- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
(Tentang TEMPO) Sedikit Cerita Dari Bekas Wartawan TEMPO
TS
ma35tr0
(Tentang TEMPO) Sedikit Cerita Dari Bekas Wartawan TEMPO
Salam kenal semuanya. Kali ini saya ingin berbagi sedikit kisah kepada Kaskusers sekalian karena sepertinya memang belum ada awak TEMPO ataupun yang pernah bekerja di TEMPO menceritakan pengalaman mereka tentang TEMPO.
Berkali-kali tudingan dan fitnah terhadap TEMPO saya anggap angin lalu. Tak ada yang dilengkapi dengan data dan fakta yang akurat kecuali didasarkan pada kecurigaan dan dengki yang buta. Namun serangan yang terakhir dari akun anonim Jilbab Hitam membuat saya resah penasaran karena ia mengaku sebagai bekas wartawan TEMPO angkatan 2006. Kalau dihitung dari tahun mulai bekerja di TEMPO, saya termasuk angkatan 2006. Karir saya di TEMPO memang pendek, sejak tahun 2006 hingga saya mengundurkan diri tahun 2010.
Kalau memang ia benar wartawati TEMPO angkatan 2006 tentu saya kenal. Awalnya setelah membaca tulisannya di Kompasiana, saya mulai bertanya-tanya siapakah gerangan si jilbab hitam ? Kebetulan sejumlah nama yang disebutkan dalam tulisan tersebut saya tahu karena saya pernah bertugas di Desk Ekonomi dan Bisnis, khususnya perbankan. Iskandar Tumbuan sepertinya sudah di Humas saat saya sering liputan ke Bank Mandiri pada 2006. Eko Nopiansyah adalah senior saya di Tempo sebelum ia pindah ke Bank Mandiri. Sejumlah nama wartawan media lain yang disebut dalam tulisan tersebut saya kenal. Tak lama saya berada di Desk Ekbis, namun sepak terjang sejumlah wartawan sedikit banyak pernah saya saksikan sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, wartawan identik dengan “tukang peras”. Maaf jika ada yang tersinggung. Tapi citra “wartawan Bodrex” ini sepertinya lebih melekat di masyarakat sehingga digeneralisir untuk semua wartawan. Faktanya, apa hanya “wartawan Bodrex" yang menerima amplop ? Terus terang sepanjang sepengetahuan saya, saya berani katakan tidak. Apa wartawan dari media-media besar baik cetak, online, dan elektronik benar-benar anti amplop ? Saya juga berani katakan tidak. Saya tidak mengatakan semuanya menerima, tapi banyak yang menerima.
Saya ingat satu kejadian saat acara buka puasa bersama pada tahun 2006 di salah satu bank BUMN. Sejumlah wartawan protes karena ternyata tidak diberi “amplop”. Demi menjaga “hubungan baik” dengan media, pihak bank memutuskan memberikan deposit tabungan kepada wartawan yang hadir saat itu yang bisa diurus esok harinya. Saat itu saya masih wartawan baru, hal ini membuat saya shock. Malam itu hampir saya keluar dari TEMPO. Bukan TEMPO yang bermasalah, tapi dunia jurnalisme di mana TEMPO berada benar-benar kotor. Di tangga depan pintu masuk ke lobi kantor saya mengungkapkan kegundahan ini kepada seorang redaktur. Kalau dikasih tergantung kita untuk menerima atau menolak, tapi kalau tidak dikasih tapi malah minta, ini namanya pemerasan. Saya merasa berada di dunia yang kotor. Tapi redaktur itu membesarkan hati saya. Kutipan ampuh yang familiar bagi awak TEMPO pun masih tergiang,” DARIPADA MENGUTUK KEGELAPAN, LEBIH BAIK MENJADI SECERCAH CAHAYA DALAM GELAP.”
Masih di pos liputan yang sama, saya pernah hampir berkelahi dengan seorang wartawan dari sebuah media terkenal gara-gara ia merasa tersinggung. Penyebabnya adalah amplop yang saya kembalikan kepada pihak bank. Kami di TEMPO diajarkan untuk tetap santun saat mengembalikan pemberian seperti itu. Jika tidak memungkinkan dikembalikan saat acara berlangsung, amplop kami kembalikan melalui Sekretariat Redaksi. Saat acara tersebut, amplop saya kembalikan usai acara, di mana saya menjadi wartawan terakhir yang pulang. Amplop itu diselipkan dalam map yang berisi press release. Saat itu saya tidak tahu bahwa wartawan yang bersangkutan mengetahui saya mengembalikan amplop. Tiga hari kemudian saat bertemu lagi di Kantor Departemen Keuangan ia menghampiri saya dan marah-marah karena saya tidak menghargai rekan-rekan wartawan lain. Justru saya menghargai dengan mengembalikan amplop diam-diam. Terkadang ada rekan wartawan yang berbisik,”Jatah elu nanti buat gw ya,” saya iyakan saja. Yang penting saya tidak ambil meskipun nama saya tercatat di daftar hadir.
Perihal amplop, hadiah, dan berbagai fasilitas demi menjaga “hubungan baik” dengan wartawan ini bukan hal yang rahasia lagi. Perihal pihak-pihak luar yang bisa mengintervensi isi dapur redaksi juga tak aneh lagi. Hampir tak ada pos liputan yang bersih dari amplop, tergantung integritas dari wartawannya masing-masing. Sepanjang sepengetahuan saya wartawan TEMPO cukup bersih, setidaknya saya mulai dari diri sendiri. Tak pernah juga saya mendengar dari rekan wartawan media lain ataupun narasumber yang mengetahui ada wartawan TEMPO yang bermain-main dengan melacurkan profesinya. Apakah karena gaji wartawan TEMPO besar ? Tidak. Saat saya masuk TEMPO tahun 2006, gaji saya hanya 1,5 juta. Saya adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, terus terang ada sejumlah tawaran pekerjaan lain saya tampik termasuk tawaran pekerjaan dari narasumber. Kalau yang saya cari adalah materi, tak mungkin saya memilih TEMPO. Saya yakin pula dengan teman-teman yang bertahan di TEMPO tak silau oleh materi.
Tapi itu hanya sepanjang sepengetahuan saya yang terbatas ini. Jadi kalau ada yang mengetahui ada awak TEMPO yang bermain-main dengan berita tolong sampaikan saja disertai dengan bukti yang akurat, jangan fitnah. Saya tak ingin dituduh membongkar aib dapur orang lain. Jangan sampai gajah di pelupuk mata tak tampak namun kuman di seberang lautan kelihatan. Jadi saya hanya membatasi diri berbagi cerita tentang hal yang saya alami sendiri.
Meski TEMPO tak sempurna, satu kebanggan bagi saya pernah bekerja di TEMPO karena bagi saya TEMPO itu adalah SECERCAH CAHAYA DALAM GELAP. Teruslah berjuang agar cahaya itu tak pernah padam.
Agar tak dibilang akun anonim :
Saya Sofian, asal Pangkalpinang (Bangka-Belitung), lulusan dari FE UI jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tahun 2005, pernah bekerja sebagai wartawan di TEMPO dari Mei 2006-Mei 2010.
...bersambung...
Berkali-kali tudingan dan fitnah terhadap TEMPO saya anggap angin lalu. Tak ada yang dilengkapi dengan data dan fakta yang akurat kecuali didasarkan pada kecurigaan dan dengki yang buta. Namun serangan yang terakhir dari akun anonim Jilbab Hitam membuat saya resah penasaran karena ia mengaku sebagai bekas wartawan TEMPO angkatan 2006. Kalau dihitung dari tahun mulai bekerja di TEMPO, saya termasuk angkatan 2006. Karir saya di TEMPO memang pendek, sejak tahun 2006 hingga saya mengundurkan diri tahun 2010.
Kalau memang ia benar wartawati TEMPO angkatan 2006 tentu saya kenal. Awalnya setelah membaca tulisannya di Kompasiana, saya mulai bertanya-tanya siapakah gerangan si jilbab hitam ? Kebetulan sejumlah nama yang disebutkan dalam tulisan tersebut saya tahu karena saya pernah bertugas di Desk Ekonomi dan Bisnis, khususnya perbankan. Iskandar Tumbuan sepertinya sudah di Humas saat saya sering liputan ke Bank Mandiri pada 2006. Eko Nopiansyah adalah senior saya di Tempo sebelum ia pindah ke Bank Mandiri. Sejumlah nama wartawan media lain yang disebut dalam tulisan tersebut saya kenal. Tak lama saya berada di Desk Ekbis, namun sepak terjang sejumlah wartawan sedikit banyak pernah saya saksikan sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, wartawan identik dengan “tukang peras”. Maaf jika ada yang tersinggung. Tapi citra “wartawan Bodrex” ini sepertinya lebih melekat di masyarakat sehingga digeneralisir untuk semua wartawan. Faktanya, apa hanya “wartawan Bodrex" yang menerima amplop ? Terus terang sepanjang sepengetahuan saya, saya berani katakan tidak. Apa wartawan dari media-media besar baik cetak, online, dan elektronik benar-benar anti amplop ? Saya juga berani katakan tidak. Saya tidak mengatakan semuanya menerima, tapi banyak yang menerima.
Saya ingat satu kejadian saat acara buka puasa bersama pada tahun 2006 di salah satu bank BUMN. Sejumlah wartawan protes karena ternyata tidak diberi “amplop”. Demi menjaga “hubungan baik” dengan media, pihak bank memutuskan memberikan deposit tabungan kepada wartawan yang hadir saat itu yang bisa diurus esok harinya. Saat itu saya masih wartawan baru, hal ini membuat saya shock. Malam itu hampir saya keluar dari TEMPO. Bukan TEMPO yang bermasalah, tapi dunia jurnalisme di mana TEMPO berada benar-benar kotor. Di tangga depan pintu masuk ke lobi kantor saya mengungkapkan kegundahan ini kepada seorang redaktur. Kalau dikasih tergantung kita untuk menerima atau menolak, tapi kalau tidak dikasih tapi malah minta, ini namanya pemerasan. Saya merasa berada di dunia yang kotor. Tapi redaktur itu membesarkan hati saya. Kutipan ampuh yang familiar bagi awak TEMPO pun masih tergiang,” DARIPADA MENGUTUK KEGELAPAN, LEBIH BAIK MENJADI SECERCAH CAHAYA DALAM GELAP.”
Masih di pos liputan yang sama, saya pernah hampir berkelahi dengan seorang wartawan dari sebuah media terkenal gara-gara ia merasa tersinggung. Penyebabnya adalah amplop yang saya kembalikan kepada pihak bank. Kami di TEMPO diajarkan untuk tetap santun saat mengembalikan pemberian seperti itu. Jika tidak memungkinkan dikembalikan saat acara berlangsung, amplop kami kembalikan melalui Sekretariat Redaksi. Saat acara tersebut, amplop saya kembalikan usai acara, di mana saya menjadi wartawan terakhir yang pulang. Amplop itu diselipkan dalam map yang berisi press release. Saat itu saya tidak tahu bahwa wartawan yang bersangkutan mengetahui saya mengembalikan amplop. Tiga hari kemudian saat bertemu lagi di Kantor Departemen Keuangan ia menghampiri saya dan marah-marah karena saya tidak menghargai rekan-rekan wartawan lain. Justru saya menghargai dengan mengembalikan amplop diam-diam. Terkadang ada rekan wartawan yang berbisik,”Jatah elu nanti buat gw ya,” saya iyakan saja. Yang penting saya tidak ambil meskipun nama saya tercatat di daftar hadir.
Perihal amplop, hadiah, dan berbagai fasilitas demi menjaga “hubungan baik” dengan wartawan ini bukan hal yang rahasia lagi. Perihal pihak-pihak luar yang bisa mengintervensi isi dapur redaksi juga tak aneh lagi. Hampir tak ada pos liputan yang bersih dari amplop, tergantung integritas dari wartawannya masing-masing. Sepanjang sepengetahuan saya wartawan TEMPO cukup bersih, setidaknya saya mulai dari diri sendiri. Tak pernah juga saya mendengar dari rekan wartawan media lain ataupun narasumber yang mengetahui ada wartawan TEMPO yang bermain-main dengan melacurkan profesinya. Apakah karena gaji wartawan TEMPO besar ? Tidak. Saat saya masuk TEMPO tahun 2006, gaji saya hanya 1,5 juta. Saya adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, terus terang ada sejumlah tawaran pekerjaan lain saya tampik termasuk tawaran pekerjaan dari narasumber. Kalau yang saya cari adalah materi, tak mungkin saya memilih TEMPO. Saya yakin pula dengan teman-teman yang bertahan di TEMPO tak silau oleh materi.
Tapi itu hanya sepanjang sepengetahuan saya yang terbatas ini. Jadi kalau ada yang mengetahui ada awak TEMPO yang bermain-main dengan berita tolong sampaikan saja disertai dengan bukti yang akurat, jangan fitnah. Saya tak ingin dituduh membongkar aib dapur orang lain. Jangan sampai gajah di pelupuk mata tak tampak namun kuman di seberang lautan kelihatan. Jadi saya hanya membatasi diri berbagi cerita tentang hal yang saya alami sendiri.
Meski TEMPO tak sempurna, satu kebanggan bagi saya pernah bekerja di TEMPO karena bagi saya TEMPO itu adalah SECERCAH CAHAYA DALAM GELAP. Teruslah berjuang agar cahaya itu tak pernah padam.
Agar tak dibilang akun anonim :
Saya Sofian, asal Pangkalpinang (Bangka-Belitung), lulusan dari FE UI jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tahun 2005, pernah bekerja sebagai wartawan di TEMPO dari Mei 2006-Mei 2010.
...bersambung...
0
4.7K
5
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan