemerintah saat itu mengimbau warganya keluar dari rumah betang dengan alasan kebersihan dan menghindari kebakaran massal di rumah betang. “Mulai saat itu orang mulai meninggalkan rumah betang. Masyarakat Dayak mulai hidup dan tinggal sendiri-sendriri,” tuturnya.

Bersamaan dengan itu, lanjutnya, perlahan-lahan sifat individualistis masyarakat Dayak semakin besar. Kebersamaan dan gotong royong yang menjadi ciri masyarakat Dayak tidaklah lagi besar seperti saat mereka dulu tinggal di rumah betang.

Dulu, jika ada salah seorang penghuni rumah betang yang meninggal dunia, biaya mengurus kematian akan ditanggung bersama.

“Begitu juga kalau ada yang dapat hewan buruan, pasti dibagi rata antarsesama penghuni. Tidak seperti sekarang, malah dijual ke tetangga,” kisahnya.

Tobias menyebutkan, selain kebersamaan dan gotong royong, nilai-nilai budaya pun dengan sendirinya ikut terkikis seiring dengan berkurangnya rumah hunian bersama. Saat ada rumah betang, ritual-ritual budaya kerap kali diadakan. Karena rumah betang semakin jarang, semakin sedikit juga yang menjalankan ritual budaya di rumah komunal ini.

Spoiler for sumber:
0
3K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan