Kaskus

News

ooooooCUYooooooAvatar border
TS
ooooooCUYoooooo
Komunikasi “Ngambek” ala SBY


Bagaimana memahami presiden yang ngambek? Pertanyaan ini seperti sepele, walaupun menjadi “raksasa” karena ada kata “presiden”. Presiden adalah pimpinan sebuah bangsa. Presiden memengaruhi ke mana sejarah rakyatnya akan pergi. Presiden adalah manusia pilihan. Lalu bolehkah presiden ngambek? Tidakkah presiden manusia juga punya hati dan punya perasaan?

Kata ngambek, Jumat 15 November 2013 menjadi salah satu judul berita di Beritasatu.com. Menteri sekretaris negara menuding dua media nasional sangat tendesius dan kerap memelintir ucapan kepala negara. Dengan nada emosi Sudi Silalahi menyebut ada dua media nasional sudah keterlaluan dalam “menggoreng” pernyataan presiden berhari-hari (http://www.beritasatu.com/nasional/1...n-ngambek.html).

Dalam sudut pandang (perspektif) komunikasi, manusia tidak pernah tidak berkomunikasi. Kita selalu berkomunikasi. Manusia selalu membawa pesan yang dapat ditafsirkan oleh manusia lainnya. Pesan tak selamanya disampaikan dengan verbal, kata-kata. Namun pesan lebih banyak disampaikan lewat cara nonverbal, tanpa kata-kata. Itulah sebabnya gerak tubuh, raut wajah, adalah pesan yang memiliki makna.

Khusus untuk presiden, Martha L Kumar mendefinisikan bahwa seorang presiden adalah pesan (message) sekaligus pembawa pesan (messenger). Ketika presiden berpidato, maka ia adalah pembawa pesan. Ketika presiden menyemprotkan obat nyamuk, ia adalah pesan.

Saat seorang presiden bernama SBY ngambek dan mogok bicara dengan wartawan, maka ada banyak pesan yang bisa kita tafsirkan. Kita bisa menafsirkan bahwa presiden merasa dipojokkan, dirugikan, dan disalahmengertikan. Karena merasa rugi, maka presiden berhak membalas pihak yang merugikan dirinya. Karena yang merugikan adalah profesi wartawan, maka ia membalas kepada pihak wartawan. Presiden melarang wartawan istana, via staf khusus atau pihak keamanan Istana, untuk meliput seluruh acara dirinya. Sebagai penggantinya, pers dipersilakan mengambil berita dari tuturan juru bicara presiden.

Tafsir lainnya adalah presiden menyampaikan pesan bahwa dirinya dan para kuli berita tidaklah sejajar. Wartawan membutuhkan berita dan presiden memberinya. Ada tingkatan. Wartawan di bawah, presiden di atas. Tanpa presiden, wartawan apalah artinya.Tanpa berita dari presiden, wartawan akan rugi. Sedangkan tanpa wartawan presiden “diuntungkan” karena pesannya tidak dipelintir lagi.

Kondisi ini tentunya membuat wartawan Istana galau. Mereka hadir dengan diundang pihak Istana (baca: presiden). Namun, ketika meliput berita narasumber utama justru tidak mau buka suara. Mungkin juga acara-acara presiden dihadiri wartawan karena inisiatif mereka sendiri. Penyebabnya berita Istana selalu dianggap penting, menarik, dan menyangkut kepentingan banyak orang (baca: rakyat). Berita soal presiden punya news value tinggi. Artinya banyak ditunggu, dibaca, dan disaksikan. Artinya berita dari Istana punya nilai ekonomi tinggi (baca: iklan).

Bagaimana sikap tanggapan pihak pers? Pers bisa memilih: ikut gendang pihak istana atau ikuti jati diri. Ikut gendang Istana jelas. Pers harus mengikuti semua prosedural sekaligus pihak Istana. Pers harus “mengalah” untuk menyuarakan informasi sesuai alunan tempo dan lirik Istana.

Jika memilih mengikuti jati diri, maka pers harus kembali pada Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pasal 6 undang-undang yang sama huruf e menyebutkan peran pers adalah memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Kata "kontrol sosial" dan kalimat memperjuangkan kebenaran dan keadilan haruslah menjadi langkah awal setiap insan pers meliput peristiwa. Peristiwa dipilih pers menjadi berita sebagai bagian menjalankan fungsi pers, yaitu kontrol sosial dan melaksanakan peran pers, yaitu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Jadi, jika presiden membatasi lingkup pemberitaan pekerjaanya, pers tak usah gelisah dan berkecil hati. Pers masih bisa meliput segudang peristiwa di sudut-sudut Nusantara. Pers masih punya banyak narasumber, punya banyak peristiwa dengan berlimpah sudut pandang berita. Pers harus sadar, presiden bukanlah tokoh yang wajib direkam semua aksinya dan muncul di halaman pertama pemberitaan. Presiden hanyalah salah satu narasumber di antara berjuta narasumber berita. Pers harus memberikan "pelajaran” pada pejabat di negara ini bahwa pers punya kedudukan yang sama memperjuangkan keadilan dan kebenaran demi kemakmuran bangsa ini.

http://www.beritasatu.com/blog/nasio...k-ala-sby.html

harusnya seperti ko ahok yang selalu tegas menindak masalah tanpa pandang bulu.

blajar dulu ke ahok sono beye
0
2.1K
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan