- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Shell Shock dan PD I
TS
ardimaski
Shell Shock dan PD I
Spoiler for No repost:
“...everyone had a 'breaking point': weak or strong, courageous or cowardly - war frightened everyone witless...”
Spoiler for Intermezzo:
Segera setelah beberapa pertempuran awal Perang Dunia I, Angkatan Bersenjata Inggris menerima laporan mengenai banyaknya prajurit yang mengalami pusing-pusing, telinga berdengung, tremor, bahkan amnesia. Ada pula prajurit-prajurit yang sudah menunjukkan gejala nervous breakdownatau mental breakdown. Enam puluh sampai delapan puluh persen prajurit di garis depan menunjukkan gejala neurasthenia (kelelahan bertempur), dan 10% lainnya mengidap conversion disorder (kebutaan, kebisuan, kelumpuhan, atau kejang-kejang yang disebabkan oleh tekanan psikologis) dan disosiasi. Gejala-gejala yang muncul sangat mirip dengan gejala-gejala pasien yang mengalami gangguan syaraf atau otak, sehingga banyak yang menyangka fenomena ini timbul akibat pemboman artileri. Istilah shell shock sendiri dicetuskan oleh seorang psikiater bernama Charles Myers.
Seiring berjalannya waktu, penjelasan mengenai faktor penyebab shell shock kembali dipertanyakan karena sebagian besar prajurit yang mengalami shell shock tidak berada di wilayah yang terkena pemboman hebat. Charles Myers sendiri merubah pandangannya setelah beliau pergi ke garis depan untuk menjadi konsultan psikiatri bagi Angkatan Bersenjata Inggris. Dari beberapa kasus shell shock yang beliau tangani, beliau mengambil kesimpulan bahwa gejala-gejala di atas timbul adalah manifestasi dari trauma psikologis yang dialami prajurit. Gejala-gejala tersebut merupakan reaksi alamiah ketika seorang prajurit mengalami atau melihat kejadian yang traumatik. Setelah mengalami kejadian traumatik, seseorang secara sadar ataupun tidak akan mencoba untuk memecah atau mengubur memori-memori tersebut di dalam alam bawah sadarnya, dengan cara memisahkan diri dari realita karena memori-memori tersebut muncul dari realita yang telah mereka lihat atau rasakan. Proses ini disebut juga dengan disosiasi. Akhirnya muncullah gejala-gejala seperti amnesia parsial atau ekspresi “a thousand yard stare”. Tremor dan kelumpuhan yang terjadi juga merupakan hasil dari proses alam bawah sadar untuk mempertahankan proses disosiasi tersebut.
Pada masa berikutnya shell shock dikenal juga dengan sebutan combat stress reaction, yang masih digunakan hingga sekarang. Psikologi modern menyebut shell shock, terutama jika efeknya berkepanjangan, dengan sebutan Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD.
Beberapa contoh prajurit dengan "a thousand yard stare"/pandangan seribu yard:
Contoh a thousand yard stare
Ada yang tidak biasa sama sinar mata ini prajurit
Prajurit di pojok kiri bawah lagi ngelamun dengan ekspresi a thousand yard stare
Spoiler for Penyebab:
Shell shock bisa muncul secara instan, bisa juga akibat akumulasi kelelahan bertempur atau trauma dalam jangka waktu tertentu. Dibawah ini adalah kondisi-kondisi yang memicu munculnya shell shock di kalangan prajurit PD I.
1. Trauma
Mengalami atau menyaksikan kejadian yang tak seharusnya disaksikan dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Menusuk lawan dengan bayonet di perut atau wajah, melihat kawan meregang nyawa, menemukan mayat kawan/lawan yang kondisinya memilukan, mengalami pemboman hebat, atau hampir tewas hanyalah sedikit dari banyak kejadian-kejadian traumatik yang dapat terjadi saat bertugas di garis depan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, trauma ini akan terus membekas di alam bawah sadar hingga akhir hayat. Banyak veteran PD I yang hingga tua masih dihantui oleh kejadian-kejadian yang terjadi saat mereka bertugas.
"Pada sore harinya terjadi dua insiden kecil yang selalu membuatku bingung; dan mulai sekarang tak akan bisa ku jelaskan. Yang pertama adalah pandangan sekilas dari sesosok mayat tanpa kepala, atau sesuatu yang tampak seperti mayat tanpa kepala, terduduk sendirian di sebuah lubang galian dangkal. Berusaha mencari orang yang kukenal, kujulurkan kepalaku dan melihat hal itu; hal itu membuatku syok hingga aku tak sanggup melihatnya lagi. Bagaimana mungkin sesosok mayat tanpa kepala berada dalam posisi dan tempat seperti itu aku tak dapat membayangkannya."
-Kopral Frank Wilfrid Watts, Batalion 15, Resimen London (Senapan Pamong Praja)-
"Hanya sesaat sebelum kami tiba di parit kami, sesuatu terjadi dan aku tak dapat melupakannya. Serdadu muda dari seksi pertamaku sendiri terkena serpihan mortir diantara kedua matanya. Teriakannya menghantuiku. "Oh tuhan! Oh tuhan!" dia cumiik lagi dan lagi. Kami meninggalkannya dimana ia terbaring, dan ia terus mengerang "Oh tuhan! Oh tuhan aku buta!" semua itu terus terngiang di telingaku."
-Prajurit Fred Ball-
"Kami berjalan melewati seseorang dari Kompi A. Dia terbaring bersimbah darah karena luka menganga dari bahu hingga pinggulnya. Saat kami menghampirinya, dia berkata "Tembak aku". Dia sudah tak dapat tertolong lagi, dan sebelum kami dapat menyiapkan sebuah revolver ia sudah keburu tewas. Dan kata terakhir yang ia ucapkan adalah "Ibu". Aku tak dapat melupakannya. Itu adalah salah satu ingatan yang menghantuiku seumur hidup, membekas di dalam pikiranku."
-Prajurit Henry John "Harry" Patch, Infantri Ringan Ketujuh Duke of Cornwall-
2. Ketidaknyamanan saat bertugas
Sudah merupakan hal yang lumrah jika garis depan bukanlah tempat yang nyaman. Terjaga selama berhari-hari, waktu istirahat yang sedikit, tidur yang kurang nyenyak, kurang makan, pikiran yang selalu tegang, adrenalin yang selalu mengalir, serta tidak mandi selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu adalah hal yang sudah pasti dialami oleh seorang prajurit garis depan. Namun saat PD I hal ini diperparah dengan kondisi parit pertahanan yang terkadang tidak memadai. Jika hujan, parit-parit dengan drainase yang buruk akan berubah menjadi kubangan air dan lumpur. Dan lumpur seakan menjadi landscape yang identik dengan garis depan di PD I. Prajurit harus beraktivitas di dalam kubangan ini selama berminggu-minggu. Baju mereka selalu kotor dan basah. Sepatu mereka terisi air dan lumpur, dan mereka jarang punya kesempatan untuk sekedar membuka sepatu untuk mengeringkan kaki. Belum lagi gangguan dari kutu dan tikus dan merajalela di parit. Kutu itu bersarang di pakaian dan rambut mereka, dan tikus-tikus menggerogoti ransum dan peralatan mereka. Bahkan prajurit yang paling kuat sekalipun tidak akan sanggup bertahan dalam kondisi yang semacam itu dalam waktu lama. Tak heran jika banyak prajurit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri atau melukai dirinya sendiri agar bisa dievakuasi keluar.
Prajurit terkadang harus tidur di lubang-lubang tanah seperti ini
Lumpur kental setinggi lutut
Foto PD I yang sudah di beri warna. Bisa dilihat bagaimana berlumpurnya kondisi garis depan di Front Barat pada PD I
Berkubang di lumpur setiap hari
Tidak heran kalau prajurit di Front Barat menyebut garis depan dengan sebutan "a muddy nightmare"
3. Ketegangan dan ketidakpastian
PD I yang sifatnya statis menutup kemungkinan perang dapat berakhir dengan cepat. Perang menjadi berlarut-larut dan tidak ada kepastian kapan akan berakhir. Prajurit yang sudah lama bertugas di garis depan pasti mengalami frustrasi akibat perang yang berkepanjangan. Belum lagi ancaman kematian yang terus menghantui setiap detiknya. Dan setiap prajurit harus bertugas dengan perasaan ini setiap saat, selama mereka bertugas. Akumulasi dari kecemasan, ketakutan, dan frustasi menjadi pemicu munculnya depresi yang dapat berujung pada kondisi shell shock.
4. Pertempuran yang intens
Penggunaan senapan mesin atau artileri memang sudah dimulai jauh sebelum PD I. Namun, penggunaan senapan mesin dan artileri dalam jumlah besar baru terjadi pada PD I. Sampai-sampai serangan frontal yang menjadi ciri khas dari peperangan pada masa sebelumnya menjadi tindakan konyol. Ketika peperangan di parit-parit masih berada dalam fase awal, kedua belah pihak masih menggunakan taktik serangan frontal. Dan hampir seluruhnya berakhir dengan pembantaian. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa PD I memakan korban hingga belasan juta jiwa. Tak jarang satu batalion atau resimen tersapu habis dalam sebuah serangan. Senapan mesin terbukti tidak dapat dilawan dengan serangan model seperti itu.
Dan belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia pemboman artileri terjadi hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu, yang pada PD I menjadi penanda sebuah ofensif besar akan dilangsungkan. Maka tak heran jika angka prajurit yang menderita shell shock meningkat sesudah terjadi ofensif besar. Prajurit menyebut hujan peluru dan mortir yang menghajar mereka saat melakukan ofensif dengan sebutan "the maelstorm of fire", "the storm of steel", atau "the mincing machine".
5. Kelelahan bertempur
Dalam ilmu kemiliteran, ada sebuah jangka waktu tertentu dimana prajurit yang bertugas harus ditarik dan digantikan oleh prajurit lain. Hal ini berkaitan dengan tingkat efektivitas prajurit, yang setelah mencapai klimaks akan terjadi penurunan secara signifikan. Penurunan ini berkaitan dengan faktor kelelahan baik secara fisik maupun mental. Prajurit yang sudah mengalami kelelahan akut dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Kelelahan yang terakumulasi dapat menjadi pemicu timbulnya gejala-gejala shell shock. Kelelahan ini disebut juga dengan neurasthenia.
“When you hear the whistling in the distance your entire body preventively crunches together to prepare for the enormous explosions. Every new explosion is a new attack, a new fatigue, a new affliction. Even nerves of the hardest of steel, are not capable of dealing with this kind of pressure. The moment comes when the blood rushes to your head, the fever burns inside your body and the nerves, numbed with tiredness, are not capable of reacting to anything anymore. It is as if you are tied to a pole and threatened by a man with a hammer. First the hammer is swung backwards in order to hit hard, then it is swung forwards, only missing your scull by an inch, into the splintering pole. In the end you just surrender. Even the strength to guard yourself from splinters now fails you. There is even hardly enough strength left to pray to God...”
- Surat dari seorang prajurit di garis depan
Spoiler for Gejala-gejala:
Gangguan pada kemampuan kognitif:
1. Reaksi yang lambat
2. Kelambatan dalam berpikir (istilah sekarang tulalit atau lemot)
3. Kesulitan dalam melakukan aktivitas rutin
4. Kesulitan dalam berkonsentrasi dan membuat keputusan
5. Kesulitan dalam mengambil inisiatif
6. Kelelahan
Gangguan pada sistem syaraf:
1. Pusing
2. Pegal-pegal
3. Ketidakmampuan untuk relaks/bersantai
4. Gemetar dan kejang
5. Keringat berlebih
6. Mual dan muntah-muntah
7. Hilangnya nafsu makan
8. Gangguan pencernaan
9. Peningkatan frekuensi buang air kecil (istilah sekarang beser)
10. Mengompol
11. Insomnia
12. Mimpi buruk
13. Gangguan saat tidur
14. Peningkatan frekuensi tidur
15. Melamun secara berlebihan
16. Cemas
17. Depresi
18. Bingung atau disorientasi
19. Sensitif (mudah marah, tersinggung, atau merasa terganggu)
20. Tendensi untuk bunuh diri
21. dll.
Spoiler for Penanganan:
Fenomena shell shockmaupun gangguan yang diakibatkan oleh pertempuran belum banyak dipahami pada fase awal PD I. Bahkan mereka-mereka yang mengidap depresi lalu melakukan desersi banyak yang ditembak mati dan di cap sebagai pengecut. Sedangkan untuk mereka-mereka yang menunjukkan gejala ringan di beri label "war neuroses", karena belum ada istilah ilmiah untuk menyebut gangguan jiwa akibat pertempuran. Bahkan ilmu psikologi sendiri baru dalam tahap perkembangan awal waktu itu. Sehingga psikologi masih belum bisa memberi jawaban terhadap fenomena yang terjadi. Meskipun begitu, PD I dianggap sebagai salah satu penyumbang signifikan bagi perkembangan ilmu psikologi karena riset awal mengenai gangguan psikis yang timbul akibat perang tidak mungkin ada tanpa adanya PD I.
Namun, jumlah korban yang menderita "war neuroses" atau "shell shock" semakin menggunung. Pada Pertempuran Somme 1916, yang dianggap sebagai salah satu pertempuran dengan korban jiwa terbesar sepanjang masa dan merupakan yang terbesar hingga saat itu, 40% dari korban yang terluka menunjukkan gejala-gejala shell shock. Angka tersebut membuat shell shock menjadi sebuah epidemi yang tidak dapat dibendung. Angkatan Bersenjata Inggris belum mempunyai metode, sarana-prasarana, maupun kemampuan finansial untuk menangani kasus-kasus shell shock secara sistematis.
Pada Pertempuran Passchendaele 1917, pihak Inggris telah mempunyai metode yang dipercaya dapat mencegah munculnya shell shock di kalangan prajurit dengan cara mengirim prajurit yang mulai menunjukkan gejala kelelahan ke garis belakang atau rumah sakit lapangan untuk beristirahat barang sehari atau dua hari. Serta perwira yang berada di atas prajurit tersebut diharapkan dapat melakukan pendekatan personal untuk meyakinkan si prajurit bahwa ia tidak apa-apa dan hanya butuh istirahat. Dan cara ini memang terbukti dapat menekan angka shell shock secara signifikan. Hanya 1% dari prajurit Inggris pada Pertempuran Passchendaele yang membutuhkan perawatan lebih lanjut. Sedangkan 75% lainnya langsung kembali ke garis depan.
"You must send your emotional cases down the line. But when you get these emotional cases, unless they are very bad, if you have a hold of the men and they know you and you know them (and there is a good deal more in the man knowing you than in you knowing the man) … you are able to explain to him that there is really nothing wrong with him, give him a rest at the aid post if necessary and a day or two’s sleep, go up with him to the front line, and, when there, see him often, sit down beside him and talk to him about the war and look through his periscope and let the man see you are taking an interest in him."
Kolonel Rogers, RMO/Black Watch 4
Namun apabila cara di atas belum cukup, biasanya prajurit yang menderita shell shock akan dikirim ke rumah sakit lapangan untuk mendapatkan perawatan. Jika gejala-gejala tidak hilang atau bertambah parah selama beberapa minggu, maka prajurit tersebut akan dikirim ke pusat psikiatris yang berada jauh di belakang garis depan untuk mendapatkan perawatan khusus.
Beberapa orang seperti Charles Myers, Thomas W. Salmon, dan Arthur Hurst berjasa besar terhadap pengembangan metode untuk menangani shell shock. Namun dari kesemuanya memiliki kesamaan. Yaitu ketiga orang tersebut berpendapat bahwa shell shock adalah gangguan mental dan psikis, bukan gangguan fisik. Maka penanganannyapun haruslah penanganan untuk orang-orang yang mengalami gangguan jiwa seperti dengan persuasi, pemberian sugesti, pemberian istirahat, pendekatan personal, hipnotis, konseling, terapi, dan penanganan yang tepat guna.
Seorang prajurit penderita shell shock
Ini prajurit menderita shell shock sampe badannya lumpuh
Seorang prajurit penderita shell shock yang sedang menjalani hipnoterapi
Terapi kejut listrik. Akibat dari salah kaprah mengenai shell shock yang dianggap berasal dari gangguan syaraf
Spoiler for Shell shock dan eksekusi:
Salah kaprah dan stigma melekat pada prajurit yang menderita shell shock, karena memang fenomena ini belum terlalu dipahami secara ilmiah ataupun medis pada masa itu. Maka tidak heran jika pihak Inggris mengeksekusi 346 prajuritnya dengan tuduhan desersi, pengecut, tidak melaksanakan perintah, atau meninggalkan pos tanpa seizin komandan. Namun pada 7 November 2006 pemerintah Inggris memberikan amnesti bersyarat kepada 346 prajurit yang dieksekusi.
Selain eksekusi dan pengadilan militer, prajurit yang mengalami shell shock juga seringkali diperlakukan secara tidak layak oleh perawat-perawat di rumah sakit lapangan karena dicap sebagai pengecut atau desertir. Perlakuan dan stigma yang diterima justru semakin menambah parah tekanan yang di derita oleh prajurit. Untungnya hal ini tidak berlangsung lama karena usaha-usaha dari beberapa pihak (terutama medis, dokter, dan psikiater) untuk menemukan cara penanganan yang tepat.
Spoiler for Penutup:
Hasil riset terhadap shell shock pada PD I menjadi dasar bagi perkembangan combat stress reaction, terutama dalam menangani gangguan mental dan kejiwaan yang dialami oleh prajurit pada konflik-konflik berikutnya dan juga bagi penanganan trauma di masyarakat sipil. Pada PD II, Perang Korea, dan Perang Vietnam penanganan bagi prajurit yang menderita CSR sudah jauh lebih baik daripada PD I.
Namun, tetap saja trauma yang dialami sewaktu perang tidak dapat hilang begitu saja. Mimpi buruk, flashback, dan fobia menjadi umum di kalangan veteran PD I. Sebagian mengalami kesulitan ketika kembali ke kehidupan sipil yang akhirnya berujung pada frustrasi. Seperti yang dialami oleh Robert Graves, seorang penulis dan pujangga terkenal Inggris yangt juga veteran PD I. Ia mengaku seringkali bermimpi buruk dan mengidap fobia terhadap telepon, karena ia pernah tersengat listrik ketika menggunakan telepon lapangan di garis depan. Sejak saat itu sampai akhir hayatnya ia tidak pernah menggunakan telepon. Otto Dix, seorang pelukis Jerman yang terkenal akan gambaran horor dari PD I melalui coretan-coretan kuasnya mengatakan bahwa ia setiap malam bermimpi buruk merangkak melalui reruntuhan bangunan dengan ketakutan. Dan masih banyak lagi veteran PD I yang mengalami trauma serupa paskaperang.
"Something was wrong. They put on civilian clothes again and looked to their mothers and wives very much like the young men who had gone to business in the peaceful days before August 1914. But they had not come back the same men. Something had altered in them. They were subject to sudden moods, and queer tempers, fits of profound depression alternating with a restless desire for pleasure. Many were easily moved to passion where they lost control of themselves, many were bitter in their speech, violent in opinion, frightening."
-Philip Gibbs, koresponden perang
Spoiler for :
Kalau bisa di kenapa harus di ?
Jangan lupa di
Salam nubi
Terima kasih
0
12.9K
Kutip
29
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan