- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
cerpen ane, judulnya 'Hearts Color', minta komennya gan
TS
redxiv
cerpen ane, judulnya 'Hearts Color', minta komennya gan
Ini tulisan gw sendiri, jadi ga mungkin repsol,
cuman buat latihan nulis doang tapi minta komennya ya gan,
sengaja gw post lounge, karena pengen tau pendapat umum tentang cerita gw,
enak di baca, ato ada kekurangan ini itu,
gw post 1/3 dulu ya,
soalnya klo gw post sampe tamat pasti ga cukup,
soalnya ada 33rb karakter tanpa spasi, 38rb karakter dgn spasi, dan 5,6rb kata.
Dua puluh januari,kami berdua duduk berhadapan di restoran Itali. Melihatnya yang saat ini, tengah menikmati Spaghetti Aglio-Olio. Pasta udang, menu favoritnya. Sudah sangat lama, dan aku hampir melupakannya. Saat itu kami duduk bersama di sini, di sofa warna merah ini. Saling berhadapan, menikmati hidangan yang kami pesan. Ya, di tempat inilah terakhir kali kami makan bersama, sebelum akhirnya dia memutuskanku, lima tahun lalu.
Kini kami hanya dipisahkan oleh meja makan, selebar tujuh puluh sentimeter. Semenjak berpisah, kami tak pernah lagi berada pada jarak sedekat ini. Ini mengingatkanku pada kejadian hari itu. Hari di mana, untuk pertama kalinya kami makan bersama, di satu meja. Dan sebuah kekonyolan, yang tak kan pernah bisa kulupakan…
Di ujung meja panjang berwarna putih, kantin sekolah. Aku gugup, panik, gelisah. Saat cewek paling cantik di kelas itu, memutuskan untuk duduk tepat di hadapanku. Maksudku, aku tidak sedang menyukainya saat itu. Hanya menganguminya, layaknya kebanyakan anak cowok, berumur tiga belas tahun.
Lidahku mati rasa, tak bisa merasakan tiap sendok makanan yang masuk ke dalam mulut. Telingaku berhenti mengijinkan, suara-suara gaduh yang memberontak ingin masuk. Hanya dia, seluruh pikiranku hanya tertuju pada dirinya.
Diam-diam bola mata ini terus meliriknya secara konstan, per dua detik. Tertarik melihat apa yang sedang dilakukannya. Maklum saja, walau sekelas kami tak pernah sekalipun saling menyapa. Tempat duduk kami terpisah dari ujung ke ujung. Bukan hanya harus memutar kepala sembilan puluh derajat. Aku pun harus melewati hadangan empat kepala lain, hanya untuk sekedar melihat wajahnya.
Kebodohanku di mulai saat aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Aku tidak merasa memesan sesuatu yang gurih. Tapi anehnya, kenapa aku bisa memakannya. Sesuatu yang gurih dan renyah, berasal dari tangan kananku yang sebelumnya memegang sebuah sendok.
Aku melihat kearahnya, dan mata bulat tengah menatapku heran. Mata kami saling menatap, seolah mimpi menjadi nyata. Tapi sedetik kemudian bola matanya bergerak, menuju benda yang kupegang di tangan kanan. Spontan mataku pun bergerak menuju arah yang sama, dan kutemukan sebuah pangsit.
Ya, pangsit goreng di tangan kananku. Butuh waktu beberapa detik bagi otak untuk mengolah data, dan mengambil kesimpulan sederhana, bahwa pangsit goreng ini bukan milikku!!
Aku panik tak keruan, dan melihat makanan yang ia pesan. Semangkuk mie ayam, lengkap dengan mangkuk merah kecil berisi saus dan sambal, beberapa acar, dan sebuah pangsit goreng!!
Bagaimana mungkin aku mengambil makanan miliknya?!
Kapan?
Suasana hening tak normal di tengah keramaian yang kurasakan tadi, telah membuatku melakukan hal gila. Segeraku beranjak dari kursi, mengembalikan pangsit itu ke tempat asalnya, dan membeli pangsit goreng lain sebagai gantinya.
Tetapi beberapa detik kemudian aku baru sadar, bahwa aku telah melakukan hal konyol lainnya. Dengan mengembalikan pangsit itu ke mangkuknya, sama artinya aku menyuruhnya untuk memakan pangsit itu kembali.
Tapi saat kubalikkan badan, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dia telah memakan pangsit itu, dan dengan tersenyum berkata, “gak pa pa, kok… Makasih!”
Entah apa arti senyuman, dan ucapan terima kasih itu. Sampai hari ini pun, hal itu masih menjadi misteri bagiku. Tapi satu hal yang pasti. Sejak hari itu, aku terus mengingat wajahnya, yang tersenyum menatapku.
Kuteguk secangkir kopi esspreso. Memalingkan wajah, dan memandang langit biru dari balik kaca. Aku sadar, bahwa aku telah berjalan terlalu jauh ke masa lalu. Sebelas tahun, waktu yang sangat lama. Tapi mengapa ,memori ini masih bisa mengingat detail kejadian hari itu. Perasaan, yang kurasakan saat itu.
Jikalau pun waktu berputar mundur, kembali ke masa itu. Mungkin aku akan tetap memilih mencintainya. Walau pada akhirnya aku tahu, kami tak kan pernah bisa bersama, selamanya. Walaupun harus berakhir dengan kesedihan, dan luka yang teramat dalam. Aku…
Kupaksakan diri untuk memejamkan mata, dan menjernihkan pikirkan. Tidak!! Tidak bisa!!—kucoba meyakinkan diri.
Ini semua karena dua kalimat, yang keluar dari mulutnya. Aku jadi terlalu sentimental. Aku harus berpikir realistis, bahwa kami takkan bisa kembali seperti dulu.
Benar yang dikatakannya saat itu. Sejak awal hubungan ini sudah salah, kami terlalu berbeda, seharusnya kami tak pernah saling…
Kudengar bunyi benda solid, yang saling bersentuhan. Aku tahu, itu adalah tanda bahwa dia telah mengosongkan piring dihadapannya. Karena seperti biasa, saat makan dia tak akan menimbulkan bunyi. Kecuali waktu meletakkan garpu dan sendok, di piring kosong.
Kugerakkan bola mata melirik kearahnya. Terdorong rasa penasaran, dengan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Wajahnya terlihat sangat tenang, dan menikmati tiap teguk orange float yang masuk ke dalam mulut. Dan kurasa, dia telah melupakan masalah yang di buatnya sendiri, sekitar lima belas menit lalu.
Tak lama, dia mulai menyadari keberadaanku. Tapi hanya sekilas dia melirik kearahku, dan langsung membuang muka, dengan raut wajah bersalah. Seraya kemudian ia menyibak sisi kiri rambutnya, menyembunyikan kedua tangannya di balik meja. Dan seolah tahu aku masih memperhatikannya, ia menatap ke langit-langit.
“Aku harus ngomong berapa kali soal ini. Paling tidak, pikirkan kesehatanmu sendiri!!”—Hardikku keras padanya— “Sampe kapanpun masalah gak akan pernah ada habisnya, dan kamu gak bisa terus-terusan mengabaikan waktu makan! Kau harus makan!!”
Dia hanya mematung, dan terus menatap ke langit-langit, seolah lampu gantung di restoran itu sangat menarik baginya. Dan satu-satunya hal yang paling kubenci darinya, adalah kebiasaan buruknya ini.
Dia tak akan mau memakan apapun saat mengalami masalah, ataupun stress, tidak sama sekali. Bahkan jika aku tak memesankan pasta itu, dan memaksanya makan. kaskusr apapun dirinya, aku yakin dia tak akan mau makan, sampai mendapat jawaban, dari masalah ini.
“Aku… sudah hilangin itu kok.”—Ucapnya lirih dengan posisi kepala yang tetap tak berubah—“saat di Beijing, ada masalah atau saat ujian, aku sudah coba untuk makan. Dan itu berhasil, karena…”—ia terdiam sejenak, kemudian berdehem lirih—“aku tau kau pasti akan marah.”
Sontak aku terdiam mendengar pernyataan frontal-nya. Memang tak begitu mengejutkan, jika mengingat dua kalimat yang diucapkannya sebelum ini. Tapi tetap saja, mendengar kata-kata itu dari seseorang ‘eks’ yang pernah kucintai. Membuat hati ini, yah, jadi seperti terombang-ambing.
Dengan berusaha untuk tetap terlihat tenang, seolah kata-katanya itu sama sekali tak berarti lagi bagiku. Aku membalas—“Jadi ?”
Dia menggerakkan kepala dan melirik kearahku, lalu berujar, “ Yaa… ’kan masalah kali ini berbeda…”
Aku berdehem, lalu membuang muka. Saat kedua mata ini kami bertemu, tiba-tiba saja tenggorokanku serasa tercekik. Jadi kuputuskan untuk menyeruput kopi espresso, dengan melihat kearah balkon di luar restoran.
Pikiranku, belum bisa melepas dua kalimat yang diucapkannya tadi. Selama ini aku telah berusaha melupakannya. Coba menjalani hidup sebaik mungkin, tanpa dirinya. Tapi saat dia didepanku, dan dengan wajah serius melontarkan kata-kata ‘sakti’ itu.
Semua usaha yang kulakukan, jadi terasa sia-sia. Semakin kucoba membantahnya, perasaan ini malah muncul semakin kuat dan nyata. Kurasa aku tak bisa membohongi diriku, bahwa aku, memang masih…
“Kenapa sekarang…?” tanyaku di tengah kegalauan yang menyelimuti hati.
Dia terdiam sejenak, dan melirik kearahku dengan wajah bersalah. Kemudian mengalihkan pandangannya, dengan menatap orange float yang berada tepat di hadapannya. Lalu dengan bibir bergetar, dia berkata ragu, “Karena kau, telah mencintai wanita lain…”
Aku terperangah tak percaya, mendengar apa yang baru saja ia katakan. Ini keterlaluan, ucapannya jelas-jelas sangat tidak masuk akal. Apa itu mencintai wanita lain, bahasanya terlalu formal!
Dan lagi, apa maksud dari kata-katanya itu. Dia seolah menghakimiku, karena berselingkuh darinya!
“Sebentar!!”—hardikku yang masih coba berpikir seeetenang mungkin, dan menatap serius kedua bola matanya.
“Kita”—seraya kugerakkan tangan menunjuk kearahnya, kemudian melemparkannya kembali ke diriku.—“Sudah putus ‘kan ??”
Berlahan-lahan bola matanya bergerak menghindariku, tanpa mengatakan sepatah katapun. Hei,hei, apa maksud dari bahasa tubuh itu?! C’mon!! Kupikir jantungku tidak terlalut kuat, jika harus mendapat shock terapi beruntun seperti ini!!
Aku jelas-jelas mendengar ‘kita tak bisa melanjutkannya!’ lima tahun lalu, dari mulutnya sendiri. Setelah itu kita beradu argumen, dan menjadi pertengkaran terhebat selama aku mengenal dirinya. Dan sebulan kemudian, aku mendapat kabar dari sahabatnya bahwa dia telah melanjutkan studi keluar negeri.
Hebat, pikirku saat itu, dia bahkan tak mengatakan sepatah kata PUN, padaku. Dan empat bulan lalu adalah pertemuan pertama kami, di acara reuni sekolah.
“Hei, aku serius!!” bentakku sembari memegang tangannya, untuk coba mendapatkan perhatian.
Tetapi bukannya menjawab pertanyaanku. Dengan wajah datar, dia malah melirik kearah tangannya yang sedang kugenggam erat. Spontan saja langsung kulepaskan tangan itu, aku tak ingin masalah ini berkembang semakin absurd!
“Benar juga,”—ujarnya dengan wajah sedih yang jelas dibuat-buat. Kemudian sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua tangan yang ia lipat rapi di atas meja, ia kembali berkata—“kita sudah putus!”
“Apa maksudmu benar juga. Kita benar-benar sudah putus, lima tahun lalu!!” tegasku dengan memasang wajah seserius mungkin.
Seraya sebelah matanya mengintip dari sela-sela lengan. Lalu mengernyitkan dahi, dan menatap kedua bola mataku tajam. Seolah kata itu, adalah kata-kata terkejam yang pernah kuucapkan. Walau kenyataannya, dia hanya coba mendramatisir.
“Kau tahu, sudah berapa banyak cowok-cowok di luar sana yang mengatakan suka padaku, dan ingin menjadi pacarku?!” tanyanya dengan nada tinggi.
Aku terdiam mendengarnya. Aku tahu dia cantik, dan keras kepala. Tapi tak kusangka dia juga licik, memojokkanku dengan pertanyaan semacam itu. Itu ‘kan sama artinya, dia ingin mengatakan. Betapa beruntungnya aku, bisa berkencan dengannya, DULU.
“Apa peduliku…” Jawabku datar, lalu meneguk kopi espresso.
“Dua puluh, dan kutolak semua!”—jelasnya penuh percaya diri, seraya tangan kanannya bergerak menyapu seluruh penjuru restoran. Lalu meminum orange float di hadapannya.
“Lalu, cowok yang kulihat bersamamu di reuni kemaren…?
Sedetik itu juga dia tersedak, dan dengan sigap menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ya, kurasa dunia ini memang adil. Kuanggap suara batuk-batuk menderita itu, adalah bentuk karma dari sigap arogannya tadi.
Tapi jika harus mengingat cowok berkulit pucat, dan bermata empat. Yang terus mengekor dibelakangnya, sepanjang acara reuni itu. Benar-benar membuatku kesal. Maksudku, kenapa harus berkacamata, itu sama sekali bukan tipenya. Terlihat sangat kutu buku dan culun, apalagi saat berbicara dia terus berbisik ketelingannya. Kemudian mereka saling berbincang pelan, kadang-kadang tertawa lepas.
Tidak, aku sama sekali tidak cemburu, maksudku... tidak juga sih.
thanks dah baca gan,
cuman buat latihan nulis doang tapi minta komennya ya gan,
sengaja gw post lounge, karena pengen tau pendapat umum tentang cerita gw,
enak di baca, ato ada kekurangan ini itu,
gw post 1/3 dulu ya,
soalnya klo gw post sampe tamat pasti ga cukup,
soalnya ada 33rb karakter tanpa spasi, 38rb karakter dgn spasi, dan 5,6rb kata.
Spoiler for Part 1:
HEARTS COLOR
Dua puluh januari,kami berdua duduk berhadapan di restoran Itali. Melihatnya yang saat ini, tengah menikmati Spaghetti Aglio-Olio. Pasta udang, menu favoritnya. Sudah sangat lama, dan aku hampir melupakannya. Saat itu kami duduk bersama di sini, di sofa warna merah ini. Saling berhadapan, menikmati hidangan yang kami pesan. Ya, di tempat inilah terakhir kali kami makan bersama, sebelum akhirnya dia memutuskanku, lima tahun lalu.
Kini kami hanya dipisahkan oleh meja makan, selebar tujuh puluh sentimeter. Semenjak berpisah, kami tak pernah lagi berada pada jarak sedekat ini. Ini mengingatkanku pada kejadian hari itu. Hari di mana, untuk pertama kalinya kami makan bersama, di satu meja. Dan sebuah kekonyolan, yang tak kan pernah bisa kulupakan…
********************
Di ujung meja panjang berwarna putih, kantin sekolah. Aku gugup, panik, gelisah. Saat cewek paling cantik di kelas itu, memutuskan untuk duduk tepat di hadapanku. Maksudku, aku tidak sedang menyukainya saat itu. Hanya menganguminya, layaknya kebanyakan anak cowok, berumur tiga belas tahun.
Lidahku mati rasa, tak bisa merasakan tiap sendok makanan yang masuk ke dalam mulut. Telingaku berhenti mengijinkan, suara-suara gaduh yang memberontak ingin masuk. Hanya dia, seluruh pikiranku hanya tertuju pada dirinya.
Diam-diam bola mata ini terus meliriknya secara konstan, per dua detik. Tertarik melihat apa yang sedang dilakukannya. Maklum saja, walau sekelas kami tak pernah sekalipun saling menyapa. Tempat duduk kami terpisah dari ujung ke ujung. Bukan hanya harus memutar kepala sembilan puluh derajat. Aku pun harus melewati hadangan empat kepala lain, hanya untuk sekedar melihat wajahnya.
Kebodohanku di mulai saat aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Aku tidak merasa memesan sesuatu yang gurih. Tapi anehnya, kenapa aku bisa memakannya. Sesuatu yang gurih dan renyah, berasal dari tangan kananku yang sebelumnya memegang sebuah sendok.
Aku melihat kearahnya, dan mata bulat tengah menatapku heran. Mata kami saling menatap, seolah mimpi menjadi nyata. Tapi sedetik kemudian bola matanya bergerak, menuju benda yang kupegang di tangan kanan. Spontan mataku pun bergerak menuju arah yang sama, dan kutemukan sebuah pangsit.
Ya, pangsit goreng di tangan kananku. Butuh waktu beberapa detik bagi otak untuk mengolah data, dan mengambil kesimpulan sederhana, bahwa pangsit goreng ini bukan milikku!!
Aku panik tak keruan, dan melihat makanan yang ia pesan. Semangkuk mie ayam, lengkap dengan mangkuk merah kecil berisi saus dan sambal, beberapa acar, dan sebuah pangsit goreng!!
Bagaimana mungkin aku mengambil makanan miliknya?!
Kapan?
Suasana hening tak normal di tengah keramaian yang kurasakan tadi, telah membuatku melakukan hal gila. Segeraku beranjak dari kursi, mengembalikan pangsit itu ke tempat asalnya, dan membeli pangsit goreng lain sebagai gantinya.
Tetapi beberapa detik kemudian aku baru sadar, bahwa aku telah melakukan hal konyol lainnya. Dengan mengembalikan pangsit itu ke mangkuknya, sama artinya aku menyuruhnya untuk memakan pangsit itu kembali.
Tapi saat kubalikkan badan, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dia telah memakan pangsit itu, dan dengan tersenyum berkata, “gak pa pa, kok… Makasih!”
Entah apa arti senyuman, dan ucapan terima kasih itu. Sampai hari ini pun, hal itu masih menjadi misteri bagiku. Tapi satu hal yang pasti. Sejak hari itu, aku terus mengingat wajahnya, yang tersenyum menatapku.
********************
Kuteguk secangkir kopi esspreso. Memalingkan wajah, dan memandang langit biru dari balik kaca. Aku sadar, bahwa aku telah berjalan terlalu jauh ke masa lalu. Sebelas tahun, waktu yang sangat lama. Tapi mengapa ,memori ini masih bisa mengingat detail kejadian hari itu. Perasaan, yang kurasakan saat itu.
Jikalau pun waktu berputar mundur, kembali ke masa itu. Mungkin aku akan tetap memilih mencintainya. Walau pada akhirnya aku tahu, kami tak kan pernah bisa bersama, selamanya. Walaupun harus berakhir dengan kesedihan, dan luka yang teramat dalam. Aku…
Kupaksakan diri untuk memejamkan mata, dan menjernihkan pikirkan. Tidak!! Tidak bisa!!—kucoba meyakinkan diri.
Ini semua karena dua kalimat, yang keluar dari mulutnya. Aku jadi terlalu sentimental. Aku harus berpikir realistis, bahwa kami takkan bisa kembali seperti dulu.
Benar yang dikatakannya saat itu. Sejak awal hubungan ini sudah salah, kami terlalu berbeda, seharusnya kami tak pernah saling…
Kudengar bunyi benda solid, yang saling bersentuhan. Aku tahu, itu adalah tanda bahwa dia telah mengosongkan piring dihadapannya. Karena seperti biasa, saat makan dia tak akan menimbulkan bunyi. Kecuali waktu meletakkan garpu dan sendok, di piring kosong.
Kugerakkan bola mata melirik kearahnya. Terdorong rasa penasaran, dengan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Wajahnya terlihat sangat tenang, dan menikmati tiap teguk orange float yang masuk ke dalam mulut. Dan kurasa, dia telah melupakan masalah yang di buatnya sendiri, sekitar lima belas menit lalu.
Tak lama, dia mulai menyadari keberadaanku. Tapi hanya sekilas dia melirik kearahku, dan langsung membuang muka, dengan raut wajah bersalah. Seraya kemudian ia menyibak sisi kiri rambutnya, menyembunyikan kedua tangannya di balik meja. Dan seolah tahu aku masih memperhatikannya, ia menatap ke langit-langit.
“Aku harus ngomong berapa kali soal ini. Paling tidak, pikirkan kesehatanmu sendiri!!”—Hardikku keras padanya— “Sampe kapanpun masalah gak akan pernah ada habisnya, dan kamu gak bisa terus-terusan mengabaikan waktu makan! Kau harus makan!!”
Dia hanya mematung, dan terus menatap ke langit-langit, seolah lampu gantung di restoran itu sangat menarik baginya. Dan satu-satunya hal yang paling kubenci darinya, adalah kebiasaan buruknya ini.
Dia tak akan mau memakan apapun saat mengalami masalah, ataupun stress, tidak sama sekali. Bahkan jika aku tak memesankan pasta itu, dan memaksanya makan. kaskusr apapun dirinya, aku yakin dia tak akan mau makan, sampai mendapat jawaban, dari masalah ini.
“Aku… sudah hilangin itu kok.”—Ucapnya lirih dengan posisi kepala yang tetap tak berubah—“saat di Beijing, ada masalah atau saat ujian, aku sudah coba untuk makan. Dan itu berhasil, karena…”—ia terdiam sejenak, kemudian berdehem lirih—“aku tau kau pasti akan marah.”
Sontak aku terdiam mendengar pernyataan frontal-nya. Memang tak begitu mengejutkan, jika mengingat dua kalimat yang diucapkannya sebelum ini. Tapi tetap saja, mendengar kata-kata itu dari seseorang ‘eks’ yang pernah kucintai. Membuat hati ini, yah, jadi seperti terombang-ambing.
Dengan berusaha untuk tetap terlihat tenang, seolah kata-katanya itu sama sekali tak berarti lagi bagiku. Aku membalas—“Jadi ?”
Dia menggerakkan kepala dan melirik kearahku, lalu berujar, “ Yaa… ’kan masalah kali ini berbeda…”
Aku berdehem, lalu membuang muka. Saat kedua mata ini kami bertemu, tiba-tiba saja tenggorokanku serasa tercekik. Jadi kuputuskan untuk menyeruput kopi espresso, dengan melihat kearah balkon di luar restoran.
Pikiranku, belum bisa melepas dua kalimat yang diucapkannya tadi. Selama ini aku telah berusaha melupakannya. Coba menjalani hidup sebaik mungkin, tanpa dirinya. Tapi saat dia didepanku, dan dengan wajah serius melontarkan kata-kata ‘sakti’ itu.
Semua usaha yang kulakukan, jadi terasa sia-sia. Semakin kucoba membantahnya, perasaan ini malah muncul semakin kuat dan nyata. Kurasa aku tak bisa membohongi diriku, bahwa aku, memang masih…
“Kenapa sekarang…?” tanyaku di tengah kegalauan yang menyelimuti hati.
Dia terdiam sejenak, dan melirik kearahku dengan wajah bersalah. Kemudian mengalihkan pandangannya, dengan menatap orange float yang berada tepat di hadapannya. Lalu dengan bibir bergetar, dia berkata ragu, “Karena kau, telah mencintai wanita lain…”
Aku terperangah tak percaya, mendengar apa yang baru saja ia katakan. Ini keterlaluan, ucapannya jelas-jelas sangat tidak masuk akal. Apa itu mencintai wanita lain, bahasanya terlalu formal!
Dan lagi, apa maksud dari kata-katanya itu. Dia seolah menghakimiku, karena berselingkuh darinya!
“Sebentar!!”—hardikku yang masih coba berpikir seeetenang mungkin, dan menatap serius kedua bola matanya.
“Kita”—seraya kugerakkan tangan menunjuk kearahnya, kemudian melemparkannya kembali ke diriku.—“Sudah putus ‘kan ??”
Berlahan-lahan bola matanya bergerak menghindariku, tanpa mengatakan sepatah katapun. Hei,hei, apa maksud dari bahasa tubuh itu?! C’mon!! Kupikir jantungku tidak terlalut kuat, jika harus mendapat shock terapi beruntun seperti ini!!
Aku jelas-jelas mendengar ‘kita tak bisa melanjutkannya!’ lima tahun lalu, dari mulutnya sendiri. Setelah itu kita beradu argumen, dan menjadi pertengkaran terhebat selama aku mengenal dirinya. Dan sebulan kemudian, aku mendapat kabar dari sahabatnya bahwa dia telah melanjutkan studi keluar negeri.
Hebat, pikirku saat itu, dia bahkan tak mengatakan sepatah kata PUN, padaku. Dan empat bulan lalu adalah pertemuan pertama kami, di acara reuni sekolah.
“Hei, aku serius!!” bentakku sembari memegang tangannya, untuk coba mendapatkan perhatian.
Tetapi bukannya menjawab pertanyaanku. Dengan wajah datar, dia malah melirik kearah tangannya yang sedang kugenggam erat. Spontan saja langsung kulepaskan tangan itu, aku tak ingin masalah ini berkembang semakin absurd!
“Benar juga,”—ujarnya dengan wajah sedih yang jelas dibuat-buat. Kemudian sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua tangan yang ia lipat rapi di atas meja, ia kembali berkata—“kita sudah putus!”
“Apa maksudmu benar juga. Kita benar-benar sudah putus, lima tahun lalu!!” tegasku dengan memasang wajah seserius mungkin.
Seraya sebelah matanya mengintip dari sela-sela lengan. Lalu mengernyitkan dahi, dan menatap kedua bola mataku tajam. Seolah kata itu, adalah kata-kata terkejam yang pernah kuucapkan. Walau kenyataannya, dia hanya coba mendramatisir.
“Kau tahu, sudah berapa banyak cowok-cowok di luar sana yang mengatakan suka padaku, dan ingin menjadi pacarku?!” tanyanya dengan nada tinggi.
Aku terdiam mendengarnya. Aku tahu dia cantik, dan keras kepala. Tapi tak kusangka dia juga licik, memojokkanku dengan pertanyaan semacam itu. Itu ‘kan sama artinya, dia ingin mengatakan. Betapa beruntungnya aku, bisa berkencan dengannya, DULU.
“Apa peduliku…” Jawabku datar, lalu meneguk kopi espresso.
“Dua puluh, dan kutolak semua!”—jelasnya penuh percaya diri, seraya tangan kanannya bergerak menyapu seluruh penjuru restoran. Lalu meminum orange float di hadapannya.
“Lalu, cowok yang kulihat bersamamu di reuni kemaren…?
Sedetik itu juga dia tersedak, dan dengan sigap menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ya, kurasa dunia ini memang adil. Kuanggap suara batuk-batuk menderita itu, adalah bentuk karma dari sigap arogannya tadi.
Tapi jika harus mengingat cowok berkulit pucat, dan bermata empat. Yang terus mengekor dibelakangnya, sepanjang acara reuni itu. Benar-benar membuatku kesal. Maksudku, kenapa harus berkacamata, itu sama sekali bukan tipenya. Terlihat sangat kutu buku dan culun, apalagi saat berbicara dia terus berbisik ketelingannya. Kemudian mereka saling berbincang pelan, kadang-kadang tertawa lepas.
Tidak, aku sama sekali tidak cemburu, maksudku... tidak juga sih.
thanks dah baca gan,
0
2.1K
Kutip
21
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan