arthasaranaAvatar border
TS
arthasarana
Pasak Kesedihan
Selamat datang gan di trit ane, maaf klo berantakan maklum trit pertama emoticon-Kiss
ini ane mau share cerpen karangan temen ane, moga bisa menginspirasi emoticon-Shakehand2 ini dia buat waktu ada lomba cerpen tingkat SMA dengan tema lombanya “Children of Heaven”

Pasak Kesedihan

Aku masih menatap ke luar jendela kamarku, menatap sang rembulan yang bersembunyi malu dibalik awan gelap. Aku sering melakukan ini untuk melupakan segala permasalahan yang seakan-akan sudah menyertai aku sejak aku dilahirkan. Aku berbeda dengan kebanyakan anak-anak lain, jika anak lain lahir ke dunia ini dengan tawa dan tangis bahagia orang tua mereka, aku dilahirnkan dengan caci maki orang-orang dan tangis kesedihan ibuku. Aku adalah anak percampuran dari tawa iblis dan jerit pilu ibuku, orang yang ibuku kira mencintainya ternyata hanyalah mencintai tubuh ibuku, dan setelah merampas tubuh dan kesuciannya orang itu pergi entah kemana. Ya, aku lahir tanpa memiliki ayah, begitu mengetahuinya, orang tua ibuku mengusir ibuku seakan-akan dia adalah nanah busuk yang akan menjalari tubuh mereka bila mereka di dekatnya, mereka membeli sebuah rumah kecil di pedesaan jauh dari mereka dan mengirim ibuku kesana. Setelah itu tidak ada kabar lagi dari kedua orang tua ibuku, mereka seakan hilang dalam kegelapan malam dan membiarkan ibuku bergelut sendirian melawan hidup di desa ini.
Terdengar suara derit pintu, lamunanku pun terbuyarkan karenanya. Tampaknya ibuku telah kembali dari menjual kayu bakar di desa, hasilnya tidak banyak memang, tetapi paling tidak hasil yang sedikit itu dapat membungkam rintihan perut. Beberapa menit kemudian kulihat ibuku membuka pintu kamarku sambil membawa makanan seperti biasa, sepotong tempe dan nasih putih.
“Rudi, ini makananmu, cepat dimakan.” ibu berkata sambil meletakkan makanan di meja reyot samping tempat tidurku tanpa memandang wajahku, lalu pergi begitu saja meninggalkan kamarku.
Memang ibuku jarang berbicara padaku, ia selalu mengatakan segala sesuatu seperlunya. Aku juga tidak pernah melihat wajah bahagia ibuku, dia selalu menampakkan wajah yang sama, wajah yang letih terkikis derita, tanpa senyum, tanpa tawa, hanya ada kemuraman yang seakan-akan terpasak di wajahnya dan tak akan pernah lepas. Hal ini membuatku sering berpikir, apakah ibuku melahirkanku karena rasa cinta, atau hanya sebagai pengingat kesedihan di masa lampau, sebagai pengingat bahwa tidak ada cinta sepenuh hati, mereka hanya mencintaimu di saat kamu berguna, namun saat kamu telah rusak dan hancur, mereka akan membuangmu seperti seonggok sampah dan melupakanmu.
Semua pemikiran ini membuatku pusing. Aku meletakkkan piring makananku yang telah habis di dapur. Aku bergegas kembali ke kamarku dan membaringkan tubuhku di tempat tidur, aku sudah tidak sabar berlari ke alam mimpi, paling tidak disana aku tidak perlu pusing memikirkan semua ini.
—————————————————————————————————————
Matahari mulai menampakkan keangkuhannya, sinar terangnya mulai menerangi celah-celah kamarku. Aku mulai memakai baju dan celana sekolahku. Aku tidak pernah bisa berpamitan kepada ibuku ketika berangkat, dia sudah mencari kayu bakar untuk dijual sejak pagi buta, dan baru pulang saat malam mulai menjelang.
Aku memulai langkah-langkah kecilku ke sekolah, langkah yang semakin lama semakin berat, bagiku SD tempatku bersekolah lebih merupakan neraka daripada tempat untuk belajar, neraka yang selama 5 tahun ini selalu harus kuhadapi tiap pagi menjelang. Begitu tiba, aku segera bergegas menuju kelas dan duduk di bangkuku. Aku duduk sendirian, tidak ada anak lain yang mau duduk bersamaku, mereka hanya menganggap aku buah busuk dari pohon yang busuk. Mereka langsung mengolok-olok aku begitu melihatku, mereka menghinaku hanya karena aku tidak memiliki seorang ayah. Orang tua mereka pun tidak jauh berbeda dengan mereka, walaupun tidak pernah mengatakan secara langsung, namun di mata mereka selalu tersirat kebencian saat menatapku. Apakah aku harus menanggung kesalahan orang lain?, aku tidak pernah berharap jadi anak haram!, dasar orang-orang berpikiran dangkal!, mereka sering berkata bahwa anak merupakan pemberian dari Tuhan dan harus dijaga sebaik-baiknya, tapi beginikah mereka memperlakukan pemberian Tuhan itu, mereka memperlakukanku seperti aku hanya seekor anjing yang bebas mereka perlakukan seperti apapun!. Pemikiran-pemikiran seperti ini sering sekali terlintas di benakku.
Jam sekolah telah usai. Aku mulai mengemas buku-buku pelajaranku dan bergegas untuk pulang. Namun, ketika aku telah mencapai gerbang sekolah tiba-tiba badanku serasa tertahan, aku menoleh dan mendapati bahwa ada seorang anak memegang tasku. Anak itu adalah Andy, salah satu teman sekelasku yang paling sering menghina aku.
“Hei anak haram! Mau pergi kemana?!” dia membentak sambil memperlihatkan seringai yang selama ini selalu diperlihatkannya saat menjahiliku.
Aku tidak menghiraukan omongannya, aku menarik tasku dan segera meninggalkannya.
“Mau kemana kamu!, mau pergi menemui ibu terkutukmu itu?!, dasar anak haram!” dia berteriak lagi sambil melemparkan batu kepadaku.
Batu itu tepat mengenai tanganku, rasa nyeri menjalari sekujur tanganku,tapi aku tidak berhenti, aku pergi secepat yang aku bisa tanpa mempedulikannya.
Hal seperti ini hampir kualami tiap hari, aku selalu berusaha tidak mempedulikan segala perbuatan dan kata-kata mereka, aku juga tidak pernah menangis karenanya, aku menganggap omongan dan perbuatan mereka hanyalah kata-kata dan perbuatan kosong yang tidak bermakna.
Setelah melewati beberapa hamparan sawah aku tiba di rumahku. Badanku selalu terasa cukup letih setelah pulang sekolah, maklum, rumahku terpisah cukup jauh dari sekolah dan perumahan penduduk, apalagi untuk mencapai rumahku harus melewati beberapa tanjakan yang cukup terjal. Aku membuka jendela kamarku dan menatap keluar rumah. Sungguh sore yang seperti biasa, matahari senja yang sinarnya mulai memudar, burung-burung yang berterbangan menuju sarangnya, benar-benar sebuah pemandangan yang dapat menghembus hilang segala penat dan nyeri yang menjalariku. Rasa letih dan angin yang bertiup sepoi dari jendela membuatku semakin terbujuk untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku menutup jendela kamarku, kubaringkan tubuhku di ranjang keras kamarku, dan tanpa sadar jiwaku pun mulai kembali berkelana ke alam mimpi.
————————————————————————————————————-
“AAAA!” terdengar teriakan keras ibuku dari luar kamar.
Aku segera terbangun, tampaknya tidurku cukup lama, di luar keadaan sudah gelap. Lalu aku mendengar teriakan keras ibuku lagi, tapi kali ini diikuti dengan suara barang yang pecah. Aku segera bergegas turun dari ranjangku dan berlari menuju keluar kamar. Begitu keluar aku mendapati bahwa sudah ada dua orang bertopeng membawa parang dan salah satunya mengacungkannya kepada ibuku.
“Hei anak kecil! Cepat kemari atau kugorok lehermu!” bentak salah satu dari orang bertopeng itu yang menyadari keberadaanku.
Aku menurut, aku segera menuju ke samping ibuku. Begitu aku berdiri di samping ibuku, orang yang membentakku tadi segera menggeledah segala isi lemari di kamar ibuku, sedangkan temannya masih mengacungkan parangnya ke arah aku dan ibuku. Dari gelagatnya, tampaknya kedua orang itu adalah kawanan perampok. Memang di rumah kami hampir tidak ada barang yang berharga, namun rumah kami cukup jauh dari perumahan penduduk, lagipula rumah kami hanya dihuni aku dan ibuku, benar-benar sasaran yang mudah untuk perampokan semacam ini. Setelah beberapa saat, perampok yang menggeledah kamar ibuku keluar sambil membawa amplop berwarna coklat yang sudah lusuh. Begitu melihat amplop itu, ibuku segera berlari ke arah perampok itu tanpa mempedulikan parang yang diacungkan kepadanya dan berusaha merebut amplop itu. Ibuku berusaha menarik amplop itu sekuat tenaga, tetapi tenaga perampok itu lebih kuat. Perampok itu lalu menendang perut ibuku, tetapi ibuku tidak mudah menyerah, ia tetap menarik amplop itu hingga ia terjatuh karena tendangan perampok itu. Amplop itu robek, dari dalamnya berjatuhan tumpukan uang sepuluh ribuan dan dua puluh ribuan yang sudah sangat kusam.
“Kamu sudah gila ya?! Tampaknya kamu benar-benar ingin kugorok hah!” perampok itu melotot ke arah ibuku dengan marah.
“Di dalam amplop itu terdapat masa depan anakku, di dalam amplop itu terdapat harapan dan mimpi-mimpi yang kupupuk sejak aku di buang ke desa ini, dan sekarang kalian akan mengambilnya begitu saja dariku. Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil uang yang sudah aku kumpulkan tiap hari itu!” ibuku balas berteriak kepada perampok itu, di matanya tidak terlihat sedikit pun rasa takut.
“Dasar orang gila! Memang mimpi macam apa yang bisa membuat kamu segila itu?!”
“Mimpi sederhana seorang ibu, mimpi dimana anaknya dapat bersekolah tinggi dan mengubah bintang peruntungannya, mimpi dimana anak itu dapat terbebas dari segala penderitaan yang dialaminya selama ini, mimpi yang tidak akan pernah bisa dipahami orang-orang yang tidak bermoral seperti kalian!”
Perkataan ibuku tadi keras membakar hatiku. Segala pertanyaanku selama ini terjawab, ibuku ternyata selama ini membesarkanku karena rasa cintanya, aku tidak menyangka bahwa selama ini ibuku merajut selendang masa depanku melalui butiran-butiran keringat yang diteteskannya tiap hari. Sekarang baru aku berpikir bahwa mungkin selama ini ibuku jarang berbicara padaku bukan karena dia tidak menyayangiku, tapi karena dia malu, malu karena tidak dapat memberikan kehidupan yang lebih layak kepadaku. Selama ini aku menganggap orang-orang berpikiran dangkal, ternyata pikiranku justru lebih dangkal dari pikiran mereka.
Perampok itu tampaknya marah dengan omongan ibuku. Dia mengayunkan parang itu ke arah ibuku dengan geram. Aku segera berlari ke depan ibuku, aku berusaha menghalau parang itu, akhirnya parang itu mengenaiku dan mengoyak setiap inci isi perutku. Aku terjatuh ke lantai, darahku mengucur, perutku serasa tersiram air panas, begitu panas dan perih.
“Hei bodoh! Cepat ambil uangnya dan kita pergi dari sini!” teriak teman perampok yang mengayunkan parangnya padaku tadi.
Perampok yang mengayunkan parangnya tadi segera mengambil uang itu, lalu mereka berlari pergi keluar dari rumah. Ibuku ikut berlari keluar berteriak-teriak memanggil bantuan. Namun tidak ada yang menyahut, ibuku pun tersadar bahwa rumah kami sangat jauh dari rumah penduduk lain, tidak akan ada yang bisa mendengar teriakan ibuku. Ibuku lalu segera berlari ke arahku, dia segera mengambil kain dan membekap lukaku. Namun hal itu tidak berguna sama sekali, lukaku terlalu dalam, darah tetap mengucur dari perutku. Ibuku lalu memelukku dan mulai menangis.
“Jangan menangis ibu, wajah ibu terlalu indah untuk diisi tangisan dan kesedihan, aku berharap mulai sekarang ibu menghilangkan wajah itu, aku berharap ibu melepas pasak kesedihan yang selama ini melekat pada ibu, dan memulai hari-hari kembali dengan bahagia.” Aku berbicara dengan sisa-sisa getaran kehidupan yang masih ada di tubuhku.
Ibuku pun tersenyum padaku sambil menangis, ini pertama kalinya aku melihat ibuku tersenyum. Tragis memang, saat-saat terbahagia dalam hidupku, saat-saat dimana aku benar-benar dapat merasakan hangatnya kasih sayang ibuku adalah saat-saat terakhirku berada di dunia. Tubuhku mulai mati rasa, sedikit demi sedikit mataku mulai terpejam. Tetapi tidak ada sedikit pun ketakutan dalam diriku, karena aku akan pergi ke tempat dimana tidak ada kesedihan, tempat dimana mengalir sungai-sungai yang sangat indah, dan aku yakin, suatu hari nanti aku akan dapat bertemu lagi dengan ibuku di tempat itu, di tempat yang bernama surga..

sumber :
cowgonemad.tumblr.com
emoticon-Cendol (S) emoticon-Cendol (S)
Diubah oleh arthasarana 10-11-2013 08:41
0
1.5K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan