

TS
mynameisriez
Pemain Sepak Bola Legendaris Indonesia
Spoiler for Di Buka Dulu Gan:

Sebelum Membaca Thread Ane Harap Membaca

Spoiler for 1. Anjas Asmara:

Anjas Asmara merupakan salah satu pemain sepak bola Indonesia yang hampir mengantarkan Indonesia ke Olimpiade 1976. Bersama Suaib Rizal, kegagalan tendangan penaltinya ke gawang Korea Utara yang dijaga oleh Jin-In Chol pada final Pra Olimpiade di Stadion Senayan, Jakarta, membuyarkan impian Indonesia tampil di Olimpiade Montreal, Kanada. Kesibukannya saat ini adalah melatih My Team, yang merupakan kumpulan pemain muda non-amatir yang direkrut dan diseleksi dari 6 kota di Indonesia.
Spoiler for 2. Ronny Pasla:

Ronny Pasla (lahir di Medan, 15 April 1947; umur 66 tahun) adalah mantan kiper Indonesia yang berkiprah sekitar tahun 1960’an – awal 1970. Ejaan namanya sering juga ditulis sebagai Ronny Paslah.
Bersama dua rekannya, Andjas Asmara dan Ipong Silalahi, Ronny Pasla sedang menggarap pembentukan tim sepak bola impian yang terdiri atas para pemain amatir. Proyek prestisius itu berbentuk reality show pencarian bakat sepak bola bertajuk My Team (Juni 2007)
Di kancah sepak bola, Ronny menjadi salah satu kiper legendaris Indonesia. Namun, setelah pensiun dia lebih banyak bergelut di olahraga lain, yakni sebagai pelatih tenis lapangan. Pria kelahiran Medan itu bahkan memiliki sekolah tenis lapangan bernama Velodrome Tennis Club di Jakarta.
Dengan tinggi badan 183 cm, Ronny ketika masih aktif bermain sangat unggul dalam antisipasi bola-bola atas. Tidak heran, posisi pemain inti di Timnas tak tergantikan sejak 1966 hingga pensiun dari Timnas.
Pensiun dari dunia sepak bola di usia 40 tahun. Klub terakhir yang diperkuatnya adalah Indonesia Muda (IM), Jakarta pada 1985. Di Timnas, Ronny Pensiun di usia 38 tahun.
Saat Timnas Brazil melakoni tur ke Asia pada 1972, Brazil yang saat itu diperkuat pesepak bola legendaris dunia asal Brazil, Pele singgah ke Indonesia. Dalam laga tersebut Indonesia kalah 1-2, tapi tetap menjadi momen terindah bagi Ronny, karena berhasil menahan eksekusi penalti Pele.
Enam orang anaknya, tidak ada satu pun yang berkiprah sebagai pesepak bola. Tapi, semuanya sempat menjadi atlet di cabang olahraga (cabor) tenis lapangan.
Spoiler for 3. Max Timisela:

Max Timisela (lahir di Bandung, 7 Juni 1944; umur 69 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia dari Persib Bandung yang terkenal pada tahun 1960-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan Persib ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia tahun 1963 sampai 1970.
Karier bola Maxi diawali di Bandung, tepatnya di Cimahi. Saat duduk di bangku SMP PGRI Cimahi tahun 50-an, ia masuk ke klub UNI mengikuti kakak-kakaknya. Di klub peninggalan Belanda inilah bakat Max tergosok dengan maksimal. Dari sanalah pintu karier di Persib mulai terkuak. Maklum, saat itu nama UNI tengah harum-harumnya.
Bakat dan ketajaman Maxi mencetak gol membuat dirinya terpanggil membela timnas Indonesia-yang kala itu masih bernama PSSI, pada tahun 1963. Era sepakbola Maxi adalah yang terbaik setelah era Ramang. Nama besar Indonesia masih bergaung di seantero jagat sepakbola. Bahkan pada tahun 1965, Maxi bersama tim PSSI berkesempatan menjajal kemampuan di luar negeri dengan melakukan tur keliling Eropa, menyinggahi beberapa negara sepakbola antara lain Belanda, Jerman Barat, Bulgaria dan Yugoslavia.
Maxi menunjukkan kecanggihan olah bola serta naluri mencetak gol yang superior selama tur tersebut. Bahkan dirinya ditaksir untuk bermain di salah satu klub terkuat Eropa kala itu, SV Werder Bremen, yang dilatih pelatih legendaris asal jerman, Uwe Seller. Bremen yang kala menjadi juara Bundesliga dan beberapa kompetisi tingkat Eropa, hanya berhasil menang tipis 6-5 melawan timnas Indonesia. Maxi mencetak dua gol pada laga tersebut, sedangkan 3 lainnya merupakan hattrick tandemnya, Soetjipto Soentoro.
Spoiler for 4. Maladi:

Raden Maladi Lahir pada tanggal 12 Agustus 1912 di Surakarta, Jawa Tengah. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua PSSI periode 1950-1959. Jabatan yang pernah di jabat beliau di pemerintahan antara lain Menteri Penerangan periode 1959-1962 dan Menteri Pemuda dan Olah Raga periode 1964-1966.
Sebelum berkecimpung di dunia politik, beliau aktif sebagai pemain sepakbola. R Maladi merupakan penjaga gawang kesebelasan timnas Indonesia sampai tahun 1940-an.
Setelah pensiun sebagai pemain sepakbola, beliau tetap berkiprah di dunia sepakbola. Beliau memimpin PSSI periode 1950-1959.
Pada era R. Maladi timnas Indonesia di latih oleh pelatih asing Tony Pogacnik (Yugoslavia) untuk meningkatkan prestasi Indonesia di Asian Games 1 New Delhi.
R. Maladi meninggal di Jakarta, 30 April 2001 dan di makamkan di Makam Pahlawan Kalibata.
Pada tanggal 4 Agustus 2003, pemerintahan kota Solo yang di pimpin Walikota Slamet Suryanto mengubah nama Stadion Sriwedari menjadi Stadion R. Maladi sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang sekaligus desainer stadion tersebut. Pengubahan tersebut atas usulan Paguyuban Eks Tentara Pelajar Brigade 17 Surakarta. Semula nama R. Maladi akan diabadikan sebagai nama stadion Manahan. namun dengan alasan kesejarahan, Pemkot akhirnya memutuskan mengganti nama Stadion Sriwedari.
Spoiler for 5. Abdul Kadir:

Abdul Kadir (lahir di Denpasar, Bali, 27 Desember 1948 – meninggal di Jakarta, 4 April 2003 pada umur 54 tahun) merupakan pemain Sepak Bola dari Persebaya Surabaya, klub Sepak Bola Indonesia, yang dapat berposisi sebagai Penyerang Kiri Luar. Ia merupakan pemain timnas periode 1965-1978.
Abdul Kadir (lahir di Denpasar, Bali, 27 Desember 1948 – meninggal di Jakarta, 4 April 2003 pada umur 54 tahun) merupakan pemain Sepak Bola dari Persebaya Surabaya, klub Sepak Bola Indonesia, yang dapat berposisi sebagai Penyerang Kiri Luar. Ia merupakan pemain timnas periode 1965-1978.
Spoiler for 6. Soetjipto "Gareng" Soentoro:

Soetjipto Soentoro (lahir di Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 1941 – meninggal di Jakarta, 12 November 1994 pada umur 53 tahun) merupakan pemain Sepak Bola dari Persija, klub Sepak Bola Indonesia, yang dapat berposisi sebagai Penyerang Bayangan.
Sebelum bergabung dalam klub, saat berumur belasan tahun Soetjipto bermain sepak bola di jalanan di daerah Kebayoran Baru, Jakarta, pada tahun 1954. Selanjutnya, ia menjelma menjadi salah satu pemain hebat sepanjang sejarah sepak bola Indonesia hingga level asia.
Peruntungannya berubah sejak bergabung dengan IPPI Kebayoran. Namanya mulai dikenal publik ketika membela Setia Jakarta (klub internal Persija). Pelatih timnas junior, Djamiat Dalhar, mengetahui potensi yang dimiliki Soetjipto dan menarikanya ke timnas junior. Nama pria kelahiran 16 Juni 1941 itu kian menanjak ketika masuk dalam timnas senior yang dilatih Antun Pogačnik.
Di usianya yang baru 16 tahun Soetjipto sudah memperkuat Persija. Gareng pun menjadi sebutan Soetjipto lantaran tubuhnya yang tak tinggi itu. Bakatnya yang luar biasa telah terlihat ketika ia mengolah si kulit bundar di lapangan Blok A Kebayoran. Lahir dan besar di lingkungan keluarga Soentoro Djajasapoetro yang menyukai sepakbola. Kakak Si Gareng adalah Soegijo dan Soegito pemain Persija tahun 1956-1964.
Berkat tangan dingin dari drg.Endang Witarsa, ia bersama dengan Yudo Hadianto, Fan Tek Fong, Kiat Seek, Dominggus, Supardi, Didik Kasmara, Surya Lesmana berhasil menjadi bagian dari skuat senior tim Persija.
Gareng memulai debut pertamanya di Persija dengan kemenangan 7-0 atas PSP. Empat gol diantaranya dicetak oleh Gareng. Ia juga berhasil mencetak gol pembuka ketika melawan PSB.
Persija juga berhasil menggunduli tim promosi divisi utama dari Ambon 4-0. Ketika itu PSA Ambon dihuni oleh pemain bintang timnas seperi Jacob Sihasale.
Pada tanggal 25 Juli 1964 Persija menghadapi PSM Makassar. Walau Persija sempat tertinggal lebih dulu oleh PSM Makassar, akhirnya Persija berhasil menyamakan kedudukan melalui gol Soetjipto.
Pada pertandingan melawan PSMS, ia memborong empat gol. Akhirnya Persija lolos ke putaran final setelah pada pertandingan melawan Persib menang 3-1. Dua gol diantaranya dicetak melalui hat-triknya.
Soetjipto Soentoro berhasil membawa Persija juara kompetisi Perserikatan tahun 1964 setelah dalam partai final mengalahkan Persebaya yang ketika itu Persebaya diperkuat oleh pemain bintang Timnas Indonesia seperti Andjiek Ali Nurdin, Jacob Sihasale, dan Junaedi Abdillah dengan skor 4-1 yang diselenggarakan di Stadion Istora Senayan. Ketika itu, ia berhasil membawa Persija menjadi tim yang tak terkalahkan dalam satu musim. Ia menjadi top skor Perserikatan tahun 1964 dengan 16 gol. Setelah itu, ia menjadi ikon fenomenal bagi Persija.
Spoiler for 6. Achad Mawir:

Achmad Nawir (lahir pada 1 Januari 1911 – meninggal pada bulan April 1995 pada umur 84 tahun) merupakan seorang mantan pemain sepak bola Indonesia yang berposisi sebagai gelandang. Ia bermain di tim HBS Soerabaja dan untuk tim nasional Hindia-Belanda.
Achmad Nawir bermain untuk salah satu klub Hindia-Belanda yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, yakni HBS Soerabaja.
Achmad Nawir juga bermain untuk tim nasional Hindia-Belanda, dan saat Hindia-Belanda masuk ke Piala Dunia FIFA 1938 di Perancis, Achmad terpilih menjadi kapten tim, sehingga menjadikan dirinya satu – satunya kapten Indonesia di Piala Dunia FIFA hingga saat ini.
Achmad Nawir merupakan seorang dokter dan selalu memakai kacamata ketika bertanding sepak bola, termasuk ketika menghadapi Hongaria di Piala Dunia 1938.
Spoiler for 7.Rochy Melkiano Putiray:

(lahir di Maluku, Indonesia, 26 Juni 1970; umur 43 tahun) adalah mantan pesepak bola Indonesia dengan posisi striker. Rocky Putiray mengawali karier profesional di Arseto Solo, ia mudah dikenali dengan gaya rambutnya yang unik, kerap kali mengecat rambutnya dengan berbagai warna, kadang menggunakan sepatu dan kaos kaki yang berbeda.
Salah satu pemain Indonesia yang sukses di liga asing ini, pertama kali mencoba peruntungannya dengan bermain di liga Hongkong, bersama Instant Dict, pada tahun 2001. Bermain dalam 15 pertandingan, Rocky sukses mencetak 20 gol. Pada tahu 2002 – 2004, Rocky pindah ke Kitchee SC. Selama 2 tahun disana, dia sukses menjadi andalan dengan 41 gol dari 20 pertandingan. Kemudian pada 2004 – 2005, Rocky bergabung dengan South China AA. Dari 25 pertandingan, Rocky sukses menjebloskan 15 gol. Musim 2005 merupakan akhir petualangan Rocky di liga Hongkong, karena setelah itu, dia kembali berkiprah di Indonesia untuk bermain dengan PSPS Pekanbaru, dan mengakhiri karier sepak bolanya di PSS Sleman tahun 2006.
Dalam dunia pendidikan, Rocky tertarik untuk mengambil jurusan Fakultas Hukum. Rocky telah menyelesaikan studi S1 di perguruan tinggi Universitas Surakarta (UNSA), sebuah universitas swasta di Jawa Tengah, Indonesia.
Spoiler for 8.Aples Gideon Tecuari:

Aples Tecuari , (lahir 21 April 1973; umur 40 tahun) adalah seorang mantan pemain sepak bola Indonesia asal Papua. Pada tahun 2011, ia dipercaya melatih tim sepak bola provinsi Papua Barat untuk persiapan pra-PON Wilayah VI di Jayapura, 2-6 Juli 2011. Usai gantung sepatu, mulai tahun 2009 ia meneruskan karier sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua Barat hingga kini.
Dalam karier sebagai pemain, ia pernah memperkuat Persipura Jayapura, Pelita Jaya Jakarta, Persija Jakarta, PSPS Pekanbaru, dan Perseman Manokwari. Prestasi tertinggi bersama timnas PSSI yang diraih Aples Gideon Tecuari, adalah medali perak Sea Games 1997 di Jakarta, Perak Tiger Cup 1997 di Jakarta, Juara 1 LG Cup pertama di Vietnam. Sebagai pelatih, ia telah mengantongi lisensi B dan akan mendapat lisensi A pada tahun 2013.
Spoiler for 9.Fachry Husaini:

Fachry Husaini (lahir di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, 27 Juli 1965; umur 48 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia era 1990-an. Selama kariernya, dia bermain di posisi gelandang yang mengemban tugas sebagai seorang playmaker saat masih bermain di tim nasional sepak bola Indonesia maupun di klub-klub sepak bola yang pernah dibelanya. Dia lebih dikenal identik dengan tim Pupuk Kaltim karena sembilan musim dia membela PKT (1992-2001). Namun prestasi terbaik Fachry bersama PKT hanyalah finalis Liga Indonesia pada musim 1999/2000.
Setelah pensiun sebagai pemain sepak bola pada tahun 2001, Fachry mengikuti kursus kepelatihan dan berhasil mendapat sertifkat C-1 dan sertifikat ini menjadi modal buat melatih sebuah tim sepak bola. Setelah sempat jadi pelatih Diklat Manado pada tahun 2001-2002, ia berkesempatan menimba ilmu pada Peter Withe, pelatih kepala timnas U-23, senior (2005) dan menjadi pelatih tim sepak bola PON Kalimantan Timur dan berhasil meraih predikat juara ketiga. Kini ia menjadi pelatih Bontang PKT menggantikan Mustaqim yang mundur dari jabatannya.
Mantan pemain timnas era 90-an itu dipilih oleh Badan Tim Nasional (BTN) menjadi pelatih U-14 dan U-17 sejak 10 Maret2014.
Spoiler for 10. Firman Utina:

Firman Utina (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 15 Desember 1981; umur 32 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia berdarah Gorontalo yang berposisi sebagai gelandang tengah. Saat ini ia bermain untuk tim Persib Bandung di Liga Super Indonesia dan juga mewakili negara dalam Timnas sepak bola Indonesia.
Dengan tinggi badan 165 cm, ia dikenal sebagai pemain yang memiliki akselerasi dan daya jelajah yang tinggi di lapangan tengah sehingga menjadi salah satu pemain tidak tergantikan dalam beberapa tahun terakhir. Karena penampilannya itu pula ia beberapa kali mendapatkan predikat sebagai pemain terbaik, salah satunya ketika pertandingan Indonesia melawan Bahrain di Piala Asia 2007.
Spoiler for 11. Aji Santoso:
Aji Santoso (lahir di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, 6 April 1970; umur 43 tahun) adalah seorang pelatih dari Timnas Indonesia. Aji sebelumnya menangani Persebaya Surabaya, Persema Malang dan Persisam Putra Samarinda. Aji juga pernah ditunjuk untuk menjadi pelatih mantan klub semasa dia bermain, Persebaya Surabaya untuk babak Play-off Liga Super Indonesia 2009. Sebelum menangani Persebaya ia juga mengarsiteki Persik Kediri.
Ia adalah mantan pemain Arema Malang, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, Persema Malang, dan timnas sepak bola Indonesia. Sebagai pemain sepak bola Aji Santoso berposisi sebagai pemain belakang khususnya pada sektor kiri. Aji Santoso yang berposisi sebagai bek kiri dalam bermain juga aktif dalam membantu serangan.
Aji Santoso juga bermain untuk Indonesia untuk berbagai ajang kejuaraan internasional. Di tim nasional, prestasi Aji sungguh sensasional. Namanya kian kondang setelah ikut mempersembahkan medali emas SEA Games 1991. Masa keemasan sebagai pemain nasional ia bukukan dalam kurun waktu 1990-1999.
Aji tetap berprestasi di kompetisi nasional. Ia tercatat sebagai pemain yang tiga kali mempersembahkan gelar juara kompetisi PSSI, yakni untuk Arema (1992/1993), Persebaya Surabaya (1997/1998), dan PSM Makassar (1999/2000). Yang membanggakan Aji lagi, ia tak pernah duduk sebagai pemain cadangan, baik saat di tim nasional maupun di klub profesional. Ia selalu menjadi pemain utama dan pemegang ban kapten. Setelah gantung sepatu, Aji Santoso beralih profesi menjadi pelatih sepak bola. Sebagai Pelatih dia terakhir membawa PON Jatim meraih emas, pada pagelaran PON Kaltim 2008 dan meraih perunggu pada ajang POM ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia.
Spoiler for 12. Tan Liong Houw:
Tan Liong Houw atau Latief Harris Tanoto (lahir di Surabaya, 26 Juli 1930; umur 83 tahun) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun 1950-an. Ia dikenal sebagai pemain lini tengah yang perkasa dan ditakuti lawan. Posisinya sebagai gelandang kiri, mengharuskan Liong Houw bermain keras untuk merusak formasi lawan.
Pada masanya, Tan Liong Houw menjadi pujaan tim nasional dan Persija Jakarta. Bahkan para pendukung Tim Persija memberinya julukan "Macan Betawi" walaupun Ia berasal dari etnis Tionghoa.
Tan Liong Houw tumbuh remaja di Jakarta. Nama "naga" (liong) dan "harimau" (hauw) yang diberikan orangtuanya adalah dua binatang lambang keperkasaan dalam mitologi etnis Tionghoa. Ibunya, Ong Giok Tjiam, semula tidak mengizinkannya menjadi pemain sepak bola. Adiknya, Tan Liong Pha, yang sempat bermain untuk Persib Bandung Junior terpaksa berhenti karena larangan sang ibu. Berbeda dengan adiknya, Liong Houw tetap bermain sepak bola secara sembunyi-sembunyi. Sang ibu memergokinya dan kemudian mengirimnya ke Semarang agar tak bermain sepak bola lagi. Namun nasib baik justru mempertemukannya dengan orang-orang dari klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), perkumpulan olah raga warga keturunan Tionghoa kala itu. Orangtuanya kemudian meminta Jaya]]), perkumpulan olah raga warga keturunan Tionghoa kala itu. Orangtuanya kemudian meminta Liong Houw kembali ke Jakarta. Sang ayah akhirnya mengijinkan bermain bola setelah menyaksikan kegigihan anaknya mengasah bakat. Liong Houw kemudian dipanggil masuk ke tim nasional dan prestasinya semakin bersinar.
Tanoto, demikian ia juga biasa dipanggil, tidak menggantungkan penghidupan dari bermain sepak bola. Bermain sepak bola baginya benar-benar karena hobi dan mengabdi kepada negara. Pada waktu itu sebagian dari pemain Tim Sepakbola Nasional Indonesia berasal dari keturunan Tionghoa, seperti Thio Him Tjiang, Kwee Kiat Sek, Phoa Sian Liong, Lie Kiang An, Chris Ong, dan Harry Tjong.
Tudingan bahwa para pemain keturunan Tionghoa akan bermain setengah hati dan kendur semangatnya bila Indonesia bertemu dengan pemain dari Cina sempat membuat Tanoto dan kawan-kawan sakit hati. Pada dekade 1950-an Indonesia sempat dua kali bertemu dengan Republik Rakyat Tiongkok, yaitu pada kualifikasi Olimpiade 1956 dan kualifikasi Piala Dunia 1958. Faktanya, Indonesia selalu sukses melewati para pemain Cina.
Tanoto dan kawan-kawan berhasil masuk perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Pada ajang inilah cerita legendaris itu tertoreh. Tim Merah Putih berhasil menahan Uni Soviet 0-0 sebelum akhirnya kalah 0-4 pada partai ulang hari berikutnya. Tanoto bermain dengan "keringat darah". Kaus kakinya sampai robek di tengah pertandingan karena termakan permainan keras lawan.
Setelah Asian Games 1962 di Jakarta, Tan Liong Houw memutuskan pensiun. Hidupnya kemudian lebih banyak dihabiskan bersama istrinya, Loe Lan Eng atau sekarang lebih akrab dipanggil Hilda Lanawati, dan empat anaknya: Wahyu Tanoto, Budhi Tanoto, Indah Nurjani, dan Harijanto Tanoto. Dua anaknya, Wahyu Tanoto dan Budhi Tanoto, meneruskan bakat sang ayah. Keduanya sempat menjadi pemain nasional pada tahun 1980-an.
Tan Liong Houw bermain untuk Tim Merah Putih selama duabelas tahun sejak 1950.
Thanks For Omura.Racing
Diubah oleh mynameisriez 01-04-2014 12:07
0
82.1K
Kutip
783
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan