Saya dilahirkan di pulau Jawa, tepatnya di sebuah Kota kecil Bernama
Jember-Jawa Timur (Kotanya Anang Hermansyah gitu ), saya dibesarkan di kota Lumajang, kota yang berjarak 60km dari kota kelahiran saya.
Saya keturunan orang Jawa-Madura-Belanda-China, biasa dulu sesepuh-sesepuh ane doyan kimpoi sampe istrinya 3 dan anaknya puluhan
Ane dari kecil suka banget sama adat Jawa, apalagi denger cerita-cerita dari orang-orang "Tua"di deket rumah ane, maklum rumah ane di desa gt
Di desa ane masi kental banget sama yang namanya "Kepercayaan Jawa" , orang Jawa percaya, bahwa setiap pekerjaan, apapun itu, memiliki pantangannya masing-masing.
Ane pernah belajar dan malah ke rumah "Orang Pintar" untuk mendengarkan cerita, sekaligus ingin tahu lebih banyak tentang hal ini.
Dari cerita seorang Perampok, Pengusaha, Petani, sama orang-orang yang pengen punya Istri Banyak, semua ada pantangan dan cara masing-masing agar bisa berhasil.
Skip Skip Skip
Langsung balik ke Topik, tentang Bulan SURO, banyak orang berpendapat kalau Bulan SURO yang penyebutannya mirip dengan kata-kata SORO , yang arti dalam bahasa Indonesia adalah "SUSAH"
Dengan diiringi dengan peradaban sekarang, dimana teknologi yang semakin maju, kepercayaan Jawa tentang bulan SURO ini pun masih selalu ditetapkan dalam membeli barang-barang, terutama Gadget.
Orang Jawa Kuno yang masih hidup hingga saat ini selalu berkata, jangan membeli barang Elektronik di Bulan SURO, bisa cepet rusak!
Lho kok bisa?
Percaya ngga percaya, kebetulan saya sedang bekerja di sebuah Toko Handphone terbesar di kota saya.
Dan dalam 3 hari belakangan ini, sangat banyak sekali Complain, Handphone & Tablet rusak, dalam jangka waktu pakai cm 1 hari setelah pembelian
Dan semua kerusakannya selalu sama, HP/Tablet tersebut Freeze, tidak bisa dimatikan / dinyalakan lagi.
Untungnya yang complain pada sabar-sabar, kadang ada yang complain sambil marah-marah
APA BENAR BULAN SURO = BULAN SIAL ?
Yuk mari kita pelajari sejarahnya
Quote:
Di Jawa, bulan Muharram disebut bulan Suro. Bagi banyak orang Jawa bulan Suro sepertinya mempunyai makna khusus. Mereka menyambutnya dengan berbagai kegiatan: ada yang nanggap wayang semalam suntuk, lek-lekan, tirakatan, memandikan pusaka-pusaka semacam keris dan tombak, dan sebagainya. Bahkan agaknya bulan Suro dianggap "gawat". Orang punya "gawe" (hajat) misalnya, menghindari bulan tersebut lantaran takut celaka atau mendapat sial.
nama "Suro", seperti nama-nama bulan Jawa yang lain, bermula dari istilah bahasa Arab. Dari kata "Asyuro". Tentang "Asyuro" yang jatuh pada hari ke sepuluh Muharram, mengapa disebut demikian, ulama berbeda pendapat. (Asyuro bersumber dari kata "Asyuro" atau "Asyrah" yang berarti sepuluh).
Ada yang mengatakan, disebut demikian karena memang Asyuro itu hari yang ke sepuluh Muharram. Ada yang mengatakan karena hari itu merupakan saat mulia yang ke sepuluh dari sepuluh saat yang dimuliakan oleh Allah (sembilan lainnya adalah: bulan Rajab, Sya'ban, Ramadhan, malam Qadar, Hari Fitri, hari-hari 'Asyar, hari Arafah, hari Nahr, dan hari Jumat). Ada yang mengatakan karena hari Asyuro itu terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan 10 Nabi Allah.
Umat Islam sendiri menyambut bulan Muharram (Suro) sebagai awal tahun baru Hijriyah. Sedang di hari Aysuro-nya (tanggal 10 Muharram) melakukan puasa; karena ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berpuasa pada hari itu, seperti misalnya yang dinyatakan oleh shahabat Ibnu Abbas r.a.:
"Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari Asyura, Nabi Saw. bertanya: 'Hari apa ini?' Jawab mereka: 'Hari ini hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, karena itu Musa mempuasainya.' Sabda Nabi Saw.: 'Aku lebih berhak daripadamu dengan Musa. Karena itu Nabi Saw. mempuasainya dan menyusruh mempuasainya.'" (HR al-Bukhari)
Kalau kemudian ada kepercayaan bahwa bulan Suro itu merupakan "bulan gawat" atau "bulan sial", boleh jadi itu ada kaitannya dengan tragedi terbunuhnya sayyidina Huesin bin Ali xa yang terjadi pada hari Asyuro di bulan Muharram. Dalam khazanah kitab kuning sendiri, ada juga pendapat yang menghubung-hubungkan puasa Asyuro dengan musibah Husein tersebut.
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram.” (HR. Muslim no. 2812)
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Dari pemaparan ini, jelaslah bagi kita bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda): Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Musibah Datang Bukanlah Karena Bulan Suro
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Nah gimana gan? Uda ngerti kan?
Bulan SURObukanlah Bulan SIAL
SIAL itu akan terjadi pada orang yang percaya akan hal tersebut.
Quote:
Pesan TS:
Selalu berpikirlah POSITIF, maka hal-hal yang akan terjadi adalah hal yang POSITIF pula.
Berbuatlah kebaikan, buang semua pikiran-pikiran buruk, maka hidupmu akan lebih berwarna