- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Politik Media Nasional jelang Pemilu & Pilpres 2014: "Wani piro sampeyan, mas!"


TS
as4madun
Politik Media Nasional jelang Pemilu & Pilpres 2014: "Wani piro sampeyan, mas!"

Media dan Pemilu di Era "Market Centrism"
19 Oct 2013, 00:06:00 WIB
Pesta demokrasi April 2014 mendatang yang bertepatan dengan kehadiran era komersialisasi media (age of media commercialism) kembali mengafirmasivaliditas teori ekonomi-politik dalam melihat watak dan prilaku media (market theory of journalism). Prinsip ekonomi-politik media ini tentu saja tak paralel dengan norma dasar produksi berita yang mengutamakan dampak dan kepentingan publik sebagai pertimbangan menjadikan sebuah peristiwa atau isu layak menjadi sebuah berita.
Padahal, tujuan hakiki jurnalisme adalah pencerahan publik (public enlightenmert). Maka, jurnalisme yang dikendalikan pasar (market driven journalism) hanya akan menempatkan media (jurnalisme) dalam ketika kepentingan ekonomi pemodal. Kontestasi politik di Indonesia menjelang 2009 pada dasarnya adalah kontestasi industrial. Relasi partai/tokoh dengan industri media bukanlah relasi yang hambar. Dalam praktiknya, relasi itu bersifat strategis. Argumennya: pertama, relasi aktor politik dan media merupakan relasi yang murni bisnis. Kedua, dalam kondisi dimana banyak industrialis media, sekaligus juga adalah pemain politik/partai, maka hubungan mereka—dalam taraf tertentu—sudah bisa dipastikan akan menghasilkan hubungan antara media-publik yang asimetris.
Mengutip Amir Effendi Siregar (2008), menguatnya fenomena market centrism atas institusi media di Indonesia saat ini sangat berbahaya karena potensial mengancam hadirnya prinsip jurnalisme berimbang, yakni jaminan atas keragaman isi (diversity of content), keragaman suara (diversity of voices), dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership). Penguasaan atas kepemilikan media-terutama media penyiaran-oleh para konglomerat media di Indonesia saat ini sudah sampai pada tahap predatorik, lebih parah dibandingkan dengan negara-negara demokrasi paling liberal. Sosiolog Dedy Nur Hidayat (2003), juga melihat ancaman serius atas kehidupan media dengan hadirnya gejala pergeseran dominasi dari regulasi negara (state regulated) ke regulasi pasar (market regulated).
Faktual, jika pada masa Orde Baru ekonomi-politik media lebih didominasi oleh model state centrism, maka pasca 1998 lebih didominasi oleh corak market centrism. Krusialnya, raksasa-raksasa media nasional dimiliki oleh konglomerat industri media yang juga berlatar aktor politik (politician). Media Group (Metro TV dan Media Indonesia) misalnya, adalah milik Surya Paloh, yang kini memimpin Partai Nasional Demokrat; TV One dan ANTV adalah milik Aburizal Bakrie, Suara Karya adalah koran resmi Partai Golkar, Republika adalah harian resmi milik ICMI, sementara MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV, Seputar Indonesia, dan Majalah Sindoweekly) adalah milik konglomerat Harry dan keluarga mantan Presiden Soeharto.
Di era market centrism, negara tak lagi menjadi faktor determinan dalam kehidupan media. Kini, hukum (mekanisme) pasarlah satu-satunya pendulum yang menjadi faktor penentu sekaligus pembentuk karakter ruang publik media di Indonesia. Dalam sebuah struktur ekonomi-politik otoriter, dimana industri penyiaran berada di bawah kendali negara, penguasa akan berperan sentral dalam mendefinisikan apa yang menjadi “kepentingan publik” atau “masalah sosial”. Sementara dalam sebuah struktur pasar yang liberal, pasar adalah institusi dominan yang mendefinisikan apa yang menjadi harapan dan aspirasi publik (public concern).
Secara substantif peran dan fungsi media sesungguhnya terkait dengan sejauh mana ruang publik (public sphere) dapat memerankan fungsi pembebasan (deliberatif) dalam ranah diskursus publik. Dalam konteks deliberatif, ruang publik tak lebih dari wadah partisipasi rakyat dalam mengontrol aktivitas kekuasaan (Jurgen Habermas, 2007). Perkembangan terkini menunjukkan, intervensi pemerintah atas kehidupan media belum sepenuhnya berakhir. Belakangan pemerintah bahkan berambisi kuat untuk membangun kembali supremasi politiknya atas kehidupan media. State reorganizing melalui penguatan kontrol negara atas media menyiratkan adanya agenda besar konsolidasi aktor-aktor negara untuk “mengendalikan” pers dan institusi penyiaran publik.
Kebijakan pemerintah yang mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi publik dalam tata kelola media jelas bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers, yang mewajibkan negara mengutamakan representasi dan hak-hak publik dalam kontrol atas hak pengelolaan media dan perolehan informasi yang lebih seimbang. Namun demikian, kita juga harus kritis terhadap wajah pers industrial yang menguat saat ini. Sebab, ketika konsolidasi negara-pasar makin menguat, yang kita saksikan adalah sosok pers industrial yang partisan, bukan pers bebas yang menjalankan fungsi kontrol publik.
Yang pasti, saat upaya penguatan kontrol publik atas perilaku negara dan pasar gagal, maka jalan demokratisasi kita ke depan akan makin terjal dan berliku. Mengutip Paul Collier (2001), demokrasi adalah kekuatan dalam menciptakan kebajikan, sepanjang tak dipraktikan dalam “wajahnya yang garang dan mengancam”. Sebagai pilar demokrasi keempat (the fourth estate), pers bukanlah institusi yang can do no wrong. Seperti institusi dan profesi lainnya, pers juga bisa salah. Namun, sisi lemah itu hendaknya kita tempatkan dalam konteks pencarian jati diri menuju pers nasional yang merdeka dalam arti seutuhnya; seperti proses demokrasi kita yang kini masih berada dalam tahap pembelajaran menuju demokrasi yang sesungguhnya.
Praktis, di era pers industrial yang menguat saat ini, mayoritas media telah masuk dalam perangkap arogansi negara dan watak predatorik pasar. Pers, kini menghadapi problem serius untuk bertahan hidup dalam sebuah ruang imagine ‘idealisme’. Kita bertanya, apakah ini yang menjadi ketakutan pemerintah, seperti disuarakan oleh Dipo Alam? Tak ada pilihan lain, peran pers nasional—sebagai the fourth estate—ke depan harus kian diperkuat jika konstruksi demokrasi yang sehat ingin kita bangun. Kita tak berharap, media nasional kembali hadir dalam sosoknya yang dilematis, karena posisinya yang kini berada di antara cengkraman kepentingan kekuasaan negara dan pasar.
Di titik inilah jurnalisme pro-publik menjadi penting dikedepankan. Tujuannya untuk menjaga ruh, visi, dan misi media massa dari intervensi dan kooptasi kepentingan politik. Di sisi lain, publik juga perlu memperkuat peran regulasi KPU, Bawaslu, KPI dan Dewan Pers untuk mengontrolisi pemberitaan dan iklan kampanye secara berimbang (cover bothside). Publik harus mengawal dan mengawasi eksistensi media presisi yang berwatak social responsibility; yang sanggup menjaga independensi ruang publik dalam menyuarakan kebenaran demi terselenggaranya pemilu yang jujur, adil, transparan, dan berkualitas.
Kita semua tentu berharap, media yang kritis, edukatif, profesional, handal, dan berwibawa bisa terus tumbuh dan eksis di negeri ini. Sementara tugas pemerintah adalah memastikan media massa nasional bekerja sebagai instrumen kontrol publik, yang berperan netral di antara kepentingan negara dan pasar. Sebagai warga negara yang hidup di negeri demokrasi, kita tentu tak bisa memahami jika para politisi yang juga merangkap sebagai konglomerat media mengorbankan institusi pers sebagai publik domain hanya untuk sekedar memenuhi hasrat politik kekuasaan mereka. Jika ini yang terjadi, taruhannya amat mahal. Sebab, mereka tak cuma merampas kebebasan pers, akan tetapi telah mencampakkan masa depan demokrasi negeri ini
http://www.analisadaily.com/news/559...arket-centrism
Media dulu dikontrol negara, kini pemodal
Kamis, 27 Juni 2013 15:33

Merdeka.com - Keberadaan media di Indonesia telah melewati berbagai era. Dulu, dalam praktiknya media sering dikontrol oleh negara. Sekarang kondisi berubah, media kini dikontrol oleh pemodal. "Media di Indonesia sebetulnya selalu tersentralisasi pada sebuah sistem otoriter yang dikontrol oleh negara, tetapi sekarang media Indonesia masuk ke dalam sistem otoriter baru yang dikontrol oleh kapital," ujar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Amir Effendi Siregar dalam dialog publik bertajuk 'Quo Vadis Rating dalam Dunia Pertelevisian Indonesia?' yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Gedung Kemenkominfo, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (27/6).
Amir mengatakan, media kemudian terlalu terfokus untuk mengejar rating. Akibatnya, kepentingan publik menjadi terabaikan. "Hal itu juga dapat melahirkan otoritarianisme dalam bentuk baru, yaitu otoritarianisme kapital yang pada gilirannya dapat membunuh demokrasi," terang Amir. Menghadapi hal ini, kata Amir, perlu pembenahan sistem dalam pengelolaan media yang berpijak pada tiga jaminan. Ketiga jaminan itu adalah jaminan atas kebebasan berekspresi, bicara dan pers, jaminan terhadap keberagaman kepemilikan, isi dan pembicaraan, serta jaminan terhadap distribusi informasi dan media yang tepat sasaran. "Namun demikian, kita terlalu dominan untuk memberikan yang pertama, yang kedua dan ketiga kebanyakan tidak jalan," ujar Amir.
http://www.merdeka.com/peristiwa/med...i-pemodal.html
Menyoal Netralitas Pers dalam Kontestasi Pilpres 2014
Abdul Hakim MS - detikNews
Senin, 21/01/2013 15:21 WIB
Jakarta - Dalam sistem politik yang terbuka, pers berperan sangat penting dalam menentukan berkembang atau tidaknya demokrasi. Itu sebabnya, Edmund Burke tak segan menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu merujuk pada empat peran ideal pers yang antara lain sebagai sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, sebagai penyambung lidah (mediator) publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik.
Namun di sisi lain, keberadaan pers juga tak lekang dari kritik tajam. Hal ini disebabkan oleh (terkadang) adanya peran ganda yang dimainkan. Selain melakukan fungsi ideal seperti tertera di atas, pers kerap kali terjebak dan tak kuasa melawan kungkungan kapitalisme (baca pemilik modal). Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”.
Melihat paradoks ini, tak mengherankan apabila kemudian Presiden SBY terus mengingatkan para pekerja pers agar tetap mawas diri. Menjelang Pemilu 2014, tentu kondisi politik nasional akan memanas. Itu sebabnya Presiden SBY sangat berharap pers bisa berlaku adil dan seimbang dalam memberikan infomasi kepada masyarakat. Pers diharapkan bisa memberikan pendidikan politik yang baik. Dalam konteks menghadapi Pilpres 2014, Presiden SBY mewanti-wanti kepada para awak pers agar semua kandidat, yang ia identifikasi setidaknya berjumlah 36 orang, yang akan maju menjadi capres pada pemilu 2014 bisa mendapat porsi pemberitaan yang sama di hadapan publik. Pertanyaanya, akan kah itu bisa terjadi?
Berat Sebelah
Harapan Presiden SBY agar awak media bisa memberi porsi adil dalam memberitakan kandidat capres bukanlah tanpa alasan. Jika melihat gejala perkembangan pers akhir-akhir ini, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Hal itu mengacu pada indikasi bahwa kerap kali media massa berpengaruh Indonesia hanya menjadi corong politik bagi para pemilik modalnya. Hal itu bisa kita lihat dari kasus TVOne dan Metro TV misalnya. Sejak 2009, dua televisi nasional ini sudah 3 kali diperiksa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait netralitas penyiaran.
Kasus pemeriksaan pertama KPI terhadap dua stasiun televisi itu terjadi ketika berlangsungnya Kongres Partai Golkar di Riau pada 2009 silam. Kala itu, KPI mendapatkan banyak keluhan dari publik terkait pemberitaan TVOne dan Metro TV yang dipandang berat sebelah. Karena para pemilik modalnya maju menjadi kandidat ketua umum (Abrurizal Bakrie di TVOne dan Surya Paloh di Metro TV), framing berita yang diturunkan seolah hanya menjadi corong politik bos mereka.
Kasus yang sama terulang kembali pada Januari 2011. Berdasarkan laporan masyarakat dan analisis isi netralitas penyiaran yang dilakukan KPI, untuk kedua kalinya TVOne dan Metro TV menerima teguran. KPI menilai, kedua stasiun televisi itu kerap memperlihatkan kepentingan tertentu yang masuk dalam isi siaran mereka. Akibatnya, aspek jurnalistik yang benar, profesional, dan obyektif agak terpinggirkan.
Dan yang terakhir, TVOne dan Metro TV kembali harus menjalani pemerikasaan KPI terkait pengaduan salah satu kader Partai Demokrat, Ferry Juliantono, pada Ferbruari 2012 silam. Dalam pengaduannya, Ferry menyebut bahwa pemberitaan kedua stasiun televisi itu kurang objektif dan tendensius, serta kerap menempatkan Partai demokrat pada posisi yang dirugikan.
Tak hanya media televisi, kasus netralitas pemberitaan ini juga menimpa media cetak. Masuknya kepentingan para pemilik modal bisa dilihat dari hasil analisis isi media yang dilakukan DCSC Indonesia pada rentang waktu 6 bulan (Januari–Juni 2011) terhadap 7 surat kabar nasional, yakni Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan, dan Seputar Indonesia.
Dalam analisis tersebut, pemberitaan terbesar Surya Paloh, misalnya, 49,2 persen ada di Media Indonesia. Sisanya tersebar di 6 surat kabar lainnya. Uniknya, tema terbesar Surya Paloh adalah terkait informasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang semuanya ada di Media Indonesia. Sementara tak satupun koran lain memuat tema Nasdem ketika menurunkan berita tentang Surya Paloh. Media Indonesia adalah surat kabar yang berada di bawah naungan Media Group yang pemiliknya adalah Surya Paloh sendiri.
Kepentingan Politik 2014
Naasnya, menjelang pemilu 2014, gelagat netralitas penyiaran pers itu sepertinya tak surut begitu saja. Hal ini mengacu pada realitas bahwa bos media-media besar, terutama televisi, adalah mereka yang memiliki kepentingan di Pemilu mendatang. Aburizal Bakrie misalnya yang memiliki kendali atas TVOne dan ANTV telah pasti maju menjadi capres dari Partai Golkar. Sementara Surya Paloh yang memegang kendali atas Metro TV juga akan maju menjadi capres kala Partai Nasdem meraih suara positif. Masuknya Hary Tanoesoedibjo ke Partai Nasdem, membuat kita lebih cemas, jangan-jangan media yang dimiliki hanya akan dijadikan alat penggiringan opini publik untuk memilih partai tertentu.
Seperti kita tahu, Hary Tanoesoedibjo adalah penguasa MNC Group yang memegang kendali terhadap RCTI, Global TV, dan MNC TV. Bergabungnya Hary Tanoesoedibjo telah membawa efek terhadap derasnya iklan partai nasdem di televisi MNC Group ini. (Saat kolom ini dimuat, Hary Tanoe telah mengundurkan diri dari ketua dewan pakar, wakil ketua majelis partai dan keanggotaan Partai NasDem, red).
Berdasarkan survei LSI, derasnya iklan politik ini telah membawa dampak terkereknya elektabilitas partai Nasdem. Padahal, partai-partai lain masih jarang yang berpikir untuk beriklan di televisi disebabkan mahalnya biaya
Memang, kita tidak bisa melarang dan menyalahkan para penggiat pers masuk ke ranah politik, karena itu menjadi hak asasi mereka. Namun kita tak bisa membiarkan begitu saja apabila kemudian mereka menyalahgunakan pers yang mereka miliki. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang baik, bukan informasi yang dipaksakan para pemilik modal untuk membentuk realitas opini masyarakat.
Kasus Suwandi (korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari Surabaya ke Jakarta untuk menuntut keluarga bakrie) yang meminta maaf kepada keluarga Bakrie yang ditayangkan langsung oleh TVOne juga patut dicurigai. Banyak yang menganggap bahwa tayangan ini hanya untuk kebutuhan Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie, menghadapi pemilu 2014. KPI tentu perlu memeriksa kembali kasus ini. Jangan sampai apa yang dilakukan TV One semakin melukai perasaan para korban Lumpur Lapindo.
Merujuk kondisi di atas, pemerintah, dalam hal ini KPI, tentu dituntut lebih keras dan serius untuk menelaah semua program-program televisi yang ada. KPI harus berani bertindak tegas ketika ada program yang menyeleweng dari kepentingan publik. Selain KPI, Semua civil society juga harus bergerak mengawasi geliat media massa. Karena tanpa keseriusan pengawasan terhadap media massa, publik akan sangat dirugikan dengan banyaknya “informasi sampah” yang menjejali ruang kehidupan mereka.
*) Abdul Hakim MS, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
[url]http://news.detik..com/read/2013/01/21/152137/2148489/103/menyoal-netralitas-pers-dalam-kontestasi-pilpres-2014?nd771104bcj[/url]
--------------------------------------
kembali aja seperti zaman TVRI dulu aja ... hanya ada satu channel untuk seluruh Nusantara ...


0
2.5K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan