- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Menunggu Marni Di Seberang Telfon (NGAKAK YUK)
TS
notedcupu
Menunggu Marni Di Seberang Telfon (NGAKAK YUK)
selamat MALAM AGAN-AGAN DAN AGANWATI... SAMBIL BEGADANG, NIH NACA NOTEDCUPI EDISI MINGGU INI. [removed]void(0);
“Beberapa bulan lagi, aku susul kamu di Surabaya ya, Mas Cup,” kata Marni, di blackberry messenger-gue.
Mendengar dia berkata seperti itu, gue seneng banget. Di dalam mobil trevel itu, hati gue bergelinjang, senyum gue merona merah seperti abis kena facial. Setelah bertahun-tahun gue mengalami dehidrasi asmara, baru pertama kali ini, gue balik ke Surabaya ada yang mau nyusul, apa lagi yang mau nyusul cewek! Uh, belum sempet gue balas, dia pun bbm lagi, “Kamu, hati-hati di jalan ya, Jangan mabuk, lho.”
Ah, gue jadi banyak berharap, Oh Tuhan, inikah calon gebetan gue yang engkau kirimkan. Gue pun memicingkan mata, agak setengah enggak percaya juga, gue menerima bbm seperti itu dari Marni. Astaga, Lega juga ada yang merhati’in gitu. Gue pun, merespon perhatianyya dengan mengikatkan jaket gue ke leher, supaya angin dari luar, enggak masuk ke rongga telinga gue. Dengan muka yang masih berseri-seri, gue pun semakin semangat untuk membalasnya, “Ehm… kalo bisa, cepet kuliah di Surabaya ya, Mar, awas kalo bohong! Ini aku udah pakai jaket, enggak bakal mabuk kok,” balas gue.
Sudah begitu lama hati gue gersang, lama menjomblo garing juga rasanya. Makanya, begitu Marni bilang gitu, hati gue merasa dingin seperti di siram air kobokan. Hati gue kini perlahan-lahan sudah mulai berfungsi, inikah secercah oase di padang pasir…. Marni… Oh Marni.
Gue membenamkan diri ke jok mobil, mencoba sejenak merayakan moment indah ini, sambil mendengarkan alunan bunyi klakson mobil yang sumbang. Enggak beberapa lama, lalu pak sopir itu tiba-tiba menggeser frekuensi Radioanya, pas kebetulan banget, mucul lagunya Sheila On 7 yang, “Jadikan Aku Pacarmu”.
Di dalam mobil itu, gue duduk di pinggir pintu masuk, kepala gue sandarkan ke kaca, lalu pandangan gue terlempar ke luar. Di sepanjang jalan, gue melihat beberapa janur kuning yang melambai-lambai. Iyap, gue bilang dalam hati, Jadikanlah Aku Pacarmu… Marni. Mungkin hari ini, hari yang menyenangkan bagi gue. Penuh dengan kejadian yang memukau.
Dari hati yang paling dalam, gue mencoba menikmati rentetan memoment yang begitu penuh kebetulan. Lalu gue pun menikmati jalanan menuju ibu kota, Surabaya. Mobil pun… berlari menuju ke kejauhan.
*****
Beberapa waktu kemudian, Marni masih memiliki perhatian yang sama ketika gue memasuki semester empat. Waktu itu, gue mencalonkan sebagai ketua himpunan yang ada di kampus. Iyap, ketua himpunan mahasiswa jurusan D3 STIESIA, Surabaya. Proses pemilihuan ketua itu cukup untuk menguras energy serta menambah kesibukan. Mungkin, Marni panic karena gue (calon gebetannya <- PD banget!) akan mengorbankan beberapa jadwal kuliah.
Suatu hari, seminggu sebelum pencoblosan. Jadwal kampanye memang lagi padat-padatnya. Gue harus berorasi dari satu jurusan ke jurusan yang lain, sambil membawa bendera Slank. Belum lagi harus menghadiri debat kandidat antar calon. Dan jadwal ini itu, yang masih se-abrek. Siang itu juga, sehabis gue turun dari podium selepas berorasi di tenga-tengah simpatisan, Marni pun memperhatikan gue. Sebentar-sebentar dia telfon.
“Kamu, enggak ke capek’an kan?” tanya, Marni di seberang telfon.
“Enggak,” Jawab gue, sambil mengelap keringat yang bercucuran aibat demam panggung. Gue melangkah ke toilet, lalu buang kencing di atas jamban. Hinga timbulah bunyi… air yang tumpah: Biyorr.. krocok-krocok! (jadi mirip bunyi perut kelaperan).
“Tadi gimana Mas Cup, lancar, orasinya?”
“Iya, lancar, tadi turun podium langsung di lemparin tomat!”
Marni pun ketawa kencang, “HAHAHHAHA’’
“ASEM! Udah diem,” jawab gue, lalu meninggalkan toilet tersebut, “Duh pesing amat nih WC!”
“Tuh, kan beneran di lemparin tomat tadi!... hehhee” Ledeknya, sambil ketawa kecil.
Entah kenapa, di tengah-tengah gue merasakan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya, gue malah berfikiran kalau sebenarnya ini adalah kegiatan yang menunjukkan perbedaan kasta antara masa SMA gue dulu, dengan gue yang sekarang. Begitu gue duduk di lorong kampus itu, pikiran gue menerawang jauh: Marni sekarang masih SMA, dulu gue juga pernah SMA. Dulu juga gue waktu sekolah SMA, gue enggak pernah serius dan niat buat belajar di sekolah. Bandel memang. Di ruang kelas, bangku sekolah hanya gue gunakan tempat untuk nongkrong lalu becanda dengan teman-teman sampai jam pulang tiba.
Santai, enggak ada beban sama sekali. Begitu merdeka, nyet. Di pikiran gue, belum mikir apa-apa sama sekali. Sungguh. Sekarang kebiasaan itu telah lama pergi, sementara gue mengalamin perubahan yang serius sekali. Perubahan itu, sejak gue mulai masuk kuliah. Apakah gue menyesal? Iya, harusya dulu gue bisa jadi anak didik yang santai, tapi bisa juga jadi anak yang serius. Harusnya gue sadar diri untuk mempersiapkan masa depan gue, harusnya di cicil sejak sedini mungkin.
Selanjutnya, siang itu, gue masih ngobrol santai dengan Marni lewat deringan telfon.
“Mar! Hallo…?”
“Hem…mmm, Uh… Sebel aku,” Marni sewot, “Orang di telfunin, malah aku di diemin! JAHAT!”
“Tadi gue ngelamun, Cuy,’ gue mencoba mencairkan suasna, ”Maaf hehehe, Eh.. ngomong-ngomong, emang nama aslimu Marni, gitu?”
“Mau tau aja, apa mau tau banget?” Jawab Marni, seperti anak salah bergaul.
“Gue, serius nanya, inih!”
“Nama lengkapku itu yang resmi, Aldine Paramita Sumarni, terus Sumarni itu nama belakang nyokap gue, gitu Cupu! Emang kenapa, Mas Cupppu?” Marni balik tanya.
“Oh gitu ceritanya, Masak anak gaul di panggil Marni? Kayak enggak ada nama lain aja yang cocok! Gue panggil lo, Aldine aja ya, atau Dine…. Saurus, hahhaa !” gue ketawa kenceng.
“Huhhhhh… Nyebelin banget jadi cowok, bentar gue piker-pikir dulu,” Terdengar dehaman napas, lalu menyembul suara kenceng lewat telfon, “OKE! BOLEHHH-BOLEHHH!”
“asyik! Hahahah!” balas gue.
Selanjutnya, selama seminggu gue enggak menghubungi Dine sama sekali. Sampai akhirnya, malah Dine yang balik menghubungi gue, dia telfon, pasti enggak gue angkat. Sms-nya maupun bbm-nya udah numpuk se-abrek seperti hati yang di penuhin kenangan-kenangan dengan mantan. Tak terjamah sama sekali. Sengaja enggak gue balas. Enggak tega aja, sebenernya lihat sesosok mahkluk unyu merintih di tengah kesepian. Lewat kesepian ini, kita bisa belajar apa arti kebersamaan. Yang jelas, ini gue lakuin biar dia kangen banget sama gue.
` Ahay! Dan gue tahu, enggak ada kabar sehari aja gue di cari’in, apa lagi seminggu?. Nah, akhinrya, jurus ampuh ini berkahir, malam itu di kamar mungil ini, genap tujuh hari gue enggak dengerin suaranya, ah jadi ikutan kangen. Untuk memberi kejutan, malam itu gue langsung aja telfon dia….
“Helo, ini Dine, ya?”
“Iya, ini siapa?”
“HAH?” Gue kaget, ‘Kamu, udah lupa sama aku?’’ tanya gue, sambil meletakkan hp di depan mulut.
‘’Kamu tuh, yang lupain aku, kemana aja seminggu enggak ada kabar, Mas?” tanyanya, balik!.
Dengan penuh rasa haru, gue jelasin panjang ke dia. “Sengaja sih, aku enggak hubungi kamu, telfonmu juga aku abaikan, apa lagi sms dan bbm-mu. Itu gue lakuin, cuman satu tujuanya….. “Gue berheti ngomong sejenak, lalu memeluk guling, ‘’Biar lo, kangen aja sama gue. Biar kangenya numpuk,” jawab gue, mantap.
“Uh…!’’ Dine, Geram. Mungkin di seberang telfon sana, bibirnya yang tipis sedang meruncing. Astga. Lalu dia menyembul lagi di balik telfon, “Kalo gue di deketmu sekarang, tak tinju lenganmu, ih... nyebelin banget kamu itu, Mas!’ jawabnya, agak manja.
Gue menantang balik, “Ah… tinju aja kalo bisa, ntar biar aku raba bekasnya deh!
Asyik, nyet! Santai sekali. Lalu kita melepas rasa kangen, sampai waktu pun telah larut malam. Gue ceritain seminggu itu gue ngapain aja, dia kaget saat gue bilang, aku sekarang resmi jadi ketua himpunan mahasiswa D3, lalu dia memberikan ucapan penghargaan kepada gue, “Selamat ya, Mas, semoga jadi suri tauladan bagi adik-adikmu di jurusan,” ucapnya, resmi.
Malam yang sempurna. Saking ke asyikan telfon, kita pun jadi lupa waktu. Nyamuk yang berterbangan, bahkan sampek menggigit dipenjuru kaki, enggak gue hiarukan. Memang, kalo manusia sedang di tarjangkit asmara. Dunia terasa milik berdua. Nyamuk pun di anggap hewan mati. Obrolan kita pun telah jauh menerobos lintasan waktu. Sampai pada akhirnya, paginya gue menemukan telfon yang masih tersambung. Ujung-ujungnya setelah gue matiin, lalu pencet *888# Asem pulsaku entek!
MAKASIH AGAN.... AGAN YANG UDAH BACA, SAMPAI SEJAUH INI.
SELENGKAPNYA BACA DISINI GAN---> http://boediinstitute.wordpress.com/...berang-telfon/
Temuin, gue disini: Gue sering share #notedcupu di twiiter. Keep stalking.
Twitter: Boedi.S. Totoraharjo @NotedCupu https://twitter.com/NotedCupu
Facebook: Budi Santoso Totoraharjo https://www.facebook.com/budi.sheilaon
MY BLOGG NOTEDCUPU: http://boediinstitute.wordpress.com
“Beberapa bulan lagi, aku susul kamu di Surabaya ya, Mas Cup,” kata Marni, di blackberry messenger-gue.
Mendengar dia berkata seperti itu, gue seneng banget. Di dalam mobil trevel itu, hati gue bergelinjang, senyum gue merona merah seperti abis kena facial. Setelah bertahun-tahun gue mengalami dehidrasi asmara, baru pertama kali ini, gue balik ke Surabaya ada yang mau nyusul, apa lagi yang mau nyusul cewek! Uh, belum sempet gue balas, dia pun bbm lagi, “Kamu, hati-hati di jalan ya, Jangan mabuk, lho.”
Ah, gue jadi banyak berharap, Oh Tuhan, inikah calon gebetan gue yang engkau kirimkan. Gue pun memicingkan mata, agak setengah enggak percaya juga, gue menerima bbm seperti itu dari Marni. Astaga, Lega juga ada yang merhati’in gitu. Gue pun, merespon perhatianyya dengan mengikatkan jaket gue ke leher, supaya angin dari luar, enggak masuk ke rongga telinga gue. Dengan muka yang masih berseri-seri, gue pun semakin semangat untuk membalasnya, “Ehm… kalo bisa, cepet kuliah di Surabaya ya, Mar, awas kalo bohong! Ini aku udah pakai jaket, enggak bakal mabuk kok,” balas gue.
Sudah begitu lama hati gue gersang, lama menjomblo garing juga rasanya. Makanya, begitu Marni bilang gitu, hati gue merasa dingin seperti di siram air kobokan. Hati gue kini perlahan-lahan sudah mulai berfungsi, inikah secercah oase di padang pasir…. Marni… Oh Marni.
Gue membenamkan diri ke jok mobil, mencoba sejenak merayakan moment indah ini, sambil mendengarkan alunan bunyi klakson mobil yang sumbang. Enggak beberapa lama, lalu pak sopir itu tiba-tiba menggeser frekuensi Radioanya, pas kebetulan banget, mucul lagunya Sheila On 7 yang, “Jadikan Aku Pacarmu”.
Di dalam mobil itu, gue duduk di pinggir pintu masuk, kepala gue sandarkan ke kaca, lalu pandangan gue terlempar ke luar. Di sepanjang jalan, gue melihat beberapa janur kuning yang melambai-lambai. Iyap, gue bilang dalam hati, Jadikanlah Aku Pacarmu… Marni. Mungkin hari ini, hari yang menyenangkan bagi gue. Penuh dengan kejadian yang memukau.
Dari hati yang paling dalam, gue mencoba menikmati rentetan memoment yang begitu penuh kebetulan. Lalu gue pun menikmati jalanan menuju ibu kota, Surabaya. Mobil pun… berlari menuju ke kejauhan.
*****
Beberapa waktu kemudian, Marni masih memiliki perhatian yang sama ketika gue memasuki semester empat. Waktu itu, gue mencalonkan sebagai ketua himpunan yang ada di kampus. Iyap, ketua himpunan mahasiswa jurusan D3 STIESIA, Surabaya. Proses pemilihuan ketua itu cukup untuk menguras energy serta menambah kesibukan. Mungkin, Marni panic karena gue (calon gebetannya <- PD banget!) akan mengorbankan beberapa jadwal kuliah.
Suatu hari, seminggu sebelum pencoblosan. Jadwal kampanye memang lagi padat-padatnya. Gue harus berorasi dari satu jurusan ke jurusan yang lain, sambil membawa bendera Slank. Belum lagi harus menghadiri debat kandidat antar calon. Dan jadwal ini itu, yang masih se-abrek. Siang itu juga, sehabis gue turun dari podium selepas berorasi di tenga-tengah simpatisan, Marni pun memperhatikan gue. Sebentar-sebentar dia telfon.
“Kamu, enggak ke capek’an kan?” tanya, Marni di seberang telfon.
“Enggak,” Jawab gue, sambil mengelap keringat yang bercucuran aibat demam panggung. Gue melangkah ke toilet, lalu buang kencing di atas jamban. Hinga timbulah bunyi… air yang tumpah: Biyorr.. krocok-krocok! (jadi mirip bunyi perut kelaperan).
“Tadi gimana Mas Cup, lancar, orasinya?”
“Iya, lancar, tadi turun podium langsung di lemparin tomat!”
Marni pun ketawa kencang, “HAHAHHAHA’’
“ASEM! Udah diem,” jawab gue, lalu meninggalkan toilet tersebut, “Duh pesing amat nih WC!”
“Tuh, kan beneran di lemparin tomat tadi!... hehhee” Ledeknya, sambil ketawa kecil.
Entah kenapa, di tengah-tengah gue merasakan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya, gue malah berfikiran kalau sebenarnya ini adalah kegiatan yang menunjukkan perbedaan kasta antara masa SMA gue dulu, dengan gue yang sekarang. Begitu gue duduk di lorong kampus itu, pikiran gue menerawang jauh: Marni sekarang masih SMA, dulu gue juga pernah SMA. Dulu juga gue waktu sekolah SMA, gue enggak pernah serius dan niat buat belajar di sekolah. Bandel memang. Di ruang kelas, bangku sekolah hanya gue gunakan tempat untuk nongkrong lalu becanda dengan teman-teman sampai jam pulang tiba.
Santai, enggak ada beban sama sekali. Begitu merdeka, nyet. Di pikiran gue, belum mikir apa-apa sama sekali. Sungguh. Sekarang kebiasaan itu telah lama pergi, sementara gue mengalamin perubahan yang serius sekali. Perubahan itu, sejak gue mulai masuk kuliah. Apakah gue menyesal? Iya, harusya dulu gue bisa jadi anak didik yang santai, tapi bisa juga jadi anak yang serius. Harusnya gue sadar diri untuk mempersiapkan masa depan gue, harusnya di cicil sejak sedini mungkin.
Selanjutnya, siang itu, gue masih ngobrol santai dengan Marni lewat deringan telfon.
“Mar! Hallo…?”
“Hem…mmm, Uh… Sebel aku,” Marni sewot, “Orang di telfunin, malah aku di diemin! JAHAT!”
“Tadi gue ngelamun, Cuy,’ gue mencoba mencairkan suasna, ”Maaf hehehe, Eh.. ngomong-ngomong, emang nama aslimu Marni, gitu?”
“Mau tau aja, apa mau tau banget?” Jawab Marni, seperti anak salah bergaul.
“Gue, serius nanya, inih!”
“Nama lengkapku itu yang resmi, Aldine Paramita Sumarni, terus Sumarni itu nama belakang nyokap gue, gitu Cupu! Emang kenapa, Mas Cupppu?” Marni balik tanya.
“Oh gitu ceritanya, Masak anak gaul di panggil Marni? Kayak enggak ada nama lain aja yang cocok! Gue panggil lo, Aldine aja ya, atau Dine…. Saurus, hahhaa !” gue ketawa kenceng.
“Huhhhhh… Nyebelin banget jadi cowok, bentar gue piker-pikir dulu,” Terdengar dehaman napas, lalu menyembul suara kenceng lewat telfon, “OKE! BOLEHHH-BOLEHHH!”
“asyik! Hahahah!” balas gue.
Selanjutnya, selama seminggu gue enggak menghubungi Dine sama sekali. Sampai akhirnya, malah Dine yang balik menghubungi gue, dia telfon, pasti enggak gue angkat. Sms-nya maupun bbm-nya udah numpuk se-abrek seperti hati yang di penuhin kenangan-kenangan dengan mantan. Tak terjamah sama sekali. Sengaja enggak gue balas. Enggak tega aja, sebenernya lihat sesosok mahkluk unyu merintih di tengah kesepian. Lewat kesepian ini, kita bisa belajar apa arti kebersamaan. Yang jelas, ini gue lakuin biar dia kangen banget sama gue.
` Ahay! Dan gue tahu, enggak ada kabar sehari aja gue di cari’in, apa lagi seminggu?. Nah, akhinrya, jurus ampuh ini berkahir, malam itu di kamar mungil ini, genap tujuh hari gue enggak dengerin suaranya, ah jadi ikutan kangen. Untuk memberi kejutan, malam itu gue langsung aja telfon dia….
“Helo, ini Dine, ya?”
“Iya, ini siapa?”
“HAH?” Gue kaget, ‘Kamu, udah lupa sama aku?’’ tanya gue, sambil meletakkan hp di depan mulut.
‘’Kamu tuh, yang lupain aku, kemana aja seminggu enggak ada kabar, Mas?” tanyanya, balik!.
Dengan penuh rasa haru, gue jelasin panjang ke dia. “Sengaja sih, aku enggak hubungi kamu, telfonmu juga aku abaikan, apa lagi sms dan bbm-mu. Itu gue lakuin, cuman satu tujuanya….. “Gue berheti ngomong sejenak, lalu memeluk guling, ‘’Biar lo, kangen aja sama gue. Biar kangenya numpuk,” jawab gue, mantap.
“Uh…!’’ Dine, Geram. Mungkin di seberang telfon sana, bibirnya yang tipis sedang meruncing. Astga. Lalu dia menyembul lagi di balik telfon, “Kalo gue di deketmu sekarang, tak tinju lenganmu, ih... nyebelin banget kamu itu, Mas!’ jawabnya, agak manja.
Gue menantang balik, “Ah… tinju aja kalo bisa, ntar biar aku raba bekasnya deh!
Asyik, nyet! Santai sekali. Lalu kita melepas rasa kangen, sampai waktu pun telah larut malam. Gue ceritain seminggu itu gue ngapain aja, dia kaget saat gue bilang, aku sekarang resmi jadi ketua himpunan mahasiswa D3, lalu dia memberikan ucapan penghargaan kepada gue, “Selamat ya, Mas, semoga jadi suri tauladan bagi adik-adikmu di jurusan,” ucapnya, resmi.
Malam yang sempurna. Saking ke asyikan telfon, kita pun jadi lupa waktu. Nyamuk yang berterbangan, bahkan sampek menggigit dipenjuru kaki, enggak gue hiarukan. Memang, kalo manusia sedang di tarjangkit asmara. Dunia terasa milik berdua. Nyamuk pun di anggap hewan mati. Obrolan kita pun telah jauh menerobos lintasan waktu. Sampai pada akhirnya, paginya gue menemukan telfon yang masih tersambung. Ujung-ujungnya setelah gue matiin, lalu pencet *888# Asem pulsaku entek!
MAKASIH AGAN.... AGAN YANG UDAH BACA, SAMPAI SEJAUH INI.
SELENGKAPNYA BACA DISINI GAN---> http://boediinstitute.wordpress.com/...berang-telfon/
Temuin, gue disini: Gue sering share #notedcupu di twiiter. Keep stalking.
Twitter: Boedi.S. Totoraharjo @NotedCupu https://twitter.com/NotedCupu
Facebook: Budi Santoso Totoraharjo https://www.facebook.com/budi.sheilaon
MY BLOGG NOTEDCUPU: http://boediinstitute.wordpress.com
0
2.6K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan