- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Profil Keluarga Sutowo, Konspirasi Paling Sukses Jaman Orba


TS
Datuk4Suku
Profil Keluarga Sutowo, Konspirasi Paling Sukses Jaman Orba
Quote:
Jakarta - Nama Adiguna Sutowo (40-an tahun) mencuat seiring kasus penembakan yang diduga dilakukannya di Club and Lounge Fluid Hotel Hilton, Jakarta. Siapa Adiguna?
Dibanding Pontjo Sutowo, abangnya, nama Adiguna masih kalah pamor. Bahkan selama ini Adiguna lebih dikenal sebagai pereli nasional. Anaknya, (alm) Adri Sutowo pun menitis darah ini. Nama Adiguna memang tak bisa lepas dari Ibnu Sutowo, eks Dirut PT Pertamina dan pensiunan jenderal bintang tiga era Soeharto. Dari perkimpoiannya dengan Zaleha binti Syafe'ie, yang dinikahinya pada 12 September 1943, Ibnu mendapatkan 7 anak. Mereka adalah Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna. Seperti saudara-saudaranya yang lain, si bungsu Adiguna pun berkecimpung dalam bisnis. Dia tercatat sebagai bos perusahaan farmasi PT Suntri Sepuri. Perusahaan yang didirikan pada 1998 ini memproduksi tablet, kapsul, sirup dan suspensi, sirup kering/serbuk injeksi beta laktam. Dan membicarakan bisnis Adiguna, mau tak mau harus membicarakan bisnis keluarga Ibnu Sutowo. Pasalnya, bisnis Adiguna dibangun bersama-sama dengan anggota keluarganya yang lain.
Keluarga Ibnu Sutowo ketika Orba masih berkuasa, mempunyai sedikitnya 20 perusahaan. Ini termasuk PT Adiguna Shipyard (galangan kapal, pengadaan fiber glass kapal) dan PT Adiguna Mesin Tani (agicultural). Keluarga ini juga pemilik PT Indobuild Co (real estate, hotel) yang menguasai hak pengelolaan lahan di seputar Senayan - lokasi hotel, apartemen dan convention center. Keluarga Ibnu Sutowo lebih dikenal lewat konglomerasi Grup Nugra Santana (bursa saham, pemasaran, manajemen properti, investasi bangunan). Di bawah grup inilah keluarga Sutowo menguasai penjualan dan pemasaran operasional 5 hotel kelas atas: Jakarta Hilton International Hotel, Lagoon Tower Jakarta Hilton International, The Hilton Residence, Patra Surabaya Hilton International dan Bali Hilton International. Ekspansi besar-besaran dimotori Pontjo Sutowo. Tapi pada 1997, kibaran bisnis keluarga Ibnu Sutowo melorot. Majalah Swa edisi November 2004 lalu menulis, tragedi Bank Pacific yang dimotori Endang Utari Mokodompit -- kakak Adiguna -- menyusul bank tersebut dilikuidasi Pemerintah, November 1997, diduga menjadi pemicu memudarnya pamor Grup Nugra Santana. Meski demikian, sebagian sahamnya masih bercokol di Hilton, branding yang akan tetap dipakainya selama 20 tahun sesuai kontrak sejak 1996 silam. Majalah Swa lewat laporannya bertajuk "Menumpuk Utang di Bank, Terbelit Bisnis Sendiri" menulis bahwa bisnis Grup Nusa Santana tak lagi prospektif. Pengamat ekonomi Wilson Nababan menilai, berbagai proyek properti khususnya hotel yang dibangun Grup Nugra Santana menjadi kartu mati yang sulit dikembangkan lagi.
Bisnis kelompok ini di bidang perkapalan seperti Adiguna Shipyard juga mengalami penurunan yang sangat tajam. Adiguna juga merajai media. Pada tahun 1992, Adiguna bersama Soetikno Soedardjo dan Onky Soemarno mendirikan Hard Rock Cafe. Joint venture ini membuahkan group usaha yang dikenal sebagai MRA Group. MRA ini kemudian berkembang pesat dan saat ini memiliki beberapa divisi yang menaungi beberapa unit usaha seperti Zoom Bar & Lounge, BC Bar, Cafe 21, Radio Hard Rock FM (Jakarta, Bandung, Bali), i-Radio, MTV radio, Majalah Kosmo, Majalah FHM , Omni Chanel (TV), IP Entertaiment. Di samping itu Adiguna juga merupakan pemilik Four Seasons Hotel dan Four Seasons Apartement di Bali. Belakangan ini, Adiguna baru saja membeli Reagent Hotel di Jakarta (yang sekarang berganti nama Four Seasons Hotel).
Selain itu dia juga memegang dealership Ferrari dan Maserati, Mercedes Benz, Harley Davidson, Ducati, B&0, dan Bulgari. Menurut catatan George Aditjondro, Adiguna juga sempat memiliki hubungan bisnis dengan Tommy Soeharto di masa jayanya. Keduanya mendirikan PT Mahasarana Buana (Mabua) pada tanggal 5 September 1985. Perusahaan yang beroperasi di Batam ini berdagang dinamit untuk keperluan industri. Untuk itu, Mabua mengelola gudang penyimpan bahan peledak di Pulau Momoi, dekat Batam, sebelum didistribusikan kepada para pelanggan. Adiguna yang juga anggota Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) ini dikenal cukup dekat juga dengan kerajaan bisnis Sudwikatmono. Kini seperti Tommy Soeharto -- sang sohib --, Adiguna juga terpaksa mencicipi sempitnya hotel prodeo di sel Polda Metro Jaya. Keduanya dituduh melakukan kejahatan yang nyaris persis: menembakkan timah panas hingga sang korban tewas.
Dibanding Pontjo Sutowo, abangnya, nama Adiguna masih kalah pamor. Bahkan selama ini Adiguna lebih dikenal sebagai pereli nasional. Anaknya, (alm) Adri Sutowo pun menitis darah ini. Nama Adiguna memang tak bisa lepas dari Ibnu Sutowo, eks Dirut PT Pertamina dan pensiunan jenderal bintang tiga era Soeharto. Dari perkimpoiannya dengan Zaleha binti Syafe'ie, yang dinikahinya pada 12 September 1943, Ibnu mendapatkan 7 anak. Mereka adalah Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna. Seperti saudara-saudaranya yang lain, si bungsu Adiguna pun berkecimpung dalam bisnis. Dia tercatat sebagai bos perusahaan farmasi PT Suntri Sepuri. Perusahaan yang didirikan pada 1998 ini memproduksi tablet, kapsul, sirup dan suspensi, sirup kering/serbuk injeksi beta laktam. Dan membicarakan bisnis Adiguna, mau tak mau harus membicarakan bisnis keluarga Ibnu Sutowo. Pasalnya, bisnis Adiguna dibangun bersama-sama dengan anggota keluarganya yang lain.
Keluarga Ibnu Sutowo ketika Orba masih berkuasa, mempunyai sedikitnya 20 perusahaan. Ini termasuk PT Adiguna Shipyard (galangan kapal, pengadaan fiber glass kapal) dan PT Adiguna Mesin Tani (agicultural). Keluarga ini juga pemilik PT Indobuild Co (real estate, hotel) yang menguasai hak pengelolaan lahan di seputar Senayan - lokasi hotel, apartemen dan convention center. Keluarga Ibnu Sutowo lebih dikenal lewat konglomerasi Grup Nugra Santana (bursa saham, pemasaran, manajemen properti, investasi bangunan). Di bawah grup inilah keluarga Sutowo menguasai penjualan dan pemasaran operasional 5 hotel kelas atas: Jakarta Hilton International Hotel, Lagoon Tower Jakarta Hilton International, The Hilton Residence, Patra Surabaya Hilton International dan Bali Hilton International. Ekspansi besar-besaran dimotori Pontjo Sutowo. Tapi pada 1997, kibaran bisnis keluarga Ibnu Sutowo melorot. Majalah Swa edisi November 2004 lalu menulis, tragedi Bank Pacific yang dimotori Endang Utari Mokodompit -- kakak Adiguna -- menyusul bank tersebut dilikuidasi Pemerintah, November 1997, diduga menjadi pemicu memudarnya pamor Grup Nugra Santana. Meski demikian, sebagian sahamnya masih bercokol di Hilton, branding yang akan tetap dipakainya selama 20 tahun sesuai kontrak sejak 1996 silam. Majalah Swa lewat laporannya bertajuk "Menumpuk Utang di Bank, Terbelit Bisnis Sendiri" menulis bahwa bisnis Grup Nusa Santana tak lagi prospektif. Pengamat ekonomi Wilson Nababan menilai, berbagai proyek properti khususnya hotel yang dibangun Grup Nugra Santana menjadi kartu mati yang sulit dikembangkan lagi.
Bisnis kelompok ini di bidang perkapalan seperti Adiguna Shipyard juga mengalami penurunan yang sangat tajam. Adiguna juga merajai media. Pada tahun 1992, Adiguna bersama Soetikno Soedardjo dan Onky Soemarno mendirikan Hard Rock Cafe. Joint venture ini membuahkan group usaha yang dikenal sebagai MRA Group. MRA ini kemudian berkembang pesat dan saat ini memiliki beberapa divisi yang menaungi beberapa unit usaha seperti Zoom Bar & Lounge, BC Bar, Cafe 21, Radio Hard Rock FM (Jakarta, Bandung, Bali), i-Radio, MTV radio, Majalah Kosmo, Majalah FHM , Omni Chanel (TV), IP Entertaiment. Di samping itu Adiguna juga merupakan pemilik Four Seasons Hotel dan Four Seasons Apartement di Bali. Belakangan ini, Adiguna baru saja membeli Reagent Hotel di Jakarta (yang sekarang berganti nama Four Seasons Hotel).
Selain itu dia juga memegang dealership Ferrari dan Maserati, Mercedes Benz, Harley Davidson, Ducati, B&0, dan Bulgari. Menurut catatan George Aditjondro, Adiguna juga sempat memiliki hubungan bisnis dengan Tommy Soeharto di masa jayanya. Keduanya mendirikan PT Mahasarana Buana (Mabua) pada tanggal 5 September 1985. Perusahaan yang beroperasi di Batam ini berdagang dinamit untuk keperluan industri. Untuk itu, Mabua mengelola gudang penyimpan bahan peledak di Pulau Momoi, dekat Batam, sebelum didistribusikan kepada para pelanggan. Adiguna yang juga anggota Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) ini dikenal cukup dekat juga dengan kerajaan bisnis Sudwikatmono. Kini seperti Tommy Soeharto -- sang sohib --, Adiguna juga terpaksa mencicipi sempitnya hotel prodeo di sel Polda Metro Jaya. Keduanya dituduh melakukan kejahatan yang nyaris persis: menembakkan timah panas hingga sang korban tewas.
http://search.yahoo.com/search?p=pro...UTF-8&fr=moz35
profil ibnu sutowo
Quote:
bnu Sutowo, lahir di Grobogan, Jawa Tengah, 23 September 1914. Selesai MULO (setingkat sekolah menengah) pada 1931, Ibnu melanjutkan sekolah dokter di Nederlandsc Indische Antsen School (NIAS) Surabaya. Selanjutnya, pada 1940, usai menempuh pendidikan di situ, ia ditugaskan sebagai dokter di Kantor Pemberantasan Malaria di Palembang.
Di propinsi itu pula, tepatnya ketika bertugas di Martapura, Sumatera Selatan, ia menemukan jodohnya: Zaleha binti Syafe’ie, yang dinikahinya pada 12 September 1943. Dari pernikahan itu, Ibnu dikaruniai tujuh orang anak, masing-masing Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna.
Pada 1945 Ibnu diangkat menjadi kepala Rumah Sakit Umum Palembang. Selanjutnya, Ibnu ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara Se-Sumatera Selatan dan diberi pangkat Mayor. Semenjak itu Ibnu memulai karirnya di dunia militer, sebuah dunia baru baginya. Dan ia mengaku tidak punya pengetahuan mengenai pekerjaan staf militer.
Karir Ibnu di militer terus meningkat. Tahun 1946 Ibnu ditugaskan di Medan sebagai Kepala Jawatan Teritorium Sumatera Utara. Setelahnya, Ibnu kembali ditugaskan di Palembang untuk menjabat posisi Panglima Teritorium II Sriwijaya. Pangkat terakhir Ibnu Sutowo di dunia militer adalah Letnan Jenderal.
Karir Ibnu di dunia perminyakan dimulai 22 Juli 1956. Ia ditunjuk oleh AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai KSAD untuk mengelola Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU), Pangkalan Brandan. Ia ditugaskan membenahi tambang minyak tersebut. Tentu, Nasution punya alasan sendiri menunjuk Ibnu. "Ibnu Sutowo terkenal sebagai kolonel cowboy dalam menerobos urusan-urusan yang kusut, dengan kata kini seorang trouble shooter," kata AH Nasution dalam buku Ibnu Sutowo tulisan Mara Karma.
Rupanya, tugas di perminyakan itu membawanya menjadi orang nomor satu di Pertamina. Selama delapan tahun memimpin pertamina, ia membuat beberapa terobosan, antara lain memperkenalkan apa yang disebut sebagai sistem bagi hasil. Ia juga membuat kontrak pertama penjualan LNG Arun kepada pihak Jepang pada tahun 1973. Pertamina juga meluaskan jaringan usahanya dengan mendirikan berbagai hotel berbintang di wilayah tanah air.
Namun, Ibnu Sutowo bukan nama bersih di Pertamina. Ia lengser dari pucuk pimpinan Pertamina pada 1976 -- dan digantikan oleh Piet Harjono -- karena diduga melakukan korupsi. Kasus itu sempat berbulan-bulan menghiasi halaman media cetak tanah air. Soeharto selaku Presiden ketika itu membentuk Komisi IV yang diketuai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Wilopo SH dibantu Prof Johannes, IJ Kasimo, dan H Anwar Tjokroaminoto. Mantan Wakil Presiden Dr Moh Hatta ditunjuk sebagai penasihat. Tetapi tim ini tidak berhasil membuktikan tindak korupsi yang dilakukan Ibnu Sutowo.
Pada tahun 1980-an baru ketahuan berapa kerugian yang dialami Pertamina. Utang yang melilit perusahaan itu nyaris mengguncang sendi perekonomian negara. Pemerintah pun akhirnya terpaksa menanggung beban utang yang disebut-sebut mencapai kisaran US$ 10 miliar. Kasusnya pun terkuak. Itu terjadi karena adanya perebutan harta kekayaan milik seorang direktur Pertamina, Achmad Thahir.
Pemerintah kembali bertindak dengan membentuk banyak tim. Di antaranya, tim Inventarisasi Utang yang diketuai Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Ada pula tim yang bertugas merundingkan kembali semua kontrak antara Pertamina dengan para kontraktornya. Satu lagi, tim yang bertugas merundingkan kembali kontrak-kontrak Pertamina dengan pengusaha Bruce Rappaport di Swiss mengenai kapal tanker yang dipimpin oleh Radius Prawiro-Sumarlin.
Selain itu masih ada Tim Teknis Penertiban Pertamina yang ditunjuk langsung Presiden Soeharto. Tim ini beranggota Letjen Hasnan Habib yang saat itu menjabat Kepala Staf Pertahanan dan Keamanan, Piet Harjono, dan Menteri Sekretaris Kabinet (waktu itu) Ismail Saleh. Di luar tim tersebut, paling tidak, ada sembilan panitia yang dibentuk. Tugasnya adalah melakukan penyehatan kembali proyek-proyek Pertamina yang kontraknya sudah diteken Ibnu. Salah satunya, misalnya, Panitia Penyehatan Proyek Pabrik Pupuk Terapung tadi.
Lepas dari urusan Pertamina, Ibnu Sutowo kemudian terjun secara serius dalam bisnis perbankan di Bank Pasifik yang didirikannya pada 1958. Menurut pengakuan Ibnu, investasinya untuk bank itu dikumpulkan dari hasil berdagang, praktek dokter, dan gajinya sebagai pegawai. Bank Pasifik itu pun berkembang. Demikian pula perusahaannya yang lain, seperti Grup Nugra Santana.
Selain itu, lelaki yang hobi main golf ini pun terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Ibnu tercatat sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Alquran yang berdiri tahun 1969. Setahun kemudian Ibnu membuka Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ). Tahun 1986, saat Musyawarah Nasional Palang Merah Indonesia (PMI) Ke-14, Ibnu Sutowo terpilih sebagai Ketua PMI. (Uly Siregar)
Di propinsi itu pula, tepatnya ketika bertugas di Martapura, Sumatera Selatan, ia menemukan jodohnya: Zaleha binti Syafe’ie, yang dinikahinya pada 12 September 1943. Dari pernikahan itu, Ibnu dikaruniai tujuh orang anak, masing-masing Nuraini Zaitun Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna.
Pada 1945 Ibnu diangkat menjadi kepala Rumah Sakit Umum Palembang. Selanjutnya, Ibnu ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara Se-Sumatera Selatan dan diberi pangkat Mayor. Semenjak itu Ibnu memulai karirnya di dunia militer, sebuah dunia baru baginya. Dan ia mengaku tidak punya pengetahuan mengenai pekerjaan staf militer.
Karir Ibnu di militer terus meningkat. Tahun 1946 Ibnu ditugaskan di Medan sebagai Kepala Jawatan Teritorium Sumatera Utara. Setelahnya, Ibnu kembali ditugaskan di Palembang untuk menjabat posisi Panglima Teritorium II Sriwijaya. Pangkat terakhir Ibnu Sutowo di dunia militer adalah Letnan Jenderal.
Karir Ibnu di dunia perminyakan dimulai 22 Juli 1956. Ia ditunjuk oleh AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai KSAD untuk mengelola Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU), Pangkalan Brandan. Ia ditugaskan membenahi tambang minyak tersebut. Tentu, Nasution punya alasan sendiri menunjuk Ibnu. "Ibnu Sutowo terkenal sebagai kolonel cowboy dalam menerobos urusan-urusan yang kusut, dengan kata kini seorang trouble shooter," kata AH Nasution dalam buku Ibnu Sutowo tulisan Mara Karma.
Rupanya, tugas di perminyakan itu membawanya menjadi orang nomor satu di Pertamina. Selama delapan tahun memimpin pertamina, ia membuat beberapa terobosan, antara lain memperkenalkan apa yang disebut sebagai sistem bagi hasil. Ia juga membuat kontrak pertama penjualan LNG Arun kepada pihak Jepang pada tahun 1973. Pertamina juga meluaskan jaringan usahanya dengan mendirikan berbagai hotel berbintang di wilayah tanah air.
Namun, Ibnu Sutowo bukan nama bersih di Pertamina. Ia lengser dari pucuk pimpinan Pertamina pada 1976 -- dan digantikan oleh Piet Harjono -- karena diduga melakukan korupsi. Kasus itu sempat berbulan-bulan menghiasi halaman media cetak tanah air. Soeharto selaku Presiden ketika itu membentuk Komisi IV yang diketuai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Wilopo SH dibantu Prof Johannes, IJ Kasimo, dan H Anwar Tjokroaminoto. Mantan Wakil Presiden Dr Moh Hatta ditunjuk sebagai penasihat. Tetapi tim ini tidak berhasil membuktikan tindak korupsi yang dilakukan Ibnu Sutowo.
Pada tahun 1980-an baru ketahuan berapa kerugian yang dialami Pertamina. Utang yang melilit perusahaan itu nyaris mengguncang sendi perekonomian negara. Pemerintah pun akhirnya terpaksa menanggung beban utang yang disebut-sebut mencapai kisaran US$ 10 miliar. Kasusnya pun terkuak. Itu terjadi karena adanya perebutan harta kekayaan milik seorang direktur Pertamina, Achmad Thahir.
Pemerintah kembali bertindak dengan membentuk banyak tim. Di antaranya, tim Inventarisasi Utang yang diketuai Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Ada pula tim yang bertugas merundingkan kembali semua kontrak antara Pertamina dengan para kontraktornya. Satu lagi, tim yang bertugas merundingkan kembali kontrak-kontrak Pertamina dengan pengusaha Bruce Rappaport di Swiss mengenai kapal tanker yang dipimpin oleh Radius Prawiro-Sumarlin.
Selain itu masih ada Tim Teknis Penertiban Pertamina yang ditunjuk langsung Presiden Soeharto. Tim ini beranggota Letjen Hasnan Habib yang saat itu menjabat Kepala Staf Pertahanan dan Keamanan, Piet Harjono, dan Menteri Sekretaris Kabinet (waktu itu) Ismail Saleh. Di luar tim tersebut, paling tidak, ada sembilan panitia yang dibentuk. Tugasnya adalah melakukan penyehatan kembali proyek-proyek Pertamina yang kontraknya sudah diteken Ibnu. Salah satunya, misalnya, Panitia Penyehatan Proyek Pabrik Pupuk Terapung tadi.
Lepas dari urusan Pertamina, Ibnu Sutowo kemudian terjun secara serius dalam bisnis perbankan di Bank Pasifik yang didirikannya pada 1958. Menurut pengakuan Ibnu, investasinya untuk bank itu dikumpulkan dari hasil berdagang, praktek dokter, dan gajinya sebagai pegawai. Bank Pasifik itu pun berkembang. Demikian pula perusahaannya yang lain, seperti Grup Nugra Santana.
Selain itu, lelaki yang hobi main golf ini pun terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Ibnu tercatat sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Alquran yang berdiri tahun 1969. Setahun kemudian Ibnu membuka Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ). Tahun 1986, saat Musyawarah Nasional Palang Merah Indonesia (PMI) Ke-14, Ibnu Sutowo terpilih sebagai Ketua PMI. (Uly Siregar)
Diubah oleh Datuk4Suku 29-10-2013 06:03
0
99.5K
Kutip
66
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan