warisankompeniAvatar border
TS
warisankompeni
Ketika FIFA Ikut Mengheningkan Cipta untuk Ramang



Rabu, 26 September 2012.


Puluhan materi tulisan mengenai sepakbola Eropa memenuhi pikiran saya. Ditemani segelas kopi hangat untuk menetralkan suhu tubuh dari udara musim gugur Swiss yang mulai dingin, saya duduk di depan komputer dan bersiap membuat suatu tulisan baru tentang sepakbola Eropa. Namun, sesuatu mengalihkan konsentrasi saya. Sejak pagi, dunia maya social media dipenuhi buzz tentang sebuah nama yang tidak asing di telinga masyarakat sepakbola nasional.

Nama itu adalah Ramang, sebuah nama legendaris di sepakbola Indonesia.

Penasaran, saya pun menelusuri sumber kehebohan di timeline Twitter. Ternyata tanggal 26 September merupakan peringatan 25 tahun setelah Ramang meninggalkan dunia ini. Yang membuat heboh adalah, momen tersebut ikut dikenang oleh Federasi sepakbola internasional, FIFA, yang mengangkat kisah hidup Ramang menjadi salah satu sorotan utama di website mereka. Cover story tersebut malah diberi judul mentereng, ‘Indonesian Who Inspired 50’s Meridian’ (yang kurang lebih berarti: Pemain yang Menginspirasi Puncak Prestasi Sepakbola Indonesia di Tahun 1950-an).

Seketika, saya merasa tertampar. Terus terang, sebelumnya saya sendiri tidak pernah tahu arti penting di balik tanggal tersebut. Nama ‘Ramang’ memang terbilang familiar khususnya bagi saya dan orang-orang yang lahir dan besar di kota Makassar. Namun, terus terang saja tidak pernah ada pikiran bahwa Ramang pernah menjadi buah bibir pengamat bola di luar negeri. Siapa yang menyangka, ternyata sorotan di website FIFA justru membuktikan kehebatan pemain bersejarah PSM tersebut.

Akhirnya, saya pun menunda niat untuk membuat tulisan sepakbola Eropa. Kali ini saya memutuskan untuk lebih dahulu menulis tentang sosok yang cukup monumental terhadap sepakbola nasional itu.

Cerita di website FIFA tadi menuturkan kejutan Ramang yang menghantarkannya menjadi legenda, yaitu ketika Indonesia tampil di Olimpiade 1958. Tim nasional kita menahan tim terkuat dunia saat itu, Uni Sovyet dengan skor 0-0. Kiprah Ramang disanjung setinggi langit karena dianggap sebagai macan kotak penalti yang sempat membuat kalang-kabut barisan pertahanan negara adidaya di pasca Perang Dunia kedua tersebut, termasuk kiper terbaik sepanjang masa Lev Yashin.

Pertandingan ajaib itu mengingatkan saya pada cerita film The Miracle Match atau yang terkadang disebut juga dengan judul The Game of Their Lives. Film Hollywood yang dibintangi Gerard Butler ini mengisahkan kisah heroik tim sepakbola Amerika Serikat di tahun 1950 yang berhasil mengalahkan tim raksasa dunia kala itu, yaitu Inggris. Dengan semangat yang sama, hasil imbang melawan Uni Sovyet yang akhirnya menjadi juara Olimpiade 1958 menjadi miracle match tersendiri bagi sepakbola Asia, yang pada saat itu masih dianggap anak bawang di kancah dunia.

Bagi anak-anak Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya, sosok Ramang sendiri sudah dianggap manusia setengah dewa. Cerita heroik pengantar tidur yang terbawa sampai kami dewasa. Tidak jarang kami mendengar cerita-cerita yang lebih hebat dari cerita fiksi Fantasista sekalipun. Konon, tiang gawang sampai bengkok dan kiper lawan pernah ada yang muntah darah akibat terkena bola tembakan Ramang. Entah apa benar atau tidak, tapi yang jelas saking hebatnya aksi Ramang di dekade 50-an dan 60-an, saat ini masih banyak ditemui orang bernama Ramang di daratan Sulawesi. Ya, seperti halnya pengaruh nama tokoh-tokoh hebat seperti Maradona di tahun 1980-an atau Ronaldo di akhir 90-an, nama Ramang juga sempat populer diberikan kepada bayi yang baru lahir sekitar lima puluh tahun lalu.

Saya juga masih ingat betapa sangat dalamnya nama Ramang merasuk ke berbagai aspek masyarakat Sulawesi Selatan. Sewaktu kecil dulu, setiap kali bermain bola, saya dan teman-teman masa kecil selalu berkhayal menjadi Ramang. Jika PSM Makassar berlaga di stadion Mattoanging, dan striker-striker PSM gagal mencetak gol, bisa dipastikan akan ada penonton yang berteriak, ‘Masukkan Ramang!’ Entah tujuannya untuk bercanda iseng atau memang ingin menumpahkan kekesalan, yang jelas gambaran bahwa Ramang adalah jaminan mutu mencetak gol masih menghiasi benak warga Makassar dari masa ke masa. Jangan lupa juga bahwa julukan ‘Pasukan Ramang’ melekat bagi klub sepakbola PSM sejak lima puluh tahun lalu sampai sekarang.


Sayangnya, di luar semua cerita kehebatan di atas, kita hanya bisa sekadar berkhayal tentang sosok Ramang si dewa bola. Namun, kita tidak pernah tahu persis bagaimana akselerasi, kontrol bola dan tembakan ke gawang Ramang itu seperti apa. Berbeda dengan aksi Pele di dekade 50-an dan 60-an yang masih bisa kita nikmati di berbagai DVD dan video youtube, kita tidak bisa menemukan video Ramang di manapun. Bahkan foto-foto hitam putihnya yang ada di internet pun bisa dihitung jari. Kalau sudah begini, saya jadi teringat tulisan saudara Andica Haradi di website ini yang lebih dulu mengkritik pengarsipan dokumentasi dan informasi sepakbola nasional yang tidak rapi.

Padahal, kembali dengan meminjam istilah saudara Andica, kita harusnya bisa memanfaatkan ‘romansa Babeh Sabeni’, yang dalam hal ini nama besar Ramang sebagai pembelajaran pengembangan sepakbola nasional. Pertama, kita tidak boleh melupakan bahwa Ramang dibesarkan oleh lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Sebelum berprofesi menjadi pemain sepakbola yang kehebatannya diakui di seantero benua Asia, Ramang muda sempat bekerja sebagai penarik becak. Namun, seperti cerita di film-film, keteguhannya mengejar mimpi menjadi pemain sepakbola membawanya ke lapangan hijau. Harusnya kenyataan tersebut menjadi sinyal bagi petinggi sepakbola kita bahwa talenta sepakbola nasional yang sebenarnya berasal dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Ada jutaan anak Indonesia seperti Ramang kecil yang memiliki mimpi dan bakat sepakbola yang besar, sehingga penggunaan pemain naturalisasi untuk memperkuat tim nasional hanya akan memperlihatkan kemunduran sepakbola nasional itu sendiri.

Yang kedua, akhir karir Ramang juga menjadi refleksi kondisi nasional yang kurang menghargai jasa-jasa pahlawan. Diberitakan bahwa setelah gantung sepatu, Ramang hidup di rumah yang sangat sederhana dan hidup seadanya. Bahkan, enam tahun dia menderita sakit paru-paru tanpa bisa membiayai pengobatan. Penyakit itu pula yang mengantarkannya menghembuskan napas terakhir pada 26 September 1987. Tentunya ini merupakan salah satu sisi realita yang kejam, bagaimana kesejahteraan hidup seorang figur yang mengharumkan nama bangsa justru tidak diperhatikan oleh pemerintah.

Namun bagaimanapun juga, kesediaan website FIFA mengangkat cerita Ramang sebagai cover story memang menjadi nostalgia yang cukup mennghangatkan. Di tengah pemberitaan sepakbola nasional yang carut-marut, kita seolah diingatkan bahwa sepakbola kita pernah punya cerita membanggakan. Hendaknya, spirit Ramang dan kawan-kawannya kita jadikan acuan untuk menyusun kembali puing-puing harapan kita akan masa depan sepakbola nasional yang lebih baik.

Sewaktu kita masih mengikuti upacara bendera di bangku sekolah, pembina upacara sering memberi instruksi untuk mengheningkan cipta demi mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur. Maka, sekarang saatnya kita mengheningkan cipta untuk Ramang, salah satu pahlawan yang pernah mengharumkan sepakbola Indonesia di tingkat dunia. Kesuksesan, teladan dan semangat juang sudah banyak diwariskan oleh sang legenda, seseorang yang telah menjalankan prinsip John F. Kennedy dengan sungguh-sungguh: ‘Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan untukmu, tapi apa yang bisa kau berikan untuk negaramu’.

Ah, tanpa disadari mata saya mulai basah. Semoga dirimu tenang di alam sana, Daeng Ramang!


INGAT Bukan djohar, bukan La Nyala, bukan limbong, bukan Harry Tanoe, bukan ARB dia adalah RAMANG !!!!

Sumber : botol.com

Spoiler for Mereka Ada Di Jalan:
Diubah oleh warisankompeni 22-11-2013 16:24
0
13.3K
112
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan