- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah Soedjinah Pemimpin GERWANI


TS
skamax
Kisah Soedjinah Pemimpin GERWANI
Mimin/Momod izin share artikel sejarah, semoga tidak repost, kalo repost langsung delet aja min/mod

LANJUTAN DIBAWAH
Sumber
Kunjungi juga :
Luna Maya Dipermalukan Olga Di Acara Campur-Campur ANTV
Keunikan Suku Sabu Menyadap Nira Dari Pohon Lontar Di Pulau Sabu NTT
Sekelas Programmer e-Banking Bank M*nd*r* Ada Kesalahan Ketik Yang Menurut Ane Fatal
Fakta Unik Ulat Paling Beracun Di Dunia
Hal Menarik Dari IKAN PESUT Gan...
10 Film Silat Kungfu Terbaik
FAKTA UNIK TENTANG BEKICOT ( Achatina fulica)
Foto Bung Karno Dan 2 Fotografer IPPHOS
Perang Tinja Di Utara Batavia
6 Tahap dalam Proses Riset
11 Spesies Yang Dapat Membinasakan Planet Ini
Ide Gila Mengubur Jenazah ke Luar Angkasa
Kisah Jenderal Moestopo Yang Banyak Kita Tidak Kita Mengetahuinya...
Akhirnya Internet 4G LTE Resmi Hadir di Indonesia
Kayu Aneh Membuat Geger Gunungkidul
Menyusun Pendekatan Riset Ilmiah
Cara Memasang Link Di Video Youtube

Quote:
Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional.
Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.
Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana
Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Solo yang lahir pada tahun 1929, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat. Ini sebenarnya peristiwa langka, karena kala itu pendidikan HIS hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Lepas dari HIS, ia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.
Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.
Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan maka Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMA-nya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di Fakultas Ilmu Sosial Politik, yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi.
Selanjutnya, Soedjinah aktif di Pesindo, yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasional-nya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951 dan Soedjinah turut menjadi peserta. Hadir dalam kegiatan itu S.K. Trimurti, sebagai salah seorang ketuanya.
Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Muhammadiyahi.
Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia. Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono.
Sejak saat itu, Gerwani terus mengembangkan sayapnya. Jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani, yang banyak menarik simpati masyarakat wanita. Hasilnya, hingga sebelum pecah tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.
Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha, Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur, selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Solo ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.
Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu kemudian Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957, Soedjinah kembali ke Indonesia. Ia kemudian menulis laporan jurnalistik mengenai perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar. Selain itu, ia menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman, bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga menulis karya-karya sastra berupa cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.
Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet). Di samping ia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.
Haappp ... Lalu Ditangkap
Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, menyebabkan ia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965, mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal.
Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan- penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah sudah dikosongkan. Adapun kantor DPP Gerwani sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat tempat lain secara sembunyi-sembunyi. Berpindah dari rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.
Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno, sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Soedjinah kemudian dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah Tionghoa di daerah Pintu Besi, yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya. Dari situlah ia mulai menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam. akibat siksaan itu, banyak tahanan yang mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar), ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan, sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.
Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu, akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), dan berakhir di Penjara Wanita Bukitduri, guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah, Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.
Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga, dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani. Batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata, apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat, dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah, yang ketika ditangkap, malah dirudapaksa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pramuria muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.
Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.
Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana
Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Solo yang lahir pada tahun 1929, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat. Ini sebenarnya peristiwa langka, karena kala itu pendidikan HIS hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Lepas dari HIS, ia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.
Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.
Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan maka Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMA-nya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di Fakultas Ilmu Sosial Politik, yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi.
Selanjutnya, Soedjinah aktif di Pesindo, yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasional-nya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951 dan Soedjinah turut menjadi peserta. Hadir dalam kegiatan itu S.K. Trimurti, sebagai salah seorang ketuanya.
Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Muhammadiyahi.
Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia. Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono.
Sejak saat itu, Gerwani terus mengembangkan sayapnya. Jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani, yang banyak menarik simpati masyarakat wanita. Hasilnya, hingga sebelum pecah tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.
Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha, Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur, selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Solo ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.
Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu kemudian Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957, Soedjinah kembali ke Indonesia. Ia kemudian menulis laporan jurnalistik mengenai perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar. Selain itu, ia menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman, bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga menulis karya-karya sastra berupa cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.
Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet). Di samping ia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.
Haappp ... Lalu Ditangkap
Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, menyebabkan ia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965, mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal.
Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan- penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah sudah dikosongkan. Adapun kantor DPP Gerwani sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat tempat lain secara sembunyi-sembunyi. Berpindah dari rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.
Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno, sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Soedjinah kemudian dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah Tionghoa di daerah Pintu Besi, yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya. Dari situlah ia mulai menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam. akibat siksaan itu, banyak tahanan yang mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar), ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan, sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.
Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu, akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), dan berakhir di Penjara Wanita Bukitduri, guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah, Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.
Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga, dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani. Batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata, apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat, dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah, yang ketika ditangkap, malah dirudapaksa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pramuria muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.
LANJUTAN DIBAWAH
Sumber
Kunjungi juga :
Luna Maya Dipermalukan Olga Di Acara Campur-Campur ANTV
Keunikan Suku Sabu Menyadap Nira Dari Pohon Lontar Di Pulau Sabu NTT
Sekelas Programmer e-Banking Bank M*nd*r* Ada Kesalahan Ketik Yang Menurut Ane Fatal
Fakta Unik Ulat Paling Beracun Di Dunia
Hal Menarik Dari IKAN PESUT Gan...
10 Film Silat Kungfu Terbaik
FAKTA UNIK TENTANG BEKICOT ( Achatina fulica)
Foto Bung Karno Dan 2 Fotografer IPPHOS
Perang Tinja Di Utara Batavia
6 Tahap dalam Proses Riset
11 Spesies Yang Dapat Membinasakan Planet Ini
Ide Gila Mengubur Jenazah ke Luar Angkasa
Kisah Jenderal Moestopo Yang Banyak Kita Tidak Kita Mengetahuinya...
Akhirnya Internet 4G LTE Resmi Hadir di Indonesia
Kayu Aneh Membuat Geger Gunungkidul
Menyusun Pendekatan Riset Ilmiah
Cara Memasang Link Di Video Youtube
0
10.3K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan