rr2012Avatar border
TS
rr2012
Kepemimpinan Daerah Sebagai Rahim Kepemimpinan Nasional
Sejak masa proto-nasionalisme di awal abad lalu hingga fase konsolidasi demokrasi saat ini, jalur sirkulasi kepemimpinan nasional setidaknya berasal dari beberapa sumber: jalur pendidikan (intelektual), militer, organisasi massa (aktivis), dan pasar/dunia bisnis. Keempat jalur tersebut silih berganti memasok para pemimpin nasional dalam lintasan sejarah yang berlangsung lebih dari seabad terakhir sejarah politik di Indonesia.

Namun belakangan ini kita patut menimbang satu sumber baru, baik dalam proses maupun perekrutan calon pemimpin nasional: kepemimpinan daerah. Hasil survei Litbang Kompas (29/7/2013) memperlihatkan sentimen positif publik perihal rahim daerah sebagai jalur kepemimpinan nasional. Sekitar 76 persen responden setuju agar pilpres mendatang membuka pintu bagi gubernur/bupati/wali kota yang sukses memimpin daerahnya. Sumber alternatif ini diyakini bisa menelurkan kandidat yang mampu bersaing dengan pemimpin dari empat jalur itu.

Sentimen positif ini sejalan dengan konsepsi ideal desentralisasi. Dalam hal desentralisasi merupakan lahan yang strategis bagi pelatihan para pemimpin lokal sebelum naik kelas ke pentas nasional. Siapa pun yang menjadi presiden, anggota DPR atau menteri, mestinya figur terlatih pada skala tertentu; bukan politisi asal jadi. Jika terbukti berhasil di daerah, jendela peluang bagi sukses mengelola politik/pemerintahan pada level nasional terbuka. Toh, tata kelola suatu organisasi negara pada dasarnya berisi muatan lokal yang lekat.

Pasangan Jokowi-Basuki di DKI Jakarta misalnya menjadi pionir dari para generasi terbaik bangsa yang merayap dari bawah. Selain pasangan Jokowi-Basuki, ada juga pemimpin daerah sukses yang patut dikedepankan, seperti Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini dari Surabaya, Sahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, Gatot Pujo Nugroho di Sumatera Utara, Alex Noerdin di Sumatera Selatan, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Ahmad Heryawan yang sukses di Jawa Barat, juga Soekarwo yang belum lama terpilih kembali sebagai Gubernur Jawa Timur dll. Jalur Rahim alternatif kontemporer dari daerah inilah yang perlu ditoleh dan dibuka kesempatan secara melembaga seluas-luasnya agar kita tidak lagi dipimpin oleh para penyamun politik dari Jakarta.

Jika melihat pengalaman negara lain, kita bisa melihat misalnya Perancis memiliki Presiden Francois Hollande yang merupakan mantan Wali Kota Tulle, Korea Selatan memiliki Presiden Lee Myung-bak yang sebelumnya menjadi Wali Kota Seoul, atau Iran yang pernah dipimpin Mahmoud Ahmadinejad yang lama mengurus kota Teheran, kita memiliki sederet pemimpin lokal hebat.
Namun jika mau terbuka menilik fakta di negeri ini, jelas kita menghadapi kendala serius. Derajat desentralisasi pemerintahan tak selaras dengan demokratisasi politik. Karakter dan regulasi kepartaian ataupun mekanisme elektoral masih mengekalkan sentralisme politik. Jangankan naik kelas ke level nasional untuk maju dalam pemilihan lokal saja tampak begitu kuatnya intervensi elite pusat. Sebagian figur bagus memang dicalonkan atas pertimbangan rasional dan kalkulasi riil politik, tapi lebih banyak sebagai hasil transaksi di pasar gelap kekuasaan.

Celakanya, sentralisme itu mengerucut ke bentuk lebih padat dalam lingkaran terbatas-tertutup: oligarki. Selama ini kita masih menemukan kantong-kantong asal para elite adalah kerabat/dinasti dari pendiri dan pemimpin partai, juga lembaga-lembaga formal, seperti kabinet atau parlemen. Mereka jadi sumber perekrutan, setidaknya penentu gerak sirkulasi. Akses ke lingkaran ini bukan main sulitnya: entah melewati jalan panjang berupa ujian loyalitas dan pembuktian posisi tawar yang tinggi (kapasitas intelektual, penguasaan basis massa) ataupun menerabas jalan pintas dalam aneka rupa manuver dan transaksi.

Dalam struktur relasi kuasa demikian, ikhtiar mengusung para pemimpin lokal ke level nasional memang menempuh rute panjang. Karakter kepartaian dan regulasi pemilihan harus bisa diubah untuk mendorong sistem politik terbuka. Di sejumlah negara yang demokrasinya masih dalam fasekonsolidasi seperti Indonesia, agenda reformasi kepartaian dan elektoral ini jelas bukan hanya soal teknokratik, melainkan politik lantaran inheren dalam struktur kekuasaan tadi. Maka, langkah afirmatif yang paling mungkin adalah mengenalkan mekanisme inovatifyang bisa saja menabrak aturan yang memang sengaja direkayasa demi kepentingan elite mapandalam pemilihan.

Tantangannya bukan lagi pada diri mereka, melainkan lingkungan yang melingkupinya. Struktur relasi kuasa kepartaian sentralistik-oligarkis dan miskinnya inovasi mekanisme elektoral menjadi sumbatan besar. Mengurai titik pelik ini merupakan pekerjaan besar bangsa ini untuk mendapatkan calon pemimpin segar, otentik, dan bermutu. Jika tidak, mari kita hanya berpasrah atau bahkan berpuas diri dengan stok kadaluwarsa yang ada.


Minta pendapat n kritik agan2 sekalian ya..
0
723
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan