- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ketika satu pintu tertutup
TS
ibrahimeffendi
Ketika satu pintu tertutup
Ketika satu pintu tertutup
Hampir setiap hari kita membaca negeri ini selalu dirundung masalah. Beda benar nasibnya dengan China, Singapura atau Malaysia yang sangat pandai “menyembunyikan masalah” dari hadapan publik.
Selain tidak transparan, rakyatnya pun dilarang berbicara sembarangan. Sebegitu pandainya negerinegeri itu sehingga ekonom Paul Krugman tidak memercayai data-data ekonomi negeri itu. “Tak ada kritik masyarakat, tak ada kebenaran,” ujarnya suatu ketika. Tapi di sini kita hidup seperti di dalam sebuah roller coaster: pusing, mumet, dan banyak membuat orang putus asa.
Bagi orang-orang itu, ketika satu pintu tertutup, seakan-akan sudah tak ada lagi jalan keluar. Sikap yang demikian tentu saja amat bertentangan dengan ketentuan yang berlaku diera APEC yang saling terhubung, saling terbuka, dan saling memanfaatkan. Ketika dunia menjadi lebih terbuka, mereka yang cepat mati akal, yang hanya mampu melihat pintu-pintu yang tertutup, akan mengalami kemunduran.
Pemimpin-pemimpin dan pengamat-pengamat yang demikian hanya mampu menularkan rasa frustrasi ketimbang jalan keluar. Sebaliknya dinegara tetangga, selain informasinya tidak seterbuka dan sebebas di sini, mereka justru tidak mudah mati akal. Selalu mengeksplorasi berbagai kesempatan. Ketika satu pintu tertutup, mereka justru mencari pintu-pintu lain yang terbuka.
Quitters vs Campers
Paul Stoltz yang menulis buku Adversity Quotient mengungkapkan, ada 3 manusia dalam menghadapi abad perubahan ini. Maka buku itu diberi subjudul: Turning obstacles into opportunities. Bagi sebagian orang, rintangan adalah pintu yang tertutup. Tapi pada tipe manusia lain, ditemukan kemampuan mengubah kesulitan menjadi sebuah kesempatan, bahkan kesejahteraan dan jalan keluar.
Manusia tipe pertama yang membuat kita pusing itu adalah quitters, yang selalu melihat perubahan sebagai sesuatu yang gelap dan menakutkan. Mereka bahkan sudah berhenti sebelum memulai. Maka jangankan menjadi pemenang, kalau menjadi pemimpin, orang-orang ini hanya bisa menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain. Ia menjadi benih bagi munculnya perilaku proteksi diri yang berlebihan.
Dalam konteks yang lebih luas, kalau dipercaya sebagai pemimpin perusahaan atau pemimpin negara, mereka hanya menjalankan prinsip play to not lose. Quitters senang menyalahkan situasi atas kegagalan hidupnya dan abai melihat potensi besar yang dimiliki. Mereka tak berani mengambil risiko, bermain aman, dan tak berani menghadapi tantangan-tantangan baru yang menuntut keberanian.
Tipe kedua adalah campers. Meski berani memulai dan pada awal perjalanan terlihat bersemangat, campers ternyata bukan pejuang sejati. Ibarat orang yang kuliah di perguruan tinggi, mereka hanya semangat membentuk prestasi, tetapi berhenti belajar setelah mendapatkan ijazah. Sebagai pendaki gunung, mereka hanya mendaki mencari spot yang bagus untuk berkemah. Di situ mereka berhenti dan merasa sudah cukup. Mereka menggunakan seluruh energi besar yang masih dimiliki untuk memelihara status quo.
Akibatnya mereka tak pernah mencapai potensi penuh yang dimilikinya. Ini berbeda besar dengan manusia tipe climbers yang tak ada matinya. Ibarat sekolah, seperti yang dialami desainer kebaya Anne Avantie, meski sekolahnya terhenti di bangku SMA dan hanya menggenggam ijazah SMP, ia tak pernah berhenti belajar. Ia terus mendaki dan mendaki. Hari Selasa kemarin, di MMUI ia mengungkapkan perjalanan dari Semarang ke Jakarta selalu ia tempuh dengan menumpang kereta api.
Tentu bukan karena ia mau berhemat atau tak punya uang, melainkan karena ia memang tak berani terbang di ketinggian. Tapi itu tak membuatnya berhenti untuk berkarya. Malam itu Anne Avanti langsung kembali ke Semarang dengan kereta api, menjadi perjalanannya yang ke-2.321 selama 25 tahun terakhir. Saya kira PT KAI wajib memberikan penghargaan kepadanya. Climbers tak ada matinya. Ia bergerak terus meski batu-batu berjatuhan menimpa kaki tangannya, meski kesulitan selalu menghadang.
Apa tidak letih?
Di Kolese Kanisius, tiga minggu lalu saya ditanya para siswa, kalau mendaki terus, “Kapan menikmatinya?” Pertanyaan ini sama nadanya dengan ungkapan hati ibunda saya yang sering bertanya kepada saya apa tidak letih? Hari ini saya ada di Bandung, sore hari sudah di Jakarta, besok di Pulau Buru, beberapa hari kemudian di Brunei Darussalam, lalu pagi harinya sudah di kota lain.
Saya bekerja di depan kelas, di belakang meja, di kebun, di masyarakat, dan di pesawat terbang. Mengajar, menulis, memimpin perusahaan, dan seterusnya. Tapi saya selalu menemukan kenikmatan itu justru ada di dalam perjalanan atau pendakian itu sendiri. Mungkin itulah yang membedakan antara pengemudi motor besar dengan pengemudi sepeda motor biasa. Yang satu enjoy the riding, yang satunya tempat tujuan (destinasi).
Bagi orang yang hanya memikirkan destinasi, perjalanan yang padat dan jauh sungguh menjemukan dan meletihkan, sementara bagi penikmat berkendara, perjalanan itu sendirilah sumber kenikmatannya. Bagi quitters atau campers, capai itu berarti fisiknya letih, sedangkan bagi climbers, capai fisik itu bukan masalah. Ia tahu persis ada dua jenis capai: capai fisik dan capai mental.
Kalau hanya fisik saja, itu bukan capai, bukanlah rintangan. Sekarang, di era yang penuh kesempatan dan persaingan ini, mari kita evaluasi diri masing-masing. Apakah kita ini quitters, campers atau climbers? Kalau perusahaan sudah mencanangkan program transformasi, meletihkan sekali kalau pimpinannya tak bisa membedakan mana eksekutifnya yang quitters, campers dan mana yang climbers.
Pengalaman saya menunjukkan, kemampuan memisahkan dan mengubah dua dari tiga tipe itu akan menentukan seberapa jauh transformasi bisa digerakkan. Tapi andaikan Anda tak merasa perlu memperbarui diri, renungkan saja apa yang ingin Anda dapatkan dari anak-anak yang Anda besarkan. Kalau Anda ingin mereka berubah, Andalah yang pertama-tama harus berubah.
Hampir setiap hari kita membaca negeri ini selalu dirundung masalah. Beda benar nasibnya dengan China, Singapura atau Malaysia yang sangat pandai “menyembunyikan masalah” dari hadapan publik.
Selain tidak transparan, rakyatnya pun dilarang berbicara sembarangan. Sebegitu pandainya negerinegeri itu sehingga ekonom Paul Krugman tidak memercayai data-data ekonomi negeri itu. “Tak ada kritik masyarakat, tak ada kebenaran,” ujarnya suatu ketika. Tapi di sini kita hidup seperti di dalam sebuah roller coaster: pusing, mumet, dan banyak membuat orang putus asa.
Bagi orang-orang itu, ketika satu pintu tertutup, seakan-akan sudah tak ada lagi jalan keluar. Sikap yang demikian tentu saja amat bertentangan dengan ketentuan yang berlaku diera APEC yang saling terhubung, saling terbuka, dan saling memanfaatkan. Ketika dunia menjadi lebih terbuka, mereka yang cepat mati akal, yang hanya mampu melihat pintu-pintu yang tertutup, akan mengalami kemunduran.
Pemimpin-pemimpin dan pengamat-pengamat yang demikian hanya mampu menularkan rasa frustrasi ketimbang jalan keluar. Sebaliknya dinegara tetangga, selain informasinya tidak seterbuka dan sebebas di sini, mereka justru tidak mudah mati akal. Selalu mengeksplorasi berbagai kesempatan. Ketika satu pintu tertutup, mereka justru mencari pintu-pintu lain yang terbuka.
Quitters vs Campers
Paul Stoltz yang menulis buku Adversity Quotient mengungkapkan, ada 3 manusia dalam menghadapi abad perubahan ini. Maka buku itu diberi subjudul: Turning obstacles into opportunities. Bagi sebagian orang, rintangan adalah pintu yang tertutup. Tapi pada tipe manusia lain, ditemukan kemampuan mengubah kesulitan menjadi sebuah kesempatan, bahkan kesejahteraan dan jalan keluar.
Manusia tipe pertama yang membuat kita pusing itu adalah quitters, yang selalu melihat perubahan sebagai sesuatu yang gelap dan menakutkan. Mereka bahkan sudah berhenti sebelum memulai. Maka jangankan menjadi pemenang, kalau menjadi pemimpin, orang-orang ini hanya bisa menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain. Ia menjadi benih bagi munculnya perilaku proteksi diri yang berlebihan.
Dalam konteks yang lebih luas, kalau dipercaya sebagai pemimpin perusahaan atau pemimpin negara, mereka hanya menjalankan prinsip play to not lose. Quitters senang menyalahkan situasi atas kegagalan hidupnya dan abai melihat potensi besar yang dimiliki. Mereka tak berani mengambil risiko, bermain aman, dan tak berani menghadapi tantangan-tantangan baru yang menuntut keberanian.
Tipe kedua adalah campers. Meski berani memulai dan pada awal perjalanan terlihat bersemangat, campers ternyata bukan pejuang sejati. Ibarat orang yang kuliah di perguruan tinggi, mereka hanya semangat membentuk prestasi, tetapi berhenti belajar setelah mendapatkan ijazah. Sebagai pendaki gunung, mereka hanya mendaki mencari spot yang bagus untuk berkemah. Di situ mereka berhenti dan merasa sudah cukup. Mereka menggunakan seluruh energi besar yang masih dimiliki untuk memelihara status quo.
Akibatnya mereka tak pernah mencapai potensi penuh yang dimilikinya. Ini berbeda besar dengan manusia tipe climbers yang tak ada matinya. Ibarat sekolah, seperti yang dialami desainer kebaya Anne Avantie, meski sekolahnya terhenti di bangku SMA dan hanya menggenggam ijazah SMP, ia tak pernah berhenti belajar. Ia terus mendaki dan mendaki. Hari Selasa kemarin, di MMUI ia mengungkapkan perjalanan dari Semarang ke Jakarta selalu ia tempuh dengan menumpang kereta api.
Tentu bukan karena ia mau berhemat atau tak punya uang, melainkan karena ia memang tak berani terbang di ketinggian. Tapi itu tak membuatnya berhenti untuk berkarya. Malam itu Anne Avanti langsung kembali ke Semarang dengan kereta api, menjadi perjalanannya yang ke-2.321 selama 25 tahun terakhir. Saya kira PT KAI wajib memberikan penghargaan kepadanya. Climbers tak ada matinya. Ia bergerak terus meski batu-batu berjatuhan menimpa kaki tangannya, meski kesulitan selalu menghadang.
Apa tidak letih?
Di Kolese Kanisius, tiga minggu lalu saya ditanya para siswa, kalau mendaki terus, “Kapan menikmatinya?” Pertanyaan ini sama nadanya dengan ungkapan hati ibunda saya yang sering bertanya kepada saya apa tidak letih? Hari ini saya ada di Bandung, sore hari sudah di Jakarta, besok di Pulau Buru, beberapa hari kemudian di Brunei Darussalam, lalu pagi harinya sudah di kota lain.
Saya bekerja di depan kelas, di belakang meja, di kebun, di masyarakat, dan di pesawat terbang. Mengajar, menulis, memimpin perusahaan, dan seterusnya. Tapi saya selalu menemukan kenikmatan itu justru ada di dalam perjalanan atau pendakian itu sendiri. Mungkin itulah yang membedakan antara pengemudi motor besar dengan pengemudi sepeda motor biasa. Yang satu enjoy the riding, yang satunya tempat tujuan (destinasi).
Bagi orang yang hanya memikirkan destinasi, perjalanan yang padat dan jauh sungguh menjemukan dan meletihkan, sementara bagi penikmat berkendara, perjalanan itu sendirilah sumber kenikmatannya. Bagi quitters atau campers, capai itu berarti fisiknya letih, sedangkan bagi climbers, capai fisik itu bukan masalah. Ia tahu persis ada dua jenis capai: capai fisik dan capai mental.
Kalau hanya fisik saja, itu bukan capai, bukanlah rintangan. Sekarang, di era yang penuh kesempatan dan persaingan ini, mari kita evaluasi diri masing-masing. Apakah kita ini quitters, campers atau climbers? Kalau perusahaan sudah mencanangkan program transformasi, meletihkan sekali kalau pimpinannya tak bisa membedakan mana eksekutifnya yang quitters, campers dan mana yang climbers.
Pengalaman saya menunjukkan, kemampuan memisahkan dan mengubah dua dari tiga tipe itu akan menentukan seberapa jauh transformasi bisa digerakkan. Tapi andaikan Anda tak merasa perlu memperbarui diri, renungkan saja apa yang ingin Anda dapatkan dari anak-anak yang Anda besarkan. Kalau Anda ingin mereka berubah, Andalah yang pertama-tama harus berubah.
0
1.2K
5
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan