- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sisa Nurani dibalik Angkuhnya Ibukota


TS
ojongapusi
Sisa Nurani dibalik Angkuhnya Ibukota
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

"Ibu Kota lebih kejam dari ibu tiri". Kata-kata itu dulu kerap dipopulerkan oleh Warkop DKI. Sebuah sindiran dari anak perantau yang datang ke Jakarta. Benarkah Ibu Kota kejam?
Nah, disini TS akan berbagi sedikit cerita yang kebetulan ceritanya ini sangat amat Inspiratif banget gan..

Langsung aja ke ceritanya..
Spoiler for Ceritanya:
Sore menjelang malam, tepat di samping salah satu dinding penyangga jalan tol di kawasan Sunter, seorang wanita tua sedang kebingungan, ia tersesat di Jakarta setelah sejak pagi berusaha mencari alamat anaknya yang bekerja di Ibu Kota. Sebuah tas lusuh dan kardus entah apa isinya yang dengan lelah dijinjing diletakkan berdampingan di atas tanah kemudian ia duduk di atasnya, dengan menahan lapar dan dahaga, matanya yang sayu melihat semakin banyak orang dan kendaraan yang lalu lalang, berharap ada orang yang menolongnya sembari sesekali menyeka rambut putihnya yang terurai ke depan wajahnya karena tersapu angin jalanan Jakarta yang berdebu.
Dengan berbekal secarik kertas yang bertuliskan alamat anaknya, tanpa sungkan menghampiri seorang perempuan muda cantik berpakaian seksi yang baru saja pulang dari tempat kerja dan kebetulan lewat di depannya, tak ia pedulikan baju kumal yang ia kenakan dan bau badannya yang menyengat untuk memberanikan diri menepuk pundak perempuan muda itu. Namun wanita tua itu kecewa karena perempuan muda itu tidak berniat sedikitpun menolongnya, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta perempuan muda yang menduga wanita tua ini seorang pengemis, hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopan oleh si wanita tua dengan senyuman dan anggukan sebagai ucapan terima kasih. Tak berputus asa wanita tua itu kembali mendekati seorang pemuda berkemeja rapi yang berjalan tak jauh dari tempatnya berada, Pemuda yang sedang asik dengan smartphone di tangannya itu agak kaget ada seseorang yang menyodorkan secarik kertas tepat di depan wajahnya, pemuda itu berbaik hati untuk menanggalkan earphone dari telinganya kemudian menjelaskan letak alamat yang dimaksud si wanita tua, meskipun sekian detik kemudian ia hanya memohon maaf, mengembalikan kertas kemudian tanpa peduli lagi segera berlalu dengan cepat untuk mengejar metro mini yang akan ditumpanginya.
Semburat langit jingga dijelang senja, kumandang adzan maghrib terdengar di telinga, lampu-lampu kota di pinggir trotoar, taman dan di gedung-gedung tinggi menyala, Ibukota tetap siang di waktu malam, masih dengan hirukpikuk dan keangkuhan penghuninya meski hampir seluruh dari mereka tahu bahwa Jakarta nyaris tak layak huni. Dengan kekecewaan dan keletihan tak terasa wanita tua yang bisu itu meneteskan air mata, hatinya yang masih bisa berbicara berkata “Ya Allah, hamba ingin tahu karena hamba tidak tahu, hamba meminta tolong karena hamba butuh pertolongan, andai hamba tahu kemana hamba harus berjalan, dengan tubuh ini sungguh hamba masih sanggup berjalan dan tidak akan melakukan hal ini, hal yang mungkin menyulitkan hambamu yang lain”.
Tidak lama setelah wanita tua itu mencoba berdialog dengan Tuhan, ada seseorang menyapanya “nenek kenapa?”. Seorang pemuda berkulit coklat kehitaman dengan logat maduranya yang kental menghampiri wanita tua itu sambil berdiri tanpa turun dari sepeda yang dikayuhnya, Pemuda itu mengenakan kaos oblong tipis berwarna hitam yang basah dengan keringat selepas mengantar penumpang yang upahnya hanya cukup untuk makan hari ini. Pemuda itu adalah seorang tukang ojek sepeda yang kantor resminya ada di sudut jalan, berbatasan dengan pagar sebuah gedung milik perusahaan mobil Jepang yang terkemuka, disanalah pemuda ini serta sejumlah teman senasibnya mengais rupiah. “Saya Amir nek, nenek siapa? Kenapa nenek sedih?” pemuda itu memperkenalkan diri dan mencoba mengulang pertanyaannya karena wanita tua itu tidak segera menjawab. Amir adalah pemuda yatim piatu keturunan suku Madura yang berasal dari Jember, ibunya meninggal dunia semenjak ia masih kecil, serta kemudian menyusul ayahnya tiga tahun yang lalu karena kerusakan saraf dan jantung yang diderita sebagaimana penyakit seorang alkoholik pada umumnya.
Wanita tua itu kembali menyodorkan secarik kertas yang agak basah karena tetesan air matanya, Amir mulai memahami kekurangan wanita tua itu melalui ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang diterimanya, kemudian membaca tulisan pada kertas itu. Tanpa banyak pertimbangan Amir menawarkan untuk mengantar wanita tua itu ke alamat tersebut, mata rabun wanita tua itu kembali berbinar, kali ini karena rasa syukurnya kepada Tuhan yang telah mendengar dan menerima doanya. Amir mengangkat tas wanita tua itu kemudian dipanggul di punggung sama seperti mengenakan tas punggung dengan setiap tali tas melingkar vertikal ke masing-masing pundaknya, sedangkan wanita tua itu duduk menyamping di “sofa” belakang sepeda sambil memangku kardusnya, Amirpun mulai mengayuh sepedanya.
Sampai akhirnya wanita tua itu sampai di tempat yang dituju dan bertemu anaknya. Wanita tua itu merasa berhutang budi kepada Amir. Andai saja bibirnya mampu berkata, banyak hal yang sebenarnya ingin diutarakan wanita tua itu sebagai ungkapan terima kasih, tapi pandangan mata penuh kekaguman dan sentuhan telapak tangannya di pipi Amir telah cukup mewakili.
Setelah berpisah ia menengadahkan tangannya ke langit dan dengan penuh kekhusukan berdo’a untuk pemuda yang telah menolongnya.
Untuk orang yang Mulia.
Untuk Orang yang Terpuji.
Untuk Orang yang Sabar.
Untuk Orang yang Ikhlas dan Percaya akan Pahala dan Kasih-Nya yang ada dibalik semuanya.
Amir, pemuda yang baru saja dikenal wanita tua itu adalah pemuda yang tidak cukup mengenyam bangku sekolah apalagi kuliah, tidak tahu mata kuliah etika maupun filsafat, tidak bersemat gelar dibelakang nama dan jabatan , tanpa sandang berbahan sutra dan tanpa tahu esok hari harus makan dari sudut kemurahan-Nya yang mana. Namun ketulusah hatinya, kepekaan nuraninya menggerakkannya untuk menolong sesama, mengapa dari sekian banyak orang yang hidup di kota ini, nilai etika dan moral, nilai-nilai kemanusiaan justru datang dari pemuda seperti Amir? Kenapa justru mereka yang lainnya, yang tadi ditemui wanita tua itu, yang lebih berpendidikan, yang mungkin mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orangtuanya, yang punya kuasa atas kecukupan hartanya justru sepertinya hanya sekedar memenuhi sopan santun retoris belaka?.
Dengan berbekal secarik kertas yang bertuliskan alamat anaknya, tanpa sungkan menghampiri seorang perempuan muda cantik berpakaian seksi yang baru saja pulang dari tempat kerja dan kebetulan lewat di depannya, tak ia pedulikan baju kumal yang ia kenakan dan bau badannya yang menyengat untuk memberanikan diri menepuk pundak perempuan muda itu. Namun wanita tua itu kecewa karena perempuan muda itu tidak berniat sedikitpun menolongnya, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta perempuan muda yang menduga wanita tua ini seorang pengemis, hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopan oleh si wanita tua dengan senyuman dan anggukan sebagai ucapan terima kasih. Tak berputus asa wanita tua itu kembali mendekati seorang pemuda berkemeja rapi yang berjalan tak jauh dari tempatnya berada, Pemuda yang sedang asik dengan smartphone di tangannya itu agak kaget ada seseorang yang menyodorkan secarik kertas tepat di depan wajahnya, pemuda itu berbaik hati untuk menanggalkan earphone dari telinganya kemudian menjelaskan letak alamat yang dimaksud si wanita tua, meskipun sekian detik kemudian ia hanya memohon maaf, mengembalikan kertas kemudian tanpa peduli lagi segera berlalu dengan cepat untuk mengejar metro mini yang akan ditumpanginya.
Semburat langit jingga dijelang senja, kumandang adzan maghrib terdengar di telinga, lampu-lampu kota di pinggir trotoar, taman dan di gedung-gedung tinggi menyala, Ibukota tetap siang di waktu malam, masih dengan hirukpikuk dan keangkuhan penghuninya meski hampir seluruh dari mereka tahu bahwa Jakarta nyaris tak layak huni. Dengan kekecewaan dan keletihan tak terasa wanita tua yang bisu itu meneteskan air mata, hatinya yang masih bisa berbicara berkata “Ya Allah, hamba ingin tahu karena hamba tidak tahu, hamba meminta tolong karena hamba butuh pertolongan, andai hamba tahu kemana hamba harus berjalan, dengan tubuh ini sungguh hamba masih sanggup berjalan dan tidak akan melakukan hal ini, hal yang mungkin menyulitkan hambamu yang lain”.
Tidak lama setelah wanita tua itu mencoba berdialog dengan Tuhan, ada seseorang menyapanya “nenek kenapa?”. Seorang pemuda berkulit coklat kehitaman dengan logat maduranya yang kental menghampiri wanita tua itu sambil berdiri tanpa turun dari sepeda yang dikayuhnya, Pemuda itu mengenakan kaos oblong tipis berwarna hitam yang basah dengan keringat selepas mengantar penumpang yang upahnya hanya cukup untuk makan hari ini. Pemuda itu adalah seorang tukang ojek sepeda yang kantor resminya ada di sudut jalan, berbatasan dengan pagar sebuah gedung milik perusahaan mobil Jepang yang terkemuka, disanalah pemuda ini serta sejumlah teman senasibnya mengais rupiah. “Saya Amir nek, nenek siapa? Kenapa nenek sedih?” pemuda itu memperkenalkan diri dan mencoba mengulang pertanyaannya karena wanita tua itu tidak segera menjawab. Amir adalah pemuda yatim piatu keturunan suku Madura yang berasal dari Jember, ibunya meninggal dunia semenjak ia masih kecil, serta kemudian menyusul ayahnya tiga tahun yang lalu karena kerusakan saraf dan jantung yang diderita sebagaimana penyakit seorang alkoholik pada umumnya.
Wanita tua itu kembali menyodorkan secarik kertas yang agak basah karena tetesan air matanya, Amir mulai memahami kekurangan wanita tua itu melalui ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang diterimanya, kemudian membaca tulisan pada kertas itu. Tanpa banyak pertimbangan Amir menawarkan untuk mengantar wanita tua itu ke alamat tersebut, mata rabun wanita tua itu kembali berbinar, kali ini karena rasa syukurnya kepada Tuhan yang telah mendengar dan menerima doanya. Amir mengangkat tas wanita tua itu kemudian dipanggul di punggung sama seperti mengenakan tas punggung dengan setiap tali tas melingkar vertikal ke masing-masing pundaknya, sedangkan wanita tua itu duduk menyamping di “sofa” belakang sepeda sambil memangku kardusnya, Amirpun mulai mengayuh sepedanya.
Sampai akhirnya wanita tua itu sampai di tempat yang dituju dan bertemu anaknya. Wanita tua itu merasa berhutang budi kepada Amir. Andai saja bibirnya mampu berkata, banyak hal yang sebenarnya ingin diutarakan wanita tua itu sebagai ungkapan terima kasih, tapi pandangan mata penuh kekaguman dan sentuhan telapak tangannya di pipi Amir telah cukup mewakili.
Setelah berpisah ia menengadahkan tangannya ke langit dan dengan penuh kekhusukan berdo’a untuk pemuda yang telah menolongnya.
Untuk orang yang Mulia.
Untuk Orang yang Terpuji.
Untuk Orang yang Sabar.
Untuk Orang yang Ikhlas dan Percaya akan Pahala dan Kasih-Nya yang ada dibalik semuanya.
Amir, pemuda yang baru saja dikenal wanita tua itu adalah pemuda yang tidak cukup mengenyam bangku sekolah apalagi kuliah, tidak tahu mata kuliah etika maupun filsafat, tidak bersemat gelar dibelakang nama dan jabatan , tanpa sandang berbahan sutra dan tanpa tahu esok hari harus makan dari sudut kemurahan-Nya yang mana. Namun ketulusah hatinya, kepekaan nuraninya menggerakkannya untuk menolong sesama, mengapa dari sekian banyak orang yang hidup di kota ini, nilai etika dan moral, nilai-nilai kemanusiaan justru datang dari pemuda seperti Amir? Kenapa justru mereka yang lainnya, yang tadi ditemui wanita tua itu, yang lebih berpendidikan, yang mungkin mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orangtuanya, yang punya kuasa atas kecukupan hartanya justru sepertinya hanya sekedar memenuhi sopan santun retoris belaka?.
Ada puisinya juga..
Spoiler for puisi:
Lantas siapakah yang lebih beruntung?
Anak yatim piatu yang selalu berhadapan dengan kesulitan hidup dan terbiasa dengannya.
Atau anak mami yang segala sesuatunya serba mudah dan begitu takut serta berpaling dari kesulitan.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang bisu yang tak kuasa bicara
Atau orang yang banyak bicara dengan lisannya yang perkataannya selalu menyakiti perasaan dan hati orang-orang disekitarnya.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang buta yang tak dapat melihat apapun.
Atau orang yang dengan kemampuan melihat meracuni otaknya dengan fantasi tentang belahan buah dada atau yang jelalatan mencuri pandang mulusnya paha, ditengah kewajaran busana wanita atas dalih modernisasi.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang yang kakinya buntung yang sulit untuk berjalan
Atau orang yang segar bugar yang jalannya selalu ke tempat maksiat
Siapakah yang lebih beruntung?
Pria tampan yang karena ketampanannya bisa membuat para gadis terpesona dan membuatnya terbuai untuk terbiasa menjadi penjahat kelamin
Atau pria buruk rupa yang ditakuti gadis-gadis karena wajahnya yang tak menarik dan menyeramkan.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang miskin yang hidupnya susah dan tak ada daya untuk menguasai apapun
Atau orang kaya raya yang bisa membeli apa saja dan terjebak dalam kesombongan
Siapakah yang lebih beruntung sebenarnya?
Kita, saya dan kamu sudah pasti tahu jawabannya, tapi saya juga takut untuk menjawabnya
Saya takut Tuhan mendengar, dan dia menghukum saya…
Saya takut Dia mengambil kedua mata saya..
Saya takut Dia mengambil suara saya..
Saya takut Dia mengambil kedua kaki saya..
Saya takut Dia membuat wajah saya buruk rupa..
Saya takut Dia mencabut harta saya..
Saya takut Dia memanggil orang tua saya..
Anak yatim piatu yang selalu berhadapan dengan kesulitan hidup dan terbiasa dengannya.
Atau anak mami yang segala sesuatunya serba mudah dan begitu takut serta berpaling dari kesulitan.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang bisu yang tak kuasa bicara
Atau orang yang banyak bicara dengan lisannya yang perkataannya selalu menyakiti perasaan dan hati orang-orang disekitarnya.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang buta yang tak dapat melihat apapun.
Atau orang yang dengan kemampuan melihat meracuni otaknya dengan fantasi tentang belahan buah dada atau yang jelalatan mencuri pandang mulusnya paha, ditengah kewajaran busana wanita atas dalih modernisasi.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang yang kakinya buntung yang sulit untuk berjalan
Atau orang yang segar bugar yang jalannya selalu ke tempat maksiat
Siapakah yang lebih beruntung?
Pria tampan yang karena ketampanannya bisa membuat para gadis terpesona dan membuatnya terbuai untuk terbiasa menjadi penjahat kelamin
Atau pria buruk rupa yang ditakuti gadis-gadis karena wajahnya yang tak menarik dan menyeramkan.
Siapakah yang lebih beruntung?
Orang miskin yang hidupnya susah dan tak ada daya untuk menguasai apapun
Atau orang kaya raya yang bisa membeli apa saja dan terjebak dalam kesombongan
Siapakah yang lebih beruntung sebenarnya?
Kita, saya dan kamu sudah pasti tahu jawabannya, tapi saya juga takut untuk menjawabnya
Saya takut Tuhan mendengar, dan dia menghukum saya…
Saya takut Dia mengambil kedua mata saya..
Saya takut Dia mengambil suara saya..
Saya takut Dia mengambil kedua kaki saya..
Saya takut Dia membuat wajah saya buruk rupa..
Saya takut Dia mencabut harta saya..
Saya takut Dia memanggil orang tua saya..
Setelah baca dan merenungi cerita dan puisi ini, ane yakin ini bukan kebetulan ane membacanya melainkan Tuhan yang telah mengatur semua yang ane baca tadi. Semoga kita smua bisa memaknai


SUMBER
Diubah oleh ojongapusi 08-11-2013 20:36
0
3.1K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan