- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
4 transportasi umum di jakarta tanpa polusi menjadi sejarah
TS
endoline
4 transportasi umum di jakarta tanpa polusi menjadi sejarah
Transportasi ini jika masi di lestarikan dan di perindah tampilanya dengan kemajuan jaman mugkin lebih memberi solusi untuk mengurangi POLUSI JAKARTA ada beberapa transprtasi di jakarta yang kian hari menjadi sejarah mugkin kini terlihat unik dan menjadi cerita di anak cucu kita kelak ya gan langsungcekidaut ya apa aja transportasinya:
Zaman dahulu kala ada sebuah kendaraan yang digerakkan bukan menggunakan tenaga mesin dan bukan juga manusia. Kendaraan yang menjadi ciri khas budaya Betawi ini diberi nama Delman. Dalam sejarahnya, delman diciptakan oleh Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur di masa Hindia Belanda.
Andong Betawi atau delman Betawi adalah alat transportasi yang menggunakan gerobak kayu dan menggunakan roda kayu yang digerakan oleh tenaga binatang. Kuda-lah binatang yang terpilih sebagai tenaga penggerak alat tersebut. Alat transportasi ini menjadi bagian yang sangat penting dalam sejarah alat transportasi di Indonesia sekaligus menjadi alat transpostasi yang sangat membantu dalam laju ekonomi di jakarta.
Pendidikan rendah, tuntutan ekonomi, dan tuntutan meneruskan budaya yang menjadikan latar belakang, para kusir andong yang merupakan salah satu bagian dari budaya tradisional betawi yang mencoba bertahan di Jakarta dan mengalami nasib yang sama dengan kebudayaan betawi lainnya seperti yang mulai tergusur seperti tari topeng, gambang kromong, dan tanjidor.
Dahulu, di sekitar kawasan Monas, delman menjadi kendaraan wisata keliling Monas. Namun nasib delman kini pun harus tergerus oleh zaman. Banyaknya kendaraan bermotor yang dijadikan alat transportasi menjadikan kehadiran delman harus tersingkirkan. Alat transportasi di Jakarta memang banyak, tetapi umumnya sudah digerakkan oleh mesin, contohnya bus, angkot, taksi, bajaj hingga ojek. Sehingga bagi para penumpang yang memang membutuhkan ketepatan waktu, kendaraan-kendaraan tersebut bisa menjadi andalan.
TERIK tepat di atas ubun-ubun. Ratusan sepeda usang berjejer rapi di halaman Museum Sejarah Jakarta—masyarakat biasa menyebut Museum Fatahillah—kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Beberapa pengojek tampak asyik mencuci lalu mengelap onthel antiknya penuh kasih sayang. Sebagian lainnya dengan ramah menyapa pengunjung sambil menawarkan jasa ojek tradisionalnya, untuk sekadar berkeliling menikmati pemandangan Oud Batavia yang sedikit kumuh atau bahkan mengantarkan calon penumpangnya ke sejumlah tempat yang letaknya tidak begitu jauh dari Kawasan Batavia Lama.
“Ayo mas keliling Kota Tua naik sepeda onthel,” sapa Ali, seorang pengojek sepeda paruh baya. Sambil mengayuh mengejangkan otot betisnya, pria setengah abad ini bercerita tentang mata pencahariannya yang sudah puluhan tahun dia geluti.
Ali mengaku, biasanya dia mangkal di bangunan tua dekat Stasiun Jakarta Kota yang namanya begitu melegenda. “Saya sudah tiga puluh tahun narik ojek di sini,” ujarnya kepada Okezone mengawali perbincangan.
Setiap pagi buta, bapak lima anak ini sudah berangkat mencari nafkah dari rumahnya di kawasan Tangerang, Banten. Mengais upah Rp3.000 hingga Rp5.000 rupiah sekali jalan. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan Rp30 sampai Rp40 ribu, tergantung dari ramai dan sepinya penumpang.
Meski tak bisa dikatakan besar, penghasilan halalnya itu sangat Ali syukuri. “Lumayanlah mas bisa buat makan sehari-hari,” ujarnya polos. Dengan sepeda ‘unta’ kelir hijau merek Phoenix-nya itu, Ali tetap semangat mencari nafkah untuk menyambung hidup Puji, istrinya, dan kelima anaknya.
Selain menawarkan jasa ojek sepeda, Ali juga menyewakan sepedanya kepada pengunjung yang ingin berkeliling Kota Tua. Dengan topi khas meneer atau Noni Belanda pengunjung bisa menggenjot sendiri sepeda tua itu menyusuri pojok-pojok sejarah kejayaan Batavia.
Tak hanya Ali yang menyewakan sepedanya, beberapa rekan Ali dalam komunitas penyewaan onthel wisata juga melakukan hal yang sama. Komunitas ini dirintis sejak 2008, pada era Gubernur DKI Jakarta saat itu Fauzi Bowo. Kini paguyuban sepeda onthel mempunyai puluhan anggota pengojek.
Paguyuban Onthel wisata juga menyediakan beberapa paket tour. Ada Paket Wisata Sejarah, dimana Anda akan dibawa berkeliling Kota Tua menggunakan sepeda onthel beserta aksesori yang disediakan. Ada pula Paket Keliling Museum Sejarah Jakarta. Untuk paket ini, Anda dibebaskan memakai sepeda onthel di area lapangan Museum Sejarah Jakarta beserta aksesori yang telah disediakan.
Paket berikutnya adalah Photo Session. Dalam Paket ini pengunjung menggunakan jasa sepeda onthel ini untuk keperluan persiapan foto pernikahan (prawedding) dengan latar belakang bangunan tua.
Tarifnya yang ditawarkan pun beragam, mulai Rp20 ribu, Rp35 ribu, hingga Rp100 ribu. Ali hanyalah satu dari ratusan pengojek yang menggantungkan hidupnya di kawasan Kota Tua. Sumarno, rekan Ali mengatakan bahwa sepeda onthel masih digemari masyarakat. “Meskipun banyak mikrolet di wilayah ini, tapi masih banyak orang yang naik sepeda onthel sampai sekarang,” ujarnya.
Bahkan pria berkulit legam ini, rela berangkat dari rumahnya di Karawang, Jawa Barat ke Kota Tua, Jakarta Barat dengan menggowes sepeda hitam miliknya itu. Jarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya tidak menjadi halangan bagi Sumarno.
Setiap dua minggu sekali, bapak empat anak ini pulang ke Karawang dengan membawa penghasilan ojek sepedanya untuk diberikan kepada isteri dan anaknya.
“Habis mau kerja apa lagi, cari kerja sulit mas. Apalagi semua kebutuhan pokok naik penghasilan segitu-gitu aja yang penting dapur ngebul,” selorohnya sambil mengakhiri perbincangan.
Becak setelah berkembang di Batavia/Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun[6] terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah tertinggi dalam sejarah.
Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi. Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”
Sejarah angkutan sungai di Indonesia dimulai sejak zaman pra sejarah manusia telah melakukan aktivitas transportasi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada awal mulanya perahu yang digunakan berupa rakit bambu atau batang kayu besar yang dibentuk dengan membuat lubang di tengah. Perlahan pemikiran manusia semakin maju, berbagai jenis perahu mulai tercipta. Mulai dari rakit bambu (getek), perahu lesung, sampan, sampai perahu boat yang menggunakan tenaga mesin. Pada masa modern pemerintah menggalakkan pengangkutan melalui sungai terutama di daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera dan Papua. Sungai dijadikan sarana untuk mengantarkan kayu-kayu hasil tebangan hutan menuju tempat penampungan.
Spoiler for Delman:
Zaman dahulu kala ada sebuah kendaraan yang digerakkan bukan menggunakan tenaga mesin dan bukan juga manusia. Kendaraan yang menjadi ciri khas budaya Betawi ini diberi nama Delman. Dalam sejarahnya, delman diciptakan oleh Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur di masa Hindia Belanda.
Andong Betawi atau delman Betawi adalah alat transportasi yang menggunakan gerobak kayu dan menggunakan roda kayu yang digerakan oleh tenaga binatang. Kuda-lah binatang yang terpilih sebagai tenaga penggerak alat tersebut. Alat transportasi ini menjadi bagian yang sangat penting dalam sejarah alat transportasi di Indonesia sekaligus menjadi alat transpostasi yang sangat membantu dalam laju ekonomi di jakarta.
Pendidikan rendah, tuntutan ekonomi, dan tuntutan meneruskan budaya yang menjadikan latar belakang, para kusir andong yang merupakan salah satu bagian dari budaya tradisional betawi yang mencoba bertahan di Jakarta dan mengalami nasib yang sama dengan kebudayaan betawi lainnya seperti yang mulai tergusur seperti tari topeng, gambang kromong, dan tanjidor.
Dahulu, di sekitar kawasan Monas, delman menjadi kendaraan wisata keliling Monas. Namun nasib delman kini pun harus tergerus oleh zaman. Banyaknya kendaraan bermotor yang dijadikan alat transportasi menjadikan kehadiran delman harus tersingkirkan. Alat transportasi di Jakarta memang banyak, tetapi umumnya sudah digerakkan oleh mesin, contohnya bus, angkot, taksi, bajaj hingga ojek. Sehingga bagi para penumpang yang memang membutuhkan ketepatan waktu, kendaraan-kendaraan tersebut bisa menjadi andalan.
Spoiler for ojek sepeda:
TERIK tepat di atas ubun-ubun. Ratusan sepeda usang berjejer rapi di halaman Museum Sejarah Jakarta—masyarakat biasa menyebut Museum Fatahillah—kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Beberapa pengojek tampak asyik mencuci lalu mengelap onthel antiknya penuh kasih sayang. Sebagian lainnya dengan ramah menyapa pengunjung sambil menawarkan jasa ojek tradisionalnya, untuk sekadar berkeliling menikmati pemandangan Oud Batavia yang sedikit kumuh atau bahkan mengantarkan calon penumpangnya ke sejumlah tempat yang letaknya tidak begitu jauh dari Kawasan Batavia Lama.
“Ayo mas keliling Kota Tua naik sepeda onthel,” sapa Ali, seorang pengojek sepeda paruh baya. Sambil mengayuh mengejangkan otot betisnya, pria setengah abad ini bercerita tentang mata pencahariannya yang sudah puluhan tahun dia geluti.
Ali mengaku, biasanya dia mangkal di bangunan tua dekat Stasiun Jakarta Kota yang namanya begitu melegenda. “Saya sudah tiga puluh tahun narik ojek di sini,” ujarnya kepada Okezone mengawali perbincangan.
Setiap pagi buta, bapak lima anak ini sudah berangkat mencari nafkah dari rumahnya di kawasan Tangerang, Banten. Mengais upah Rp3.000 hingga Rp5.000 rupiah sekali jalan. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan Rp30 sampai Rp40 ribu, tergantung dari ramai dan sepinya penumpang.
Meski tak bisa dikatakan besar, penghasilan halalnya itu sangat Ali syukuri. “Lumayanlah mas bisa buat makan sehari-hari,” ujarnya polos. Dengan sepeda ‘unta’ kelir hijau merek Phoenix-nya itu, Ali tetap semangat mencari nafkah untuk menyambung hidup Puji, istrinya, dan kelima anaknya.
Selain menawarkan jasa ojek sepeda, Ali juga menyewakan sepedanya kepada pengunjung yang ingin berkeliling Kota Tua. Dengan topi khas meneer atau Noni Belanda pengunjung bisa menggenjot sendiri sepeda tua itu menyusuri pojok-pojok sejarah kejayaan Batavia.
Tak hanya Ali yang menyewakan sepedanya, beberapa rekan Ali dalam komunitas penyewaan onthel wisata juga melakukan hal yang sama. Komunitas ini dirintis sejak 2008, pada era Gubernur DKI Jakarta saat itu Fauzi Bowo. Kini paguyuban sepeda onthel mempunyai puluhan anggota pengojek.
Paguyuban Onthel wisata juga menyediakan beberapa paket tour. Ada Paket Wisata Sejarah, dimana Anda akan dibawa berkeliling Kota Tua menggunakan sepeda onthel beserta aksesori yang disediakan. Ada pula Paket Keliling Museum Sejarah Jakarta. Untuk paket ini, Anda dibebaskan memakai sepeda onthel di area lapangan Museum Sejarah Jakarta beserta aksesori yang telah disediakan.
Paket berikutnya adalah Photo Session. Dalam Paket ini pengunjung menggunakan jasa sepeda onthel ini untuk keperluan persiapan foto pernikahan (prawedding) dengan latar belakang bangunan tua.
Tarifnya yang ditawarkan pun beragam, mulai Rp20 ribu, Rp35 ribu, hingga Rp100 ribu. Ali hanyalah satu dari ratusan pengojek yang menggantungkan hidupnya di kawasan Kota Tua. Sumarno, rekan Ali mengatakan bahwa sepeda onthel masih digemari masyarakat. “Meskipun banyak mikrolet di wilayah ini, tapi masih banyak orang yang naik sepeda onthel sampai sekarang,” ujarnya.
Bahkan pria berkulit legam ini, rela berangkat dari rumahnya di Karawang, Jawa Barat ke Kota Tua, Jakarta Barat dengan menggowes sepeda hitam miliknya itu. Jarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya tidak menjadi halangan bagi Sumarno.
Setiap dua minggu sekali, bapak empat anak ini pulang ke Karawang dengan membawa penghasilan ojek sepedanya untuk diberikan kepada isteri dan anaknya.
“Habis mau kerja apa lagi, cari kerja sulit mas. Apalagi semua kebutuhan pokok naik penghasilan segitu-gitu aja yang penting dapur ngebul,” selorohnya sambil mengakhiri perbincangan.
Spoiler for becak:
Becak setelah berkembang di Batavia/Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun[6] terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah tertinggi dalam sejarah.
Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi. Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”
Spoiler for getek air:
Sejarah angkutan sungai di Indonesia dimulai sejak zaman pra sejarah manusia telah melakukan aktivitas transportasi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada awal mulanya perahu yang digunakan berupa rakit bambu atau batang kayu besar yang dibentuk dengan membuat lubang di tengah. Perlahan pemikiran manusia semakin maju, berbagai jenis perahu mulai tercipta. Mulai dari rakit bambu (getek), perahu lesung, sampan, sampai perahu boat yang menggunakan tenaga mesin. Pada masa modern pemerintah menggalakkan pengangkutan melalui sungai terutama di daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera dan Papua. Sungai dijadikan sarana untuk mengantarkan kayu-kayu hasil tebangan hutan menuju tempat penampungan.
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
kini semua nyempil di tempat" terpencil
andai dibudayakan dan di atur keberadaanya ya,....
andai dibudayakan dan di atur keberadaanya ya,....
jangan lupa ya Gan
0
3.7K
Kutip
13
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan