Kaskus

News

fokaldotinfoAvatar border
TS
fokaldotinfo
PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN
Puluhan taun silam ketika Indonesia masih berada di bawah kolonialisme, ada dua pola utama yang dipakai memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan Indonesia dari penjajah. Pertama, dengan senjata, melawan tenaga dengan tenaga. Kedua, lewat pendidikan.

Tokoh seperti Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo (tiga serangkai), Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka adalah mereka yang konsisten untuk memakai pola yang kedua—pendidikan.

Founding fathers kita sudah menyadari buruknya penjajahan sejak mereka mulai berkesempatan duduk di bangku sekolah pada masa itu. Namun, kondisi terjajah tak membuat mereka berdiam diri, melainkan memanfaatkan apa yang mereka punya untuk terus memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan Nusantara.

Perjuangan mereka akhirnya terbayar dengan manis, ketika Indonesia berhasil menggusur kolonialisme dari Bumi Pertiwi dan menjadi negara yang sepenuhnya merdeka, pada 17 Agustus 1945.

Sekali lagi harus diingat, founding fathers Indonesia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menyadarkan penduduk Nusantara dari kondisi penjajahan, dan sarana ini pula yang menjadi salah satu faktor kemerdekaan Indonesia.

Lain dulu lain sekarang. Semasa pra kemerdekaan, founding fathers yang umumnya masih menyandang status “anak muda”, berlomba-lomba, memiliki tekad yang kuat, dan mengoptimalkan kesempatan bersekolah demi memerdekakan bangsanya. Sekali lagi, kesempatan ini mereka raih dengan segala keterbatasan.

Pendidikan yang dijadikan “senjata” dalam merebut kemerdekaan, beserta kisah founding fathers yang tetap semangat bersekolah dengan segala keterbatasan, memang menjadi memori yang sungguh heroik. Sayangnya, apa yang mereka alami ketika kolonialisme masih menjajah, justru tidak terlihat di Nusantara yang sudah berumur 68 tahun ini.

Kita melihat pendidikan bukan lagi menjadi “sahabat” yang memerdekakan. Sebaliknya, pendidikan menjadi penjara bagi banyak anak didik. Tan Malaka sendiri pernah mengatakan, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.”

Seandainya Tan Malaka masih hidup, ia mungkin akan menangis, ketika melihat perubahan tujuan dan penerapan pendidikan saat ini, yang telah merusak mental dan pola pikir generasi muda.

Pendidikan saat ini dianggap hanya bagi mereka yang mampu (mahal), menimbulkan ketakutan, penurunan kualitas (praktis, cenderung mengabaikan proses), dan masih adanya kekakuan proses belajar-mengajar.

Ada apa sebenarnya di republik ini?

Ada istilah “orang miskin dilarang sakit”, begitu pula dalam pendidikan, “orang miskin dilarang sekolah”. Negara seolah mengaminkan mahalnya pendidikan, dengan bersembunyi di balik alasan “peningkatan kualitas”. Misalnya, melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang sebenarnya mirip dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Dalam UU Dikti, perguruan tinggi berpotensi mengeluarkan kebijakan di luar ketentuan nasional pada saat proses penerimaan mahasiswa baru. Beraksi serupa seperti negara, institusi pendidikan tinggi beralasan bahwa kebijakan yang menyimpang dari ketentuan nasional adalah demi “peningkatan kualitas”. Tak jarang, kebijakan ini mengharuskan biaya yang cukup mahal di kantong peserta didik.

Pada akhirnya, cukup wajar jika pendidikan di Indonesia telah menjadi sebuah barang komersial, yang hanya berorientasi kepada keuntungan. Alih-alih untuk mencerdaskan peserta didik, pendidikan justru menjadi mesin pengeruk uang yang masif.

Komersialisasi pendidikan telah menelan hidup-hidup calon orang-orang pintar di negara ini karena ketidakmampuan ekonomi. Seolah pendidikan lebih berpihak kepada mereka yang memiliki uang.

Sementara, di lain keadaan, tidak sedikit anak-anak yang mampu merasa terpenjara harus mengikuti kemauan orang tuanya dalam menentukan jenjang dan tempat bersekolah atau kuliah.

Banyak orang tua ketakutan kalau anaknya kelak sulit mencari pekerjaan dengan jurusan pilihannya. Ini tentunya membuat peserta didik menjadi terpenjara selama menjalani pendidikan. Padahal pendidikan itu, sekali lagi, bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan serta rasa tidak percaya diri.

Ujung-ujungnya, tidak sedikit mahasiswa/i yang keblinger dengan tujuan kuliah, “supaya menghasilkan uang yang banyak dan gengsi keluarga”. Padahal pemaknaan pendidikan seharusnya tidak sesempit itu.

Pola pikir yang keliru—bersekolah untuk menjadi kaya—menyebabkan banyaknya sarjana jebolan perguruan tinggi yang malah menganggur selepas bangku kuliah. Mereka tidak bersedia menerima pekerjaan yang sesuai dengan status “lulusan baru”, dan mereka juga sering menolak pekerjaan karena gaji yang dianggap tidak sesuai.

Kita juga melihat menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang cenderung lebih mengutamakan kepraktisan ketimbang proses. Selain itu, ada pula persoalan akut lainnya, masih adanya kekakuan tenaga-tenaga pengajar yang enggan dikritik atau adu argumen dengan anak didik di kelas.

Makna sesungguhnya dari pendidikan adalah untuk membangun kedewasaan serta keberanian berpikir serta memutuskan sesuatu. Pemaknaan ini yang kemudian akan mendorong lahirnya kemajuan-kemajuan baru. Tidak hanya bagi diri sendiri namun juga bangsa ini.

Founding fathers Indonesia telah berupaya untuk menyadarkan bangsa Indonesia dan berjuang melawan penjajah melalui sarana pendidikan, yang pada akhirnya berhasil memberikan kemerdekaan untuk Ibu Pertiwi.

Tugas generasi sekarang mengingat kembali semangat perjuangan lewat pendidikan dan mendorong penerapan untuk diri serta lingkungan sekitar bahwa pendidikan semestinya memerdekakan dan bukan menjadi penjara. Kalau kita mampu mewujudkan pendidikan yang memerdekakan, kita tidak akan pernah merasa terjajah lagi. Merdeka!

oleh : Basar Daniel Jevri Tampubolon
0
718
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan