- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Bukan Aku, Ayah (cerpen lewat)


TS
sireiren
Bukan Aku, Ayah (cerpen lewat)
Oleh ane sendiri

Dritt… Drittt..
Engsel pintu terasa derit berbisik. Angin tak lelah tabrakan tubuhnya di hadapan pintu tua jelek itu. Ia terlihat kusam berwarna coklat tua kesukaan ayah. Jika ayah tahu pasti ia akan sangat sedih. Pohon besar disudut kiri sana juga telah benar-benar dewasa. Bergizi baik, rimbun, hijau, bahkan sangat segar. Tapi sayang, tak adalagi yang mengurusnya. Ah, andai saja ayah disini sekarang.
Tangan mungilku yang sudah remaja sekarang erat ku genggam pagar besi tua yang sudah berkarat di hadapanku. Terasa kasar. Aku mulai panik, kalang kabut. Sedikit ku condongkan tubuhku ke halaman rumah tua ini. Bibirku terkatup rapat, dengan sedikit menggigit bibir bagian bawahnya. Aku coba menahan mendung di sudut mataku. Mata bulat beningku mulai semakin bening berkaca. Kutatap lekat-lekat rumah tua itu sekarang. Pelan sekali, kakiku mulai melangkah lembut, cepat, cepat sekali, dan semakin cepat. Terkadang akan hampir terjatuh, tak kupedulikan. Bola mata kecil ini masih tertuju pada rumah tua sana.
“Ayah... ayah...,” desisku sesaat. Aku terus berlari dan berlari hingga ujung jariku menyentuh ujung pintu, telapak tangan dan ku genggam akhirnya. Kosong, debu, gelap, itu yang kulihat.
“Hosh hosh hosh” aku terengah. Kepalaku sibuk putar menerawang seluruh isi ruangan. Tak ada apapun disana. Hanya lantai kotor dan dinding rapuh tempat laba-laba memulai rumah tangganya untuk bersarang setelah lima tahun lalu. Mereka turut kujadikan saksi bisu atas buku itu. Sigap mataku tertuju pada buku kusam bersampul coklat yang sedari tadi sendiri disudut ruangan tanpa ramah menyapa.
Lama sekali kupandang buku itu tanpa menghampiri dan menyentuhnya. Mataku mulai kabur, dadaku terasa sesak. Cepat ku atur nafas untuk menahan diri. Jangan menangis, Gia. Aku ingat kata ayah. Maaf, Ayah. Aku berlutut. Ku antukkan kepalaku kelantai dengan keras. Air mataku jatuh bebas menyelinap dibalik kelopak mataku. Setetes demi setetes menyentuh lantai, ia basah. Mulutku mulai tak karuan. Sakit sekali rasanya jika harus menahan tangis ini lagi.
“Aaaaaaaaaa...!!!!!!!! Kau bodoh, Gia!!” Teriakku sekuat mungkin. Aku terus menangis dan semakin keras. Terkadang sedikit tersedak. Mengetuk-ngetuk tanganku pada lantai itu. Aku mengalah, kudekati buku kusam itu. Sampulnya mulai rapuh dan sobek. Ia juga tak harum layaknya dulu, ku dekap erat dan terasa ringan dari sebelumnya. Atau aku yang merasa asing sajakah? Hangat sekali. Kupejamkan mataku dan kusandarkan tubuhku ke dinding berwarna oranye itu hingga mulai terduduk. Aku sedikit menegadah ke atap dengan kutekuk lutut kakiku dan memeluk erat buku itu di dadaku tanpa melepas apalagi sampai membuka tiap lembarannya. Mulai menenangkan pikiran sejenak. Tenang. Entah apa yang mempengaruhiku dalam ruangan hampa bergema ini. Mungkin saja buku yang kupeluk memiliki satu mantera aneh yang membuatku tenang? Entahlah.
3 Mei
“Apa yang ingin kau dapatkan nanti dihari ulang tahunmu?” Ia menanyaiku.
“Tidak ada,” jawabku singkat.
Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum simpul dan menganggukan kepalanya pelan. Sial, terlihat meremehkanku saja.
“Oh, sungguh? Padahal aku akan memberikan apapun yang kau minta nantinya. Tapi.. yasudahlah...”
“Kau janji, Ayah?” Pipiku merona senang. Ia menaikkan alis matanya agar terlihat yakin atas ucapannya, ia juga menunjukkan kelingkingnya. Aku tersenyum lebar.
“Aku ingin mati,” ayah terkejut bingung, “Ahahah, tidak... Aku bercanda, Ayah” kulontarkan senyum manisku pada ayah.
Ah, Ayah....
10 Juli
Oh, tidak. Mungkin aku terlalu sehat jika harus mati nanti, gumamku. Apa yang harus aku lakukan? Tanyaku pada diri sendiri sambil memandangi cermin ini berulang-ulang. Kupandangi tubuhku dari atas, mungkin nanti aku akan merindukan wajah manis itu, pikirku meraba cermin. Berat tubuhku juga masih normal, 48 kg untuk anak 16 tahun.
Tadi aku ke kantor ayah. Ayah cuek sekali. Katanya ia sibuk, kenapa sampai tak ada waktu untukku? Aku hanya duduk dikursi tamu menunggui ayah dan ditemani sekretaris Nana, si ‘Nenek Sihir’ tepatnya. Nenek sihir jelek itu sering melontarkan senyuman monyetnya untukku. Aku tahu, itu hanya untuk menarik perhatian ayah semata. Andai saja ayah ditugaskan keluar kota dan tidak mengizinkannya untuk ikut, pasti ia sudah di liang lahat sekarang.
28 Agustus
Cekrek, Bruummmm......
Mobil menyala, aku siap untuk nyalakan gas dan pergi jauh dari rumah. Tapi ayah malah lari dan mengetuk-ngetuk kaca mobil menyuruhku keluar. Merasa tidak enak, aku menyerah dan keluar dari mobil dan PLAAKK!! Ayah terkejut mendengar bantingan pintu mobil 1 M hadiah ulang tahunku dua tahun lalu. Cepat aku memasang muka angkuh tanpa dosa untuk mengalihkan perhatian dihadapan ayah, berharap ayah takkan tahu kalau aku sibuk memikirkan kabar pintu mobil kesayanganku itu. Ayah menahan sembunyikan tawa walaupun tak sepenuhnya berhasil. Ku kernyitkan dahiku sejenak. Kami saling bertatapan dan tertawa lepas. Jujur, aku tak pernah lagi rasakan ini setelah bunda pergi.
Buruknya, nenek sihir itu datang mnghampiri kami, berjalan dengan centilnya. Sungguh membuatku hampir muntah melihatnya.
“Apa yang telah terjadi? Kau baik-baik saja kan, Gia?” Tanyanya membelai rambut hitam panjangku.
“Ah, lepaskan!! Kau perusak nenek sihir jelek!! Dan.. dan kau.. Kau ingin merebut ayah dariku setelah kau bunuh bunda dengan mobil merahmu diseberang jalan sana!!!” Ku tolak sekretaris Nana, ia hampir saja terjatuh oleh highhells-nya yang tipis. Yang benar saja dia mudah berjalan menggunakan itu.
“Gia!! Minta maaf sama sekretaris Nana! Kalau mau bicara itu yang sopan!!” Ayah mulai membentakku keras.
“Oh, jadi gitu? Ayah lebih bela dia daripada aku? Nenek sihir yang bakalan ngegantiin posisi bunda, iya kan?”
“Jaga omonganmu!!” Ayah hendak membaringkan tangannya kewajahku. Ku tatap ayah lekat-lekat, mataku mulai berkaca-kaca.
“Kau akan beranjak 17 tahun, sayang...” Ungkap ayah hati-hati dengan nada lemah sekali. Ayah menurunkan tangannya pelan.
Plak! Aku tersungkur ketanah, sakit sekali.
“Kalau anak bandel itu jangan dibiari dong, pak” timpal nenek sihir jelek itu santai. Plakk!! Ayah menamparnya balik, pipinya merah pucat.
“Aku benci orang dewasa!!” Teriakku serak dan berlari menyalakan mobil.
13 November
Cermin itu bohong padaku, mungkin. Wajahku memucat hampir seperti mayat. Mataku sembam biru dan mengembung. Rahang pipiku tak malu dan mulai menammpakkan diri. Bibirku pecah-pecah kering tak berurus. Begitu juga rambutku, kusam. Dengan tubuh yang berkerut cemburu. Benar, itu yang dikatakan cermin datar kokoh dihadapanku.
Kupangku telapak tanganku pada westafle putih susu bersih tepat dibawah cermin. Kudekatkan wajahku, dan sedikit menunduk. Menghela nafas menjadi kebiasaan burukku sekarang.
“Aku 16 tahun dan tetap begini untuk selamanya, tak ada yang berubah. Aku tak akan dapatkan 17 tahun itu karena aku tak pernah mengharapkannya. Aku benci angka itu. Angka yang mengubah segala dalam hidupku. Aku tak ingin dewasa. Aku merasa nyaman dan bahagia dengan kehidupanku sekarang, aku puas. Aku benci orang dewasa apalagi harus dewasa. Dan ternyata hari itu bangga menyambutku. AKU AKAN MATI.”
28 Februari
Monster itu menghampiriku besok. Ayah membuat acara besar, ia tampak sibuk beberapa kali memeriksa acara itu bersama Nenek sihir. Itu Ulang tahunku, 29 Februari. Aku merasa minder dengan tanggal itu, entah mengapa.
Aku berlari ke toilet untuk kesekian kalinya, aku takut mengingat hari esok. Itu Neraka dunia bagiku. Ayah jahat. Tak pernah mengerti apa yang ku inginkan. Beda jauh sekali dengan bunda yang selalu mengerti aku. Tekadku bulat. Aku tak ingin menghadiri acara itu besok. Akan kupastikan, aku tak akan menginjak 17 tahun. Benar, ini ide cemerlang untukku.
Jari-jariku terasa kaku melanjutkan tulisan terakhirku. Salamku untukmu. Aku akan
Srekk.. halaman kosong. Sreekk.. halaman kosong. Kubuka cepat setiap lembaran dan semua kosong. Aku terus coba ingat apa yang terjadi saat itu. Tapi buntu dan tertahan, air mataku terus berlinang riang. Mataku terpejam lagi, aku takut mengingatnya. Sangat takut bahkan. Tuhan...
“Gia!! Gia!! Gia!!!” suara ayah terdengar jelas ditelingaku. Aku takut ayah tahu aku sembunyi disini. Dan benar, pintu terbuka dan ayah masuk. Aku takut ayah melihatku dibalik meja.
“Giaa.. Keluar sayang, ini Ayah. Apa kau tak rindu sedikitpun pada Ayahmu ini?” Tentu saja aku tertegun mendengarnya. Aku menangis pelan tanpa suara dan tetap sibuk menusukkan ujung pulpen ke kulitku. Tak ada yang berubah. Aku lupa membawa jarum jahit tadi pagi, setidaknya aku sudah mati dari tadi. Aishh, rencanaku gagal spontan tapi masih belum sepenuhnya, pikirku.
“Gia, Ayah sayang banget tau gak sama anak perempuan ayah. Seorang anak yang ayah kenal periang dulunya, tidak seperti sekarang. Kau tak perlu takut akan tante Nana, dia hanya sekretaris ayah saja. Tak akan ada yang bisa menggantikan bunda untukmu. Kau dengar itu kan? Nah, apa salahnya jika ayah merayakan kedewasaan anak kesayangnnya?”
“Maaf, Ayah. Aku tau kalau Ayah gak sesayang itu sama aku..” ungkapku lusuh memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian.
“Aku benci 17 tahun, Ayah” Alis mata sebelah kirinya naik sedikit lebih tinggi dari yang kanan. Kelihatan ia ingin membuka suara.
“Aku benci orang dewasa, termasuk Ayah. Ayah yang tak pernah tahu itu keluarga. Tak peduli kematian Bunda oleh nenek sihir kesayangan Ayah. Ayah lebih mentingin uang daripada aku, bahkan mengambil raporku saja enggan.” Aku terus berjalan mendekati ayah, tubuhku terasa bergetar hebat. Keringat dingin mengucur ditubuhku. Aku gugup.
“Sudah kukatakan kan, Ayah? Aku ingin mati hari ini,” suaraku serak lemah hampir tak terdengar lagi. Wajahku mulai memucat pasi.
“Semua orang menunggumu disana, 2 tahun sudah aku kumpulkan uang untuk acara megah ini, tapi kau...” Plakk!!! Apa? Ayah menamparku? Ini sungguh terjadi? Aku terjatuh, kulihat ujung mata pulpen yang terus ku genggam tadi. Tajam mataku melirik ke arah ayah.
Dan..
Darah segar itu mengucur menggenangi seluruh kakiku dilantai. Membasah hangat dan berbau khas menyapa kulitku dan merambat masuk kedalamnya untuk diserap. Tubuh lusuh itu sudah kosong.Ia tersungkur dan sempat terantuk kesudut ruangan gelap itu. Terbentur keras. Bukan aku, Ayah. Aku terus berdesis. Aku takut. Aku harus bagaimana? Memikirkan ayah dan tamu pesta rusuh itu. Ku lepas dan membuang kasar pulpen yang kupegang tadi, ujungnya juga sudah menjadi darah. Jatuhnya menabrak mata kanan yang terus alirkan darah. Kurasa aku sudah gila saat itu. Ku acaki rambut hitam panjangku. Tangisku tak dapat keluarkan suara lagi.
Bukan...bukan...bukan....

Dritt… Drittt..
Engsel pintu terasa derit berbisik. Angin tak lelah tabrakan tubuhnya di hadapan pintu tua jelek itu. Ia terlihat kusam berwarna coklat tua kesukaan ayah. Jika ayah tahu pasti ia akan sangat sedih. Pohon besar disudut kiri sana juga telah benar-benar dewasa. Bergizi baik, rimbun, hijau, bahkan sangat segar. Tapi sayang, tak adalagi yang mengurusnya. Ah, andai saja ayah disini sekarang.
Tangan mungilku yang sudah remaja sekarang erat ku genggam pagar besi tua yang sudah berkarat di hadapanku. Terasa kasar. Aku mulai panik, kalang kabut. Sedikit ku condongkan tubuhku ke halaman rumah tua ini. Bibirku terkatup rapat, dengan sedikit menggigit bibir bagian bawahnya. Aku coba menahan mendung di sudut mataku. Mata bulat beningku mulai semakin bening berkaca. Kutatap lekat-lekat rumah tua itu sekarang. Pelan sekali, kakiku mulai melangkah lembut, cepat, cepat sekali, dan semakin cepat. Terkadang akan hampir terjatuh, tak kupedulikan. Bola mata kecil ini masih tertuju pada rumah tua sana.
“Ayah... ayah...,” desisku sesaat. Aku terus berlari dan berlari hingga ujung jariku menyentuh ujung pintu, telapak tangan dan ku genggam akhirnya. Kosong, debu, gelap, itu yang kulihat.
“Hosh hosh hosh” aku terengah. Kepalaku sibuk putar menerawang seluruh isi ruangan. Tak ada apapun disana. Hanya lantai kotor dan dinding rapuh tempat laba-laba memulai rumah tangganya untuk bersarang setelah lima tahun lalu. Mereka turut kujadikan saksi bisu atas buku itu. Sigap mataku tertuju pada buku kusam bersampul coklat yang sedari tadi sendiri disudut ruangan tanpa ramah menyapa.
Lama sekali kupandang buku itu tanpa menghampiri dan menyentuhnya. Mataku mulai kabur, dadaku terasa sesak. Cepat ku atur nafas untuk menahan diri. Jangan menangis, Gia. Aku ingat kata ayah. Maaf, Ayah. Aku berlutut. Ku antukkan kepalaku kelantai dengan keras. Air mataku jatuh bebas menyelinap dibalik kelopak mataku. Setetes demi setetes menyentuh lantai, ia basah. Mulutku mulai tak karuan. Sakit sekali rasanya jika harus menahan tangis ini lagi.
“Aaaaaaaaaa...!!!!!!!! Kau bodoh, Gia!!” Teriakku sekuat mungkin. Aku terus menangis dan semakin keras. Terkadang sedikit tersedak. Mengetuk-ngetuk tanganku pada lantai itu. Aku mengalah, kudekati buku kusam itu. Sampulnya mulai rapuh dan sobek. Ia juga tak harum layaknya dulu, ku dekap erat dan terasa ringan dari sebelumnya. Atau aku yang merasa asing sajakah? Hangat sekali. Kupejamkan mataku dan kusandarkan tubuhku ke dinding berwarna oranye itu hingga mulai terduduk. Aku sedikit menegadah ke atap dengan kutekuk lutut kakiku dan memeluk erat buku itu di dadaku tanpa melepas apalagi sampai membuka tiap lembarannya. Mulai menenangkan pikiran sejenak. Tenang. Entah apa yang mempengaruhiku dalam ruangan hampa bergema ini. Mungkin saja buku yang kupeluk memiliki satu mantera aneh yang membuatku tenang? Entahlah.
3 Mei
“Apa yang ingin kau dapatkan nanti dihari ulang tahunmu?” Ia menanyaiku.
“Tidak ada,” jawabku singkat.
Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum simpul dan menganggukan kepalanya pelan. Sial, terlihat meremehkanku saja.
“Oh, sungguh? Padahal aku akan memberikan apapun yang kau minta nantinya. Tapi.. yasudahlah...”
“Kau janji, Ayah?” Pipiku merona senang. Ia menaikkan alis matanya agar terlihat yakin atas ucapannya, ia juga menunjukkan kelingkingnya. Aku tersenyum lebar.
“Aku ingin mati,” ayah terkejut bingung, “Ahahah, tidak... Aku bercanda, Ayah” kulontarkan senyum manisku pada ayah.
Ah, Ayah....
10 Juli
Oh, tidak. Mungkin aku terlalu sehat jika harus mati nanti, gumamku. Apa yang harus aku lakukan? Tanyaku pada diri sendiri sambil memandangi cermin ini berulang-ulang. Kupandangi tubuhku dari atas, mungkin nanti aku akan merindukan wajah manis itu, pikirku meraba cermin. Berat tubuhku juga masih normal, 48 kg untuk anak 16 tahun.
Tadi aku ke kantor ayah. Ayah cuek sekali. Katanya ia sibuk, kenapa sampai tak ada waktu untukku? Aku hanya duduk dikursi tamu menunggui ayah dan ditemani sekretaris Nana, si ‘Nenek Sihir’ tepatnya. Nenek sihir jelek itu sering melontarkan senyuman monyetnya untukku. Aku tahu, itu hanya untuk menarik perhatian ayah semata. Andai saja ayah ditugaskan keluar kota dan tidak mengizinkannya untuk ikut, pasti ia sudah di liang lahat sekarang.
28 Agustus
Cekrek, Bruummmm......
Mobil menyala, aku siap untuk nyalakan gas dan pergi jauh dari rumah. Tapi ayah malah lari dan mengetuk-ngetuk kaca mobil menyuruhku keluar. Merasa tidak enak, aku menyerah dan keluar dari mobil dan PLAAKK!! Ayah terkejut mendengar bantingan pintu mobil 1 M hadiah ulang tahunku dua tahun lalu. Cepat aku memasang muka angkuh tanpa dosa untuk mengalihkan perhatian dihadapan ayah, berharap ayah takkan tahu kalau aku sibuk memikirkan kabar pintu mobil kesayanganku itu. Ayah menahan sembunyikan tawa walaupun tak sepenuhnya berhasil. Ku kernyitkan dahiku sejenak. Kami saling bertatapan dan tertawa lepas. Jujur, aku tak pernah lagi rasakan ini setelah bunda pergi.
Buruknya, nenek sihir itu datang mnghampiri kami, berjalan dengan centilnya. Sungguh membuatku hampir muntah melihatnya.
“Apa yang telah terjadi? Kau baik-baik saja kan, Gia?” Tanyanya membelai rambut hitam panjangku.
“Ah, lepaskan!! Kau perusak nenek sihir jelek!! Dan.. dan kau.. Kau ingin merebut ayah dariku setelah kau bunuh bunda dengan mobil merahmu diseberang jalan sana!!!” Ku tolak sekretaris Nana, ia hampir saja terjatuh oleh highhells-nya yang tipis. Yang benar saja dia mudah berjalan menggunakan itu.
“Gia!! Minta maaf sama sekretaris Nana! Kalau mau bicara itu yang sopan!!” Ayah mulai membentakku keras.
“Oh, jadi gitu? Ayah lebih bela dia daripada aku? Nenek sihir yang bakalan ngegantiin posisi bunda, iya kan?”
“Jaga omonganmu!!” Ayah hendak membaringkan tangannya kewajahku. Ku tatap ayah lekat-lekat, mataku mulai berkaca-kaca.
“Kau akan beranjak 17 tahun, sayang...” Ungkap ayah hati-hati dengan nada lemah sekali. Ayah menurunkan tangannya pelan.
Plak! Aku tersungkur ketanah, sakit sekali.
“Kalau anak bandel itu jangan dibiari dong, pak” timpal nenek sihir jelek itu santai. Plakk!! Ayah menamparnya balik, pipinya merah pucat.
“Aku benci orang dewasa!!” Teriakku serak dan berlari menyalakan mobil.
13 November
Cermin itu bohong padaku, mungkin. Wajahku memucat hampir seperti mayat. Mataku sembam biru dan mengembung. Rahang pipiku tak malu dan mulai menammpakkan diri. Bibirku pecah-pecah kering tak berurus. Begitu juga rambutku, kusam. Dengan tubuh yang berkerut cemburu. Benar, itu yang dikatakan cermin datar kokoh dihadapanku.
Kupangku telapak tanganku pada westafle putih susu bersih tepat dibawah cermin. Kudekatkan wajahku, dan sedikit menunduk. Menghela nafas menjadi kebiasaan burukku sekarang.
“Aku 16 tahun dan tetap begini untuk selamanya, tak ada yang berubah. Aku tak akan dapatkan 17 tahun itu karena aku tak pernah mengharapkannya. Aku benci angka itu. Angka yang mengubah segala dalam hidupku. Aku tak ingin dewasa. Aku merasa nyaman dan bahagia dengan kehidupanku sekarang, aku puas. Aku benci orang dewasa apalagi harus dewasa. Dan ternyata hari itu bangga menyambutku. AKU AKAN MATI.”
28 Februari
Monster itu menghampiriku besok. Ayah membuat acara besar, ia tampak sibuk beberapa kali memeriksa acara itu bersama Nenek sihir. Itu Ulang tahunku, 29 Februari. Aku merasa minder dengan tanggal itu, entah mengapa.
Aku berlari ke toilet untuk kesekian kalinya, aku takut mengingat hari esok. Itu Neraka dunia bagiku. Ayah jahat. Tak pernah mengerti apa yang ku inginkan. Beda jauh sekali dengan bunda yang selalu mengerti aku. Tekadku bulat. Aku tak ingin menghadiri acara itu besok. Akan kupastikan, aku tak akan menginjak 17 tahun. Benar, ini ide cemerlang untukku.
Jari-jariku terasa kaku melanjutkan tulisan terakhirku. Salamku untukmu. Aku akan
Srekk.. halaman kosong. Sreekk.. halaman kosong. Kubuka cepat setiap lembaran dan semua kosong. Aku terus coba ingat apa yang terjadi saat itu. Tapi buntu dan tertahan, air mataku terus berlinang riang. Mataku terpejam lagi, aku takut mengingatnya. Sangat takut bahkan. Tuhan...
“Gia!! Gia!! Gia!!!” suara ayah terdengar jelas ditelingaku. Aku takut ayah tahu aku sembunyi disini. Dan benar, pintu terbuka dan ayah masuk. Aku takut ayah melihatku dibalik meja.
“Giaa.. Keluar sayang, ini Ayah. Apa kau tak rindu sedikitpun pada Ayahmu ini?” Tentu saja aku tertegun mendengarnya. Aku menangis pelan tanpa suara dan tetap sibuk menusukkan ujung pulpen ke kulitku. Tak ada yang berubah. Aku lupa membawa jarum jahit tadi pagi, setidaknya aku sudah mati dari tadi. Aishh, rencanaku gagal spontan tapi masih belum sepenuhnya, pikirku.
“Gia, Ayah sayang banget tau gak sama anak perempuan ayah. Seorang anak yang ayah kenal periang dulunya, tidak seperti sekarang. Kau tak perlu takut akan tante Nana, dia hanya sekretaris ayah saja. Tak akan ada yang bisa menggantikan bunda untukmu. Kau dengar itu kan? Nah, apa salahnya jika ayah merayakan kedewasaan anak kesayangnnya?”
“Maaf, Ayah. Aku tau kalau Ayah gak sesayang itu sama aku..” ungkapku lusuh memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian.
“Aku benci 17 tahun, Ayah” Alis mata sebelah kirinya naik sedikit lebih tinggi dari yang kanan. Kelihatan ia ingin membuka suara.
“Aku benci orang dewasa, termasuk Ayah. Ayah yang tak pernah tahu itu keluarga. Tak peduli kematian Bunda oleh nenek sihir kesayangan Ayah. Ayah lebih mentingin uang daripada aku, bahkan mengambil raporku saja enggan.” Aku terus berjalan mendekati ayah, tubuhku terasa bergetar hebat. Keringat dingin mengucur ditubuhku. Aku gugup.
“Sudah kukatakan kan, Ayah? Aku ingin mati hari ini,” suaraku serak lemah hampir tak terdengar lagi. Wajahku mulai memucat pasi.
“Semua orang menunggumu disana, 2 tahun sudah aku kumpulkan uang untuk acara megah ini, tapi kau...” Plakk!!! Apa? Ayah menamparku? Ini sungguh terjadi? Aku terjatuh, kulihat ujung mata pulpen yang terus ku genggam tadi. Tajam mataku melirik ke arah ayah.
Dan..
Darah segar itu mengucur menggenangi seluruh kakiku dilantai. Membasah hangat dan berbau khas menyapa kulitku dan merambat masuk kedalamnya untuk diserap. Tubuh lusuh itu sudah kosong.Ia tersungkur dan sempat terantuk kesudut ruangan gelap itu. Terbentur keras. Bukan aku, Ayah. Aku terus berdesis. Aku takut. Aku harus bagaimana? Memikirkan ayah dan tamu pesta rusuh itu. Ku lepas dan membuang kasar pulpen yang kupegang tadi, ujungnya juga sudah menjadi darah. Jatuhnya menabrak mata kanan yang terus alirkan darah. Kurasa aku sudah gila saat itu. Ku acaki rambut hitam panjangku. Tangisku tak dapat keluarkan suara lagi.
Bukan...bukan...bukan....
Polling
0 suara
is this interesting?


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan