- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketika Jurnalis Berada di Pusaran Kasus [Kelanjutan Review Buku Saksi Kunci]


TS
bukupedia01
Ketika Jurnalis Berada di Pusaran Kasus [Kelanjutan Review Buku Saksi Kunci]
Setelah Menulis beberapa review tentang buku Saksi Kunci, ternyata terdapat beberapa artikel yang menyangkut review buku tsb. Silahkan disimak agan-agan sekalian.


Jadi bagaimana menurut agan-agan sekalian?
jangan lupa yaa


Spoiler for Suara Karya, 19 Oktober 2013 ditulis oleh Dr. Emrus:
Dalam profesi jurnalistik, idealisme menjadi ideologi mutlak yang tak boleh ditawar. Itu sebabnya jurnalis idealis senantiasa mencari, mengumpulkan bahan, dan menuangkannya dalam suatu karya jurnalistik untuk mengungkap hakikat sesuatu kepada publik, lepas dari segala kepentingan.
Inilah tanggungjawab moral seorang jurnalis. Tanpa idealisme, jurnalis menghasilkan berita palsu, komodifikasi berita, dan berita menjadi alat pembenaran kepentingan. Pada gilirannya dapat mengkonstruksi khalayak masyarakat menjadi hedonisme melalui penetrasi media.
Oleh karena itu, semangat tiap karya jurnalistik harus kukuh menyajikan fakta peristiwa dan pendapat sebagaimana adanya dan mengungkap data berbagai perspektif secara netral. Idealnya, jurnalis hanya berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan sehingga wartawan tidak gentar sekalipun nyawa menjadi taruhannya.
Bagi seorang jurnalis tulen, tidak ada kata kompromi dalam menorehkan deskripsi tentang semua kejadian dan pendapat yang disaksikannya. Selain itu, jurnalis tidak boleh ditunggangi kepentingan apapun dan siapapun, termasuk kepentingan dirinya sendiri yang merugikan khalayak. Untuk itu jurnalis harus mampu menahan diri dan menolak menulis tentang dirinya bila terkait dengan dugaan tindak pidana, termasuk korupsi bentuk apapun. Sebab amat sulit bagi seorang jurnalis diduga terlibat ke pusaran kasus hukum untuk tidak berpihak kepada subjektivitasnya ketika mencari dan menyeleksi fakta-fakta serta menulisnya dalam sajian karya jurnalistik.
Seorang jurnalis idealis akan menunda untuk menulis pengalaman yang melibakan dirinya terhadap suatu tindak pidana korupsi. Seperti keterkaitannya dengan peneyelundupan pajak perusahaan dengan angka yang sangat fantastis mencapai ratusan miliar rupiah. Secara moral, jurnalis baru boleh menulisnya ketika kasus yang diduga melibatkan dirinya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap bagi semua pihak yang terkait. Jauh lebih bijak memberikan kesempatan atau membiarkan jurnalis lain yang tidak bersentuhan sama sekali dengan kasus tersebut untuk menulisnya.
Bila seorang jurnalis diduga terkait dengan kasus hukum, lalu menulis sendiri pengalamannya dalam bentuk laporan investigasi, pasti diwarnai nilai dan kepentingan subjektif penulis. Subjektivitas mewarnai semua tahapan dan proses penulisan. Mulai dari penetapan tema, timing, penentuan pilihan peristiwa, narasumber, penentuan topik atau judul, struktur penulisasn, seleksi fakta, penonjolan data, serta pilihan kata. Acapkali subjektivitas jurnalis diramu menyatu sehingga membawa pembaca larut pada alur cerita yang menurunkan nalar sehingga terkonstruksi bahwa karya tersebut seolah kebenaran. Kisah nyata narasi dan argumentasi diatas muncul seketika dalam pikiran saya tatkala membaca buku“Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group” karangan Metta Dharmasaputra (penerbit Tempo; tahun terbit 2013).
Dari judul buku, saya hampir terjebak pada alur cerita isi tulisan. Saya pun semakin excited menyimaknya ketika bagian awal isi buku, penulis mengatakan sebagai pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diembannya. Saya semakin tercengang ketika penulis buku tersebut diduga terkait dengan pusaran masalah dengan mengakui bahwa dirinya dicurigai menjadi bagian dari kongkalikong.
Harus diakui tulisan tersebut mengalir, menarik, dan mengandung nlai berita luar biasa karena disajikan dalam bentuk jurnalistik sastra dan menyajikan berbagai pro kontra tentang mafia korupsi. Secara jujur, penulis buku ini mengakui keterlibatannya membela Vincent, salah satu tokoh yang terlibat dalam kongkalikong pajak dalam isi buku tersebut. Penulis tersebut tersentuh pendekatan Vincent yang kerap diwarnai situasi emosional, sikap ketidakberdayaan, dan kepasrahan.
Bagaimanapun penyajian laporan investigasi tentang korupsi seringkali lebih menonjolkan pengungkapan tabir praktek korupsi daripada fakta yang muncul dalam proses hukum formal di lembaga penegakan hukum. Namun penonjolan tersebut lebih diwarnai subjektivitas yang menyatu pada seluruh laporan investigasi daripada sajian data holistik. Akibatnya, rasa ingin tahu pembaca tentang gurita korupsi di beberapa perusahaan raksasa perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sempat mencuat.
Contoh lainnya terungkap pada isi SMS, “Selamat Malam. Apa sudah baca berita di detik..com? Nama kamu disebut-sebut dalam berita soal Asian Agri. Kabarnya akan diperiksa polisi!” Sajian pesan via SMS itu belum tuntas.
Seharusnya penulis mengelaborasi data mengapa namanya disebut dan akan dipanggil polisi. Pengabaian data tertentu pasti mempunyai tujuan, biasanya sebagai tirai penutup misteri. Itu membuat pembaca bisa terlena dan terbius dibawa arus alur pemikiran penulis.
Oleh karena itu, suatu karya jurnalistik yang menjunjung tinggi idealisme, keseluruhan data harus dijabarkan secara rinci sehingga pembaca tidak mempunyai anggapan terhadap penulis dengan “maling teriak maling”. Sebab tidak ada tindakan manusia yang berdiri sendiri, termasuk ketika jurnalis menyajikan karyanya pasti sebagai rangkaian kejadian satu dengan yang lain untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Ketika menelusuri keseluruhan isi buku, buku Saksi Kunci menarik dijadikan kajian doktoral komunikasi menggunakan pendekatan kualitatif dengan tradisi semiotika dan hermeneutika dalam rangka membongkar makna terselubung secara paripurna dari penulis. Sebab sepanjang pengamatan saya, kasusu hukum yang diungkap dalam buku tersebut masih berlangsung. Pihak perusahaan masih menunggu rincian denda pajak yang harus dibayar. Karena itu, isi buku tidak boleh mengaburkan fakta lain, apalagi sampai menggiring opini publik memvonis bahwa perusahaan dan orang tertentu seolah telah bersalah. Tentu itu kurang bijak.
Dr. Emrus
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan
Inilah tanggungjawab moral seorang jurnalis. Tanpa idealisme, jurnalis menghasilkan berita palsu, komodifikasi berita, dan berita menjadi alat pembenaran kepentingan. Pada gilirannya dapat mengkonstruksi khalayak masyarakat menjadi hedonisme melalui penetrasi media.
Oleh karena itu, semangat tiap karya jurnalistik harus kukuh menyajikan fakta peristiwa dan pendapat sebagaimana adanya dan mengungkap data berbagai perspektif secara netral. Idealnya, jurnalis hanya berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan sehingga wartawan tidak gentar sekalipun nyawa menjadi taruhannya.
Bagi seorang jurnalis tulen, tidak ada kata kompromi dalam menorehkan deskripsi tentang semua kejadian dan pendapat yang disaksikannya. Selain itu, jurnalis tidak boleh ditunggangi kepentingan apapun dan siapapun, termasuk kepentingan dirinya sendiri yang merugikan khalayak. Untuk itu jurnalis harus mampu menahan diri dan menolak menulis tentang dirinya bila terkait dengan dugaan tindak pidana, termasuk korupsi bentuk apapun. Sebab amat sulit bagi seorang jurnalis diduga terlibat ke pusaran kasus hukum untuk tidak berpihak kepada subjektivitasnya ketika mencari dan menyeleksi fakta-fakta serta menulisnya dalam sajian karya jurnalistik.
Seorang jurnalis idealis akan menunda untuk menulis pengalaman yang melibakan dirinya terhadap suatu tindak pidana korupsi. Seperti keterkaitannya dengan peneyelundupan pajak perusahaan dengan angka yang sangat fantastis mencapai ratusan miliar rupiah. Secara moral, jurnalis baru boleh menulisnya ketika kasus yang diduga melibatkan dirinya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap bagi semua pihak yang terkait. Jauh lebih bijak memberikan kesempatan atau membiarkan jurnalis lain yang tidak bersentuhan sama sekali dengan kasus tersebut untuk menulisnya.
Bila seorang jurnalis diduga terkait dengan kasus hukum, lalu menulis sendiri pengalamannya dalam bentuk laporan investigasi, pasti diwarnai nilai dan kepentingan subjektif penulis. Subjektivitas mewarnai semua tahapan dan proses penulisan. Mulai dari penetapan tema, timing, penentuan pilihan peristiwa, narasumber, penentuan topik atau judul, struktur penulisasn, seleksi fakta, penonjolan data, serta pilihan kata. Acapkali subjektivitas jurnalis diramu menyatu sehingga membawa pembaca larut pada alur cerita yang menurunkan nalar sehingga terkonstruksi bahwa karya tersebut seolah kebenaran. Kisah nyata narasi dan argumentasi diatas muncul seketika dalam pikiran saya tatkala membaca buku“Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group” karangan Metta Dharmasaputra (penerbit Tempo; tahun terbit 2013).
Dari judul buku, saya hampir terjebak pada alur cerita isi tulisan. Saya pun semakin excited menyimaknya ketika bagian awal isi buku, penulis mengatakan sebagai pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diembannya. Saya semakin tercengang ketika penulis buku tersebut diduga terkait dengan pusaran masalah dengan mengakui bahwa dirinya dicurigai menjadi bagian dari kongkalikong.
Harus diakui tulisan tersebut mengalir, menarik, dan mengandung nlai berita luar biasa karena disajikan dalam bentuk jurnalistik sastra dan menyajikan berbagai pro kontra tentang mafia korupsi. Secara jujur, penulis buku ini mengakui keterlibatannya membela Vincent, salah satu tokoh yang terlibat dalam kongkalikong pajak dalam isi buku tersebut. Penulis tersebut tersentuh pendekatan Vincent yang kerap diwarnai situasi emosional, sikap ketidakberdayaan, dan kepasrahan.
Bagaimanapun penyajian laporan investigasi tentang korupsi seringkali lebih menonjolkan pengungkapan tabir praktek korupsi daripada fakta yang muncul dalam proses hukum formal di lembaga penegakan hukum. Namun penonjolan tersebut lebih diwarnai subjektivitas yang menyatu pada seluruh laporan investigasi daripada sajian data holistik. Akibatnya, rasa ingin tahu pembaca tentang gurita korupsi di beberapa perusahaan raksasa perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sempat mencuat.
Contoh lainnya terungkap pada isi SMS, “Selamat Malam. Apa sudah baca berita di detik..com? Nama kamu disebut-sebut dalam berita soal Asian Agri. Kabarnya akan diperiksa polisi!” Sajian pesan via SMS itu belum tuntas.
Seharusnya penulis mengelaborasi data mengapa namanya disebut dan akan dipanggil polisi. Pengabaian data tertentu pasti mempunyai tujuan, biasanya sebagai tirai penutup misteri. Itu membuat pembaca bisa terlena dan terbius dibawa arus alur pemikiran penulis.
Oleh karena itu, suatu karya jurnalistik yang menjunjung tinggi idealisme, keseluruhan data harus dijabarkan secara rinci sehingga pembaca tidak mempunyai anggapan terhadap penulis dengan “maling teriak maling”. Sebab tidak ada tindakan manusia yang berdiri sendiri, termasuk ketika jurnalis menyajikan karyanya pasti sebagai rangkaian kejadian satu dengan yang lain untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Ketika menelusuri keseluruhan isi buku, buku Saksi Kunci menarik dijadikan kajian doktoral komunikasi menggunakan pendekatan kualitatif dengan tradisi semiotika dan hermeneutika dalam rangka membongkar makna terselubung secara paripurna dari penulis. Sebab sepanjang pengamatan saya, kasusu hukum yang diungkap dalam buku tersebut masih berlangsung. Pihak perusahaan masih menunggu rincian denda pajak yang harus dibayar. Karena itu, isi buku tidak boleh mengaburkan fakta lain, apalagi sampai menggiring opini publik memvonis bahwa perusahaan dan orang tertentu seolah telah bersalah. Tentu itu kurang bijak.
Dr. Emrus
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan
Jadi bagaimana menurut agan-agan sekalian?

0
941
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan