- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
makan hati, punya temen kaya gini..
TS
citanduy
makan hati, punya temen kaya gini..
Artikel ini beruntung banget ane temuin, setelah ngalamin punya temen kaya gini. So..ambil sikap tegas jika ada teman agan yg ciri2 nya seperti ini ya..untuk kebaikan agan2..
Dasar, drama queen!” Umpatan semacam itu sering dilontarkan teman-teman Heni (bukan nama sebenarnya). Gadis 28 tahun itu memang terkenal suka mendramatisasi suasana. Dalam satu hari, ia bisa menangis meraung-raung di kantor hanya gara-gara berbeda pendapat atau bermasalah dengan rekan kerjanya. Atau bisa juga dia tiba-tiba pingsan. Awalnya, teman-teman kantornya menolong dan berempati. Setiap kali Heni menangis atau pingsan, mereka akan tergapah-gopoh menolong, bahkan mengantar ke rumah sakit. Namun, ketika hal itu sering terjadi, teman-temannya mulai jemu. Apalagi setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter tidak menemukan adanya penyakit, dan menduga Heni hanya kelelahan. Seketika, teman-teman Heni pun mulai menjauh. Mereka merasa terganggu. “Gue enggak mau aja terjerat drama queen,” ujar Anton, rekan sekantor Heni.
Heni sempat menjalani berbagai pemeriksaan kesehatan, termasuk pemeriksaan saraf. Hasilnya, tak ada masalah dengan kesehatannya. Ia baik-baik saja. Mungkin Anda juga pernah menemui rekan kerja seperti Heni, yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai histrionic. Situs psychcentral.com menyebut histrionic sebagai gangguan kepribadian, di mana si penderita selalu berusaha mencari perhatian. Penderita histrionic biasanya sering mengalami perubahan emosional yang ekstrem. Penderita histrionic selalu ingin menjadi pusat perhatian. Jika tidak diperhatikan, mereka akan merasa tidak nya man dan kesulitan bergaul. Mereka juga sering tampil mencolok secara fisik demi menarik perhatian orang lain. Penderita histrionic biasanya sering mengalami perubahan emosi yang ekstrem. Mereka juga mudah dipengaruhi orang lain. Manipulasi Ekstrem Seorang penderita histrionic adalah manipulator sejati. Dalam berhubungan dengan orang lain, mereka selalu memposisikan diri sebagai seorang “korban” atau “putri”. Tanpa disadari, mereka sering bertindak di luar pe-ran. Para penderita histrionic memiliki kecenderungan mengontrol “pasangannya” dengan memanipulasi emosi atau seduktif dalam tingkatan tertentu. Mereka bisa melakukan apa saja agar keinginannya tercapai. Jika keinginannya tertunda, mereka akan frustrasi atau bahkan depresi.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Sugiarti Musabiq, menyebutkan penderita histrionic bisa “memindahkan” depresi dan rasa frustasi yang bersifaf psikis menjadi penyakit fisik. “Mereka bisa benar-benar pingsan. Padahal, sebenarnya, mereka tidak sakit sama sekali,” katanya. Seperti umumnya gangguan kepribadian, histrionic biasanya akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Namun, pada beberapa orang, gejala terekstrem justru terjadi saat usia 40 hingga 50 tahun. Kasus histrionic lebih banyak ditemukan pada perempuan dan sangat jarang ditemukan pada kaum Adam. Pada pria, gangguan histrionic biasanya ditemukan pada homoseksual. Diagnosis Data yang ada menyebutkan penderita histrionic mencapai 2-3 persen dari seluruh populasi manusia di dunia. Orang dengan gangguan kepribadian ini biasanya tidak menyadari perihal yang terjadi. Bahkan banyak penderita histrionic yang menyangkal dirinya “sakit” dan menolak mentah-mentah untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Orang-orang di sekitar penderitalah yang justru merasakan gangguan itu. Karena itu, seringnya, merekalah yang akhirnya menyarankan para penderita histrionic untuk mendatangi psikolog atau psikiater.
Gangguan histrionic hanya bisa didiagnosis oleh ahli kesehatan mental yang terlatih. Bahkan, seorang dokter sekalipun tidak dilatih membuat diagnosis psikologis. Tidak ada tes laboratorium, darah, atau genetik yang dapat mendiagnosis gangguan ini. Karena itu, tak jarang penderita histrionic yang datang ke dokter dengan keluhan sering pingsan dikaitkan dengan masalah saraf. Padahal mungkin tidak. Dokter biasanya akan merujuk pasien ke psikolog atau psikiater. Selanjutnya, para psikolog itu akan mempelajari gejala dan riwayat hidup dengan kriteria histrionic. “Mereka akan menentukan gejala, apakah pasien ini memenuhi kriteria yang diperlukan untuk diagnosis gangguan kepribadian atau tidak,” ujar Sugiarti. Banyak orang dengan gangguan kepribadian histrionic tidak mencari pengobatan. Mereka baru akan mencari pertolongan saat penyakitnya sudah sangat mengganggu orang lain Penderita histrionic biasanya harus menjalani psikoterapi jangka panjang, di bawah pengawasan seorang terapis berpengalaman. Obat-obatan biasanya tidak dibutuhkan. Penyebab Hingga kini penyebab histrionic belum bisa dipastikan. Namun banyak psikolog berpendapat bahwa histrionic disebabkan oleh faktor biopsikososial. Selain faktor biologis/genetic histrionic, faktor sosial dan psikologis bisa memicu kasus histrionic. Faktor sosial antara lain interaksi dalam perkembangan awal mereka di tengah keluarga dan lingkungan.
Sedangkan faktor psikologis meliputi kepribadian individu dan temperamen yang juga dipengaruhi oleh lingkungan. Histrionic adalah masalah kompleks yang mungkin saling terkait dari ketiga faktor ini. Jadi, tidak ada faktor tunggal yang secara khusus “bertanggung jawab” atas munculnya gangguan histrionic. Hanya, penelitian menunjukkan penderita histrionic berpotensi “mewariskan” gangguan ini pada keturunan mereka. Ahay! n RACHEL VANNESYA, KEN YUNITA | ESTI UTAMI
Sumber: majalah detik, edisi tepatnya ane lupa. Kayaknya minggu lalu yg bahas pak de Jokowi
Dasar, drama queen!” Umpatan semacam itu sering dilontarkan teman-teman Heni (bukan nama sebenarnya). Gadis 28 tahun itu memang terkenal suka mendramatisasi suasana. Dalam satu hari, ia bisa menangis meraung-raung di kantor hanya gara-gara berbeda pendapat atau bermasalah dengan rekan kerjanya. Atau bisa juga dia tiba-tiba pingsan. Awalnya, teman-teman kantornya menolong dan berempati. Setiap kali Heni menangis atau pingsan, mereka akan tergapah-gopoh menolong, bahkan mengantar ke rumah sakit. Namun, ketika hal itu sering terjadi, teman-temannya mulai jemu. Apalagi setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter tidak menemukan adanya penyakit, dan menduga Heni hanya kelelahan. Seketika, teman-teman Heni pun mulai menjauh. Mereka merasa terganggu. “Gue enggak mau aja terjerat drama queen,” ujar Anton, rekan sekantor Heni.
Heni sempat menjalani berbagai pemeriksaan kesehatan, termasuk pemeriksaan saraf. Hasilnya, tak ada masalah dengan kesehatannya. Ia baik-baik saja. Mungkin Anda juga pernah menemui rekan kerja seperti Heni, yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai histrionic. Situs psychcentral.com menyebut histrionic sebagai gangguan kepribadian, di mana si penderita selalu berusaha mencari perhatian. Penderita histrionic biasanya sering mengalami perubahan emosional yang ekstrem. Penderita histrionic selalu ingin menjadi pusat perhatian. Jika tidak diperhatikan, mereka akan merasa tidak nya man dan kesulitan bergaul. Mereka juga sering tampil mencolok secara fisik demi menarik perhatian orang lain. Penderita histrionic biasanya sering mengalami perubahan emosi yang ekstrem. Mereka juga mudah dipengaruhi orang lain. Manipulasi Ekstrem Seorang penderita histrionic adalah manipulator sejati. Dalam berhubungan dengan orang lain, mereka selalu memposisikan diri sebagai seorang “korban” atau “putri”. Tanpa disadari, mereka sering bertindak di luar pe-ran. Para penderita histrionic memiliki kecenderungan mengontrol “pasangannya” dengan memanipulasi emosi atau seduktif dalam tingkatan tertentu. Mereka bisa melakukan apa saja agar keinginannya tercapai. Jika keinginannya tertunda, mereka akan frustrasi atau bahkan depresi.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Sugiarti Musabiq, menyebutkan penderita histrionic bisa “memindahkan” depresi dan rasa frustasi yang bersifaf psikis menjadi penyakit fisik. “Mereka bisa benar-benar pingsan. Padahal, sebenarnya, mereka tidak sakit sama sekali,” katanya. Seperti umumnya gangguan kepribadian, histrionic biasanya akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Namun, pada beberapa orang, gejala terekstrem justru terjadi saat usia 40 hingga 50 tahun. Kasus histrionic lebih banyak ditemukan pada perempuan dan sangat jarang ditemukan pada kaum Adam. Pada pria, gangguan histrionic biasanya ditemukan pada homoseksual. Diagnosis Data yang ada menyebutkan penderita histrionic mencapai 2-3 persen dari seluruh populasi manusia di dunia. Orang dengan gangguan kepribadian ini biasanya tidak menyadari perihal yang terjadi. Bahkan banyak penderita histrionic yang menyangkal dirinya “sakit” dan menolak mentah-mentah untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Orang-orang di sekitar penderitalah yang justru merasakan gangguan itu. Karena itu, seringnya, merekalah yang akhirnya menyarankan para penderita histrionic untuk mendatangi psikolog atau psikiater.
Gangguan histrionic hanya bisa didiagnosis oleh ahli kesehatan mental yang terlatih. Bahkan, seorang dokter sekalipun tidak dilatih membuat diagnosis psikologis. Tidak ada tes laboratorium, darah, atau genetik yang dapat mendiagnosis gangguan ini. Karena itu, tak jarang penderita histrionic yang datang ke dokter dengan keluhan sering pingsan dikaitkan dengan masalah saraf. Padahal mungkin tidak. Dokter biasanya akan merujuk pasien ke psikolog atau psikiater. Selanjutnya, para psikolog itu akan mempelajari gejala dan riwayat hidup dengan kriteria histrionic. “Mereka akan menentukan gejala, apakah pasien ini memenuhi kriteria yang diperlukan untuk diagnosis gangguan kepribadian atau tidak,” ujar Sugiarti. Banyak orang dengan gangguan kepribadian histrionic tidak mencari pengobatan. Mereka baru akan mencari pertolongan saat penyakitnya sudah sangat mengganggu orang lain Penderita histrionic biasanya harus menjalani psikoterapi jangka panjang, di bawah pengawasan seorang terapis berpengalaman. Obat-obatan biasanya tidak dibutuhkan. Penyebab Hingga kini penyebab histrionic belum bisa dipastikan. Namun banyak psikolog berpendapat bahwa histrionic disebabkan oleh faktor biopsikososial. Selain faktor biologis/genetic histrionic, faktor sosial dan psikologis bisa memicu kasus histrionic. Faktor sosial antara lain interaksi dalam perkembangan awal mereka di tengah keluarga dan lingkungan.
Sedangkan faktor psikologis meliputi kepribadian individu dan temperamen yang juga dipengaruhi oleh lingkungan. Histrionic adalah masalah kompleks yang mungkin saling terkait dari ketiga faktor ini. Jadi, tidak ada faktor tunggal yang secara khusus “bertanggung jawab” atas munculnya gangguan histrionic. Hanya, penelitian menunjukkan penderita histrionic berpotensi “mewariskan” gangguan ini pada keturunan mereka. Ahay! n RACHEL VANNESYA, KEN YUNITA | ESTI UTAMI
Sumber: majalah detik, edisi tepatnya ane lupa. Kayaknya minggu lalu yg bahas pak de Jokowi
0
3.1K
20
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan