- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Perppu MK Ditandatangani Presiden


TS
kemalmahendra
Perppu MK Ditandatangani Presiden
Di tengah berbagai peringatan bahwa langkah yang ditempuh inkonstitusional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Kamis malam di Yogyakarta tetap menandatangani diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Keinginan untuk menyelamatkan kredibilitas lembaga penjaga konstitusi membuat Presiden mengambil risiko tersebut.
Dalam pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara pada tanggal 5 Oktober disepakati adanya kegentingan dalam sistem ketatanegaraan menyusul tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus korupsi. Menghadapi penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 di mana potensi terjadinya sengketa hasil pemilu sangat tinggi, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi agar lembaga itu mampu menyelesaikan sengketa pemilu yang terjadi.
Sebelumnya, kita menyampaikan bahwa tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi dalam kasus korupsi merupakan tsunami dalam sistem ketatanegaraan. Baru pertama kali dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ada pejabat tinggi negara tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi.
Hanya kedaruratan itu harus dihadapi dengan cara yang strategis. Jangan didekati dengan kepanikan, yang akhirnya bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan kerumitan politik yang baru.
Hal yang harus diperhatikan secara saksama adalah soal substansi Perppu dan langkah politik untuk mengolkannya. Pemerintah harus melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi kepada partai politik agar mereka juga sepandangan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Partai-partai politik harus mendukung dan jangan sampai menolak Perppu yang dikeluarkan pemerintah.
Kalau Perppu itu kemudian ditolak oleh parlemen, maka kita akan melihat pemerintah dan Lembaga Presiden yang tidak kredibel. Ini akan semakin memperparah sistem ketatanegaraan, karena setelah Mahkamah Konstitusi, sekarang bertambah lagi Lembaga Presiden yang kehilangan kepercayaan.
Hal kedua yang harus cermat diperhatikan adalah substansi dari Perppu. Kita sependapat perlu dibentuknya Tim Panel yang menguji kelayakan dan kepatutan para calon Hakim Konstitusi. Hal itu seharusnya berlaku jug dalam memilih calon Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi.
Tim Panel benar harus melibatkan masyarakat baik itu dari penguruan tinggi, asosiasi pengacara, maupun mantan hakim. Anggota panel terdiri dari orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik, dapat dipercaya, memiliki integritas yang tinggi, dan wawasan kenegaraan yang kuat agar bisa memilih calon Hakim Konstitusi yang baik.
Hanya saja terasa janggal bahwa dalam Perppu dicantumkan bahwa calon Hakim Konstitusi harus bergelar doktor. Ukuran gelar doktoral menunjukkan kekacauan cara berpikir dan kesalahkaprahan pendidikan yang ada di negeri ini.
Seakan-akan orang yang bergelar doktor otomatis orang yang berkualitas. Padahal seperti dikatakan Mahatma Gandhi, pengetahuan tidak ada artinya apabila tidak ditopang oleh kemanusiaan. Itulah yang membuat banyak doktor di Indonesia, tetapi kualitasnya sekelas sarjana pun tidak.
Gelar doktor tidak menjamin bahwa orang itu akan bebas dari korupsi. Orang-orang yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi justru banyak yang bergelar doktor. Ada tiga doktor yang sekarang ini sedang mendekam di dalam penjara yaitu Miranda Goeltom, Akil Mochtar, dan Andi Alifian Mallarangeng.
Pada kita orang hanya berlomba-lomba mengejar gelar sarjana. Bahkan kalau perlu gelar doktornya pun dibeli. Mereka tidak menyadari bahwa ketika kita menempuh ilmu sampai tingkat doktoral, maka kita mempunyai kewajiban untuk melakukan penelitian yang berguna bagi kehidupan manusia. Seorang doktor berkewajiban untuk membagi ilmu yang dimiliki kepada banyak orang.
Seharusnya gelar doktor bukanlah syarat keharusan, tetapi sekadar menjadi faktor penambah. Sebab sarjana hukum pun bisa memiliki kualitas yang lebih hebat dari seorang doktor kalau ia memiliki rekam jejak yang baik, dapat dipercaya, memiliki integritas tinggi, dan memiliki sikap kenegarawanan.
Tim perumus di belakang Presiden seharusnya memberikan masukan yang lebih baik. Bukan menjerumuskan Presiden ke dalam hal-hal yang tidak esensial dan akhirnya membuat orang memandang rendah kepada Presiden, karena menyimplifikasi persoalan.
Persoalan terberat yang sedang dihadapi bangsa ini adalah masalah moralitas. Kita tidak kekurangan orang-orang yang pintar, tetapi langka dengan orang yang bermoral. Kita jarang menemukn orang yang bisa membedakan mana yang baik dan mana buruk, mana yang benar dan mana yang salah.
Akibat banyaknya orang yang tidak bermoral, maka orang selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jabatan bukan dipakai untuk pengabdian, tetapi untuk mengejar kekayaan. Orang yang tidak bermoral rela mengorbankan kehormatan untuk mendapatkan kekayaan. Itulah yang sedang kita lihat pada diri para pejabat negara kita sekarang ini.
Dalam pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara pada tanggal 5 Oktober disepakati adanya kegentingan dalam sistem ketatanegaraan menyusul tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus korupsi. Menghadapi penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 di mana potensi terjadinya sengketa hasil pemilu sangat tinggi, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi agar lembaga itu mampu menyelesaikan sengketa pemilu yang terjadi.
Sebelumnya, kita menyampaikan bahwa tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi dalam kasus korupsi merupakan tsunami dalam sistem ketatanegaraan. Baru pertama kali dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ada pejabat tinggi negara tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi.
Hanya kedaruratan itu harus dihadapi dengan cara yang strategis. Jangan didekati dengan kepanikan, yang akhirnya bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan kerumitan politik yang baru.
Hal yang harus diperhatikan secara saksama adalah soal substansi Perppu dan langkah politik untuk mengolkannya. Pemerintah harus melakukan lobi-lobi politik tingkat tinggi kepada partai politik agar mereka juga sepandangan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Partai-partai politik harus mendukung dan jangan sampai menolak Perppu yang dikeluarkan pemerintah.
Kalau Perppu itu kemudian ditolak oleh parlemen, maka kita akan melihat pemerintah dan Lembaga Presiden yang tidak kredibel. Ini akan semakin memperparah sistem ketatanegaraan, karena setelah Mahkamah Konstitusi, sekarang bertambah lagi Lembaga Presiden yang kehilangan kepercayaan.
Hal kedua yang harus cermat diperhatikan adalah substansi dari Perppu. Kita sependapat perlu dibentuknya Tim Panel yang menguji kelayakan dan kepatutan para calon Hakim Konstitusi. Hal itu seharusnya berlaku jug dalam memilih calon Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi.
Tim Panel benar harus melibatkan masyarakat baik itu dari penguruan tinggi, asosiasi pengacara, maupun mantan hakim. Anggota panel terdiri dari orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik, dapat dipercaya, memiliki integritas yang tinggi, dan wawasan kenegaraan yang kuat agar bisa memilih calon Hakim Konstitusi yang baik.
Hanya saja terasa janggal bahwa dalam Perppu dicantumkan bahwa calon Hakim Konstitusi harus bergelar doktor. Ukuran gelar doktoral menunjukkan kekacauan cara berpikir dan kesalahkaprahan pendidikan yang ada di negeri ini.
Seakan-akan orang yang bergelar doktor otomatis orang yang berkualitas. Padahal seperti dikatakan Mahatma Gandhi, pengetahuan tidak ada artinya apabila tidak ditopang oleh kemanusiaan. Itulah yang membuat banyak doktor di Indonesia, tetapi kualitasnya sekelas sarjana pun tidak.
Gelar doktor tidak menjamin bahwa orang itu akan bebas dari korupsi. Orang-orang yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi justru banyak yang bergelar doktor. Ada tiga doktor yang sekarang ini sedang mendekam di dalam penjara yaitu Miranda Goeltom, Akil Mochtar, dan Andi Alifian Mallarangeng.
Pada kita orang hanya berlomba-lomba mengejar gelar sarjana. Bahkan kalau perlu gelar doktornya pun dibeli. Mereka tidak menyadari bahwa ketika kita menempuh ilmu sampai tingkat doktoral, maka kita mempunyai kewajiban untuk melakukan penelitian yang berguna bagi kehidupan manusia. Seorang doktor berkewajiban untuk membagi ilmu yang dimiliki kepada banyak orang.
Seharusnya gelar doktor bukanlah syarat keharusan, tetapi sekadar menjadi faktor penambah. Sebab sarjana hukum pun bisa memiliki kualitas yang lebih hebat dari seorang doktor kalau ia memiliki rekam jejak yang baik, dapat dipercaya, memiliki integritas tinggi, dan memiliki sikap kenegarawanan.
Tim perumus di belakang Presiden seharusnya memberikan masukan yang lebih baik. Bukan menjerumuskan Presiden ke dalam hal-hal yang tidak esensial dan akhirnya membuat orang memandang rendah kepada Presiden, karena menyimplifikasi persoalan.
Persoalan terberat yang sedang dihadapi bangsa ini adalah masalah moralitas. Kita tidak kekurangan orang-orang yang pintar, tetapi langka dengan orang yang bermoral. Kita jarang menemukn orang yang bisa membedakan mana yang baik dan mana buruk, mana yang benar dan mana yang salah.
Akibat banyaknya orang yang tidak bermoral, maka orang selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jabatan bukan dipakai untuk pengabdian, tetapi untuk mengejar kekayaan. Orang yang tidak bermoral rela mengorbankan kehormatan untuk mendapatkan kekayaan. Itulah yang sedang kita lihat pada diri para pejabat negara kita sekarang ini.
0
1.2K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan