- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kenapa Likuiditas Tiba-tiba Mengering


TS
kemalmahendra
Kenapa Likuiditas Tiba-tiba Mengering
Begitu cepatnya perekonomian negeri ini berubah. Kondisi yang semula berjalan baik-baik, tiba-tiba saja berubah arah. Setelah kita dientakkan oleh defisit neraca transaksi berjalan yang membengkak pada kuartal kedua, keadaan tidak juga kunjung membaik dan kini persoalan baru malah muncul yaitu mengeringnya likuiditas di masyarakat.
Keringnya likuiditas sangat dirasakan oleh sektor perbankan. Mereka kini berupaya untuk bisa menarik dana sebesar mungkin dari masyarakat untuk menjaga likuiditas yang dibutuhkan.
Keadaan ini harus diantisipasi secara tepat, karena loan to deposit ratio di perbankan umumnya sudah mencapai 90 persen. Inilah yang membuat banyak bank berupaya menarik dana yang ada untuk menjaga likuiditas mereka.
Apabila bank-bank besar sudah menawarkan suku bunga deposito di atas 10 persen berarti ada kebutuhan likuiditas yang tinggi di perbankan. Bank-bank kecil bebannya akan semakin bertambah karena mereka harus menawarkan bunga yang lebih tinggi lagi untuk menahan orang mau menyimpan dananya di bank mereka.
Kecenderungan terjadinya era uang ketat dirasakan ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, BI Rates menjadi 7,5 persen. Kebijakan ini ikut mendorong perbankan menaikkan suku bunga simpanan karena adanya tanda pengetatan moneter yang dilakukan BI.
Kebijakan ini sebenarnya memukul dunia usaha, karena mereka harus menanggung biaya uang yang lebih mahal. Padahal pemerintah sendiri berharap sektor riil tetap bergerak, apalagi terakhir ini justru terjadi peningkatan jumlah angka pengangguran.
Dalam kondisi seperti ini yang dibutuhkan adalah ketenangan. Pemerintah harus tampil untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mengendalikan keadaan dan mengeluarkan kebijakan yang mampu memberikan terobosan.
Berulangkali kita sampaikan bahwa pemerintah harus memperhatikan perekonomian dalam negeri. Pemerintah jangan takut apabila pengusaha mendapatkan untung. Justru ketika bisnis mereka membaik merupakan berkah bagi pemerintah, karena pajak yang bisa didapatkan akan jauh lebih besar.
Yang dibutuhkan pengusaha adalah kemudahan perizinan dan kepastian hukum. Pemerintah harus mengajak para kepala daerah untuk bersahabat dengan para pengusaha. Harus disadari bahwa sekarang ini pengusahalah yang menjadi penyedia lapangan kerja terbesar bagi rakyat.
Kondisi yang dihadapi pengusaha sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan akan memberikan "karpet merah" kepada masuknya investasi. Tetapi kenyataannya, pengusaha selalu dipersulit untuk menanamkan modalnya.
Hasil survai yang dikeluarkan Bank Dunia tentang "Doing Business" menunjukkan bahwa kita tidak bersahabat kepada dunia usaha. Posisi kita yang berada di urutan ke-120, memperlihatkan betapa repotnya berbisnis di Indonesia itu.
Bandingkan dengan Malaysia yang berada di urutan keenam. Bahkan Thailand dan Filipina pun peringkatnya jauh lebih dari dari kita. Jangan bandingkan dengan Singapura yang dikenal sebagai salah satu tujuan utama investasi dunia.
Tentu menjadi tanya besar, mengapa Singapura yang nyaris tidak memiliki apa-apa, bisa menjadi tujuan utama investasi dunia, sementara kita yang memiliki segalanya tidak menjadi pilihan? Jawaban tidak lain adalah karena kita tidak bersahabat kepada yang namanya pengusaha.
Kita harus mengubah paradigma kita terhadap pembangunan yang akan kita lakukan dan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Kita membutuhkan peran serta dari pengusaha yang memiliki rasa nasionalisme, bukan yang suka melakukan kongkalingkong.
Tanpa ada keinginan untuk mengubah cara pandang itu, maka kita tidak akan bergerak maju. Kita justru menyia-nyiakan peluang yang kita miliki dan kesempatan yang ada. Kita baru tersadar ketika kondisi perekonomian sudah mengimpit seperti yang kita sedang rasakan sekarang ini.
Keringnya likuiditas sangat dirasakan oleh sektor perbankan. Mereka kini berupaya untuk bisa menarik dana sebesar mungkin dari masyarakat untuk menjaga likuiditas yang dibutuhkan.
Keadaan ini harus diantisipasi secara tepat, karena loan to deposit ratio di perbankan umumnya sudah mencapai 90 persen. Inilah yang membuat banyak bank berupaya menarik dana yang ada untuk menjaga likuiditas mereka.
Apabila bank-bank besar sudah menawarkan suku bunga deposito di atas 10 persen berarti ada kebutuhan likuiditas yang tinggi di perbankan. Bank-bank kecil bebannya akan semakin bertambah karena mereka harus menawarkan bunga yang lebih tinggi lagi untuk menahan orang mau menyimpan dananya di bank mereka.
Kecenderungan terjadinya era uang ketat dirasakan ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, BI Rates menjadi 7,5 persen. Kebijakan ini ikut mendorong perbankan menaikkan suku bunga simpanan karena adanya tanda pengetatan moneter yang dilakukan BI.
Kebijakan ini sebenarnya memukul dunia usaha, karena mereka harus menanggung biaya uang yang lebih mahal. Padahal pemerintah sendiri berharap sektor riil tetap bergerak, apalagi terakhir ini justru terjadi peningkatan jumlah angka pengangguran.
Dalam kondisi seperti ini yang dibutuhkan adalah ketenangan. Pemerintah harus tampil untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mengendalikan keadaan dan mengeluarkan kebijakan yang mampu memberikan terobosan.
Berulangkali kita sampaikan bahwa pemerintah harus memperhatikan perekonomian dalam negeri. Pemerintah jangan takut apabila pengusaha mendapatkan untung. Justru ketika bisnis mereka membaik merupakan berkah bagi pemerintah, karena pajak yang bisa didapatkan akan jauh lebih besar.
Yang dibutuhkan pengusaha adalah kemudahan perizinan dan kepastian hukum. Pemerintah harus mengajak para kepala daerah untuk bersahabat dengan para pengusaha. Harus disadari bahwa sekarang ini pengusahalah yang menjadi penyedia lapangan kerja terbesar bagi rakyat.
Kondisi yang dihadapi pengusaha sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan akan memberikan "karpet merah" kepada masuknya investasi. Tetapi kenyataannya, pengusaha selalu dipersulit untuk menanamkan modalnya.
Hasil survai yang dikeluarkan Bank Dunia tentang "Doing Business" menunjukkan bahwa kita tidak bersahabat kepada dunia usaha. Posisi kita yang berada di urutan ke-120, memperlihatkan betapa repotnya berbisnis di Indonesia itu.
Bandingkan dengan Malaysia yang berada di urutan keenam. Bahkan Thailand dan Filipina pun peringkatnya jauh lebih dari dari kita. Jangan bandingkan dengan Singapura yang dikenal sebagai salah satu tujuan utama investasi dunia.
Tentu menjadi tanya besar, mengapa Singapura yang nyaris tidak memiliki apa-apa, bisa menjadi tujuan utama investasi dunia, sementara kita yang memiliki segalanya tidak menjadi pilihan? Jawaban tidak lain adalah karena kita tidak bersahabat kepada yang namanya pengusaha.
Kita harus mengubah paradigma kita terhadap pembangunan yang akan kita lakukan dan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Kita membutuhkan peran serta dari pengusaha yang memiliki rasa nasionalisme, bukan yang suka melakukan kongkalingkong.
Tanpa ada keinginan untuk mengubah cara pandang itu, maka kita tidak akan bergerak maju. Kita justru menyia-nyiakan peluang yang kita miliki dan kesempatan yang ada. Kita baru tersadar ketika kondisi perekonomian sudah mengimpit seperti yang kita sedang rasakan sekarang ini.
0
1.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan