Peneliti Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng melakukan penelitian terkait angka kematian akibat tembakau terutama rokok di Indonesia. Dia meragukan perhitungan data Kementerian Kesehatan yang menyebut angka kematian akibat rokok per tahun mencapai 200.000 jiwa.
"Data kematian akibat tembakau belum dapat dibuktikan, yang dapat dibuktikan adalah data akibat malaria, demam berdarah, gizi buruk, busung lapar, yang marak terjadi di tanah air," ujar Salamuddin kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/10).
Menurut dia, kematian lebih sering terjadi lantaran mahalnya biaya kesehatan sehingga tak terjangkau di Indonesia. Selain itu, banyak pihak rumah sakit yang menolak pasien kurang mampu. "Ke semua itu menjadi tugas Kementerian Kesehatan," kata dia.
Dia menjelaskan, kematian lain yang dapat dihitung setiap tahun adalah kecelakaan lalu lintas serta akibat buruknya sistem transportasi. Untuk itu, lanjut dia, belum ada penelitian yang menyebutkan rokok menjadi penyebab kematian di Indonesia.
"Kematian akibat rokok tidak dapat dibuktikan," jelas dia.
Dia mengimbau Kementerian Kesehatan harusnya fokus pada penyediaan tenaga kesehatan, penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan pangan bergizi, pembiayaan kesehatan murah dan bahkan gratis.
"Masalah tembakau adalah masalah pertanian, industri, ketenagakerjaan, perdagangan, ekspor, impor, yang mesti diurusi dengan benar oleh kementerian lain di negara ini," tegas dia.
korban rokok sama dengan jumlah korba tsunami
50 Persen dari perokok di seluruh dunia meninggal karena penyakit terkait rokok. Di Indonesia saja, kematian yang terjadi akibat rokok jumlahnya sama dengan jumlah korban bencana tsunami.
Berdasarkan data dunia, 50 persen perokok jangka panjang meninggal dunia bukan karena terpeleset, berkelahi atau perang, namun karena penyakit akibat rokok. Artinya probabiliti mati karena penyakit terkait rokok adalah 1 banding 2.
Di Indonesia, kematian akibat rokok angkanya mencapai 239 ribu per tahun. Ini lebih besar dibandingkan kematian ibu akibat persalinan dan nifas, yang sekarang menjadi perhatian pemerintah dan dunia.
"Angka kematiannya (akibat rokok) sangat besar. Sekarang 239 ribu per tahun, tidak ada yang mengalahkan. Kematian ibu akibat persalinan dan nifas yang sering digembar-gemborkan, itu tidak seberapa dibandingkan rokok," ujar Dr Hakim Sorimuda Pohan, SpOG dari Tobacco Control Support Center (TCSC) saat berbincang dengan detikHealth, pada acara bincang-bincang dengan media di Cali Deli Resto, Jl Warung Buncit, Jakarta Selatan,
Bahkan, lanjut Dr Hakim, kematian akibat kecelakaan yang angkanya cukup besar yakni 809 orang meninggal selama H-7 dan H+7 lebaran, jumlahnya hanya 35 ribu orang per tahun. Jauh lebih kecil dibandingkan kematian akibat rokok.
"Akibat rokok ini jumlah korbannya sama dengan korban tsunami. Tsunami itu kematiannya unpreventable, tetapi itu terjadi 150 tahunan sekali. Ini tiap tahun 239 ribu," tegas Dr Hakim, yang juga merupakan mantan anggota DPR Komisi IX.
Itulah sebabnya, Dr Hakim kini sangat getol memperjuangkan aturan-aturan yang berkaitan dengan pembatasan konsumsi rokok, termasuk RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tembakau.
"Kalau kita bisa menghindari kematian, bisa dicegah, barulah kita tergolong masyarakat kedokteran yang beradab," tutup pria kelahiran 3 September 1942 ini.
Quote:
Enam Juta Orang Meninggal dalam Setahun Akibat Rokok
Panama City (AFP/Antara) - Walaupun sudah ada kampanye kesehatan masyarakat, merokok tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia, membunuh hampir enam juta orang setahun, kebanyakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, ujar World Health Organization pada Rabu.
Jika tren ini terus terjadi, jumlah kematian akibat penggunaan tembakau akan meningkat hingga delapan juta setahun pada 2030, ujar WHO dalam sebuah konferensi di Panama.
Perkiraan 80 persen kematian yang berhubungan dengan tembakau pada 2030 diperkirakan akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, laporan tersebut menambahkan.
“Jika kita semua tidak bersatu dan melarang pemasangan iklan, promosi, dan pensponsoran rokok, maka para remaja dan anak muda akan terus tergoda dengan konsumsi rokok oleh industri rokok semakin agresif,” ujar direktur umum WHO Dr. Margaret Chan.
“Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakatnya dari penyakit, cacat, dan kematian yang berkaitan dengan tembakau.”
Di antara kasus-kasus kematian tahun ini, lima juta orang merupakan perokok atau mantan perokok, sementara itu lebih dari 600.000 orang meninggal sebagai perokok pasif, berdasarkan data WHO.
Merokok dipercaya telah menyebabkan kematian dari 100 juta jiwa di abad ke-20.
“Kami tahu bahwa hanya dengan pelarangan total terhadap iklan, promosi dan pensponsoran rokok maka masalah ini bisa teratasi secara efektif. Negara yang memberikan larangan dan juga memiliki kontrol penggunaan rokok mampu memangkas jumlah perokok dalam waktu hanya beberapa tahun secara signifikan,” ujar Direktur departemen Prevention of Noncommunicable Disease dari WHO, Dr. Douglas Bettcher.
Laporan tersebut mengutip bahwa 2,3 miliar orang dari 92 negara mendapat keuntugan dari larangan untuk merokok, naik dua kali lipat dari jumlah pada lima tahun lalu.
Namun, angka tersebut hanya mewakili sepertiga populasi dunia, katanya