- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Max Timisela] ini gan orang yang nolak kontrak Werder Bremen


TS
tkurniawan
[Max Timisela] ini gan orang yang nolak kontrak Werder Bremen
![[Max Timisela] ini gan orang yang nolak kontrak Werder Bremen](https://s.kaskus.id/images/2013/11/13/6070866_20131113070424.jpg)
Jangan jadi ghost ya gan, paling ndak ngasih

atau yang sudah iso

ndak juga gpp gan

Intinya tinggalkan jejak gan

sekarang waktunya melirik ke jawabarat gan, ini dia Folkklor Timnas kita zaman dahulu gan Max Timisela
![[Max Timisela] ini gan orang yang nolak kontrak Werder Bremen](https://s.kaskus.id/images/2013/11/13/6070866_20131113071847.jpg)
Quote:
Original Posted By PanditfootballlMax Timisela: Folklor Usang Warga Kota Kembang [Bagian 1]
Walaupun dikenal sebagai kota sepakbola, Bandung tak punya tradisi langgeng sebagai pemasok besar pemain-pemain timnas Indonesia. Tapi satu yang pernah mereka lahirkan adalah Max Timisela.
Saat ini, misalnya, nama-nama beken di timnas seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, dan Sergio Van Dijk notabene bukan merupakan pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda (Jawa Barat). Bahkan ketika Persib — pernah dijuluki ‘Brasil-nya’ Indonesia’ — berjaya di tahun 1983-1984, hanya Robby Darwis yang menjadi langganan timnas.
Meski begitu, ada suatu masa ketika produk sepakbola Bandung berjaya di timnas, yaitu pada tahun 50-an hingga awal 60-an. Tak tanggung-tanggung, 6-8 starting eleven timnas juga membela Persib Bandung. Jika saat ini Persib lebih sering mengimpor pemain bintang dari timnas ke klub, maka kondisi kala itu berkebalikan. Persib-lah yang lebih sering mengekspor pemain bintang dari klub ke timnas.
Namun, masa kejayaan itu sempat diwarnai oleh aib terbesar yang mesti ditanggung Persib sepanjang masa. Enam punggawa Maung Bandung terkena skandal suap pengaturan skor para tauke. Tak hanya dipulangkan ke kampung halaman, mereka pun diberi sanksi larangan berkecimpung di dunia sepakbola sepanjang masa oleh KOGOR (KONI).
Hukuman itu kemudian diperingan menjadi hanya satu tahun. Alhasil jelang Ganefo I di Jakarta tahun 1963, bintang-bintang Persib yang terkena suap kembali dipanggil bersama pemain muda baru seperti Djadjang Haris, Emen Suwarman, Komar, Rukman dan Masri. Aroma anak-anak Bandung sangat kental terasa di timnas. Bahkan dari 24 yang dipanggil, 11 di antaranya adalah pemain Persib.
Di antara beberapa pemain itu masih bertahan sebuah nama. Nama yang kini jadi legenda bagi para pecinta sepakbola di Kota Bandung. Dia adalah pemain terakhir dari sisa kejayaan generasi Persib di timnas. Ia pun penerus trah keluarga Timisela yang pernah merajai sepakbola Bandung dan nasional.
Bukan karena prestasi hingga ia lebih tenar dibanding pemain kenamaan Persib lainnya. Bukan juga teknik dan skill individu. Tapi karena sebuah kisah nasionalisme yang sampai membuat Presiden Soekarno bergidik.
Dia adalah orang bodoh yang menolak pinangan Werder Bremen, sang juara Bundesliga di tahun 1965. Ia tolak tawaran itu demi sebuah nasionalisme. Nama lelaki itu Max. Max Timisela.
**
Dari balik kotak jendela yang dilapisi jeruji besi, seorang lelaki tua berkulit coklat legam berkepala plontos asyik memandangi rintikan hujan deras yang mengguyur kota. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok filter, yang kemudian ia hisap dalam-dalam.
Sembari memejamkan mata, bibirnya meracau. Dalam pikirannya, seolah ia merasa kembali ke masa lampau. Ke suatu hari yang dingin di tanggal 14 Juni 1965.
Umpan datar datang dari arah pertahanan timnas Indonesia. Serangan balik cepat dilakukan Soetjipto Soentoro Cs ke gawang kesebelasan Werder Bremen. Dari tengah lapang, Max Timisela berlari dengan kencang sementara bola bergulir datar mengarah kepadanya. Dengan sekali cup menggunakan ujung kaki, bola langsung melambung ke atas, over head!! Lawanpun tertipu. Secara cepat Max, sapaan akrabnya, berbalik badan berputar meninggalkan lawan yang menjaga ketat dirinya. Lawan pun tertipu, sehingga tertinggal beberapa meter.
Di sayap kiri secara sigap Maxi mengejar bola yang masih melambung tinggi. Setelah bola kembali menyetuh tanah, dengan sekali sentuhan ia menyepak bola ke arah Soetjipto yang berdiri bebas di depan gawang. Jjelegerr.. gawang Werder Bremen pun bergetar. Stadion Westerllen yang kala itu dipadati lebih dari 23.000 orang itu mendadak bisu. Semua orang masih tak percaya dengan penampilan individu ciamik yang diperagakan Max Timisela dan shooting keras Soetjipto Soendoro yang mengarah ke pojok kanan gawang. Di menit 30, Indonesia mampu unggul menyamakan skor 2-2.
Operan-operan panjang PSSI membuat pemain Bremen yang didominasi pemain timnas Jerman Barat frustasi. Silih balas gol jadi tontonan menarik bagi penonton. Skor pun berganti dari 2-2, jadi 2-3, 3-3, dan hingga kedudukan 3-4 PSSI selalu berhasil lebih unggul. Namun dengan bantuan wasit, Bremen mendapat hadiah pinalti dan unggul 6-4.
Tik-tak ciamik duet Gareng (panggilan Soetjipto Soentoro) — Maxi membuahkan gol penutup pertandingan menjadi 6-5 lewat sepakan Maxi.
Meski kalah 6-5, timnas tetap pulang dengan kepala tegak. Soalnya Werder Bremen berstatus juara Bundesliga dan dihuni sejumlah penggawa timnas Jerman Barat. Juga, belum pernah ada sampai saat itu sebuah tim tamu yang mampu mencetak lima gol di kandang Bremen.
Usai pertandingan perhatian lantas tertuju pada sosok Maxi dan Gareng yang menjadi idola baru publik kota Bremen. Teriakan “Pele… Pele… ” bergemuruh disebut-sebut suporter di seantero stadion.
Keesokan harinya, media-media lokal Jerman pun membuat headline berita yang cukup membanggakan bagi bangsa Indonesia: “Pele from Indonesia”. Hal ini untuk menyirat permainan Max dan Gareng yang menyerupai Pele, yaitu cepat dan lincah.
Di kubu lawan, rasa lelah berbaur kagum dan heran. Stereotype bangsa Asia ditepis dengan tenaga kuda yang dikombinasikan dengan gorengan bola yang aduhai dan sedap dipandang.
“Saya pikir pertandngan lebih cocok draw. Pemain-pemain Indonesia sangat pandai menguasai bola dan gesit. Demikian juga dengan permainan yang sering memberikan cross-passing dari sayap ke sayap yang lain,” ucap Pelatih Bremen Herr Brocker kepada wartawan Antara.
Tawaran dari Jerman
Keterkejutan publik Bremen atas permainan Indonesia dibarengi dengan tawaran klub untuk merekrut dua sejoli pasangan sekamar, Max Timisela dan Soetjipto ‘Gareng’ Soentoro. Brocker sendiri memang menaruh minat besar pada kedua pemain yang meneror gawang Bremen tersebut. Ia meminta Maxi dan Gareng untuk pindah ke Jerman dan bergabung dengan klub yang ia latih.
Tawaran ini membuat Kosasih Poerwanegara [ketua rombongan PSSI] bangga sekaligus resah. Bagaimana tidak. Di Indonesia kemarahan publik atas aksi pembelotan salah satu anak didiknya, Dominggus, ke negeri Belanda masih hangat-hangatnya. Isu itu merembet ke politik sehingga PKI sampai mengultimatum Soekarno agar segera memulangkan “pengkhianat” itu ke tanah air.
Entah apa yang dikata jika publik tahu bahwa setelah Dominggus tak pulang, dua pemain andalan lainnya Maxi dan Gareng mengikuti jejaknya. Apalagi tur Eropa PSSI kala itu bukanlah sekedar bertamasya. Maxi dkk diberangkatkan dengan uang rakyat yang dipas-pas seirit mungkin. Di saat kondisi perekonomian sedang carut marut. Belum lagi nafas kuda Maxi dan Gareng dibutuhkan untuk kekuatan PSSI menghadapi Asian Games dan Ganefo yang digelar 1966.
Alhasil setelah dibahas secara matang-matang — bahkan Soekarno dan Maladi sampai menggelar rapat dadakan — pinangan Bremen lalu ditolak mentah-mentah. Melalui atase militer yang ikut dalam rombongan, Kolonel Gatot Suwagio, penolakan ini disampaikan kepada pelatih Bremen.
“Mereka lebih mencintai main untuk bangsanya. Tenaga mereka dibutuhkan untuk Asian games 1966 di Tokyo,” ujar sang Kolonel yang dibalas Herr Brocker dengan menaik-turunkan dagunya.
Kabar penolakan tawaran ini hinggap ditelinga Max dan Gareng di malam hari. Larangan Soekarno disikapi dingin tanpa adanya hasrat pemberontakan sedikit pun. Dua anak Bengal yang kerap buat onar di Bremen itu menerima secara legowo.
Kejadian itu terjadi hampir 48 tahun silam. Maxi yang dulu dipuja-puja kini hanyalah seperti orang terbuang.
Bangkit dari tempat duduknya, ia kemudian berujar bahwa pengabdian terhadap timnas merupakan sebuah prioritas ketimbang memenuhi keinginan pribadi sesaat. “PSSI lebih penting,” ujarnya.
Pembicaraan kami pun berakhir dengan asap rokok yang mengebul dan hujan yang mereda.
(Bersambung)
Walaupun dikenal sebagai kota sepakbola, Bandung tak punya tradisi langgeng sebagai pemasok besar pemain-pemain timnas Indonesia. Tapi satu yang pernah mereka lahirkan adalah Max Timisela.
Saat ini, misalnya, nama-nama beken di timnas seperti Supardi, Muhammad Ridwan, Firman Utina, dan Sergio Van Dijk notabene bukan merupakan pemain asli olahan dari pelatih dan penggiat sepakbola di tatar Sunda (Jawa Barat). Bahkan ketika Persib — pernah dijuluki ‘Brasil-nya’ Indonesia’ — berjaya di tahun 1983-1984, hanya Robby Darwis yang menjadi langganan timnas.
Meski begitu, ada suatu masa ketika produk sepakbola Bandung berjaya di timnas, yaitu pada tahun 50-an hingga awal 60-an. Tak tanggung-tanggung, 6-8 starting eleven timnas juga membela Persib Bandung. Jika saat ini Persib lebih sering mengimpor pemain bintang dari timnas ke klub, maka kondisi kala itu berkebalikan. Persib-lah yang lebih sering mengekspor pemain bintang dari klub ke timnas.
Namun, masa kejayaan itu sempat diwarnai oleh aib terbesar yang mesti ditanggung Persib sepanjang masa. Enam punggawa Maung Bandung terkena skandal suap pengaturan skor para tauke. Tak hanya dipulangkan ke kampung halaman, mereka pun diberi sanksi larangan berkecimpung di dunia sepakbola sepanjang masa oleh KOGOR (KONI).
Hukuman itu kemudian diperingan menjadi hanya satu tahun. Alhasil jelang Ganefo I di Jakarta tahun 1963, bintang-bintang Persib yang terkena suap kembali dipanggil bersama pemain muda baru seperti Djadjang Haris, Emen Suwarman, Komar, Rukman dan Masri. Aroma anak-anak Bandung sangat kental terasa di timnas. Bahkan dari 24 yang dipanggil, 11 di antaranya adalah pemain Persib.
Di antara beberapa pemain itu masih bertahan sebuah nama. Nama yang kini jadi legenda bagi para pecinta sepakbola di Kota Bandung. Dia adalah pemain terakhir dari sisa kejayaan generasi Persib di timnas. Ia pun penerus trah keluarga Timisela yang pernah merajai sepakbola Bandung dan nasional.
Bukan karena prestasi hingga ia lebih tenar dibanding pemain kenamaan Persib lainnya. Bukan juga teknik dan skill individu. Tapi karena sebuah kisah nasionalisme yang sampai membuat Presiden Soekarno bergidik.
Dia adalah orang bodoh yang menolak pinangan Werder Bremen, sang juara Bundesliga di tahun 1965. Ia tolak tawaran itu demi sebuah nasionalisme. Nama lelaki itu Max. Max Timisela.
**
Dari balik kotak jendela yang dilapisi jeruji besi, seorang lelaki tua berkulit coklat legam berkepala plontos asyik memandangi rintikan hujan deras yang mengguyur kota. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok filter, yang kemudian ia hisap dalam-dalam.
Sembari memejamkan mata, bibirnya meracau. Dalam pikirannya, seolah ia merasa kembali ke masa lampau. Ke suatu hari yang dingin di tanggal 14 Juni 1965.
Umpan datar datang dari arah pertahanan timnas Indonesia. Serangan balik cepat dilakukan Soetjipto Soentoro Cs ke gawang kesebelasan Werder Bremen. Dari tengah lapang, Max Timisela berlari dengan kencang sementara bola bergulir datar mengarah kepadanya. Dengan sekali cup menggunakan ujung kaki, bola langsung melambung ke atas, over head!! Lawanpun tertipu. Secara cepat Max, sapaan akrabnya, berbalik badan berputar meninggalkan lawan yang menjaga ketat dirinya. Lawan pun tertipu, sehingga tertinggal beberapa meter.
Di sayap kiri secara sigap Maxi mengejar bola yang masih melambung tinggi. Setelah bola kembali menyetuh tanah, dengan sekali sentuhan ia menyepak bola ke arah Soetjipto yang berdiri bebas di depan gawang. Jjelegerr.. gawang Werder Bremen pun bergetar. Stadion Westerllen yang kala itu dipadati lebih dari 23.000 orang itu mendadak bisu. Semua orang masih tak percaya dengan penampilan individu ciamik yang diperagakan Max Timisela dan shooting keras Soetjipto Soendoro yang mengarah ke pojok kanan gawang. Di menit 30, Indonesia mampu unggul menyamakan skor 2-2.
Operan-operan panjang PSSI membuat pemain Bremen yang didominasi pemain timnas Jerman Barat frustasi. Silih balas gol jadi tontonan menarik bagi penonton. Skor pun berganti dari 2-2, jadi 2-3, 3-3, dan hingga kedudukan 3-4 PSSI selalu berhasil lebih unggul. Namun dengan bantuan wasit, Bremen mendapat hadiah pinalti dan unggul 6-4.
Tik-tak ciamik duet Gareng (panggilan Soetjipto Soentoro) — Maxi membuahkan gol penutup pertandingan menjadi 6-5 lewat sepakan Maxi.
Meski kalah 6-5, timnas tetap pulang dengan kepala tegak. Soalnya Werder Bremen berstatus juara Bundesliga dan dihuni sejumlah penggawa timnas Jerman Barat. Juga, belum pernah ada sampai saat itu sebuah tim tamu yang mampu mencetak lima gol di kandang Bremen.
Usai pertandingan perhatian lantas tertuju pada sosok Maxi dan Gareng yang menjadi idola baru publik kota Bremen. Teriakan “Pele… Pele… ” bergemuruh disebut-sebut suporter di seantero stadion.
Keesokan harinya, media-media lokal Jerman pun membuat headline berita yang cukup membanggakan bagi bangsa Indonesia: “Pele from Indonesia”. Hal ini untuk menyirat permainan Max dan Gareng yang menyerupai Pele, yaitu cepat dan lincah.
Di kubu lawan, rasa lelah berbaur kagum dan heran. Stereotype bangsa Asia ditepis dengan tenaga kuda yang dikombinasikan dengan gorengan bola yang aduhai dan sedap dipandang.
“Saya pikir pertandngan lebih cocok draw. Pemain-pemain Indonesia sangat pandai menguasai bola dan gesit. Demikian juga dengan permainan yang sering memberikan cross-passing dari sayap ke sayap yang lain,” ucap Pelatih Bremen Herr Brocker kepada wartawan Antara.
Tawaran dari Jerman
Keterkejutan publik Bremen atas permainan Indonesia dibarengi dengan tawaran klub untuk merekrut dua sejoli pasangan sekamar, Max Timisela dan Soetjipto ‘Gareng’ Soentoro. Brocker sendiri memang menaruh minat besar pada kedua pemain yang meneror gawang Bremen tersebut. Ia meminta Maxi dan Gareng untuk pindah ke Jerman dan bergabung dengan klub yang ia latih.
Tawaran ini membuat Kosasih Poerwanegara [ketua rombongan PSSI] bangga sekaligus resah. Bagaimana tidak. Di Indonesia kemarahan publik atas aksi pembelotan salah satu anak didiknya, Dominggus, ke negeri Belanda masih hangat-hangatnya. Isu itu merembet ke politik sehingga PKI sampai mengultimatum Soekarno agar segera memulangkan “pengkhianat” itu ke tanah air.
Entah apa yang dikata jika publik tahu bahwa setelah Dominggus tak pulang, dua pemain andalan lainnya Maxi dan Gareng mengikuti jejaknya. Apalagi tur Eropa PSSI kala itu bukanlah sekedar bertamasya. Maxi dkk diberangkatkan dengan uang rakyat yang dipas-pas seirit mungkin. Di saat kondisi perekonomian sedang carut marut. Belum lagi nafas kuda Maxi dan Gareng dibutuhkan untuk kekuatan PSSI menghadapi Asian Games dan Ganefo yang digelar 1966.
Alhasil setelah dibahas secara matang-matang — bahkan Soekarno dan Maladi sampai menggelar rapat dadakan — pinangan Bremen lalu ditolak mentah-mentah. Melalui atase militer yang ikut dalam rombongan, Kolonel Gatot Suwagio, penolakan ini disampaikan kepada pelatih Bremen.
“Mereka lebih mencintai main untuk bangsanya. Tenaga mereka dibutuhkan untuk Asian games 1966 di Tokyo,” ujar sang Kolonel yang dibalas Herr Brocker dengan menaik-turunkan dagunya.
Kabar penolakan tawaran ini hinggap ditelinga Max dan Gareng di malam hari. Larangan Soekarno disikapi dingin tanpa adanya hasrat pemberontakan sedikit pun. Dua anak Bengal yang kerap buat onar di Bremen itu menerima secara legowo.
Kejadian itu terjadi hampir 48 tahun silam. Maxi yang dulu dipuja-puja kini hanyalah seperti orang terbuang.
Bangkit dari tempat duduknya, ia kemudian berujar bahwa pengabdian terhadap timnas merupakan sebuah prioritas ketimbang memenuhi keinginan pribadi sesaat. “PSSI lebih penting,” ujarnya.
Pembicaraan kami pun berakhir dengan asap rokok yang mengebul dan hujan yang mereda.

Spoiler for Sumber:
Mampir juga gan Timnas Yang Mulai DIkenal Dieropa
Diubah oleh tkurniawan 18-11-2013 08:32
0
3.3K
Kutip
19
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan