- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Foto Ini (juga) Lagi Trend di FB :iloveindonesias


TS
pascaunima
Foto Ini (juga) Lagi Trend di FB :iloveindonesias

Beberapa hari terakhir ini dalam sebuah group komunitas di FB (Dokter Indonesia Bersatu, red) sedang ramai dibicarakan tentang kriminalisasi dokter di daerah Sulawesi Utara...
Mengapa hal ini menjadi #trendingtopics di komunitas tersebut, ini alasannya:
Quote:
Quote:
Tiga dokter kandungan, dr. A, dr. HS1 dan HS2 dinyatakan bersalah melakukan malpraktik thd perempuan Julia Fransiska Makatey. Dr. A saat ini bertugas di Balikpapan, teman Put dan 2 yuniornya masing2 dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.
Disebutkan tgl 10 April 2010 ketiga terdakwa yg masih status bersekolah spesialis tsb melakukan operasi sectio caesaria thd korban. Krn masih sekolah sebagaimana calon2 dokter spesialis lainnya selama bekerja kurang lebih 5 tahun tentu saja mereka tak dibayar krn dianggap masa pengabdian.
Setelah operasi tiba2 pasien mengalami gagal jantung. Oleh saksi ahli diperkirakan oleh emboli/sumbatan bekuan darah/udara di paru2 shg gagal napas yg berlanjut gagal jantung. Emboli diketahui bisa tjd pd siapapun yg mengalami trauma, baik trauma fisik akibat operasi atau kecelakaan at trauma kimia dll.
Di pengadilan negeri manado ketiganya dinyatakan tak bersalah dan divonis bebas krn semua tindakan dilakukan sesuai prosedur. Akan tetapi setelah kasasi ke MA ketiganya di vonis bersalah hy krn disebutkan "tidak memberi tau tt kemungkinan pasien meninggal setelah operasi" juga dlm operasi darurat tsb tdk dilakukan pemeriksaan lengkap thd jantung dan pemeriksaan spesifik lainnya.
Semua dokter tau bahwa emboli paru tak ada hubungannya dg bentuk jantung/paru atau bahkan fungsi apapun. Bahkan anak yg khitan/sunat memiliki resiko yg sama tjd emboli paru. Dan utk melakukan pemeriksaan penunjang tambahan apalagi khusus biasanya dokter akan mempertimbangkan semua aspek, mulai waktu yg diharuskan cepat dlm keadaan darurat, untung rugi bagi pasien dan tentunya efek thd finansial pasien.
Pertanyaannya? Pantaskah dr. A, dkk dihukum penjara 10 bulan krn gagal menolong (ingat mereka tak dibayar sepeserpun!). Kalau saya yg disuruh menjawab saya akan katakan dg lantang dan jelas. Penolong yg menggunakan seluruh kemampuan terbaiknya untuk menolong dan gagal TIDAK PANTAS DIPENJARA!!!
Loh apa bedanya dg sopir yg nabrak orang dipenjara? Yo jelas beda jauh. Selama si sopir memiliki kapasitas utk menyopir (bukti SIM) dan dia menyopir dg benar tiba2 muncul seseorang yg menyerobot jalannya dan tertabrak, maka sang sopir bebas dari hukuman. Lah Afriani? Tentu saja Anda2 jauh lbh tau dari saya. Apalagi sang dokter berniat sungguh2 utk menolong! Ingat menolong!
Lalu adilkah hukuman itu? Jelas TAK ADIL! Bukan krn saya kenal baik dg ybs atau krn saya seorang dokter. Saya berkata sbg anggota masy yg peduli. Siapa yg akan menanggung kerugian akibat ketidakadilan hakim ini? Kita semua! Semua elemen bangsa ini akan dirugikan keputusan yg mungkin "melegakan" bagi sebagian orang yg senang dg kenyataan bahwa tyt "dokter bisa dipenjara" dan juga LSM ttt yg sgt gigih memperjuangkan "hukuman yg memuaskan" tsb hingga kasasi ke MA.
Apa harga yg harus dibayar :
1. Teror thd para dokter akan merugikan semua! Apakah anda puas kl Indonesia menjd smakin Amerika dg tuntut menuntutnya? Para dokter akan menjd was2 dlm menjalankan profesinya. Apakah itu baik? Ya cukup baik, tetapi tak berimbang dg kerugiannya yg sgt besar. Untung ruginya jomplang! Kerugiannya jelas akan ke pasien juga. Dokter akan melakukan praktik defensif medicine. Artinya ia akan meminta tandatangan setiap tindakan sekecil apapun serta perjanjian2 rumit lainnya. Kl si dokter tak yakin ia akan meminta seluruh pemeriksaan detil sebelum mau menolong pasien. Dan ini biayanya tentu sangat2 besar. Kl anda ke singapore cek up, meski anda sehat, mereka akan memeriksa dg "pemeriksaan canggih yg tak perlu" demi mengeruk keuntungan dan memuaskan nafsu dahaga orang2 kaya Indonesia yg paranoid thd kesehatannya.
2. Efek psikologis hub pasien dan dokter yg selama ini di wujudkan dlm bentuk rasa saling percaya akan berubah menjadi rasa saling curiga bahkan ketakutan. Ini akan merugikan semuanya.
3. Bangsa yg memilih utk menghukum penolong dan membebaskan pencuri/koruptor akan menghasilkan bangsa sakit. Bangsa yg paranoid. Tak saling percaya krn seakan2 tak ada lagi hal yg bisa dipercaya. Ini hukuman terberat yg akan kita pikul dalam membawa bangsa dg penduduk 240 juta jiwa ini menuju masa depan.
Lalu apakah dokter tak boleh dipenjara? Sebagai manusia biasa tentu saja sangat boleh. Tetapi harus digarisbawahi ; mereka dipenjara bukan karena gagal menolong!! Dokter dapat dipenjara dg syarat ketat :
1. Mereka melakukan kejahatan dg niat
2. Mereka terbukti benar2 menyalahi prosedur meskipun kesempatan, waktu dan keadaan memungkinkan utk melakukan prosedur yg tepat
3. Terlibat jelas kepentingan utk diri sendiri sang dokter dalam melakukan tindakan yg berakibat fatal eternity
4. Sekurang2nya sang dokter telah terbukti melanggar etika yg disepakati secara nyata.
Diluar itu saya akan berkata dg jelas STOP KRIMINALISASI DOKTER!!! Buat Dr. A, Dr. HS1 dan Dr. HS2, SpOG, kami bersamamu!!!
Disebutkan tgl 10 April 2010 ketiga terdakwa yg masih status bersekolah spesialis tsb melakukan operasi sectio caesaria thd korban. Krn masih sekolah sebagaimana calon2 dokter spesialis lainnya selama bekerja kurang lebih 5 tahun tentu saja mereka tak dibayar krn dianggap masa pengabdian.
Setelah operasi tiba2 pasien mengalami gagal jantung. Oleh saksi ahli diperkirakan oleh emboli/sumbatan bekuan darah/udara di paru2 shg gagal napas yg berlanjut gagal jantung. Emboli diketahui bisa tjd pd siapapun yg mengalami trauma, baik trauma fisik akibat operasi atau kecelakaan at trauma kimia dll.
Di pengadilan negeri manado ketiganya dinyatakan tak bersalah dan divonis bebas krn semua tindakan dilakukan sesuai prosedur. Akan tetapi setelah kasasi ke MA ketiganya di vonis bersalah hy krn disebutkan "tidak memberi tau tt kemungkinan pasien meninggal setelah operasi" juga dlm operasi darurat tsb tdk dilakukan pemeriksaan lengkap thd jantung dan pemeriksaan spesifik lainnya.
Semua dokter tau bahwa emboli paru tak ada hubungannya dg bentuk jantung/paru atau bahkan fungsi apapun. Bahkan anak yg khitan/sunat memiliki resiko yg sama tjd emboli paru. Dan utk melakukan pemeriksaan penunjang tambahan apalagi khusus biasanya dokter akan mempertimbangkan semua aspek, mulai waktu yg diharuskan cepat dlm keadaan darurat, untung rugi bagi pasien dan tentunya efek thd finansial pasien.
Pertanyaannya? Pantaskah dr. A, dkk dihukum penjara 10 bulan krn gagal menolong (ingat mereka tak dibayar sepeserpun!). Kalau saya yg disuruh menjawab saya akan katakan dg lantang dan jelas. Penolong yg menggunakan seluruh kemampuan terbaiknya untuk menolong dan gagal TIDAK PANTAS DIPENJARA!!!
Loh apa bedanya dg sopir yg nabrak orang dipenjara? Yo jelas beda jauh. Selama si sopir memiliki kapasitas utk menyopir (bukti SIM) dan dia menyopir dg benar tiba2 muncul seseorang yg menyerobot jalannya dan tertabrak, maka sang sopir bebas dari hukuman. Lah Afriani? Tentu saja Anda2 jauh lbh tau dari saya. Apalagi sang dokter berniat sungguh2 utk menolong! Ingat menolong!
Lalu adilkah hukuman itu? Jelas TAK ADIL! Bukan krn saya kenal baik dg ybs atau krn saya seorang dokter. Saya berkata sbg anggota masy yg peduli. Siapa yg akan menanggung kerugian akibat ketidakadilan hakim ini? Kita semua! Semua elemen bangsa ini akan dirugikan keputusan yg mungkin "melegakan" bagi sebagian orang yg senang dg kenyataan bahwa tyt "dokter bisa dipenjara" dan juga LSM ttt yg sgt gigih memperjuangkan "hukuman yg memuaskan" tsb hingga kasasi ke MA.
Apa harga yg harus dibayar :
1. Teror thd para dokter akan merugikan semua! Apakah anda puas kl Indonesia menjd smakin Amerika dg tuntut menuntutnya? Para dokter akan menjd was2 dlm menjalankan profesinya. Apakah itu baik? Ya cukup baik, tetapi tak berimbang dg kerugiannya yg sgt besar. Untung ruginya jomplang! Kerugiannya jelas akan ke pasien juga. Dokter akan melakukan praktik defensif medicine. Artinya ia akan meminta tandatangan setiap tindakan sekecil apapun serta perjanjian2 rumit lainnya. Kl si dokter tak yakin ia akan meminta seluruh pemeriksaan detil sebelum mau menolong pasien. Dan ini biayanya tentu sangat2 besar. Kl anda ke singapore cek up, meski anda sehat, mereka akan memeriksa dg "pemeriksaan canggih yg tak perlu" demi mengeruk keuntungan dan memuaskan nafsu dahaga orang2 kaya Indonesia yg paranoid thd kesehatannya.
2. Efek psikologis hub pasien dan dokter yg selama ini di wujudkan dlm bentuk rasa saling percaya akan berubah menjadi rasa saling curiga bahkan ketakutan. Ini akan merugikan semuanya.
3. Bangsa yg memilih utk menghukum penolong dan membebaskan pencuri/koruptor akan menghasilkan bangsa sakit. Bangsa yg paranoid. Tak saling percaya krn seakan2 tak ada lagi hal yg bisa dipercaya. Ini hukuman terberat yg akan kita pikul dalam membawa bangsa dg penduduk 240 juta jiwa ini menuju masa depan.
Lalu apakah dokter tak boleh dipenjara? Sebagai manusia biasa tentu saja sangat boleh. Tetapi harus digarisbawahi ; mereka dipenjara bukan karena gagal menolong!! Dokter dapat dipenjara dg syarat ketat :
1. Mereka melakukan kejahatan dg niat
2. Mereka terbukti benar2 menyalahi prosedur meskipun kesempatan, waktu dan keadaan memungkinkan utk melakukan prosedur yg tepat
3. Terlibat jelas kepentingan utk diri sendiri sang dokter dalam melakukan tindakan yg berakibat fatal eternity
4. Sekurang2nya sang dokter telah terbukti melanggar etika yg disepakati secara nyata.
Diluar itu saya akan berkata dg jelas STOP KRIMINALISASI DOKTER!!! Buat Dr. A, Dr. HS1 dan Dr. HS2, SpOG, kami bersamamu!!!
Ada yg hrs diketahui masyarakat awam ttg hukum kedokteran
Quote:
- Bahwa dokter hy berusaha semaksimal mgkn, bukan menjanjikan hasil. Krn ad yg namanya risiko medis aplg yg menyangkut tindakan operasi dll yg dpt menimbulkan efek berbahaya sampai kematian.
- Bahwa dlm tindakan kedokteran dpt tjd kelalaian jk melanggar standar prosedur tp ini jg hrs mengingat kondisi kedaruratan di mana kdg prosedur bisa dilewatkan krn keterbatasan sarana dan waktu, termasuk tdk perlu meminta izin pasien.
- Bahwa hukuman pidana mjd jalan terakhir krn hukumannya berat (bisa sampai dipenjara) shg bukti hrs kuat dan konkrit pdhl membuktikan sebab kematian tdklah mudah.
- Bahwa tindak pidana pada dokter plg jelas kalau dia sengaja melakukannya spt aborsi tanpa indikasi medis dll. Kalau mengobati pasien dan ternyata gagal, bisa jd itu risiko medis shg dokter tak bisa dipidana, bisa jadi itu lalai shg dokter hrs memberikan ganti rugi. Pemidanaan dokter yg lalai hy jk kelalaiannya berat.
- Bahwa pemidanaan thd dokter akan berdampak buruk bagi masyarakat krn dokter akan melakukan "defensive medicine" alias takut melakukan tindakan shg pasien darurat bisa tak selamat. Minat org mjd dokter (aplg dokter bedah dan kandungan) akan semakin kecil shg merugikan masyarakat. Dan ini sudah tjd di USA dll
- Bahwa di USA saja, dokter tak bisa dipidana ketika lalai dlm bekerja tp hy sampai tingkat perdata ganti rugi
- Bahwa persoalan hukuman penjara utk dokter yg tdk berizin, itu sudah direvisi oleh Mahkamah Konstitusi pada thn 2007 dgn hukuman denda saja. Lbh baik pemerintah fokus pada penertiban pengobatan alternatif yg lbh berbahaya lagi bagi masyarakat. Lebih baik lagi kalau pemerintah menyiapkan sistem kesehatan yg baik tanpa hrs selalu menyudutkan dokter. Lbh baik lg bagi aparat penegak hukum utk dpt memahami hukum kedokteran yg berbeda dgn bidang hukum lainnya.
- Bahwa dlm tindakan kedokteran dpt tjd kelalaian jk melanggar standar prosedur tp ini jg hrs mengingat kondisi kedaruratan di mana kdg prosedur bisa dilewatkan krn keterbatasan sarana dan waktu, termasuk tdk perlu meminta izin pasien.
- Bahwa hukuman pidana mjd jalan terakhir krn hukumannya berat (bisa sampai dipenjara) shg bukti hrs kuat dan konkrit pdhl membuktikan sebab kematian tdklah mudah.
- Bahwa tindak pidana pada dokter plg jelas kalau dia sengaja melakukannya spt aborsi tanpa indikasi medis dll. Kalau mengobati pasien dan ternyata gagal, bisa jd itu risiko medis shg dokter tak bisa dipidana, bisa jadi itu lalai shg dokter hrs memberikan ganti rugi. Pemidanaan dokter yg lalai hy jk kelalaiannya berat.
- Bahwa pemidanaan thd dokter akan berdampak buruk bagi masyarakat krn dokter akan melakukan "defensive medicine" alias takut melakukan tindakan shg pasien darurat bisa tak selamat. Minat org mjd dokter (aplg dokter bedah dan kandungan) akan semakin kecil shg merugikan masyarakat. Dan ini sudah tjd di USA dll
- Bahwa di USA saja, dokter tak bisa dipidana ketika lalai dlm bekerja tp hy sampai tingkat perdata ganti rugi
- Bahwa persoalan hukuman penjara utk dokter yg tdk berizin, itu sudah direvisi oleh Mahkamah Konstitusi pada thn 2007 dgn hukuman denda saja. Lbh baik pemerintah fokus pada penertiban pengobatan alternatif yg lbh berbahaya lagi bagi masyarakat. Lebih baik lagi kalau pemerintah menyiapkan sistem kesehatan yg baik tanpa hrs selalu menyudutkan dokter. Lbh baik lg bagi aparat penegak hukum utk dpt memahami hukum kedokteran yg berbeda dgn bidang hukum lainnya.
Berikut adalah bentuk solidaritas dari para Rekan Sejawat!
Quote:
AKSI SOLIDARITAS SEJAWAT 18 NOVEMBER 2013
POGI Manado bersama konsulen, residen dan Co-ass akan melakukan aksi damai (keprihatinan), rencana aksi Senin 18 November 2013. Rencananya akan dihadiri juga oleh Ketua POGI Pusat dan Ketua IDI Pusat, bersama turun ke jalan, sekitar 200 orang.
Aksi solidaritas bisa juga dengan membuat aksi yang sama pada tanggal 18 november di tempat masing-masing, ATAU aksi pasang PP FB STOP KRIMINALISASI DOKTER serentak pada tanggal 18 november.
POGI Manado bersama konsulen, residen dan Co-ass akan melakukan aksi damai (keprihatinan), rencana aksi Senin 18 November 2013. Rencananya akan dihadiri juga oleh Ketua POGI Pusat dan Ketua IDI Pusat, bersama turun ke jalan, sekitar 200 orang.
Aksi solidaritas bisa juga dengan membuat aksi yang sama pada tanggal 18 november di tempat masing-masing, ATAU aksi pasang PP FB STOP KRIMINALISASI DOKTER serentak pada tanggal 18 november.

Lain lagi tanggapan Bu Menkes soal Demo (lalu) Dokter Turun ke Jalan

Quote:

Quote:
Demo, Pilihan Pahit untuk Dokter
oleh
ARIO DJATMIKO
HARI Dokter Indonesia pada 24 Oktober lalu ditandai dengan demo. Para dokter turun ke jalan di Jakarta. Muncul komentar tak sedap. Sesuai dengan sumpahnya, dokter harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan kemanusiaan ketimbang kepentingan dirinya. Protes dalam bentuk apa pun dianggap menjadi tak pantas.
Benar, dua hal yang membuat dokter seolah tidak pantas berdemo. Pertama, demo adalah cara protes yang lebih menunjukkan kekuatan massa ketimbang kejernihan berpikir. Cara itu dianggap tidak lazim dilakukan oleh para intelektual. Kehadiran dokter lebih diharapkan membawa gagasan cemerlang ketimbang protes di jalan.
Kedua, kalau dibaca dengan jeli, isi tuntutan para dokter lebih ke arah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan secara menyeluruh. Tetapi, masyarakat tetap saja melihat, dokter hanya mengutamakan kepentingannya. Buktinya? Para dokter berjalan sendiri, masyarakat tak acuh, bahkan mungkin terganggu.
Dokter demo turun ke jalan memang merupakan hal baru di negeri ini. Tapi, coba telusuri Google, Anda akan melihat demo dokter, bahkan mogok, di negara-negara lain sudah jamak.
Semua itu berawal dari konflik, sesuatu yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Kita kenal dua cara mengelola konflik. Pertama, penyelesaian dialogis. Di sini semua pihak duduk bersama untuk memahami situasi yang dihadapi, mencari jalan keluar terbaik bagi kepentingan bersama. Kemampuan berdialog adalah properti yang wajib dimiliki setiap intelektual.
Ribuan tahun lalu Plato menekankan pentingnya dialog dengan didasari rasa kebersamaan yang kuat. Duduk bersama berarti kesetaraan, masing-masing harus memiliki kemampuan mendengar dengan hati. Free flow of idea, gagasan terbaik dari semua pihak akan mengalir bebas dan menyatu. Hasil akhirnya bukan kalah-menang, melainkan terbangunnya kesamaan nilai untuk kepentingan bersama, sinergi luar biasa.
Kedua, penyelesaian konflik secara konfrontatif. Kedua belah pihak berhadapan. Kuat-kerasnya suara, bahkan mungkin kekuatan fisik, lebh menjadi penentu ketimbang kejernihan hati dan akal sehat. Hasil akhirnya kalah atau menang. Terjadi luka yang dalam dan kebersamaan tercabik. Peluang terjadinya sinergisme lenyap dan kita melangkah tanpa kekuatan. Lahir apatisme, inertia yang berkepanjangan, dan kekuatan bangsa membangun negeri pun pudar. Tidak selalu salah kalau kita mengatakan, protes-demo adalah tindakan yang destruktif dan dialog adalah tindakan konstruktif.
Lantas, mengapa para dokter, sang intelektual, (terpaksa) memilihi jalanyang destruktif?
Sebelum menjawab, semua harus jelas: Dokter itu bekerja atau pengabdian? Di negeri ini dua istilah itu sering rancu, pekerjaan dokter lebih sering dianggap sebagai pengabdian. Di banyak negara dokter lebih bangga menyebut dirinya bekerja profesional ketimbang mengabdi. Mengapa? Performa, kinerja, dan outcome-nya lebih jelas terukur. Juga, tujuan si pekerja jelas, mengejar imbalan jasa.
Sebaliknya, istilah mengabdi memberi makna yang berbeda, ada ketulusan disana. Yang diukur bukan hebatnya performa, melainkan besarnya pengorbanan, nilai immaterial yang luhur. Namun, ukuran-ukuran profesional sulit diterapkan. Pengabdian tentang kemuliaan, kehormatan, dan pengorbanan. Sehingga jelas, protes atau demo tidak layak hadir di ruang pengabdian.
Tetapi, bila dokter telah mempersoalkan imbalan jasa, dia tidak bisa lagi menyebut dirinya mengabdi. Lebih tepat disebut pekerja profesional biasa dan tata kerja upahnya pun mengikuti aturan kerja biasa. Pertanyannya, masih adakah peluang untuk membuka ruang dialog?
Mohon Petunjuk Presiden
"Kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan."
Pernyataan sekeras itu seharusnya tidak keluar dari penjabat sekelas menteri. Tetapi, itulah yang terdengar saat Ibu Menkes hadir di forum Urun Rembug Nasional IDI, 26 Agustus 2013. Padahal dokter Indonesia tidak punya tradisi lari tinggal gelanggang, menelantarkan pasien. Tidak perlulah ada ancaman. Dampaknya? Suasana batin hancur, keteduhan hilang, dan rasa aman menjauh. Mengancam bukan cara yang bijak untuk membangun kebersamaan. Ruang dialog kian sulit dibangun.
Apakah karena sumpah "lebih mengutamakan kepentigan kemanusiaan daripada kepentingan diri", lantas setiap dokter harus menerima apa pun kondisi yang ditawarkan pemerintah dan pengusaha? Sesuai dengan UUD 1945 (pasal 28 D ayat 2): Bekerja mendapatkan imbalan, serta memperoleh perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja adalah hak asasi yang dilindungi negara.
Saya mohon petunjuk Bapak Presiden, Ibu Menkes, Bapak Menkeu, atau siapa sajalah, bagaimana cara dokter (dengan istri dan dua anak) merencanakan masa depan keluarha dengan pendapatan Rp 1.200.000 per bulan? Bagaimana cara pemerintah menyehatkan 240 juta rakyat dengan bujet 2,7 persen di APBN? Rakyat harus tahu! Namun, terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab di negeri ini.
Benar, demo adalah pilihan pahit untuk korps dokter, tapi adakah cara lain?
oleh
ARIO DJATMIKO
HARI Dokter Indonesia pada 24 Oktober lalu ditandai dengan demo. Para dokter turun ke jalan di Jakarta. Muncul komentar tak sedap. Sesuai dengan sumpahnya, dokter harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan kemanusiaan ketimbang kepentingan dirinya. Protes dalam bentuk apa pun dianggap menjadi tak pantas.
Benar, dua hal yang membuat dokter seolah tidak pantas berdemo. Pertama, demo adalah cara protes yang lebih menunjukkan kekuatan massa ketimbang kejernihan berpikir. Cara itu dianggap tidak lazim dilakukan oleh para intelektual. Kehadiran dokter lebih diharapkan membawa gagasan cemerlang ketimbang protes di jalan.
Kedua, kalau dibaca dengan jeli, isi tuntutan para dokter lebih ke arah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan secara menyeluruh. Tetapi, masyarakat tetap saja melihat, dokter hanya mengutamakan kepentingannya. Buktinya? Para dokter berjalan sendiri, masyarakat tak acuh, bahkan mungkin terganggu.
Dokter demo turun ke jalan memang merupakan hal baru di negeri ini. Tapi, coba telusuri Google, Anda akan melihat demo dokter, bahkan mogok, di negara-negara lain sudah jamak.
Semua itu berawal dari konflik, sesuatu yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Kita kenal dua cara mengelola konflik. Pertama, penyelesaian dialogis. Di sini semua pihak duduk bersama untuk memahami situasi yang dihadapi, mencari jalan keluar terbaik bagi kepentingan bersama. Kemampuan berdialog adalah properti yang wajib dimiliki setiap intelektual.
Ribuan tahun lalu Plato menekankan pentingnya dialog dengan didasari rasa kebersamaan yang kuat. Duduk bersama berarti kesetaraan, masing-masing harus memiliki kemampuan mendengar dengan hati. Free flow of idea, gagasan terbaik dari semua pihak akan mengalir bebas dan menyatu. Hasil akhirnya bukan kalah-menang, melainkan terbangunnya kesamaan nilai untuk kepentingan bersama, sinergi luar biasa.
Kedua, penyelesaian konflik secara konfrontatif. Kedua belah pihak berhadapan. Kuat-kerasnya suara, bahkan mungkin kekuatan fisik, lebh menjadi penentu ketimbang kejernihan hati dan akal sehat. Hasil akhirnya kalah atau menang. Terjadi luka yang dalam dan kebersamaan tercabik. Peluang terjadinya sinergisme lenyap dan kita melangkah tanpa kekuatan. Lahir apatisme, inertia yang berkepanjangan, dan kekuatan bangsa membangun negeri pun pudar. Tidak selalu salah kalau kita mengatakan, protes-demo adalah tindakan yang destruktif dan dialog adalah tindakan konstruktif.
Lantas, mengapa para dokter, sang intelektual, (terpaksa) memilihi jalanyang destruktif?
Sebelum menjawab, semua harus jelas: Dokter itu bekerja atau pengabdian? Di negeri ini dua istilah itu sering rancu, pekerjaan dokter lebih sering dianggap sebagai pengabdian. Di banyak negara dokter lebih bangga menyebut dirinya bekerja profesional ketimbang mengabdi. Mengapa? Performa, kinerja, dan outcome-nya lebih jelas terukur. Juga, tujuan si pekerja jelas, mengejar imbalan jasa.
Sebaliknya, istilah mengabdi memberi makna yang berbeda, ada ketulusan disana. Yang diukur bukan hebatnya performa, melainkan besarnya pengorbanan, nilai immaterial yang luhur. Namun, ukuran-ukuran profesional sulit diterapkan. Pengabdian tentang kemuliaan, kehormatan, dan pengorbanan. Sehingga jelas, protes atau demo tidak layak hadir di ruang pengabdian.
Tetapi, bila dokter telah mempersoalkan imbalan jasa, dia tidak bisa lagi menyebut dirinya mengabdi. Lebih tepat disebut pekerja profesional biasa dan tata kerja upahnya pun mengikuti aturan kerja biasa. Pertanyannya, masih adakah peluang untuk membuka ruang dialog?
Mohon Petunjuk Presiden
"Kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan."
Pernyataan sekeras itu seharusnya tidak keluar dari penjabat sekelas menteri. Tetapi, itulah yang terdengar saat Ibu Menkes hadir di forum Urun Rembug Nasional IDI, 26 Agustus 2013. Padahal dokter Indonesia tidak punya tradisi lari tinggal gelanggang, menelantarkan pasien. Tidak perlulah ada ancaman. Dampaknya? Suasana batin hancur, keteduhan hilang, dan rasa aman menjauh. Mengancam bukan cara yang bijak untuk membangun kebersamaan. Ruang dialog kian sulit dibangun.
Apakah karena sumpah "lebih mengutamakan kepentigan kemanusiaan daripada kepentingan diri", lantas setiap dokter harus menerima apa pun kondisi yang ditawarkan pemerintah dan pengusaha? Sesuai dengan UUD 1945 (pasal 28 D ayat 2): Bekerja mendapatkan imbalan, serta memperoleh perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja adalah hak asasi yang dilindungi negara.
Saya mohon petunjuk Bapak Presiden, Ibu Menkes, Bapak Menkeu, atau siapa sajalah, bagaimana cara dokter (dengan istri dan dua anak) merencanakan masa depan keluarha dengan pendapatan Rp 1.200.000 per bulan? Bagaimana cara pemerintah menyehatkan 240 juta rakyat dengan bujet 2,7 persen di APBN? Rakyat harus tahu! Namun, terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab di negeri ini.
Benar, demo adalah pilihan pahit untuk korps dokter, tapi adakah cara lain?
LAYAKKAH KAMI DIBUNUH KARENA MEMPERJUANGKAN HAK ASASI KAMI???



0
31.5K
Kutip
214
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan