- Beranda
- Komunitas
- Debate Club
[Clean]Logical Question, Not Emotional. Pilih Kesatuan Atau Federasi?
TS
qualitydebate
[Clean]Logical Question, Not Emotional. Pilih Kesatuan Atau Federasi?
Quote:
Note : Tolong disikapi dengan bijak dengan kepala dingin dan tidak emosional. Karena disini TS mencari pencerahan bukan cari musuh. Ane juga minta maaf menggunakan id klonengan, demi menghindari nama baik id asli ane.
Siang gan. Ane mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik di salah satu universitas di bandung. Ane mau tanya pendapat dan sedikit share tentang konsep kenegaraan mengenai sistem kesatuan dan federal. Dengan mengambil contoh kasus negara tercinta kita sendiri. Indonesia
intro :
Quote:
Otonomi Daerah Versus Negara Federal
(Tulisan ini adalah catatan hasil diskusi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unhas Cabang Makassar Timur)
Indonesia, jika dilihat dari basic historinya, telah mendeklarasikan diri pada tahun 1945 sebagai negara yang berdaulat dengan beberapa model sejarah. Sebelum berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia berada dalam fakta heterogenitas budaya.
Karenanya, dalam pengertian negara dan bangsa, Indonesia tak dapat disebut sebagai negara bangsa. Bangsa, secara defenisi merupakan ikatan komunitas yang berdiri berdasarkan ikatan budaya, sedangkan negara berdiri berdasarkan ikatan administratif. Beda halnya dengan Inggris, Amerika, serta beberapa negara di Eropa. Negara-negara ini pertama kali didirikan oleh orang-orang yang memiliki ikatan budaya yang sama.
Berdasar hal ini, ada suatu keanehan ketika kita mengkontekskan fakta heterogenitas itu dalam sebuah negara kesatuan. Di mana sebuah negara kesatuan cenderung dengan satu ciri mutlaknya, yaitu sentralistik.
Hal ini pula yang menyebabkan munculnya beberapa daerah di Indonesia yang tetap bersikukuh dengan adat-istiadatnya. Alhasil, tampaklah sebuah pengkhususan terhadap beberapa daerah seperti Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang wajahnya seperti sebuah negara dalam negara. Ada sebuah sistem pemerintahan yang tidak bertanggung jawab secara administratif kepada negara. Misalnya saja, sistem pemilihan langsung kepala daerah yang tidak berlaku di daerah Yogyakarta.
Dari adanya fakta heterogenitas ini pula, jika dimasukkan dalam konteks negara kesatuan, pada akhirnya akan melahirkan pengecualian-pengecualian. Yang pertama, adanya daerah yang dijadikan sentrum atau pusat.
Desain yang dibangun di Indonesia saat ini adalah desain yang telah dibangun 32 tahun yang lalu sejak zaman orde baru, di mana sentralistik yang dibangun Soeharto adalah sentralistik murni.
Ketika Jakarta dijadikan sebagai ibukota negara RI, dengan sistem sentralistik yang terjadi dalam bidang keuangan (lihat UU no.17 tahun 2003), diketahui bahwa pendapatan negara berasal dari dua pos besar yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Sumber Daya Alam (SDA).
Sistem keuangan yang dianut negara adalah sistem di mana aliran keuangan seperti air yang mengalir ke bawah. Jakarta dijadikan sebagai sentrum. Faktanya, Jakarta yang sama sekali tidak memiliki SDA dapat menjadi daerah dengan keterputaran uang di atas rata-rata. Ada hegemoni sistemik, di mana efek dari adanya satu daerah yang dipilih sebagai simbol yang mewakili daerah-daerah lain, menghasilkan keuntungan tersendiri bagi daerah tersebut.
Seperti halnya Kota Makassar yang sebenarnya tidak memiliki peranan sama sekali bagi kebudayaan-kebudayaan yang ada di Sul-Sel. Makassar bukanlah pusat pemerintahan kerajaan Gowa, Bugis, dan sebagainya. Makassar hanyalah kota pelabuhan, di mana banyak bangunan bergaya arsitek Belanda. Kota ini tidak memiliki akar sejarah apapun terhadap berdirinya Sul-Sel.
Namun, ketika kota ini dijadikan sebagai ibukota propinsi, daerah-daerah lain yang dulunya memiliki akar sejarah yang kuat, harus dimatikan dari segi ekonomi dan pembagian SDA. Desainnya sederhana saja. Semua pusat pemerintahan disetting sebagai daerah niaga. Dan semua daerah tingkat dua, diset sebagai daerah produsen. Efek yang ditimbulkan tak hanya berdampak bagi kondisi fisik daerah tersebut, tapi juga merambah pada cara berpikir masyarakat dan persoalan bagaimana model-model interaksi.
Jika ditinjau dari hukum tata negara, satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem otonomi daerah hanya Indonesia. Ada satu hal aneh jika kita melihat dasar hukum penerapan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa dasar hukum yang melandasinya. Dari konstitusi, kita bisa melihat pada pasal 18A yang menyebutkan tentang pemerintahan daerah. Juga pada UU no. 32 tahun 2004.
Yang jadi sorotan adalah pasal 37 ayat 5 UUD 1945. Di pasal ini, ada satu statement yang aneh. Entah mengapa pasal tersebut dimasukkan sebagai sebuah nomenklatur dalam UUD. Pasal itu berbunyi, “Apapun pembahasan dalam UUD ini dapat dibahas kembali kecuali tentang bentuk negara kesatuan.”
Pasal ini, seakan-akan berupa sebuah bahasa ketakutan akan bergantinya Indonesia dari bentuk negara kesatuan menjadi negara federal. Yang jadi pertanyaan, kenapa Indonesia ‘mengharamkan’ bentuk negara lain selain negara kesatuan? Padahal, berdasarkan fakta historis, Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara federal.
Perbedaan substansial antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada sistem pemberian kewenangan, atau dalam ilmu kajian tata negara disebut sebagai teori residu kewenangan. Dalam sistem negara federal, yang menentukan kebijakan pertama kali adalah pemerintah di tingkat daerah. Jadi alurnya dari daerah ke pusat. Sistem keuangan yang digunakan adalah sistem bottom up (dari bawah ke atas).
Pemerintah kemudian membuat terobosan dengan membuat UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Konsepnya, berdasarkan gagasan Prof DR Riyas Rasyid, Dewan Pembina PDK, yang menggagas pentingnya pembentukan sebuah sistem pemerintahan yang sesuai dengan bentuk kultur Indonesia. Semestinya, gagasan ini diarahkan pada pembentukan negara federal.
Otonomi daerah adalah pemberian tugas dan kewenangan seluas-seluasnya kepada daerah untuk mengelola tugas yang diberikan oleh pusat. Otonomi daerah adalah konsep yang dibuat untuk mempertemukan dua titik ekstrim. Titik ekstrimnya adalah, secara konstitusi Indonesia harus menganut sistem negara kesatuan, tapi di sisi lain merupakan negara yang multi budaya.
Akar masalahnya terletak pada alasan prinsipil yang mendasari pembentukan negara kesatuan. Padahal, bentuk negara kesatuan tidak pernah memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan wilayah Indonesia. Mungkin, alternatif yang bisa diterapkan adalah berpindah ke sistem negara federal.
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2011/10/...al-405864.html
(Tulisan ini adalah catatan hasil diskusi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unhas Cabang Makassar Timur)
Indonesia, jika dilihat dari basic historinya, telah mendeklarasikan diri pada tahun 1945 sebagai negara yang berdaulat dengan beberapa model sejarah. Sebelum berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia berada dalam fakta heterogenitas budaya.
Karenanya, dalam pengertian negara dan bangsa, Indonesia tak dapat disebut sebagai negara bangsa. Bangsa, secara defenisi merupakan ikatan komunitas yang berdiri berdasarkan ikatan budaya, sedangkan negara berdiri berdasarkan ikatan administratif. Beda halnya dengan Inggris, Amerika, serta beberapa negara di Eropa. Negara-negara ini pertama kali didirikan oleh orang-orang yang memiliki ikatan budaya yang sama.
Berdasar hal ini, ada suatu keanehan ketika kita mengkontekskan fakta heterogenitas itu dalam sebuah negara kesatuan. Di mana sebuah negara kesatuan cenderung dengan satu ciri mutlaknya, yaitu sentralistik.
Hal ini pula yang menyebabkan munculnya beberapa daerah di Indonesia yang tetap bersikukuh dengan adat-istiadatnya. Alhasil, tampaklah sebuah pengkhususan terhadap beberapa daerah seperti Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang wajahnya seperti sebuah negara dalam negara. Ada sebuah sistem pemerintahan yang tidak bertanggung jawab secara administratif kepada negara. Misalnya saja, sistem pemilihan langsung kepala daerah yang tidak berlaku di daerah Yogyakarta.
Dari adanya fakta heterogenitas ini pula, jika dimasukkan dalam konteks negara kesatuan, pada akhirnya akan melahirkan pengecualian-pengecualian. Yang pertama, adanya daerah yang dijadikan sentrum atau pusat.
Desain yang dibangun di Indonesia saat ini adalah desain yang telah dibangun 32 tahun yang lalu sejak zaman orde baru, di mana sentralistik yang dibangun Soeharto adalah sentralistik murni.
Ketika Jakarta dijadikan sebagai ibukota negara RI, dengan sistem sentralistik yang terjadi dalam bidang keuangan (lihat UU no.17 tahun 2003), diketahui bahwa pendapatan negara berasal dari dua pos besar yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Sumber Daya Alam (SDA).
Sistem keuangan yang dianut negara adalah sistem di mana aliran keuangan seperti air yang mengalir ke bawah. Jakarta dijadikan sebagai sentrum. Faktanya, Jakarta yang sama sekali tidak memiliki SDA dapat menjadi daerah dengan keterputaran uang di atas rata-rata. Ada hegemoni sistemik, di mana efek dari adanya satu daerah yang dipilih sebagai simbol yang mewakili daerah-daerah lain, menghasilkan keuntungan tersendiri bagi daerah tersebut.
Seperti halnya Kota Makassar yang sebenarnya tidak memiliki peranan sama sekali bagi kebudayaan-kebudayaan yang ada di Sul-Sel. Makassar bukanlah pusat pemerintahan kerajaan Gowa, Bugis, dan sebagainya. Makassar hanyalah kota pelabuhan, di mana banyak bangunan bergaya arsitek Belanda. Kota ini tidak memiliki akar sejarah apapun terhadap berdirinya Sul-Sel.
Namun, ketika kota ini dijadikan sebagai ibukota propinsi, daerah-daerah lain yang dulunya memiliki akar sejarah yang kuat, harus dimatikan dari segi ekonomi dan pembagian SDA. Desainnya sederhana saja. Semua pusat pemerintahan disetting sebagai daerah niaga. Dan semua daerah tingkat dua, diset sebagai daerah produsen. Efek yang ditimbulkan tak hanya berdampak bagi kondisi fisik daerah tersebut, tapi juga merambah pada cara berpikir masyarakat dan persoalan bagaimana model-model interaksi.
Jika ditinjau dari hukum tata negara, satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem otonomi daerah hanya Indonesia. Ada satu hal aneh jika kita melihat dasar hukum penerapan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa dasar hukum yang melandasinya. Dari konstitusi, kita bisa melihat pada pasal 18A yang menyebutkan tentang pemerintahan daerah. Juga pada UU no. 32 tahun 2004.
Yang jadi sorotan adalah pasal 37 ayat 5 UUD 1945. Di pasal ini, ada satu statement yang aneh. Entah mengapa pasal tersebut dimasukkan sebagai sebuah nomenklatur dalam UUD. Pasal itu berbunyi, “Apapun pembahasan dalam UUD ini dapat dibahas kembali kecuali tentang bentuk negara kesatuan.”
Pasal ini, seakan-akan berupa sebuah bahasa ketakutan akan bergantinya Indonesia dari bentuk negara kesatuan menjadi negara federal. Yang jadi pertanyaan, kenapa Indonesia ‘mengharamkan’ bentuk negara lain selain negara kesatuan? Padahal, berdasarkan fakta historis, Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara federal.
Perbedaan substansial antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada sistem pemberian kewenangan, atau dalam ilmu kajian tata negara disebut sebagai teori residu kewenangan. Dalam sistem negara federal, yang menentukan kebijakan pertama kali adalah pemerintah di tingkat daerah. Jadi alurnya dari daerah ke pusat. Sistem keuangan yang digunakan adalah sistem bottom up (dari bawah ke atas).
Pemerintah kemudian membuat terobosan dengan membuat UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Konsepnya, berdasarkan gagasan Prof DR Riyas Rasyid, Dewan Pembina PDK, yang menggagas pentingnya pembentukan sebuah sistem pemerintahan yang sesuai dengan bentuk kultur Indonesia. Semestinya, gagasan ini diarahkan pada pembentukan negara federal.
Otonomi daerah adalah pemberian tugas dan kewenangan seluas-seluasnya kepada daerah untuk mengelola tugas yang diberikan oleh pusat. Otonomi daerah adalah konsep yang dibuat untuk mempertemukan dua titik ekstrim. Titik ekstrimnya adalah, secara konstitusi Indonesia harus menganut sistem negara kesatuan, tapi di sisi lain merupakan negara yang multi budaya.
Akar masalahnya terletak pada alasan prinsipil yang mendasari pembentukan negara kesatuan. Padahal, bentuk negara kesatuan tidak pernah memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan wilayah Indonesia. Mungkin, alternatif yang bisa diterapkan adalah berpindah ke sistem negara federal.
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2011/10/...al-405864.html
Quote:
Melirik Indonesia dalam Bingkai Federasi
Ketika masyarakat Indonesia yang bernaung dalam payung NKRI tak membuahkan kesejahteraan, ketika pemerintah pusat hanya mempertontonkan ketidakpedulian pada rakyat, dan ketika wakil rakyat hanya sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan golongannya masing-masing, dan ketika daerah semakin jauh ditinggalkan Pusat, maka kajian dan konsep bernegara dalam payung negara kesatuan, perlu ditinjau kembali dan memikirkan pelbagai alternative konsep bernegara yang lebih subtantif pada upaya perwujudan nyata kesejahteraan rakyat. Salah satu opsi untuk itu adalah konsep negara federasi sebagaimana konsep bernegara sejumlah negara maju lainnya di dunia ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah konsep federasi ini mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara? Kalaupun jawabannya ‘iya’, maka pertanyaan berikutnya adalah, mana lebih penting mempertahankan keutuhan NKRI tapi tidak tercipta kesejateraan atau rakyat semakin sejahtera dengan konsep federasi? Sebuah pilihan yang mungkin rumit kita pikirkan dalam sekejap, karena kecintaan kita akan sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.
Tawaran Prof. Dr. Amin Rais di penghujung tahun 1999 tentang konsep negara federasi bagi Indonesia menarik untuk diperbincangkan kembali, seiring pola pikir masyarakat Indonesia yang semakin dinamis. Ini berarti system pemerintahan yang sentralistik dan semua kewenangan telah ‘diambil alih’ pemerintah pusat cenderung membuat jurang yang cukup lebar antara pusat dan daerah. Jakarta semakin maju, semakin egois, infrastruktur public-nya semakin lengkap, sementara daerah-daerah makin tertinggal, karena tidak adanya perimbangan antara pusat dan daerah.
Menariknya, terkadang kemiskinan dan ketertinggalan di daerah, pusat cenderung ‘mengkambing-hitamkan’ bila hal tersebut diakibatkan karena kepemimpinan di daerah yang koruptif plus masyarakatnya yang berpikir terlalu lokalistik, bahkan lebih ekstrim bila disebut ‘berwawasan sempit’. Boleh jadi ini hanyalah sebuah sindrom berlebihan dari pusat yang terlalu kenyang karena suplay daerah yang sangat besar. Kalaupun itu yang menjadi alasan pembenar bagi pusat, maka pertanyaannya, mana lebih koruptif pusat atau daerah?. Publiklah yang akan menilainya.
Otonomi Daerah Ternyata Bukan Panasea
Satu hal yang menjadi tawaran pemerintah pusat kepada daerah dalam hal menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, adalah pemberlakuan system otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang ‘dinilai’ cukup luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Ternyata dalam perkembangannya, pun tidak memberikan hasil yang signifikan, dan banyak yang menilai justru menciptakan ‘raja-raja kecil’ di daerah. Kenapa hal itu terjadi? Karena kekuatan Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan, tetap terikat dan diikat oleh system yang diciptakan oleh Pusat, sementara dalam mengatur internal daerah, pusat terkesan sangat kurang peduli dan lepas tangan, dan beban itu sepenuhnya diberikan kepada Kepala Daerah.
Contoh kongkrit. Ketika Kepala Daerah mengupayakan pembangunan infrastruktur pelayanan dasar di daerah, seperti pembangunan infrastruktur jalan raya, gedung sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya, maka pusat sangat hati-hati (bila tak ingin disebut kurang merespon) mengeluarkan anggaran, akibatnya rakyatlah yang merasakan efek dari semua itu. Ketika rakyat menuntut percepatan, terkadang kepala daerah yang dinilai kurang respon mencermati dinamika yang terjadi pada masyarakatnya.
Ketidakpedulian pusat terhadap daerah sebenarnya bisa dikaji dalam bentuk kuantitatif. Seperti; seberapa banyak menteri telah menginjakkan kakinya di daerah-daerah saat ini? Apakah Presiden, telah mengunjungi semua kabupaten/kota di Indonesia? Kami yakin itu itu terjadi, paling banter di ibukota Provinsi. Padahal bila pejabat pusat turun dan mengenal dekat semua daerah-daerah tanpa terkecuali, maka yakinlah bila ‘denyut penderitaan’ masyarakat akan dirasakannya secara langsung. Media memang menjadi cara terdekat memantau kondisi daerah-daerah di seantero negeri, tetapi apa yang di tampilkan media tentu tidak secara utuh.
Itulah hal yang paling sederhana, dan menggambarkan bila otonomi daerah ternyata tidak menjadi obat (panasea) dalam upaya mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana yang kita harapkan bersama ketika Otonomi di rumuskan sebagai cara jitu menciptakan kesejahteraan itu sendiri.
Bagaimana dengan Federasi?
Federasi adalah sebuah bentuk dan konsep bernegara dimana dalam pengertian modern, sebuah federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk negara kesatuan. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas.
Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi. Federasi mungkin multi-etnik, atau melingkup wilayah yang luas dari sebuah wilayah, meskipun keduanya bukan suatu keharusan. Federasi biasanya ditemukan dalam sebuah persetujuan awal antara beberapa negara bagian “sovereign”. Bentuk pemerintahan atau struktur konstitusional ditemukan dalam federasi dikenal sebagai federalisme.
Terkadang, pemikiran banyak orang, bahwa Indonesia sulit untuk mewujudkan Negara federasi karena beberapa daerah-daerah di Indonesia sangat miskin, seperti NTT, Bengkulu dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sehingga perlu ‘penyeragaman’ (kesatuan). Yang menjadi pertanyaan, apakah Timor-Timur ketika menjadi wilayah NKRI adalah daerah kaya? Kita tahu bersama bahwa suplay RI terhadap Tim-Tim saat itu sangat istimewa dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Tetapi ketika wilayah ini menjadi negara tersendiri ‘Timor Leste juga mampu bertahan hingga saat ini, bahkan sejumlah fakta membuktikan bila Timor Leste hingga saat ini merasa bangga bisa sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Penulis berpendapat, apa yang pernah diusulkan Sultan Hamid II dari Kalimantan pada era pemerintahan Soekarno tentang negara federal dari RI, karena melihat Kalimantan akan jauh lebih makmur ketimbang Indonesia bila saat itu lahir sebagai Negara Berneo. Boleh jadi kegagalan Indonesia dengan system RIS di tahun 1950-an, hanya karena saat itu sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah. Lalu, boleh jadi separatis di Papua terus bergerak, karena mereka meyakini Papua jauh lebih makmur bila berdiri sendiri sebagai sebuah negara.
Lalu apakah kita masih tetap bertahan dengan konsep kesatuan di tengah kemiskinan kita? Nasionalisme kita memang telah mengalami pergeseran yang amat dahsyar, sebagai akibat kegagalan kita menciptakan kesejahteraan masyarakat di negara kita yang telah berusia lebih dari 60 tahun ini. Ada kekhawatiran, bila Indonesia yang puluhan tahun telah merdeka itu, akan ditinggal Timor Leste yang baru seumur jagung. Sungguh ironi.
Masihkah kita bertahan dengan hal seperti ini? Kalaupun kita tetap bertahan dalam bingkai NKRI, pemerintah pusat tak boleh lamban dalam menciptakan pemerataan pembangunan. Kami yakin, negeri ini sangat banyak memiliki uang dalam membangun negerinya. Sayangnya, hanya dikuasai pusat dan banyak digerogoti manusia-manusia bermental Gayus…(**)
cikini pagi hari, 17 April 2011
sumber : http://politik.kompasiana.com/2011/0...si-355566.html
Ketika masyarakat Indonesia yang bernaung dalam payung NKRI tak membuahkan kesejahteraan, ketika pemerintah pusat hanya mempertontonkan ketidakpedulian pada rakyat, dan ketika wakil rakyat hanya sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan golongannya masing-masing, dan ketika daerah semakin jauh ditinggalkan Pusat, maka kajian dan konsep bernegara dalam payung negara kesatuan, perlu ditinjau kembali dan memikirkan pelbagai alternative konsep bernegara yang lebih subtantif pada upaya perwujudan nyata kesejahteraan rakyat. Salah satu opsi untuk itu adalah konsep negara federasi sebagaimana konsep bernegara sejumlah negara maju lainnya di dunia ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah konsep federasi ini mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara? Kalaupun jawabannya ‘iya’, maka pertanyaan berikutnya adalah, mana lebih penting mempertahankan keutuhan NKRI tapi tidak tercipta kesejateraan atau rakyat semakin sejahtera dengan konsep federasi? Sebuah pilihan yang mungkin rumit kita pikirkan dalam sekejap, karena kecintaan kita akan sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.
Tawaran Prof. Dr. Amin Rais di penghujung tahun 1999 tentang konsep negara federasi bagi Indonesia menarik untuk diperbincangkan kembali, seiring pola pikir masyarakat Indonesia yang semakin dinamis. Ini berarti system pemerintahan yang sentralistik dan semua kewenangan telah ‘diambil alih’ pemerintah pusat cenderung membuat jurang yang cukup lebar antara pusat dan daerah. Jakarta semakin maju, semakin egois, infrastruktur public-nya semakin lengkap, sementara daerah-daerah makin tertinggal, karena tidak adanya perimbangan antara pusat dan daerah.
Menariknya, terkadang kemiskinan dan ketertinggalan di daerah, pusat cenderung ‘mengkambing-hitamkan’ bila hal tersebut diakibatkan karena kepemimpinan di daerah yang koruptif plus masyarakatnya yang berpikir terlalu lokalistik, bahkan lebih ekstrim bila disebut ‘berwawasan sempit’. Boleh jadi ini hanyalah sebuah sindrom berlebihan dari pusat yang terlalu kenyang karena suplay daerah yang sangat besar. Kalaupun itu yang menjadi alasan pembenar bagi pusat, maka pertanyaannya, mana lebih koruptif pusat atau daerah?. Publiklah yang akan menilainya.
Otonomi Daerah Ternyata Bukan Panasea
Satu hal yang menjadi tawaran pemerintah pusat kepada daerah dalam hal menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, adalah pemberlakuan system otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang ‘dinilai’ cukup luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Ternyata dalam perkembangannya, pun tidak memberikan hasil yang signifikan, dan banyak yang menilai justru menciptakan ‘raja-raja kecil’ di daerah. Kenapa hal itu terjadi? Karena kekuatan Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan, tetap terikat dan diikat oleh system yang diciptakan oleh Pusat, sementara dalam mengatur internal daerah, pusat terkesan sangat kurang peduli dan lepas tangan, dan beban itu sepenuhnya diberikan kepada Kepala Daerah.
Contoh kongkrit. Ketika Kepala Daerah mengupayakan pembangunan infrastruktur pelayanan dasar di daerah, seperti pembangunan infrastruktur jalan raya, gedung sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya, maka pusat sangat hati-hati (bila tak ingin disebut kurang merespon) mengeluarkan anggaran, akibatnya rakyatlah yang merasakan efek dari semua itu. Ketika rakyat menuntut percepatan, terkadang kepala daerah yang dinilai kurang respon mencermati dinamika yang terjadi pada masyarakatnya.
Ketidakpedulian pusat terhadap daerah sebenarnya bisa dikaji dalam bentuk kuantitatif. Seperti; seberapa banyak menteri telah menginjakkan kakinya di daerah-daerah saat ini? Apakah Presiden, telah mengunjungi semua kabupaten/kota di Indonesia? Kami yakin itu itu terjadi, paling banter di ibukota Provinsi. Padahal bila pejabat pusat turun dan mengenal dekat semua daerah-daerah tanpa terkecuali, maka yakinlah bila ‘denyut penderitaan’ masyarakat akan dirasakannya secara langsung. Media memang menjadi cara terdekat memantau kondisi daerah-daerah di seantero negeri, tetapi apa yang di tampilkan media tentu tidak secara utuh.
Itulah hal yang paling sederhana, dan menggambarkan bila otonomi daerah ternyata tidak menjadi obat (panasea) dalam upaya mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana yang kita harapkan bersama ketika Otonomi di rumuskan sebagai cara jitu menciptakan kesejahteraan itu sendiri.
Bagaimana dengan Federasi?
Federasi adalah sebuah bentuk dan konsep bernegara dimana dalam pengertian modern, sebuah federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk negara kesatuan. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas.
Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi. Federasi mungkin multi-etnik, atau melingkup wilayah yang luas dari sebuah wilayah, meskipun keduanya bukan suatu keharusan. Federasi biasanya ditemukan dalam sebuah persetujuan awal antara beberapa negara bagian “sovereign”. Bentuk pemerintahan atau struktur konstitusional ditemukan dalam federasi dikenal sebagai federalisme.
Terkadang, pemikiran banyak orang, bahwa Indonesia sulit untuk mewujudkan Negara federasi karena beberapa daerah-daerah di Indonesia sangat miskin, seperti NTT, Bengkulu dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sehingga perlu ‘penyeragaman’ (kesatuan). Yang menjadi pertanyaan, apakah Timor-Timur ketika menjadi wilayah NKRI adalah daerah kaya? Kita tahu bersama bahwa suplay RI terhadap Tim-Tim saat itu sangat istimewa dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Tetapi ketika wilayah ini menjadi negara tersendiri ‘Timor Leste juga mampu bertahan hingga saat ini, bahkan sejumlah fakta membuktikan bila Timor Leste hingga saat ini merasa bangga bisa sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Penulis berpendapat, apa yang pernah diusulkan Sultan Hamid II dari Kalimantan pada era pemerintahan Soekarno tentang negara federal dari RI, karena melihat Kalimantan akan jauh lebih makmur ketimbang Indonesia bila saat itu lahir sebagai Negara Berneo. Boleh jadi kegagalan Indonesia dengan system RIS di tahun 1950-an, hanya karena saat itu sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah. Lalu, boleh jadi separatis di Papua terus bergerak, karena mereka meyakini Papua jauh lebih makmur bila berdiri sendiri sebagai sebuah negara.
Lalu apakah kita masih tetap bertahan dengan konsep kesatuan di tengah kemiskinan kita? Nasionalisme kita memang telah mengalami pergeseran yang amat dahsyar, sebagai akibat kegagalan kita menciptakan kesejahteraan masyarakat di negara kita yang telah berusia lebih dari 60 tahun ini. Ada kekhawatiran, bila Indonesia yang puluhan tahun telah merdeka itu, akan ditinggal Timor Leste yang baru seumur jagung. Sungguh ironi.
Masihkah kita bertahan dengan hal seperti ini? Kalaupun kita tetap bertahan dalam bingkai NKRI, pemerintah pusat tak boleh lamban dalam menciptakan pemerataan pembangunan. Kami yakin, negeri ini sangat banyak memiliki uang dalam membangun negerinya. Sayangnya, hanya dikuasai pusat dan banyak digerogoti manusia-manusia bermental Gayus…(**)
cikini pagi hari, 17 April 2011
sumber : http://politik.kompasiana.com/2011/0...si-355566.html
Quote:
Negara Federal Indonesia
Sistem pemerintahan republik yang tersentralisasi ke pusat tidak cocok bagi Indonesia.
Sebenarnya sejak jaman penjajahan dahulu, negara pejajah pun menyadari akan keseragaman yang ada pada karakter bangsa yang sulit untuk disatukan secara paksa, maka saat itu tahun 1946 atas usulan Van Mook maka berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat, namun negara federasi ini tidak diizinkan untuk berdiri lebih lama ( hanya sekitar 3,5 tahun ) untuk menunjukkan kesempurnaannya. Adapun saat itu adalah alasan yang sungguh tidak rasional dan penuh kecurigaan. Dimana beberapa pendapat yang menyatakan Belanda masih saja mengintervensi urusan Indonesia ( karena usulan Federasi Van Mook wkt itu ) berpeluang untuk memecah kembali Nusantara dengan politiknya. Alasan-alasan penuh kecurigaan seperti ini di doktrin keseluruh rakyat Indonesia hingga sekarang.
Waktu penyusunan UUD’45 penuh dengan perdebatan sengit dalam penentuan sistem pemerintahan Indonesia. Kala itu BPUPKI, M.Yamin berpendapat bahwa konsep federasi hanya akan mengantarkan Indonesia pada perpecahan. Namun dapat dilihat kejadian waktu itu adalah konsep federasi yang di usung oleh Van Mook sudah terkontaminasi, sehingga M.Hatta dan Latuharhary terkesan kalah suara.
Jika kita perbandingkan konsep Kesatuan dan Federal sungguh besar dampaknya bagi kemajuan bangsa.
Coba bayangkan, apa alasan gerakan separatis sejak jaman perjuangan dalam sejarah Indonesia sampai sekarang ini? Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi mereka?
Jawabnya adalah Konsep Sentralisasi dari Pemerintahan Kesatuan tidak mampu memberikan penyerataan kesejahteraan yang layak bagi tiap daerah. Sejak dahulu hingga sekarang terlihat bahwa pembangunan hanya ditekankan di daerah Pulau Jawa saja, ini cenderung kearah kebijakan politik “Mercusuar”-nya Presiden Soekarno.
Perlu kita garisbawahi bahwa :
1.Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan. Dimana karakter kekayaan bangsa ini tidak dapat semata-mata disatukan secara paksa begitu saja.
2.Indonesia memiliki ribuan pulau, dan wilayah yang sangat luas. Coba anda bayangkan, bagaimana mungkin dengan kekuasaan terpusat mampu mengurusi semua ini?
Jika anda menyamakan dengan negara republik di China, sungguh sangat lain ceritanya. Mereka memiliki latar belakang / karakter yang kurang lebih sama pada setiap etnis, sehingga cukup mudah untuk menyamakan pemikiran dan tolak ukur / parameter yang jelas.
Sistem Federasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik bagi negara ini. Alasannya :
1.Pembagian kekuasaan secara jelas akan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga tiap-tiap daerah mampu untuk berdiri dan berkembang sesuai karakternya masing-masing, tidak lepas dari itu, akan terdapat efek positif kedaerah dimana timbul nilai persaingan / kompetitif yang saling menguntungkan antar tiap-tiap daerah.
2.Dengan adanya pendirian beberapa negara bagian, maka tiap-tiap daerah mampu menunjukkan eksistensinya masing-masing, tidak hanya pada kemampuan ekonomi tapi turut diperhatikan adalah kebudayaan sebagai andalan kekayaan bangsa. Sehingga tidak akan ada lagi yang disebut pencurian kebudayaan oleh pihak asing, karena tiap daerah sudah menjaganya dengan sangat hati-hati yang juga merupakan simbol karakter mereka.
Dapat disimpulkan federasi adalah sistem pemerintahan yang efektif dan efisien bagi Indonesia.
Ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai kesejahteraan merata. Mewujudkan sila ke-5 adalah tugas penting bagi kita.
Tidak perlu memusingkan akan perpecahan yang mungkin terjadi, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bila kesejahteraan itu tercapai tidak akan ada yang namanya separatisme!
Pemerintahan sekarang sebenarnya sudah menunjukkan dan mendukung keefisienan dari sistem federasi ini. Mengapa tidak? Buktinya, beberapa daerah di Indonesia diberi hak otonomi khusus, ini adalah sebenarnya konsep dari federasi. Jika kita murni menganut sistem pemerintahan kesatuan, seharusnya hak yang 1 dengan yg lain adalah sama, hukum yang diterapkan untuk suatu daerah adalah sama dengan yang lain, karena ciri-ciri dari republik itu sendiri adalah keseragaman. Jika suatu daerah diizinkan memakai Syariat Islam maka jika kita benar-benar republik seharusnya didaerah lainnya juga Syariat Islam dan Indonesia berlandaskan Syariat Islam juga. Jika tidak, ya tidak sekalian! Tetap negara sekuler dan daerahnya pun juga sekuler!
Namun di saat sekarang kondisi bangsa yang sudah sangat terlihat kesenjangan yang terjadi antar daerah, maka sangat sulit mewujudkan konsep federasi ini, karena dapat kita ketahui banyak daerah yang belum mampu menjalankan daerahnya sendiri dan tidak dapat mandiri apabila diberi kekuasaan, termasuk kekurangan sumber daya yang layak bagi putra daerah. Ini semua akibat dari keberlangsungan dari sistem republik yang sudah terlalu lama dipakai. Untuk itu saya mengajak dan menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia, berjuang, lakukan apa yang anda bisa lakukan bagi bangsa ini. Persiapkan diri anda. Persiapkan daerah anda. Persiapkan negara kita, untuk menuju transformasi federasi!
sumber : http://blisekenbali.com/wacana/negar...eral-indonesia
Sistem pemerintahan republik yang tersentralisasi ke pusat tidak cocok bagi Indonesia.
Sebenarnya sejak jaman penjajahan dahulu, negara pejajah pun menyadari akan keseragaman yang ada pada karakter bangsa yang sulit untuk disatukan secara paksa, maka saat itu tahun 1946 atas usulan Van Mook maka berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat, namun negara federasi ini tidak diizinkan untuk berdiri lebih lama ( hanya sekitar 3,5 tahun ) untuk menunjukkan kesempurnaannya. Adapun saat itu adalah alasan yang sungguh tidak rasional dan penuh kecurigaan. Dimana beberapa pendapat yang menyatakan Belanda masih saja mengintervensi urusan Indonesia ( karena usulan Federasi Van Mook wkt itu ) berpeluang untuk memecah kembali Nusantara dengan politiknya. Alasan-alasan penuh kecurigaan seperti ini di doktrin keseluruh rakyat Indonesia hingga sekarang.
Waktu penyusunan UUD’45 penuh dengan perdebatan sengit dalam penentuan sistem pemerintahan Indonesia. Kala itu BPUPKI, M.Yamin berpendapat bahwa konsep federasi hanya akan mengantarkan Indonesia pada perpecahan. Namun dapat dilihat kejadian waktu itu adalah konsep federasi yang di usung oleh Van Mook sudah terkontaminasi, sehingga M.Hatta dan Latuharhary terkesan kalah suara.
Jika kita perbandingkan konsep Kesatuan dan Federal sungguh besar dampaknya bagi kemajuan bangsa.
Coba bayangkan, apa alasan gerakan separatis sejak jaman perjuangan dalam sejarah Indonesia sampai sekarang ini? Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi mereka?
Jawabnya adalah Konsep Sentralisasi dari Pemerintahan Kesatuan tidak mampu memberikan penyerataan kesejahteraan yang layak bagi tiap daerah. Sejak dahulu hingga sekarang terlihat bahwa pembangunan hanya ditekankan di daerah Pulau Jawa saja, ini cenderung kearah kebijakan politik “Mercusuar”-nya Presiden Soekarno.
Perlu kita garisbawahi bahwa :
1.Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan. Dimana karakter kekayaan bangsa ini tidak dapat semata-mata disatukan secara paksa begitu saja.
2.Indonesia memiliki ribuan pulau, dan wilayah yang sangat luas. Coba anda bayangkan, bagaimana mungkin dengan kekuasaan terpusat mampu mengurusi semua ini?
Jika anda menyamakan dengan negara republik di China, sungguh sangat lain ceritanya. Mereka memiliki latar belakang / karakter yang kurang lebih sama pada setiap etnis, sehingga cukup mudah untuk menyamakan pemikiran dan tolak ukur / parameter yang jelas.
Sistem Federasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik bagi negara ini. Alasannya :
1.Pembagian kekuasaan secara jelas akan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga tiap-tiap daerah mampu untuk berdiri dan berkembang sesuai karakternya masing-masing, tidak lepas dari itu, akan terdapat efek positif kedaerah dimana timbul nilai persaingan / kompetitif yang saling menguntungkan antar tiap-tiap daerah.
2.Dengan adanya pendirian beberapa negara bagian, maka tiap-tiap daerah mampu menunjukkan eksistensinya masing-masing, tidak hanya pada kemampuan ekonomi tapi turut diperhatikan adalah kebudayaan sebagai andalan kekayaan bangsa. Sehingga tidak akan ada lagi yang disebut pencurian kebudayaan oleh pihak asing, karena tiap daerah sudah menjaganya dengan sangat hati-hati yang juga merupakan simbol karakter mereka.
Dapat disimpulkan federasi adalah sistem pemerintahan yang efektif dan efisien bagi Indonesia.
Ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai kesejahteraan merata. Mewujudkan sila ke-5 adalah tugas penting bagi kita.
Tidak perlu memusingkan akan perpecahan yang mungkin terjadi, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bila kesejahteraan itu tercapai tidak akan ada yang namanya separatisme!
Pemerintahan sekarang sebenarnya sudah menunjukkan dan mendukung keefisienan dari sistem federasi ini. Mengapa tidak? Buktinya, beberapa daerah di Indonesia diberi hak otonomi khusus, ini adalah sebenarnya konsep dari federasi. Jika kita murni menganut sistem pemerintahan kesatuan, seharusnya hak yang 1 dengan yg lain adalah sama, hukum yang diterapkan untuk suatu daerah adalah sama dengan yang lain, karena ciri-ciri dari republik itu sendiri adalah keseragaman. Jika suatu daerah diizinkan memakai Syariat Islam maka jika kita benar-benar republik seharusnya didaerah lainnya juga Syariat Islam dan Indonesia berlandaskan Syariat Islam juga. Jika tidak, ya tidak sekalian! Tetap negara sekuler dan daerahnya pun juga sekuler!
Namun di saat sekarang kondisi bangsa yang sudah sangat terlihat kesenjangan yang terjadi antar daerah, maka sangat sulit mewujudkan konsep federasi ini, karena dapat kita ketahui banyak daerah yang belum mampu menjalankan daerahnya sendiri dan tidak dapat mandiri apabila diberi kekuasaan, termasuk kekurangan sumber daya yang layak bagi putra daerah. Ini semua akibat dari keberlangsungan dari sistem republik yang sudah terlalu lama dipakai. Untuk itu saya mengajak dan menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia, berjuang, lakukan apa yang anda bisa lakukan bagi bangsa ini. Persiapkan diri anda. Persiapkan daerah anda. Persiapkan negara kita, untuk menuju transformasi federasi!
sumber : http://blisekenbali.com/wacana/negar...eral-indonesia
sumber lain :
Quote:
Quote:
yap, cukup intronya. Jadi intinya ane mau tanya pendapat master - master yang ada disini mengenai konsep negara kita ini. Apakah sudah benar (dengan tetap tegaknya NKRI) ? atau mungkin harus kita pikirkan lagi (dengan pertimbangan membentuk negara federal) ?
Terima kasih atas partisipasinya
KS07 dan 2 lainnya memberi reputasi
-3
2.4K
Kutip
21
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan