- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Polling] Tutup Atau Biarkan Saja?


TS
boeladiegh
[Polling] Tutup Atau Biarkan Saja?
Maaf Gan





![[Polling] Tutup Atau Biarkan Saja?](https://dl.kaskus.id/stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/06/1371345420832339509.jpg)
Quote:
Sebagian besar di seluruh negara tepatnya di kota-kota besar ada lokasi prostitusi. Termasuk Indonesia, siapa tak kenal dengan kawasan Dolly yang berada disudut kota Surabaya, Jawa Timur.
Konon, Dolly di lokalisasi pramuriaan disebut-sebut yang terbesar se-Asia Tenggara. Betapa tidak, sedikitnya 9.000 lebih pramuria numplek jadi satu di kawasan tersebut. Pria hidung belang kalangan atas hingga bawah tak sulit ditemukan di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal, wisatawan asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pramuria di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia pramuriaan Surabaya, Kasus Kompleks pramuriaan Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pramuria wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pramuriaan pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika tempat-tempat lokalisasi di kawasan Surabaya ditutup. Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus human trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly? Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya, berkisar hingga puluhan miliar rupiah, uang yang masuk dari praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya. TKP
Konon, Dolly di lokalisasi pramuriaan disebut-sebut yang terbesar se-Asia Tenggara. Betapa tidak, sedikitnya 9.000 lebih pramuria numplek jadi satu di kawasan tersebut. Pria hidung belang kalangan atas hingga bawah tak sulit ditemukan di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal, wisatawan asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pramuria di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia pramuriaan Surabaya, Kasus Kompleks pramuriaan Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pramuria wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pramuriaan pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika tempat-tempat lokalisasi di kawasan Surabaya ditutup. Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus human trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly? Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya, berkisar hingga puluhan miliar rupiah, uang yang masuk dari praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya. TKP
Spoiler for Perputaran Uang di Gand Dolly:
Kabar cukup heboh dari Surabaya, baru-baru ini Pemkot berencana menutup lokalisasi Gang Dolly pada 2014 nanti. Itupun belum bisa dipastikan kapan tanggal pasti kawasan lokalisasi yang konon disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu bakal dieksekusi.
Penutupan Dolly memang membetot perhatian publik. Sebab diakui atau tidak, Dolly sebagai tempat pramuriaan telah menghidupi banyak orang di kawasan itu. Lihat saja, berapa banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) menangguk untung di sana.
Hitung pula berapa banyak pegawai bar, klub malam, dan karaoke bakal kehilangan pekerjaan. Begitu pula dengan ribuan PSK, germo atau mucikari, calo PSK, sampai penjual rokok, pemilik warung kopi, tukang becak, tukang parkir, hingga buruh cuci. Artinya, bila hendak menutup Dolly, pemkot harus berpikir seribu kali.
Konon, perputaran uang di Dolly dalam satu malam bisa mencapai miliaran rupiah. Belum ada yang menghitung pasti, tapi perkiraan angka ada yang menyebut Rp 1 sampai 2 miliar semalam. Perkiraan angka itu bisa jadi benar. Bila anda pernah ke sana pasti melihat ribuan orang menjejali kawasan prostitusi yang membentang kurang lebih sepanjang 500 meter itu.
Deretan parkir, penjual kopi, penjual rokok, hampir pasti tidak pernah sepi di sepanjang jalan tersebut. Begitu juga dengan klub malam dan tempat-tempat karaoke yang selalu dijubeli pengunjung. Itu bila diukur panjang kawasan, padahal kawasan Dolly ini hampir merata masuk ke gang-gang di dalam perkampungan.
Konon, setidaknya terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek hidup di daerah itu, mulai kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setiap malam, sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pramuria di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada ribuan pengunjung.
Kepala Dinas Sosial Pemkot Surabaya Supomo mengatakan, karena tingkat resistensi pasca-penutupan Dolly ini tinggi, maka pemkot masih akan mengkaji lagi rencana penutupan tersebut. "Sekarang baru sebatas sosialisasi, kalau penutupan belum dulu, masih terus dikaji, termasuk dampak sosial dan seberapa tinggi tingkat resistensi penutupan," ujarnya.
Sebelumnya, penutupan Gang Dolly merupakan bagian dari kampanye Pemkot Surabaya menjadikan Kota Pahlawan itu bebas prostitusi. Di bawah komando Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, satu per satu lokalisasi yang ada di Surabaya dimatikan.
Saat ini, setidaknya sudah ada tiga lokalisasi yang ditutup oleh pemkot, yaitu lokalisasi Tambak Ari, Klakah Rejo dan Dupak Bangun Sari. Berikutnya, giliran lokalisasi Sememi, yang berada di daerah Klakah Rejo akan menyusul, dilanjutkan Gang Dolly dan Jarak di Kecamatan Sawahan.
Rencana penutupan lokalisasi Sememi di akhir tahun 2013 ini, diungkap oleh Supomo. Kata dia, di lokalisasi Sememi, terdapat sekitar 250 pekerja seks komersial (PSK) yang siap dipulangkan dan dibekali keterampilan dan uang modal usaha. TKP
Spoiler for Rencana Penutupan:
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini punya gawe besar. Perempuan nomor satu di Kota Pahlawan ini, bermimpi bisa menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly. Targetnya, tahun 2014, Kota Pahlawan menjadi kota bebas prostitusi.
Bahkan, pekan lalu, di Taman Bungkul, Surabaya, Risma mengkampanyekan program kota bebas prostitusi. Dia punya harapan, kelak generasi muda tak terkontaminasi dengan predikat Surabaya sebagai kota pemilik lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara.
Dia juga berharap dengan mengkampanyekan kota bebas prostitusi juga akan mampu menekan angka kasus trafficking di Kota Surabaya. Dengan merehabilitasi seluruh lokalisasi di Surabaya ini, masa depan anak-anak lebih terpelihara. Mimpi yang mulia.
"Hendaknya, orangtua jangan hanya memikirkan perut saja, masa depan anak-anak harus jadi prioritas. Jangan karena kepentingan perut, bisa merugikan masa depan anak-anak," kata Risma, merdeka.com, Senin (11/11) lalu.
Dia yakin bisa merehabilitasi semua lokalisasi di Surabaya, dengan bantuan gubernur, MUI dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. "Saya sudah tahu caranya. Saya pasti bisa menutupnya," kata Risma saat menghadiri pemulangan PSK di Bangunsari beberapa waktu lalu.
Ide besar Risma ini, bermula pada acara buka puasa di Komando Pendidikan TNI AL (Kodikal) Bumimoro, Surabaya pada tahun 2010 silam. Acara itu dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Abdusshomad Buchori, termasuk Gubernur Jawa Timur, Soekarwo turut hadir.
Di acara itu juga, Abdusshomad Buchori mengkritik semboyan Jawa Timur yang makmur, berakhlak mulia, dalam rangka NKRI, dan APBD untuk rakyat. Menurutnya, semboyan itu tidak cocok, karena Jawa Timur merupakan sarangnya prostitusi, bahkan terbesar se-Asia Tenggara. "Jadi semboyan itu tidak cocok," kritiknya kala itu.
Dan sejak saat itu, Soekarwo mengeluarkan SK No 460/16474/031//2010 tertanggal 30 November 2010. Isinya: Pencegahan dan penanggulangan prostitusi serta human trafficking.
Tak hanya itu, setahun kemudian, Soekarwo kembali mengeluarkan SK No 460/031/2011 pada tanggal 20 Oktober 2011, yang berisi imbauan Jawa Timur harus bebas dari asusila. Bahkan, Soekarwo juga sempat berujar: Suatu pemerintahan tidak akan membawa berkah, selama masih ada prostitusi.
Kedua SK yang dikeluarkan Soekarwo inipun berlanjut pada pertemuan di Hotel Elmi Surabaya pada 19 November 2011. Dan sejak saat itu, pertentangan demi pertentangan terus datang. Sebab, ada keyakinan prostitusi tidak mungkin bisa ditutup, bahkan akan semakin 'liar' jika lokalisasi ditutup. Ibaratnya menekan balon, satu sisi ditekan, sisi yang lain membesar.
"Kalau yang menekan itu semua elemen? Ada gubernur, tokoh agama, politisi, tokoh masyarakat dan elemen-elemen lain ya pasti meletus. Makanya kita bersama-sama melakukan itu," terang Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus saat menghadiri bazar makanan gratis produk eks-PSK Bangunsari, Sabtu (16/11) kemarin.
Yunus juga menjelaskan, teori yang digunakan bukan teori balon seperti yang ditakutkan banyak kalangan. "Melainkan teori memakan bubur panas. Kita ambil tepinya sedikit-demi sedikit, makan akan habis. Kita tidak akan melakukan bedol desa, kita lakukan dengan cara persuasif, manusiawi, dan pembinaan serta sharing dengan berbagai kalangan," bebernya lagi.
Dan proyek 'mega besar' inipun sukses menutup lokalisasi Bangunsari, Tambak Asri dan Klakah Rejo. Selanjutnya, pada Desember mendatang, merambah di lokalisasi Sememi dan dilanjutkan ke Dolly.
Dan inilah di balik kisah, antusias Tri Rismaharini ikut memerangi prostitusi yang melanda kotanya. Mantan Kepala Dinas Pertamanan ini, juga memberi aplaus pihak kepolisian yang berhasil mengungkap kasus trafficking di Kota Pahlawan. TKP
Spoiler for Kerja Apa Setelah Ditutup:
Penutupan lokalisasi Gang Dolly Surabaya, Jawa Timur, memang butuh perencanaan matang. Sebab, penutupan Dolly tentu bakal merugikan banyak orang di kawasan itu, baik secara ekonomi maupun sosial. Salah satu masalah yang menjadi pertanyaan sebagian orang adalah, kerja apa para penghuni PSK Dolly setelah tempat kerja mereka ditutup?
Pertanyaan itu juga dilontarkan oleh Anggota DPRD Kota Surabaya Baktiono. Dia khawatir, pasca-penutupan nanti para PSK bakal malah keluyuran dan menyebar di Surabaya. "Masalahnya sekarang ini analisis dampak pasca-penutupan. Kalau mereka tidak punya tempat usaha, terus berkeliaran sembarangan, sama dengan menyebarkan penyakit berbahaya," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (15/11) malam.
Di Bangun Sari, kata dia, pasca-penutupan, sekarang ini di kawasan itu banyak berdiri kos-kosan liar. Bahkan di depan hotel-hotel di kawasan tersebut juga banyak berdiri pada PSK ini. Tidak menutup kemungkinan, kata dia, nanti PSK Dolly juga seperti itu. "Mereka akan "telecekkan". Itu kan berbahaya," ujarnya.
Hal itu harus diperhatikan oleh pemerintah kota. Wali Kota (Tri Rimaharini), kata dia, menjanjikan bakal membangun pusat perdagangan di kawasan Dolly. Diharapkan beberapa eks pekerja Dolly bisa hidup dari pusat perdagangan itu nanti. Namun pembangunan pusat perdagangan itu baru sebatas rencana, sementara penutupan Dolly sudah dikaji terus.
"Akan, akan, akan terus, tidak segera direalisasikan. Kalau memang mau dibangun, ya langsung saja realisasikan. Bangun segera. Jadi penertiban dampaknya jelas, mereka diberi tempat usaha. Sekarang ini, kalau mereka dilatih masak, merias, menjahit, tapi tidak memiliki tempat usaha, terus bagaimana?"
Politisi PDIP ini melanjutkan, sebenarnya penutupan Dolly ini merupakan program Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementerian Sosial (Kemensos). Pemprov dan Kemensos yang memberi anggaran penertiban. Pemerintah kota hanya eksekutor, termasuk melatih keterampilan memasak, menjahit, merias dan lain-lain.
Rencananya, untuk para PSK pemkot bakal memberi ganti uang sebesar Rp 3 juta, sementara para mucikari diberi uang Rp 5 juta. Uang itu merupakan bantuan dari pemprov dan Kemensos. "Selanjutnya, pemkot memberi pelatihan masak, menjahit, merias, dan lain-lain. "Tapi mana, selama ini pemkot lho tidak pernah membeli masakan hasil karya mereka (PSK)," ujarnya menambahkan.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Pemkot Surabaya Supomo, ketika dikonfirmasi soal pekerjaan para PSK dan germo paska-penutupan menjawab, penutupan masih dikaji, rencananya 2014 dieksekusi. "Setelah ditutup ya nanti (PSK) pulang sendiri ke rumah masing-masing, kan mereka punya rumah," ujarnya cekak.
Sebelumnya, penutupan Gang Dolly ini merupakan bagian dari kampanye Pemkot Surabaya menjadikan Kota Pahlawan itu bebas prostitusi. Di bawah komando Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, satu persatu lokalisasi yang ada di Surabaya dimatikan.
Saat ini, setidaknya sudah ada tiga lokalisasi yang ditutup oleh pemkot, yaitu lokalisasi Tambak Ari, Klakah Rejo dan Dupak Bangun Sari. Berikutnya, giliran lokalisasi Sememi, yang berada di daerah Klakah Rejo akan menyusul, dilanjutkan Gang Dolly dan Jarak di Kecamatan Sawahan.
Rencana penutupan lokalisasi Sememi di akhir tahun 2013 ini, diungkap oleh Supomo. Kata dia, di lokalisasi Sememi, terdapat sekitar 250 pekerja seks komersial (PSK) yang siap dipulangkan dan dibekali keterampilan dan uang modal usaha. TKP
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 24 suara
Apakah Agan-Aganwati Setuju Jika Dolly Ditutup?
YA
42%TIDAK
33%MATABELO
25%0
4.3K
Kutip
40
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan