- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
(hot) kegalauan para lelaki ( no maho)


TS
uguwidodo
(hot) kegalauan para lelaki ( no maho)
welkom gan
Spoiler for wajib buka:
mohon maaf gan klo acak adul, soalnya dari hangpong


Spoiler for kegalauan lelaki:
Sebagian besar di seluruh negara tepatnya di kota-kota
besar ada lokasi prostitusi. Termasuk Indonesia, siapa tak
kenal dengan kawasan Dolly yang berada disudut kota
Surabaya, Jawa Timur.
Konon, Dolly di lokalisasi pramuriaan disebut-sebut yang
terbesar se-Asia Tenggara. Betapa tidak, sedikitnya 9.000
lebih pramuria numplek jadi satu di kawasan tersebut. Pria
hidung belang kalangan atas hingga bawah tak sulit ditemukan
di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal, wisatawan
asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk
memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan
pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain,
misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan
Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu.
Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri.
Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang
ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam
yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana
sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal
seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah
tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan
Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni
Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi
para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante
Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak
meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan
Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka
perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal
sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya
gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal
pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis
untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan
memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring
berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan
tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara
untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal
masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang
berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang
berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK.
Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas
pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi
penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek,
kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi.
Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta,
pramuria di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan
layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan
pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua
saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo
dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah
Dunia pramuriaan Surabaya, Kasus Kompleks pramuriaan Dolly"
yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu
disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa,
meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di
Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan
menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu
tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah
oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah
bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam,
menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pramuria wanita
bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut.
Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah
pramuriaan pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang
Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul,
NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan
pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969.
Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun
persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas
ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini
bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika
tempat-tempat lokalisasi di kawasan Surabaya ditutup.
Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus human
trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly?
Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang
APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya,
berkisar hingga puluhan miliar rupiah, uang yang masuk dari
praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya.
besar ada lokasi prostitusi. Termasuk Indonesia, siapa tak
kenal dengan kawasan Dolly yang berada disudut kota
Surabaya, Jawa Timur.
Konon, Dolly di lokalisasi pramuriaan disebut-sebut yang
terbesar se-Asia Tenggara. Betapa tidak, sedikitnya 9.000
lebih pramuria numplek jadi satu di kawasan tersebut. Pria
hidung belang kalangan atas hingga bawah tak sulit ditemukan
di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal, wisatawan
asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk
memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan
pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain,
misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan
Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu.
Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri.
Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang
ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam
yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana
sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal
seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah
tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan
Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni
Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi
para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante
Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak
meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan
Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka
perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal
sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya
gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal
pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis
untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan
memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring
berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan
tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara
untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal
masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang
berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang
berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK.
Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas
pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi
penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek,
kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi.
Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta,
pramuria di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan
layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan
pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua
saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo
dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah
Dunia pramuriaan Surabaya, Kasus Kompleks pramuriaan Dolly"
yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu
disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa,
meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di
Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan
menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu
tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah
oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah
bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam,
menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pramuria wanita
bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut.
Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah
pramuriaan pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang
Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul,
NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan
pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969.
Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun
persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas
ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini
bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika
tempat-tempat lokalisasi di kawasan Surabaya ditutup.
Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus human
trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly?
Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang
APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya,
berkisar hingga puluhan miliar rupiah, uang yang masuk dari
praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya.
Spoiler for mohon buka pelis:
tlong
:ato





0
4K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan