- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Meneliti Lebih Jauh Kemacetan di Jakarta
TS
lucasJr
Meneliti Lebih Jauh Kemacetan di Jakarta
Quote:
Sebelum Membaca Bantu Rate Dulu Gan!
Quote:
Masalah transportasi merupakan masalah yang hampir kita selalui jumpai pada kota-kota besar yang ada Indonesia, sebagai contoh adalah ibu kota Jakarta. Kota Jakarta sebagai pusat kota, pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan ekonomi yang memiliki masalah transportasi yang seakan-akan tidak pernah terselesaikan. Masalah kemacetan menjadi masalah yang tidak ada habisnya, bahkan menjadi suatu “Identitas” dari wajah Kota Jakarta. Masyarakat dapat menghabiskan waktu 5-6 jam di jalan dikarenakan kemacetan. Dampak kerugian dari kemacetan antara lain
Quote:
"Kerugiannya Rp 128 triliun per tahun. Akibat dari polusi, dampak kesehatannya, BBM, dan macet itu stres lho. Itu dua kali APBD DKI,"
Quote:
Original Posted By Pemborosan Bahan Bakar
Kemacetan membuat pemakaian bahan bakar menjadi tidak efisien, padahal banyak dari kita menggunakan bahan bakar bersubsidi, secara tidak langsung bahwa kemacetan seakan-akan memboroskan subsidi yang telah diberikan. Selain itu seperti yang kita ketahui bahwa cadangan minyak bumi yang kian terbatas
Quote:
Original Posted By Pemborosan Waktu
Kemacetan membuat waktu perjalanan menjadi lama, waktu banyak dihabiskan di sepanjang jalan. Kondisi ini sangat paling tidak baik dari segi kegiatan ekonomi karena dapat menambah biaya pengeluaran
Quote:
Original Posted By Perusakan Lingkungan
Kemacetan mengakibatkan timbulnya polusi, terutama polusi udara akibat gas buang dari kendaraan-kendaraan bermotor. Lingkungan menjadi tidak sehat dan tidak nyaman
Quote:
Original Posted By Penurunan Tingkat Kesehatan
Polusi udara dan suara secara tidak langsung akan mengganggu kesehatan tubuh kita. Kualitas lingkungan yang menjadi buruk memicu penurunan tingkat kesehatan pada masyarakat
Quote:
Secara umum kita hanya mengetahui bahwa kemacetan terjadi hanya karena jumlah kendaraan lebih banyak dari kapasitas jalan yang terjadi, disini ane mau mengulas faktor-faktor lain yang menyebabkan kemacetan pada Kota Jakarta:
Quote:
Original Posted By Interaksi tata guna ruang dan lahan dengan transportasi
Tata ruang akan mempengaruhi pola kegiatan masyarakat, dan pola kegiatan mempengaruhi pola pergerakan masyarakat, dan pola pergerakan akan mempengaruhi sistem transportasi yang ada. Kota-kota besar sering kali mencampuradukan tata guna ruang dan lahan, sehingga timbul pergerakan yang tidak teratur sehingga akan mengakibatkan kemacetan pada jaringan jalan. Contohnya banyak terjadinya campur aduk lokasi perumahan dengan lokasi perbelanjaan atau mall, lokasi perkantoran denganpertokoan.
Quote:
Original Posted By Sistem Kegiatan dengan Transportasi
Pola kegiatan akan mempengaruhi lalu lintas transportasi yang ada. Sebagai contoh bahwa setiap masyarakat akan memulai aktivitas di luar rumah (ke sekolah, ke tempat kerja) pada jam yang sama. Otomatis jaringan jalan akan terbebani jumlah pengguna jalan yang sangat banyak karena dilakukan secara serentak pada jam yang sama.
Spoiler for Berita Terkait:
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah DKI yakin kan dapat mengendalikan 48 persen kemacetan yang ada di Jakarta dengan memberlakukan pemisahan waktu masuk pegawai di Jakarta. Presentase tersebut berdasarkan kajian yang telah dilakukan Dinas Perhubungan, dengan menghitung proporsi masing-masing kegiatan masyarakat pengguna jalan.
“Lumayan bisa memecah konsentrasi jika dapat dilaksanakan,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, Senin (1/11).
Pris merinci presentase masing-masing kegiatan masyarakat yang memenuhi jalan Jakarta. Rinciannya aktivitas kerja sebesar 48 persen, aktivitas sekolah 14 persen, aktivitas belanja 12 persen, kegiatan bisnis 8 persen, dan kegiatan sosial 18 persen.
“Pegawai Negeri baiknya masuk lebih pagi karena mereka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tetapi untuk swasta tidak bisa diatur,” ujar Pris.
Pris menjelaskan jam padat kendaraan pada masing-masing wilayah di DKI Jakarta berbeda-beda.
Pada Jakarta Pusat dan Jakarta Utara kepadatan terjadi pada pukul 07.30 yaitu masing-masing 45,28 persen dan 47,64 persen. Sedangkan Jakarta Barat dan Jakarta Timur kepadatan lalu lintas terjadi pada pukul 08.00 dengan presentase masing-masing 59,93 persen dan 61,34 persen.
Sementara di Jakarta Selatan kepadatan lalu lintas lebih siang yaitu pukul 09.00 dengan presentase 47,98 persen. Dengan diseragamkan jam kerja pegawai di masing-masing wilayah pada jam sibuknya maka kepadatan hanya terjadi ditingkat lokal wilayah, dan membuat wilayah lain lebih lowong.
“Kami belum mensosialisasikan ini kepada sektor swasta. Sosialisasi dapat dilakukan dengan publikasi media,” kata Pris.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menyambut baik rencana itu. Mereka siap bekerja sama dengan DKI untuk mengatasi kemacetan. Namun, kata dia, ada konsekuensi lainnya.
“Misalnya ada penambahan shift atau penambahan jam yang akan berdampak pada penambahan bayaran misalnya uang lembur,” kata Rudy Sumampouw, Sekretaris Jenderal Apindo.
Pengaturan jadwal masuk pegawai telah dilakukan ditempat kerja, salah satu pegawai bank asing swasta, Dewinta Stanny (22). Ia mengatakan di divisi kantornya yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan itu telah terjadi pembagian jam masuk menjadi 4 kloter.
"Jadwal masuk ada yang pukul 07.00, 08.00, 09.00, hingga 10.00. Dengan jam kerja yang sama yaitu 9 jam," kata Dewinta.
Dengan pembagian seperti itu, Dewinta telah merasakan sedikit berkurangnya kemacetan yang harus dihadapinya terutama pada pukul 10.00. Dewinta akan dengan rela dan menyetujui jika kebijakan tersebut dilakukan secara permanen terhadap semua perusahaan swasta dan pemerintahan.
"Tetapi di perusahaan saya, jika pegawai yang kebagian masuk pukul 10.00 ada uang tambahannya untuk membayar taksi."
RENNY FITRIA SARI
“Lumayan bisa memecah konsentrasi jika dapat dilaksanakan,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, Senin (1/11).
Pris merinci presentase masing-masing kegiatan masyarakat yang memenuhi jalan Jakarta. Rinciannya aktivitas kerja sebesar 48 persen, aktivitas sekolah 14 persen, aktivitas belanja 12 persen, kegiatan bisnis 8 persen, dan kegiatan sosial 18 persen.
“Pegawai Negeri baiknya masuk lebih pagi karena mereka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tetapi untuk swasta tidak bisa diatur,” ujar Pris.
Pris menjelaskan jam padat kendaraan pada masing-masing wilayah di DKI Jakarta berbeda-beda.
Pada Jakarta Pusat dan Jakarta Utara kepadatan terjadi pada pukul 07.30 yaitu masing-masing 45,28 persen dan 47,64 persen. Sedangkan Jakarta Barat dan Jakarta Timur kepadatan lalu lintas terjadi pada pukul 08.00 dengan presentase masing-masing 59,93 persen dan 61,34 persen.
Sementara di Jakarta Selatan kepadatan lalu lintas lebih siang yaitu pukul 09.00 dengan presentase 47,98 persen. Dengan diseragamkan jam kerja pegawai di masing-masing wilayah pada jam sibuknya maka kepadatan hanya terjadi ditingkat lokal wilayah, dan membuat wilayah lain lebih lowong.
“Kami belum mensosialisasikan ini kepada sektor swasta. Sosialisasi dapat dilakukan dengan publikasi media,” kata Pris.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menyambut baik rencana itu. Mereka siap bekerja sama dengan DKI untuk mengatasi kemacetan. Namun, kata dia, ada konsekuensi lainnya.
“Misalnya ada penambahan shift atau penambahan jam yang akan berdampak pada penambahan bayaran misalnya uang lembur,” kata Rudy Sumampouw, Sekretaris Jenderal Apindo.
Pengaturan jadwal masuk pegawai telah dilakukan ditempat kerja, salah satu pegawai bank asing swasta, Dewinta Stanny (22). Ia mengatakan di divisi kantornya yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan itu telah terjadi pembagian jam masuk menjadi 4 kloter.
"Jadwal masuk ada yang pukul 07.00, 08.00, 09.00, hingga 10.00. Dengan jam kerja yang sama yaitu 9 jam," kata Dewinta.
Dengan pembagian seperti itu, Dewinta telah merasakan sedikit berkurangnya kemacetan yang harus dihadapinya terutama pada pukul 10.00. Dewinta akan dengan rela dan menyetujui jika kebijakan tersebut dilakukan secara permanen terhadap semua perusahaan swasta dan pemerintahan.
"Tetapi di perusahaan saya, jika pegawai yang kebagian masuk pukul 10.00 ada uang tambahannya untuk membayar taksi."
RENNY FITRIA SARI
Quote:
Original Posted By Permasalahan Angkutan Umum
Angkutan umum perkotaan merupakan salah satu tulang punggung punggung ekonomi perkotaan. Bisa anda bayangkan ada suatu pusat pertokoan atau mall yang tidak bisa diakses oleh angkutan umum, maka tempat tersebut akan sepi pengunjung karena aksesbilitas untuk mencapat tempat tersebut sangat rendah. Permasalahan yang ada sekarang kualitas angkutan umum yang jauh dari standard. Banyak angkutan umum yang sudah tua, tidak nyaman, rawan tindak kriminal, waktu tempuh yang lama (ngetem), dan harga tarif yang tidak jelas. Kondisi ini membuat masyarakat mulai enggan menggunakan angkutan umum, sehingga beralih pada kendaraan pribadi dan membuat jalan kian terbebani.
Spoiler for Berita Terkait:
Jumlah Bus Besar dan Metromini Terus Menurun
TEMPO.CO, Jakarta -- Jika pertumbuhan kendaraan pribadi meningkat setiap tahunnya, lain halnya dengan jumlah angkutan umum di Jakarta. Dinas Perhubungan Jakarta mendata terjadi penurunan jumlah bus besar dan bus sedang, seperti Kopaja dan Metromini, di Ibu Kota pada lima tahun belakangan ini.
(Baca juga: Kendaraan pribadi bertambah satu juta per tahun)
Namun sejumlah angkutan umum lainnya malah mengalami peningkatan, seperti taksi, angkutan perkotaan (angkot), dan bus antarkota. Meski kenaikannya tidak signifikan. "Angkutan umum di Jakarta masih sangat minim," kata Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan Jakarta, Syafrin Liputo, kepada Tempo di kantornya, Rabu, 6 November 2013.
Minimnya angkutan umum di Jakarta dan berpindahnya masyarakat ke kendaraan pribadi membuat pengguna angkutan umum semakin menurun setiap tahunnya. Jika pada 1991, angkutan umum masih menjadi primadona bagi masyarakat, yaitu mencapai 74 persen. Sedangkan saat ini, pengguna angkutan umum hanya ada di kisaran 13 persen saja.
Berikut data Dinas Perhubungan mengenai angkutan jalan yang ada di Jakarta mulai dari 2008 hingga 2012.
Jenis Kendaraan / 2008 / 2009 / 2010 / 2011 / 2012
Bus Besar / 4.822 / 4.928 / 4.579 / 3.529 / 2.045
Bus Sedang / 4.960 / 4.960 / 4.944 / 4.959 / 1.987
Mobil Penumpang Umum/Angkot / 12.984 / 14.130 / 14.183 / 14.183 / 16.671
Bajaj & Kancil / 14.424 / 14.424 / 14.424 / 14.424 / 14.424
Taksi / 24.256 / 24.489 / 24.724 / 24.902 / 27.301
Bus Wisata & Sewa / 5.219 / 5.048 / 4.707 / 4.416 / 5.091
Bus Antar Kota / 3.587 / 3.463 / 3.279 / 3.279 / 3.442
Total / 70.252 / 71.442 / 70.840 / 69.692 / 70.961
SUTJI DECILYA
TEMPO.CO, Jakarta -- Jika pertumbuhan kendaraan pribadi meningkat setiap tahunnya, lain halnya dengan jumlah angkutan umum di Jakarta. Dinas Perhubungan Jakarta mendata terjadi penurunan jumlah bus besar dan bus sedang, seperti Kopaja dan Metromini, di Ibu Kota pada lima tahun belakangan ini.
(Baca juga: Kendaraan pribadi bertambah satu juta per tahun)
Namun sejumlah angkutan umum lainnya malah mengalami peningkatan, seperti taksi, angkutan perkotaan (angkot), dan bus antarkota. Meski kenaikannya tidak signifikan. "Angkutan umum di Jakarta masih sangat minim," kata Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan Jakarta, Syafrin Liputo, kepada Tempo di kantornya, Rabu, 6 November 2013.
Minimnya angkutan umum di Jakarta dan berpindahnya masyarakat ke kendaraan pribadi membuat pengguna angkutan umum semakin menurun setiap tahunnya. Jika pada 1991, angkutan umum masih menjadi primadona bagi masyarakat, yaitu mencapai 74 persen. Sedangkan saat ini, pengguna angkutan umum hanya ada di kisaran 13 persen saja.
Berikut data Dinas Perhubungan mengenai angkutan jalan yang ada di Jakarta mulai dari 2008 hingga 2012.
Jenis Kendaraan / 2008 / 2009 / 2010 / 2011 / 2012
Bus Besar / 4.822 / 4.928 / 4.579 / 3.529 / 2.045
Bus Sedang / 4.960 / 4.960 / 4.944 / 4.959 / 1.987
Mobil Penumpang Umum/Angkot / 12.984 / 14.130 / 14.183 / 14.183 / 16.671
Bajaj & Kancil / 14.424 / 14.424 / 14.424 / 14.424 / 14.424
Taksi / 24.256 / 24.489 / 24.724 / 24.902 / 27.301
Bus Wisata & Sewa / 5.219 / 5.048 / 4.707 / 4.416 / 5.091
Bus Antar Kota / 3.587 / 3.463 / 3.279 / 3.279 / 3.442
Total / 70.252 / 71.442 / 70.840 / 69.692 / 70.961
SUTJI DECILYA
Quote:
Original Posted By Hambatan Samping
Hambatan samping sangat mengurangi kapasitas jalan yang memang sudah terbatas. Hambatan samping ini dapat berupa parkir on-street maupun pedagang kaki lima. Keberadaan pedagang kaki lima membuat bertambahnya konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor (pada saat menyebrang).
Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengatasi persoalan kemacetan dengan menertibkan penyalahgunaan badan jalan, seperti menata dan menertibkan kaki lima (PKL) dan parkir liar di badan jalan yang ada di kawasan Tanah Abang, Pasar Minggu, Pasar Gembrong dan Jatinegara. Meski para PKL telah direlokasi ke gedung-gedung pasar terdekat, dan kendaraan yang parkir liar telah ditindak dengan cara dikempesi dan dicabut pentil bannya, kemacetan masih terus terjadi.
Pakar Transportasi, Dharmaningtyas, mengatakan, penanganaan penyalahgunaan badan jalan belum berjalan optimal lantaran baru berjalan selama beberapa bulan terakhir.
"Ya, memang masih ada PKL ataupun parkir liar yang coba-coba kembali ke badan jalan. Tapi ini kan masih proses awal, dan memang perlu waktu sampai hal itu berjalan optimal," Dharmaningtyas, saat dihubungi, Minggu (29/9).
Menurut Dharmaningtyas, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI di bawah kepemimpinan Guberur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi ini baru langkah awal dalam mengatasi kemacetan di Ibukota. Dikatakan, penyebab utama kemacetan terdiri dari dua faktor, yakni penyalahgunaan badan jalan dan volume kendaraan yang terus bertambah di ruas-ruas jalan Jakarta. Kedua faktor kemacetan ini harus diatasi secara bersamaan.
"Dua faktor tersebut memiliki kontribusi yang sama dalam hal menyebabkan kemacetan di Jakarta, karena itu dua-duanya harus mendapat perhatian yang sama. Tidak boleh hanya satu yang ditangani, sedangkan yang satunya tidak," kata Dharmaningtyas.
Dikatakan, upaya penanganan penyalahgunaan badan jalan oleh Pemprov DKI yang baru berjalan beberapa bulan ini, mendapat tantangan dengan program mobil murah pemerintah pusat yang dikhawatirkan akan terus menambah volume kendaraan dan menjadi faktor kemacetan. Menurutnya, Jokowi tidak bisa menolak program mobil murah karena Gubernur DKI bagian dari pemerintah. Langkah yang dapat ditempuh Jokowi adalah menolak dengan cara halus, yakni berupaya mengendalikan penggunaan kendaraan di Ibukota secara ketat dan tegas.
"Tingkatkan harga parkir, terapkan secara ketat sistem ganjil genap, terapkan dengan tegas sistem pajak progresif. Tentu kalau penggunaan kendaran dibatasi dengan hal-hal itu, volume kendaraan di badan jalan dapat berkurang," papar Dharmaningtyas.
Dikatakan, langkah-langkah pengendalian penggunaan kendaraan dapat mengurangi volume kendaraan di badan jalan dan berjalan beriringan dengan upaya mengatasi penyalahgunaan badan jalan. Selanjutnya, kata Dharmaningtyas, Pemprov DKI harus menjaga agar proses mengatasi kemacetan ini berjalan berkesinambungan.
"Tentu baik pengendalian penggunaan kendaraan maupun penataan badan jalan keduanya perlu waktu agar dampaknya dapat dirasakan warga Jakarta. Menurut saya, paling tidak itu memerlukan waktu satu periode kepemimpinan Jokowi," jelasnya.
Sementara, dihubungi terpisah, Pengamat Tata Kota, Yayat Supriyatna, mengatakan, penyebab utama kemacetan di Jakarta adalah tidak sebandingnya pertambahan kendaraan setiap tahun dengan peningkatan pembangunan jalan. Ia menjelaskan, setiap tahun, peningkatan jumlah kendaraan mencapai angka 11 sampe 12 persen, sedangkan peningkatan pembangunan jalan 0,01 persen.
"Ini jelas akan membuat suplay dan demand tidak seimbang. Kapasitas jalan tidak mampu menampung jumlah volume kendaraan yang ada," ujarnya.
Menurut dia, minimnya badan jalan diperburuk dengan penambahan kendaraan yang tidak dapat dikendalikan. Hal ini menurut dia harusnya menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam mengeluarkan kebijakan mobil murah. Dikatakan, sejauh ini, pemerintah pusat tidak pernah mengatasi problematika kemacetan dengan optimal.
"Kalau memang mau buat mobil murah, harusnya Pemerintah Pusat membantu Pemprov DKI menyelesaikan pembangunan jalan, mendorong MRT, ataupun revitalisasi angkutan umum," kata Yayat.
Diungkapkannya, sampai saat ini hutang pemerintah pusat kepada DKI untuk membantu penyelesaian pembangunan jalan belum dibayarkan. Setidaknya dari 17 langkah atasi kemacetan yang dikeluarkan Wakil Presiden, belum ada satu pun langkah yang terlihat nyata dilakukan pemerintah pusat.
"Nah hutang belum dibayarkan, secara tiba-tiba pemerintah pusat dengan otoritas penuh atas nama industri otomotif nasional, memaksa masyarakat untuk beli kendaraan," katanya lagi.
Menurut Yayat, hal ini menunjukan pemerintah pusat tidak peduli dengan kemacetan. Padahal, lanjut dia, DKI sudah mencoba menyelesaikan kemacetan sejak pemerintahan Sutiyoso, dimana saat itu ia membuat pola transportasi masal untuk Jakarta.
"Sutiyoso buat peraturan gubernur tahun 2004 tentag pola transportasi makro, dia buat solusi untuk mengatasi kemacetan. Pertanyaannya, bagaimana dukungan pemerintah pusat? Harusnya pemerintah pusat menjalankan komitmennya sungguh-sungguh untuk atasi kemacetan, boleh lah dia jual mobil, tapi kita harus belajar dari negara lain. Mobil boleh dibeli tapi penggunaannya dibatasi," paparnya.
Selain menagih komitmen pemerintah pusat, Yayat mengatakan, upaya mengatasi kemacetan tidak terlepas dari kultur dan mentalitas pejabat dan warga Jakarta. Dikatakan, sampai saat ini keberhasilan Jokowi menertibkan Pasar Minggu, Pasar Gembrong, dan Tanah Abang dikarenakan masih ada pengawalan petugas Satpol PP.
"Kalau petugas tidak ada PKL dan parkir liar muncul. Jadi mentalitas warga harus dibenahi, men
Spoiler for Berita Terkait:
Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengatasi persoalan kemacetan dengan menertibkan penyalahgunaan badan jalan, seperti menata dan menertibkan kaki lima (PKL) dan parkir liar di badan jalan yang ada di kawasan Tanah Abang, Pasar Minggu, Pasar Gembrong dan Jatinegara. Meski para PKL telah direlokasi ke gedung-gedung pasar terdekat, dan kendaraan yang parkir liar telah ditindak dengan cara dikempesi dan dicabut pentil bannya, kemacetan masih terus terjadi.
Pakar Transportasi, Dharmaningtyas, mengatakan, penanganaan penyalahgunaan badan jalan belum berjalan optimal lantaran baru berjalan selama beberapa bulan terakhir.
"Ya, memang masih ada PKL ataupun parkir liar yang coba-coba kembali ke badan jalan. Tapi ini kan masih proses awal, dan memang perlu waktu sampai hal itu berjalan optimal," Dharmaningtyas, saat dihubungi, Minggu (29/9).
Menurut Dharmaningtyas, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI di bawah kepemimpinan Guberur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi ini baru langkah awal dalam mengatasi kemacetan di Ibukota. Dikatakan, penyebab utama kemacetan terdiri dari dua faktor, yakni penyalahgunaan badan jalan dan volume kendaraan yang terus bertambah di ruas-ruas jalan Jakarta. Kedua faktor kemacetan ini harus diatasi secara bersamaan.
"Dua faktor tersebut memiliki kontribusi yang sama dalam hal menyebabkan kemacetan di Jakarta, karena itu dua-duanya harus mendapat perhatian yang sama. Tidak boleh hanya satu yang ditangani, sedangkan yang satunya tidak," kata Dharmaningtyas.
Dikatakan, upaya penanganan penyalahgunaan badan jalan oleh Pemprov DKI yang baru berjalan beberapa bulan ini, mendapat tantangan dengan program mobil murah pemerintah pusat yang dikhawatirkan akan terus menambah volume kendaraan dan menjadi faktor kemacetan. Menurutnya, Jokowi tidak bisa menolak program mobil murah karena Gubernur DKI bagian dari pemerintah. Langkah yang dapat ditempuh Jokowi adalah menolak dengan cara halus, yakni berupaya mengendalikan penggunaan kendaraan di Ibukota secara ketat dan tegas.
"Tingkatkan harga parkir, terapkan secara ketat sistem ganjil genap, terapkan dengan tegas sistem pajak progresif. Tentu kalau penggunaan kendaran dibatasi dengan hal-hal itu, volume kendaraan di badan jalan dapat berkurang," papar Dharmaningtyas.
Dikatakan, langkah-langkah pengendalian penggunaan kendaraan dapat mengurangi volume kendaraan di badan jalan dan berjalan beriringan dengan upaya mengatasi penyalahgunaan badan jalan. Selanjutnya, kata Dharmaningtyas, Pemprov DKI harus menjaga agar proses mengatasi kemacetan ini berjalan berkesinambungan.
"Tentu baik pengendalian penggunaan kendaraan maupun penataan badan jalan keduanya perlu waktu agar dampaknya dapat dirasakan warga Jakarta. Menurut saya, paling tidak itu memerlukan waktu satu periode kepemimpinan Jokowi," jelasnya.
Sementara, dihubungi terpisah, Pengamat Tata Kota, Yayat Supriyatna, mengatakan, penyebab utama kemacetan di Jakarta adalah tidak sebandingnya pertambahan kendaraan setiap tahun dengan peningkatan pembangunan jalan. Ia menjelaskan, setiap tahun, peningkatan jumlah kendaraan mencapai angka 11 sampe 12 persen, sedangkan peningkatan pembangunan jalan 0,01 persen.
"Ini jelas akan membuat suplay dan demand tidak seimbang. Kapasitas jalan tidak mampu menampung jumlah volume kendaraan yang ada," ujarnya.
Menurut dia, minimnya badan jalan diperburuk dengan penambahan kendaraan yang tidak dapat dikendalikan. Hal ini menurut dia harusnya menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam mengeluarkan kebijakan mobil murah. Dikatakan, sejauh ini, pemerintah pusat tidak pernah mengatasi problematika kemacetan dengan optimal.
"Kalau memang mau buat mobil murah, harusnya Pemerintah Pusat membantu Pemprov DKI menyelesaikan pembangunan jalan, mendorong MRT, ataupun revitalisasi angkutan umum," kata Yayat.
Diungkapkannya, sampai saat ini hutang pemerintah pusat kepada DKI untuk membantu penyelesaian pembangunan jalan belum dibayarkan. Setidaknya dari 17 langkah atasi kemacetan yang dikeluarkan Wakil Presiden, belum ada satu pun langkah yang terlihat nyata dilakukan pemerintah pusat.
"Nah hutang belum dibayarkan, secara tiba-tiba pemerintah pusat dengan otoritas penuh atas nama industri otomotif nasional, memaksa masyarakat untuk beli kendaraan," katanya lagi.
Menurut Yayat, hal ini menunjukan pemerintah pusat tidak peduli dengan kemacetan. Padahal, lanjut dia, DKI sudah mencoba menyelesaikan kemacetan sejak pemerintahan Sutiyoso, dimana saat itu ia membuat pola transportasi masal untuk Jakarta.
"Sutiyoso buat peraturan gubernur tahun 2004 tentag pola transportasi makro, dia buat solusi untuk mengatasi kemacetan. Pertanyaannya, bagaimana dukungan pemerintah pusat? Harusnya pemerintah pusat menjalankan komitmennya sungguh-sungguh untuk atasi kemacetan, boleh lah dia jual mobil, tapi kita harus belajar dari negara lain. Mobil boleh dibeli tapi penggunaannya dibatasi," paparnya.
Selain menagih komitmen pemerintah pusat, Yayat mengatakan, upaya mengatasi kemacetan tidak terlepas dari kultur dan mentalitas pejabat dan warga Jakarta. Dikatakan, sampai saat ini keberhasilan Jokowi menertibkan Pasar Minggu, Pasar Gembrong, dan Tanah Abang dikarenakan masih ada pengawalan petugas Satpol PP.
"Kalau petugas tidak ada PKL dan parkir liar muncul. Jadi mentalitas warga harus dibenahi, men
talitas staf di Jakarta juga harus dibenahi. Kalau tidak berubah, maka akan susah, tidak akan bayak kemajuan," tutur Yayat.
Quote:
Original Posted By Pola Pergerakan
Pola pergerakan Eksternal – Eksternal adalah pola pergerakan dari kawasan luar ke kawasan luar dengan melewati suatu kota. Pola pergerakan ini secara tidak langsung membebani lalu lintas yang ada pada jaringan jalan. Biasanya pengiriman barang dengan kendaraan berat, sebagai dari kota A dengan tujuan kota C tetapi harus melalui kota Jakarta. Otomatis ada tambahan beban pada jaringan jalan dari pergerakan eksternal. Permasalahan ini biasa diselesaikan dengan jalan tol lingkar luar.
Spoiler for Berita Terkait:
Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) adalah rangkaian jalan tol yang melingkari bagian luar Jakarta. Jalan tol pertama yang dibangun dan kemudian menjadi bagian dari JORR adalah jalan tol di Jalan T.B. Simatupang (Tol Pondok Indah). Saat ini, tol JORR sudah sampai gerbang tol Cakung yang termasuk kawasan Jakarta Timur. JORR sendiri terbagi menjadi 3 bagian besar: ruas Ulujami-Rorotan dikelola oleh PT Jalantol Lingkarluar Jakarta, ruas Kembangan-Penjaringan dikelola oleh PT Jakarta Lingkar Baratsatu ,dan ruas Kembangan-Ulujami dikelola oleh PT. Marga Lingkar Jakarta yang merupakan anak perusahaan Jasa Marga. Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta sebagai alternatif bagi warga Tangerang atau Jakarta yang menuju Bekasi, Bogor dan kota-kota di Pantura dan Jalur Selatan dan juga sebagai tujuan utama ke Depok atau tujuan utama bagi buat warga kota Tangerang Selatan ke Bekasi, Bogor, Depok dan kota-kota di Pantura dan Jalur Selatan.
Quote:
Maaf kalo ternyata nanti
Quote:
Thanks udah berkunjung, semoga Thread ini bagi para pembacanya
Jika berkenan gan!
Jika berkenan gan!
0
5.5K
Kutip
33
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan