- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
3 Bukti Sifat Adaptif Suku Di Indonesia Hilang


TS
XyeWing
3 Bukti Sifat Adaptif Suku Di Indonesia Hilang
Pagi Semua Agan Agin…. 
Ane mau share & maap klo repost...
Kebeneran ane baca tentang budaya Indonesia di internet, ga tau ini buktinya bener apa ngga, skalian kita sharing ya gan.
Langsung aja ya gan ini penampakannya:
Sifat adaptif manusia muncul sebagai reaksi manusia terhadap lingkungannya. Sifat adaptif juga merupakan implementasi dari strategi manusia untuk hidup dalam rangka memenuhi kebutuhan dan bertahan untuk hidup. Namun tahukah Anda, bahwa masuknya teknologi baru yang diciptakan manusia menyadi penyebab bergesernya strategi hidup. Strategi hidup yang baru menghilangkan strategi hidup lama manusia,seperti teknologi baru yang mematikan sifat adaptif yang muncul sebelumnya. Ada tiga contoh sifat adaptif suku di Indonesia hilang yang menyebabkan satu unsur kebudayaan juga hilang, berikut daftarnya,
sumber 1
sumber 2
Barangkali ada informasi yang salah & tambahan dari agan-agan yang lebih mengetahui, silahkan ditambahkan atau di koreksi… dan mohon maap klo ada salah kata ato salah tulis

Klo bermanfaat tolong bagi

Klo tidak bermanfaat mohon jangan




Ane mau share & maap klo repost...

Kebeneran ane baca tentang budaya Indonesia di internet, ga tau ini buktinya bener apa ngga, skalian kita sharing ya gan.

Langsung aja ya gan ini penampakannya:
Quote:
Tiga Bukti Sifat Adaptif Suku Di Indonesia Hilang
Sifat adaptif manusia muncul sebagai reaksi manusia terhadap lingkungannya. Sifat adaptif juga merupakan implementasi dari strategi manusia untuk hidup dalam rangka memenuhi kebutuhan dan bertahan untuk hidup. Namun tahukah Anda, bahwa masuknya teknologi baru yang diciptakan manusia menyadi penyebab bergesernya strategi hidup. Strategi hidup yang baru menghilangkan strategi hidup lama manusia,seperti teknologi baru yang mematikan sifat adaptif yang muncul sebelumnya. Ada tiga contoh sifat adaptif suku di Indonesia hilang yang menyebabkan satu unsur kebudayaan juga hilang, berikut daftarnya,
Quote:
1. Berpindah dan Berladang Suku Dayak
Berpindah dan berladang adalah salah satu ciri suku dayak dalam mempertahankan dan memnuhi kebutuhan hidupnya. Setiap suku dayak mulai berladang mereka akan menebang kemudian membakar satu lahan hutan. Lalu mereka tanami dengan tumbuh-tumbuhan, tanpa pupuk dan hanya mengandalkan unsur hara dari pembakaran tanaman yang ditanam suku dayang tumbuh subur. Selama musim berladang, banyak orang kalimantan sampai Singapura protes akibat asap yang mereka timbulkan, Tapi itulah cara mereka hidup.
Setalah masa panen berakhir, mereka akan berpindah dan berputar ke hutan sebelumnya. Di hutan selanjutnya mereka melakukan hal yang sama. Berputar dari hutan ke hutan yang lain, tapi yang patut dicermati lahan yang ditinggalkan suku dayak akan tumbuh pepohonan dan hutan lagi, mereka tidak memanfaatkan dan membakar hutan secara semena-mena tapi mereka berhitung dan berputar, Mereka tahun kapan hutan itu akan tumbuh lagi dan bisa dimanfatkan lagi. Naas, para birokrat dari Kementerian kehutanan tidak mengerti hal itu kemudian memotong jalur perputaran pemanfaatan hutan suku dayak,. Dengan program reboisasi dan sebagainya yang semestinya menurut aturan suku Dayak bisa dihitung dengan cermat. Akhirnya, mobilisasi suku dayak terhambat, mereka tidak lagu bisa cermat memperhitungkan kapan hutan tumbuh dan kapan hutan bisa dimanfaatkan. Hasilnya demi mempertahankan hidupnya, kebanyakan suku Dayak turun gunung mencari strategi hidup yang lain, seperti ikut dalam mata pencharian orang desa. Hasilnya tentu saja bisa ditebak, bergesernya strategi hidup ini membuat banyak orang Dayak tidak bisa menghitung dan memanfaatkan hutan secara cermat dan baik. Orang dayak tidak lagi akrab dengan hutan.
Berpindah dan berladang adalah salah satu ciri suku dayak dalam mempertahankan dan memnuhi kebutuhan hidupnya. Setiap suku dayak mulai berladang mereka akan menebang kemudian membakar satu lahan hutan. Lalu mereka tanami dengan tumbuh-tumbuhan, tanpa pupuk dan hanya mengandalkan unsur hara dari pembakaran tanaman yang ditanam suku dayang tumbuh subur. Selama musim berladang, banyak orang kalimantan sampai Singapura protes akibat asap yang mereka timbulkan, Tapi itulah cara mereka hidup.
Setalah masa panen berakhir, mereka akan berpindah dan berputar ke hutan sebelumnya. Di hutan selanjutnya mereka melakukan hal yang sama. Berputar dari hutan ke hutan yang lain, tapi yang patut dicermati lahan yang ditinggalkan suku dayak akan tumbuh pepohonan dan hutan lagi, mereka tidak memanfaatkan dan membakar hutan secara semena-mena tapi mereka berhitung dan berputar, Mereka tahun kapan hutan itu akan tumbuh lagi dan bisa dimanfatkan lagi. Naas, para birokrat dari Kementerian kehutanan tidak mengerti hal itu kemudian memotong jalur perputaran pemanfaatan hutan suku dayak,. Dengan program reboisasi dan sebagainya yang semestinya menurut aturan suku Dayak bisa dihitung dengan cermat. Akhirnya, mobilisasi suku dayak terhambat, mereka tidak lagu bisa cermat memperhitungkan kapan hutan tumbuh dan kapan hutan bisa dimanfaatkan. Hasilnya demi mempertahankan hidupnya, kebanyakan suku Dayak turun gunung mencari strategi hidup yang lain, seperti ikut dalam mata pencharian orang desa. Hasilnya tentu saja bisa ditebak, bergesernya strategi hidup ini membuat banyak orang Dayak tidak bisa menghitung dan memanfaatkan hutan secara cermat dan baik. Orang dayak tidak lagi akrab dengan hutan.
Spoiler for Suku Dayak:

Spoiler for Sejarah Berpindah dan berladang Suku Dayak:
Barangkali ada yang tau, mohon ditambahkan

Quote:
2. Keahlian Jembatan Bambu Kesunanan Surakarta
Tidak ada pernah ragu akan ampuhnya teknologi tradisional seperti yang dibuat Kesunanan Surakarta yang berada di Pasuruan. Tanpa teknologi tinggi mereka mampu membangun jembatab bambu yang terbilang rumit namun bisa bertahan bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya di tahun 1910 jembatan bambu itu roboh. Lucunya, masyarakat Pasuruan di sana tidak lagi mengenal cara membuat jembatan bambu tersebut akhirnya mereka memutuskan untuk memanggil dinas PU setempat untuk membantu mereka memperbaiki jembatan ini.
Tidak ada pernah ragu akan ampuhnya teknologi tradisional seperti yang dibuat Kesunanan Surakarta yang berada di Pasuruan. Tanpa teknologi tinggi mereka mampu membangun jembatab bambu yang terbilang rumit namun bisa bertahan bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya di tahun 1910 jembatan bambu itu roboh. Lucunya, masyarakat Pasuruan di sana tidak lagi mengenal cara membuat jembatan bambu tersebut akhirnya mereka memutuskan untuk memanggil dinas PU setempat untuk membantu mereka memperbaiki jembatan ini.
Spoiler for Jembatan Bambu dan Rotan Kraksaan:

Spoiler for Sejarah Jembatan Bambu dan Rotan Kraksaan, Residensi Pasoeroean 1910:
Barangkali ada yang tau, mohon ditambahkan

Quote:
3. Sistem Waduk, Kolam dan Serapan Air Zaman Majapahit
Diterjang banjir terus menerus membuat Jakarta harus sadar dan kembali pada teknologi zaman Majapahit. di tengah teknologi serba terbatas, Majapahit justru tak pernah kebanjiran. Apa rahasianya? mereka membangun satu kolam besar (Kolam Sagaran) yang digunakan untuk menampung air saat hujan sekaligus sebagai sarana pemandian umum. Selain itu pola aliran sungai juga ditata dengan apik, mereka membuat berbagai cabang sungai sehingga air yang begitu melimpah tidak berkumpul di satu titik sehingga menyebabkan banjir. Bukan hanya banjir, mereka juga tidak pernah mengalami kekeringan karena air yang melimpah saat musim hujan bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Banjir dan kekeringan bergantian terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Sementara itu, pada masa Majapahit abad XIII sampai XV, air bukan lagi menjadi masalah. Manajemen dan teknologi pengairan dipikirkan secara matang untuk kepentingan Kerajaan Majapahit dan rakyatnya.
Dari masa Majapahit banyak instalasi pengairan yang tersisa. Sebagian masih digunakan masyarakat sebagai jaringan irigasi yang tidak pernah kering, seperti terowongan air bawah tanah di Dukuh Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
Di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, kendati instalasi pengairan yang ditemukan lebih lengkap dan beragam, sebagian sudah terlupakan serta berubah wujud dan fungsi. Di Trowulan, teknologi pengairan Majapahit yang tersisa terdiri atas jaringan kanal, kolam penampung air, waduk, bak kontrol, dan saluran air bawah tanah.
Foto udara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980-an menunjukkan keberadaan jaringan kanal di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Jalur kanal yang lurus ini memanjang 4,5-5,5 kilometer dan bersilangan membentuk kisi-kisi. Lebarnya tidak kurang dari 20 meter, bahkan ketika dipetakan terakhir 40-80 meter dan kedalamannya 6-9 meter.
Sisa jalur kanal saat ini masih bisa dikenali kendati umumnya sudah menjadi persawahan. Bentuknya melebar dan cekung. Sawah yang memanfaatkan sisa kanal ini tidak pernah kering. Di tepian kanal umumnya terdapat selokan dengan susunan bata dari masa Majapahit.
Selain menjadi sawah, sebagian kanal sudah menjadi permukiman, seperti yang terlihat di barat laut Kolam Segaran. Di sekitar makam Troloyo, kanal dibatasi dengan tembok dan dijadikan lapangan parkir. Di perbatasan Mojokerto-Jombang, sebagian kanal malah sudah rata dengan permukaan tanah dan siap diaspal menjadi Jalan Lingkar Mojoagung.
Jaringan kanal yang lurus dengan pola berkisi-kisi, menurut Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Prof Mundardjito, menunjukkan adanya kekuatan penguasa dan massa yang besar untuk membuatnya.
Fungsinya diperkirakan sebagai pengendali banjir atau drainase kota, penyedia air, irigasi, dan transportasi.
Selain kanal, di sekitar Trowulan bisa dilihat sisa instalasi pengairan yang mendukung kehidupan kerajaan dan masyarakat. Kolam Segaran seluas 6,5 hektar di Kecamatan Trowulan bisa dilihat sebagai penampung air. Adapun waduk-waduk, seperti Balong Bunder dan Balong Dowo yang masih tersisa, diduga berfungsi sebagai penangkap air dari berbagai sumber di gunung-gunung di selatan Trowulan.
Selain itu, sebuah kolam penampung berukuran 1-2 hektar masih bisa dilihat pula di Dukuh Botokpalun, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Bagian tangkis waduk ini lebih lebar ketimbang pematang sawah biasa, sekitar 1 meter. Warga setempat menyebutnya waduk milik Dinas Pengairan Mojokerto dan kini dikelola desa sebagai sawah yang disewakan.
Matsom (52), warga Botokpalun, mengatakan, kedalaman lumpur di sawah itu mencapai pinggang manusia, sedangkan di dasarnya terdapat batu yang membuat air tidak keluar. Karena lumpur yang tebal, khusus di tempat itu, menanam padi bisa dilakukan tiga kali musim tanam tanpa menambahkan air.
Instalasi pengatur air lainnya, Candi Tikus, diyakini sebagai pengukur debit air. Ketika air berlebih, saluran-saluran air bawah tanah menyalurkannya ke sungaisungai yang ada di sekitar Trowulan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1989-1990 juga menemukan bangunan dari susunan batu bata yang tampak seperti bak kontrol di sekitar Dukuh Blendren, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan.
Saluran air bawah tanah dan sumur, baik berbentuk segi empat, bulat, maupun tipe jobong, masih banyak ditemukan di Trowulan kendati mulai rusak atau hilang. Selain di Desa Watesumpak dan di Desa Bejijong, saluran air bawah tanah juga masih tampak di Desa Nglinguk. Di Nglinguk, saluran air bawah tanah seperti selokan kecil yang disusun dari bata. Adapun bagian atas (penutup) saluran bawah tanah sudah hilang sehingga sekilas tampak seperti selokan kuno.
”Peninggalan ini menunjukkan apa yang dibuat Kerajaan Majapahit untuk rakyatnya. Di Jawa Tengah, banyak peninggalan bangunan suci, tetapi belum ditemukan peninggalan yang khusus ditujukan untuk pertanian dan kesejahteraan rakyat,” tutur topograf Bambang Siswoyo, pensiunan staf Balai Studi dan Konservasi Borobudur.
Melihat posisi jaringan kanal yang melingkupi daerah yang diduga istana Majapahit, seperti di Sentonorejo, pengajar Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Hanan Pamungkas, melihatnya secara kosmologis. Menurut Hanan, dalam konsep Jambudwipa, kawasan istana dianggap mahameru, atau pusat jagat raya yang dikelilingi benua dan samudra.
Dwi Cahyono menyepakati hal ini. ”Tanah di situs Sentonorejo tempat ditemukan sumur upas, lantai segi enam, dan umpak agak membukit. Kolam Segaran dan kanal bisa dianggap sebagai samudra yang melengkapi pusat kosmik,” tuturnya.
Di luar masalah kosmologi, manajemen air sangat relevan dengan masa sekarang. Kondisi iklim Nusantara dengan dua musim, hujan dan kemarau, menimbulkan risiko banjir dan kekeringan bila air tidak dikelola. Masalahnya, ketika Trowulan mulai ditinggalkan sebagai pusat kerajaan akibat konflik politik pada akhir Majapahit, instalasi air ini tidak lagi terawat.
Selepas kemerdekaan, berbagai konflik politik semakin menjauhkan informasi manajemen air yang sangat maju ini. Mojokerto pun mulai mengalami banjir seperti yang terakhir terjadi pada awal Januari 2010. Tidak hanya kawasan yang pernah menjadi bagian dari pusat Majapahit, Pemerintah Indonesia secara keseluruhan semestinya bisa mempelajari teknologi pengairan yang sangat maju dan memerhatikan rakyat ini.

Imej tentang kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur tentunya sudah banyak disajikan, dari buku cerita, komik sampai film. Namun pencitraan satelit dari wilayah arkeologi Trowulan sebagai lokasi berbicara sangat berlainan dengan gambaran yang sudah ada sekarang. Ternyata wilayah kerajaan Majapahit dibuat dengan kanal-kanal berpola Grid!
Kanal yang belebar 20-30 meter! Tersebut memiliki kedalaman 4 meter!, total dari panjang kanal yang ditemukan adalah 18 kilometer! Jika masa kejayaan kerajaan Majapahit berada dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, maka kanal-kanal tersebut dibuat dengan penggalian manual, tanpa alat berat dan hanya menggunakan cangkul serta linggis pada abad ke 14. Pembatas dari kanal besar tersebut adalah susunan batu-bata tanpa spesi, sedangkan air yang memenuhi kanal diambilkan dari sungai-sungai dan diatur melalui kolam besar (situs segaran).
Kejayaan kekuasaan Prabu Hayam Wuruk tidak terlepas dari kiprah Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan majapahit sendiri lebih cenderung beragama Hindu, namun demikian, demi persatuan dan kesatuan, kerukunan dengan agama Budha juga tetap dijaga. Secara lengkap kerukunan itu tersurat dalam semboyan kerajaan dengan kalimat â€Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwaâ€.
Saat ini semboyan kerajaan Majapahit digunakan oleh negara Republik Indonesia dengan mencuplik intisarinya. Sebuah kalimat yang sangat bermakna bagi penyatuan berbagai agama; Islam, Kristen, Hindu, Budha. Persatuan dengan penghargaan terhadap konsep multikultural demi kedewasaan masyarakat dan kemajuan peradaban bangsa.
Tulisan ini bukan untuk membangkitkan arwah masa lalu, namun sebagai wacana bahwa apa yang sudah diyakini saat ini, berdasarkan fakta ilmiah dapat berubah. Imej mengenai sejarah juga dapat berubah.
Diterjang banjir terus menerus membuat Jakarta harus sadar dan kembali pada teknologi zaman Majapahit. di tengah teknologi serba terbatas, Majapahit justru tak pernah kebanjiran. Apa rahasianya? mereka membangun satu kolam besar (Kolam Sagaran) yang digunakan untuk menampung air saat hujan sekaligus sebagai sarana pemandian umum. Selain itu pola aliran sungai juga ditata dengan apik, mereka membuat berbagai cabang sungai sehingga air yang begitu melimpah tidak berkumpul di satu titik sehingga menyebabkan banjir. Bukan hanya banjir, mereka juga tidak pernah mengalami kekeringan karena air yang melimpah saat musim hujan bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Spoiler for Sistem waduk, kolam dan serapan air zaman Majapahit:

Spoiler for Sejarah Sistem Waduk, Kolam Dan Serapan Air Zaman Majapahit:
Sistem Pengairan Majapahit Mengatasi Banjir dan Kekeringan
Banjir dan kekeringan bergantian terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Sementara itu, pada masa Majapahit abad XIII sampai XV, air bukan lagi menjadi masalah. Manajemen dan teknologi pengairan dipikirkan secara matang untuk kepentingan Kerajaan Majapahit dan rakyatnya.
Dari masa Majapahit banyak instalasi pengairan yang tersisa. Sebagian masih digunakan masyarakat sebagai jaringan irigasi yang tidak pernah kering, seperti terowongan air bawah tanah di Dukuh Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
Di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, kendati instalasi pengairan yang ditemukan lebih lengkap dan beragam, sebagian sudah terlupakan serta berubah wujud dan fungsi. Di Trowulan, teknologi pengairan Majapahit yang tersisa terdiri atas jaringan kanal, kolam penampung air, waduk, bak kontrol, dan saluran air bawah tanah.
Foto udara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980-an menunjukkan keberadaan jaringan kanal di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Jalur kanal yang lurus ini memanjang 4,5-5,5 kilometer dan bersilangan membentuk kisi-kisi. Lebarnya tidak kurang dari 20 meter, bahkan ketika dipetakan terakhir 40-80 meter dan kedalamannya 6-9 meter.
Sisa jalur kanal saat ini masih bisa dikenali kendati umumnya sudah menjadi persawahan. Bentuknya melebar dan cekung. Sawah yang memanfaatkan sisa kanal ini tidak pernah kering. Di tepian kanal umumnya terdapat selokan dengan susunan bata dari masa Majapahit.
Selain menjadi sawah, sebagian kanal sudah menjadi permukiman, seperti yang terlihat di barat laut Kolam Segaran. Di sekitar makam Troloyo, kanal dibatasi dengan tembok dan dijadikan lapangan parkir. Di perbatasan Mojokerto-Jombang, sebagian kanal malah sudah rata dengan permukaan tanah dan siap diaspal menjadi Jalan Lingkar Mojoagung.
Jaringan kanal yang lurus dengan pola berkisi-kisi, menurut Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Prof Mundardjito, menunjukkan adanya kekuatan penguasa dan massa yang besar untuk membuatnya.
Fungsinya diperkirakan sebagai pengendali banjir atau drainase kota, penyedia air, irigasi, dan transportasi.
Selain kanal, di sekitar Trowulan bisa dilihat sisa instalasi pengairan yang mendukung kehidupan kerajaan dan masyarakat. Kolam Segaran seluas 6,5 hektar di Kecamatan Trowulan bisa dilihat sebagai penampung air. Adapun waduk-waduk, seperti Balong Bunder dan Balong Dowo yang masih tersisa, diduga berfungsi sebagai penangkap air dari berbagai sumber di gunung-gunung di selatan Trowulan.
Selain itu, sebuah kolam penampung berukuran 1-2 hektar masih bisa dilihat pula di Dukuh Botokpalun, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Bagian tangkis waduk ini lebih lebar ketimbang pematang sawah biasa, sekitar 1 meter. Warga setempat menyebutnya waduk milik Dinas Pengairan Mojokerto dan kini dikelola desa sebagai sawah yang disewakan.
Matsom (52), warga Botokpalun, mengatakan, kedalaman lumpur di sawah itu mencapai pinggang manusia, sedangkan di dasarnya terdapat batu yang membuat air tidak keluar. Karena lumpur yang tebal, khusus di tempat itu, menanam padi bisa dilakukan tiga kali musim tanam tanpa menambahkan air.
Instalasi pengatur air lainnya, Candi Tikus, diyakini sebagai pengukur debit air. Ketika air berlebih, saluran-saluran air bawah tanah menyalurkannya ke sungaisungai yang ada di sekitar Trowulan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1989-1990 juga menemukan bangunan dari susunan batu bata yang tampak seperti bak kontrol di sekitar Dukuh Blendren, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan.
Saluran air bawah tanah dan sumur, baik berbentuk segi empat, bulat, maupun tipe jobong, masih banyak ditemukan di Trowulan kendati mulai rusak atau hilang. Selain di Desa Watesumpak dan di Desa Bejijong, saluran air bawah tanah juga masih tampak di Desa Nglinguk. Di Nglinguk, saluran air bawah tanah seperti selokan kecil yang disusun dari bata. Adapun bagian atas (penutup) saluran bawah tanah sudah hilang sehingga sekilas tampak seperti selokan kuno.
”Peninggalan ini menunjukkan apa yang dibuat Kerajaan Majapahit untuk rakyatnya. Di Jawa Tengah, banyak peninggalan bangunan suci, tetapi belum ditemukan peninggalan yang khusus ditujukan untuk pertanian dan kesejahteraan rakyat,” tutur topograf Bambang Siswoyo, pensiunan staf Balai Studi dan Konservasi Borobudur.
Melihat posisi jaringan kanal yang melingkupi daerah yang diduga istana Majapahit, seperti di Sentonorejo, pengajar Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Hanan Pamungkas, melihatnya secara kosmologis. Menurut Hanan, dalam konsep Jambudwipa, kawasan istana dianggap mahameru, atau pusat jagat raya yang dikelilingi benua dan samudra.
Dwi Cahyono menyepakati hal ini. ”Tanah di situs Sentonorejo tempat ditemukan sumur upas, lantai segi enam, dan umpak agak membukit. Kolam Segaran dan kanal bisa dianggap sebagai samudra yang melengkapi pusat kosmik,” tuturnya.
Di luar masalah kosmologi, manajemen air sangat relevan dengan masa sekarang. Kondisi iklim Nusantara dengan dua musim, hujan dan kemarau, menimbulkan risiko banjir dan kekeringan bila air tidak dikelola. Masalahnya, ketika Trowulan mulai ditinggalkan sebagai pusat kerajaan akibat konflik politik pada akhir Majapahit, instalasi air ini tidak lagi terawat.
Selepas kemerdekaan, berbagai konflik politik semakin menjauhkan informasi manajemen air yang sangat maju ini. Mojokerto pun mulai mengalami banjir seperti yang terakhir terjadi pada awal Januari 2010. Tidak hanya kawasan yang pernah menjadi bagian dari pusat Majapahit, Pemerintah Indonesia secara keseluruhan semestinya bisa mempelajari teknologi pengairan yang sangat maju dan memerhatikan rakyat ini.

Imej tentang kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur tentunya sudah banyak disajikan, dari buku cerita, komik sampai film. Namun pencitraan satelit dari wilayah arkeologi Trowulan sebagai lokasi berbicara sangat berlainan dengan gambaran yang sudah ada sekarang. Ternyata wilayah kerajaan Majapahit dibuat dengan kanal-kanal berpola Grid!
Gambar 1a. Citra satelit situs kerajaan Majapahit dari Majapahit Kingdom.com


Kanal yang belebar 20-30 meter! Tersebut memiliki kedalaman 4 meter!, total dari panjang kanal yang ditemukan adalah 18 kilometer! Jika masa kejayaan kerajaan Majapahit berada dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, maka kanal-kanal tersebut dibuat dengan penggalian manual, tanpa alat berat dan hanya menggunakan cangkul serta linggis pada abad ke 14. Pembatas dari kanal besar tersebut adalah susunan batu-bata tanpa spesi, sedangkan air yang memenuhi kanal diambilkan dari sungai-sungai dan diatur melalui kolam besar (situs segaran).
Gambar 2a. Peta peninggalan kerajaan Majapahit oleh Bakosurtanal tahun 1983


Gambar 3a. Overlapping kedua peta, oleh tribinuka 2008


Kejayaan kekuasaan Prabu Hayam Wuruk tidak terlepas dari kiprah Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan majapahit sendiri lebih cenderung beragama Hindu, namun demikian, demi persatuan dan kesatuan, kerukunan dengan agama Budha juga tetap dijaga. Secara lengkap kerukunan itu tersurat dalam semboyan kerajaan dengan kalimat â€Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwaâ€.
Gambar 4a. Prakiraan kelengkapan fasilitas berdasarkan Sanga Mandala dan sambungan kanal menuju sungai, oleh tribinuka 2008


Gambar 5a. Prakiraan layout kerajaan Majapahit, oleh tribinuka 2008


Saat ini semboyan kerajaan Majapahit digunakan oleh negara Republik Indonesia dengan mencuplik intisarinya. Sebuah kalimat yang sangat bermakna bagi penyatuan berbagai agama; Islam, Kristen, Hindu, Budha. Persatuan dengan penghargaan terhadap konsep multikultural demi kedewasaan masyarakat dan kemajuan peradaban bangsa.
Tulisan ini bukan untuk membangkitkan arwah masa lalu, namun sebagai wacana bahwa apa yang sudah diyakini saat ini, berdasarkan fakta ilmiah dapat berubah. Imej mengenai sejarah juga dapat berubah.
sumber 1
sumber 2
Barangkali ada informasi yang salah & tambahan dari agan-agan yang lebih mengetahui, silahkan ditambahkan atau di koreksi… dan mohon maap klo ada salah kata ato salah tulis

Intinya semoga bilapun 3 sifat bangsa Indonesia yang diatas hilang, jangan sampai kita menambah lagi jumlah yang hilang tersebut..atau masih ada yg hilang lagi selain yang tertulis diatas 












0
3K
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan