- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[share] Belum Saatnya Indonesia Berdemokrasi


TS
zs.amrie
[share] Belum Saatnya Indonesia Berdemokrasi
http://2.bp.blogspot.com/-71pP-HzQen...00/welcome.png
pertama" jgn lupa
misi gan.. ane mo share.. smoga bermanfaat bagi kt smua
lngsung aj ke TKP gan
Demokrasi, sesuatu yang dielu-elukan masyarakat Indonesia pasca era orde baru, suatu era yang penuh dengan tirani kaum elite tertentu yang pada akhirnya membuat masyarakat menginginkan suatu kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk memilih, dan melepaskan diri dari “kekuatan” tirani elite yang sedang berkuasa.
Keinginan-keinginan akan kebebasan tersebut entah mengapa kemudian dikaitkan dengan Demokrasi. Apakah Demokrasi tersebut merupakan jawaban atas keinginan akan kebebasan untuk berekspresi, kebebasan dalam memilih jalan hidup?
Apabila kita menilik sebentar arti dari kata demokrasi itu sendiri maka dapat kita temukan bahwa arti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat (Demos = rakyat, kratos = kekuatan/kekuasaan). Rakyat sudah jenuh dengan tindakan tirani kaum elite yang berbau aristokrasi, rakyat menginginkan agar dibebaskan dari kekuasaan kaum elite yang sering kali melakukan penyalahgunaan kewenangan mereka untuk menindas rakyat atau sering kita sebut dengan Abuse of Power.
Puluhan tahun rakyat ditekan, tidak memperoleh informasi yang cukup atas perkembangan negaranya sendiri. jalur informasi dan pers diawasi, pendidikan maupun tempat-tempat ceramah agama diawasi ketat pada saat orde baru itu. kaum elite seolah ingin mencegah agar rakyatnya menjadi lebih pintar agar dapat menjaga kestabilan kekuasaan aristokrasinya.
Media dan Pers yang merupakan alat pengendali opini masyarakat yang juga mampu berfungsi sebagai alat penyalur opini masyarat diawasi ketat, disensor, dan di”mutilasi” fungsinya, sehingga tidak lagi mampu menjadi penyalur opini masyarakat, melainkan hanya menjadi alat pengendali opini masyarakat yang digerakan oleh kaum elite tersebut untuk meredam pemberontak demi kestabilan pemerintahan saat itu.
Apabila dilihat secara makro terintegrasi, memang pada saat itu Indonesia mengalami kemajuan yang progresif, namun hal ini bukan terjadi karena adanya peningkatan intelektualitas per kapita nya, melainkan karena rancangan pembangunan yang dibuat oleh kaum elite tersebut tidak dapat ditentang oleh siapapun untuk jangka waktu berpuluh-puluh tahun, sehingga progress pembangunan pun menjadi stabil tidak berubah-ubah dan hasilnya pun pasti akan terlihat. namun disatu sisi aspirasi rakyat serta peningkatan kualitas intelektual per kapita pun menjadi korban, tentu kita akan melihat bangsa yang secara fisik maju, namun secara kualitas individual masyarakatnya harus terhambat yang salah satunya disebabkan oleh terhambatnya jalur pertukaran informasi.
Pada akhirnya, rakyat sampai juga pada titik jenuh yang pada intinya menginginkan kebebasan dalam mengembangkan dirinya, kebebasan dalam berekspresi, kebebasan dalam menentukan apa yang diyakininya, dan bahkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Namun perlu disadari, tindakan “pembodohan” rakyat yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun tersebut, membuat rakyat kehilangan kapabilitasnya untuk mandiri, rakyat menjadi ketergantungan dengan kaum elite yang telah “memperpintar” dirinya selama berpuluh-puluh tahun tersebut, namun karena gejolak politik dan keinginan yang begitu kuat, kekuasaan elite yang telah berpuluh tahun berkuasa tersebut akhirnya kandas juga.
Rakyat sejenak bergembira, menyambut kejatuhan tirani kaum elite tersebut, dan ber-eforia akan kemenangan semunya. namun perlu kita ingat, bahwa mereka menginginkan untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan juga dalam hal legislasi atau pembuatan peraturan perundangan-undangan tanpa suatu kapabilitas yang cukup.
Dalam waktu singkat, banyak rakyat yang dulunya aktivis penentang orde baru pun mencalonkan dirinya untuk masuk dalam parlemen. tanpa suatu kapabilitas yang mumpuni, mereka berusaha untuk menerapkan idealisme mereka masing-masing namun tanpa suatu “pembelajaran” dan “kematangan” yang cukup.
Saat ini, bukan menjadi suatu rahasia lagi bahwa tidaklah sedikit pejabat baik di ranah eksekutif maupun di legislatif yang terbukti tidak memiliki kapabilitasnya dalam mengemban tugas negara. “Rapor” kinerja DPR yang dinilai masyarakat masih sangat buruk, kemudian rendahnya tingkat kehadiran dalam setiap rapat di parlemen, juga tidak sedikit pula kalangan artis yang pada dasarnya memiliki kapabilitas akting dan drama pun menjadi turut menjadi “aktor-aktor” dalam drama persidangan di parlemen.
Hampir setiap hari berita mengenai “drama-drama” di parlemen maupun eksekutif terpampang di media cetak, dari drama kuota impor daging sapi, sampai ke drama penyuapan ketua Mahkamah Konstitusi.
Apakah ini semua yang kita inginkan sebagai rakyat? apakah sungguh demokrasi kah yang kita inginkan?
bukankan ini lebih tepat disebut sebagai Demo-crazy?
lalu apakah seharusnya kita kembali seperti jaman orde baru dimana rakyat terus dibodohi, dan mempercayakan kaum elite tertentu untuk pintar sendiri, dan mengurus negara ini secara berkesinambungan dan memblok aspirasi-aspirasi rakyat dan perlawanan dari oposisi demi kestabilan pembangunan bangsa kita?
Jawaban idealisnya tentu kita menginginkan suatu pemerintahan yang memiliki pembangunan nyata yang progresif yang juga tidak membatasi aspirasi rakyat maupun oposisi sebagai bentuk “pencerdasan” rakyat. namun apakah kedua hal ini memiliki titik temu?
Pernahkah kita berpikir bahwa ini semua terjadi karena kita menganut sistem multi partai politik?
terlalu banyak aspirasi yang diserap, terlalu banyak perdebatan oposisi yang tidak perlu, dan kita hanya terus dan terus berdebat sehingga negara ini tidak pernah bergerak secara progressif?
coba hitung jumlah parpol di negara kita? apakah tidak lebih baik kita menganut sistem bi-parpol saja?
dimana salah satu berkuasa dan yang lainnya mengawasi sebagai oposisi?
Hal tersebut dapat dianalogikan seperti dalam suatu perlombaan lari estafet, tim-tim dari negara lain sudah mulai berlari dengan cepat untuk memenangkan pertandingan, namun tim kita masih sibuk menentukan siapa yang menjadi pelari starter, dan siapa yg menjadi pelari ke 2, 3 dan 4, semuanya saling mengkritik dan menganggap dirinya lebih baik untuk menjadi posisi tertentu, dan tanpa disadari, kita tidak pernah berlari.
Jadi kapankah kita akan berlari seperti dulu?
Pernahkah anda mendengar ataupun melihat kalimat “Piye kabare, enak jamanku toh?” yang merupakan kalimat guyonan ala kaum elite terdahulu?
ironisnya, apabila kita renungkan ada benarnya kalimat guyonan tersebut.
karena sekarang kita tidak pernah berlari….
akankah kita benar-benar siap dengan demokrasi yang kita elu-elukan ini?
skian trit dr ane gan.. ane jg g nolak yg dingin"
tp jgn d
skit gan 
pertama" jgn lupa

misi gan.. ane mo share.. smoga bermanfaat bagi kt smua
lngsung aj ke TKP gan
Demokrasi, sesuatu yang dielu-elukan masyarakat Indonesia pasca era orde baru, suatu era yang penuh dengan tirani kaum elite tertentu yang pada akhirnya membuat masyarakat menginginkan suatu kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk memilih, dan melepaskan diri dari “kekuatan” tirani elite yang sedang berkuasa.
Keinginan-keinginan akan kebebasan tersebut entah mengapa kemudian dikaitkan dengan Demokrasi. Apakah Demokrasi tersebut merupakan jawaban atas keinginan akan kebebasan untuk berekspresi, kebebasan dalam memilih jalan hidup?
Apabila kita menilik sebentar arti dari kata demokrasi itu sendiri maka dapat kita temukan bahwa arti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat (Demos = rakyat, kratos = kekuatan/kekuasaan). Rakyat sudah jenuh dengan tindakan tirani kaum elite yang berbau aristokrasi, rakyat menginginkan agar dibebaskan dari kekuasaan kaum elite yang sering kali melakukan penyalahgunaan kewenangan mereka untuk menindas rakyat atau sering kita sebut dengan Abuse of Power.
Puluhan tahun rakyat ditekan, tidak memperoleh informasi yang cukup atas perkembangan negaranya sendiri. jalur informasi dan pers diawasi, pendidikan maupun tempat-tempat ceramah agama diawasi ketat pada saat orde baru itu. kaum elite seolah ingin mencegah agar rakyatnya menjadi lebih pintar agar dapat menjaga kestabilan kekuasaan aristokrasinya.
Media dan Pers yang merupakan alat pengendali opini masyarakat yang juga mampu berfungsi sebagai alat penyalur opini masyarat diawasi ketat, disensor, dan di”mutilasi” fungsinya, sehingga tidak lagi mampu menjadi penyalur opini masyarakat, melainkan hanya menjadi alat pengendali opini masyarakat yang digerakan oleh kaum elite tersebut untuk meredam pemberontak demi kestabilan pemerintahan saat itu.
Apabila dilihat secara makro terintegrasi, memang pada saat itu Indonesia mengalami kemajuan yang progresif, namun hal ini bukan terjadi karena adanya peningkatan intelektualitas per kapita nya, melainkan karena rancangan pembangunan yang dibuat oleh kaum elite tersebut tidak dapat ditentang oleh siapapun untuk jangka waktu berpuluh-puluh tahun, sehingga progress pembangunan pun menjadi stabil tidak berubah-ubah dan hasilnya pun pasti akan terlihat. namun disatu sisi aspirasi rakyat serta peningkatan kualitas intelektual per kapita pun menjadi korban, tentu kita akan melihat bangsa yang secara fisik maju, namun secara kualitas individual masyarakatnya harus terhambat yang salah satunya disebabkan oleh terhambatnya jalur pertukaran informasi.
Pada akhirnya, rakyat sampai juga pada titik jenuh yang pada intinya menginginkan kebebasan dalam mengembangkan dirinya, kebebasan dalam berekspresi, kebebasan dalam menentukan apa yang diyakininya, dan bahkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Namun perlu disadari, tindakan “pembodohan” rakyat yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun tersebut, membuat rakyat kehilangan kapabilitasnya untuk mandiri, rakyat menjadi ketergantungan dengan kaum elite yang telah “memperpintar” dirinya selama berpuluh-puluh tahun tersebut, namun karena gejolak politik dan keinginan yang begitu kuat, kekuasaan elite yang telah berpuluh tahun berkuasa tersebut akhirnya kandas juga.
Rakyat sejenak bergembira, menyambut kejatuhan tirani kaum elite tersebut, dan ber-eforia akan kemenangan semunya. namun perlu kita ingat, bahwa mereka menginginkan untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan juga dalam hal legislasi atau pembuatan peraturan perundangan-undangan tanpa suatu kapabilitas yang cukup.
Dalam waktu singkat, banyak rakyat yang dulunya aktivis penentang orde baru pun mencalonkan dirinya untuk masuk dalam parlemen. tanpa suatu kapabilitas yang mumpuni, mereka berusaha untuk menerapkan idealisme mereka masing-masing namun tanpa suatu “pembelajaran” dan “kematangan” yang cukup.
Saat ini, bukan menjadi suatu rahasia lagi bahwa tidaklah sedikit pejabat baik di ranah eksekutif maupun di legislatif yang terbukti tidak memiliki kapabilitasnya dalam mengemban tugas negara. “Rapor” kinerja DPR yang dinilai masyarakat masih sangat buruk, kemudian rendahnya tingkat kehadiran dalam setiap rapat di parlemen, juga tidak sedikit pula kalangan artis yang pada dasarnya memiliki kapabilitas akting dan drama pun menjadi turut menjadi “aktor-aktor” dalam drama persidangan di parlemen.
Spoiler for pemalas:
Spoiler for saling tuduh:
Hampir setiap hari berita mengenai “drama-drama” di parlemen maupun eksekutif terpampang di media cetak, dari drama kuota impor daging sapi, sampai ke drama penyuapan ketua Mahkamah Konstitusi.
Apakah ini semua yang kita inginkan sebagai rakyat? apakah sungguh demokrasi kah yang kita inginkan?
bukankan ini lebih tepat disebut sebagai Demo-crazy?
Spoiler for crazy:
lalu apakah seharusnya kita kembali seperti jaman orde baru dimana rakyat terus dibodohi, dan mempercayakan kaum elite tertentu untuk pintar sendiri, dan mengurus negara ini secara berkesinambungan dan memblok aspirasi-aspirasi rakyat dan perlawanan dari oposisi demi kestabilan pembangunan bangsa kita?
Jawaban idealisnya tentu kita menginginkan suatu pemerintahan yang memiliki pembangunan nyata yang progresif yang juga tidak membatasi aspirasi rakyat maupun oposisi sebagai bentuk “pencerdasan” rakyat. namun apakah kedua hal ini memiliki titik temu?
Pernahkah kita berpikir bahwa ini semua terjadi karena kita menganut sistem multi partai politik?
terlalu banyak aspirasi yang diserap, terlalu banyak perdebatan oposisi yang tidak perlu, dan kita hanya terus dan terus berdebat sehingga negara ini tidak pernah bergerak secara progressif?
coba hitung jumlah parpol di negara kita? apakah tidak lebih baik kita menganut sistem bi-parpol saja?
dimana salah satu berkuasa dan yang lainnya mengawasi sebagai oposisi?
Hal tersebut dapat dianalogikan seperti dalam suatu perlombaan lari estafet, tim-tim dari negara lain sudah mulai berlari dengan cepat untuk memenangkan pertandingan, namun tim kita masih sibuk menentukan siapa yang menjadi pelari starter, dan siapa yg menjadi pelari ke 2, 3 dan 4, semuanya saling mengkritik dan menganggap dirinya lebih baik untuk menjadi posisi tertentu, dan tanpa disadari, kita tidak pernah berlari.
Jadi kapankah kita akan berlari seperti dulu?
Pernahkah anda mendengar ataupun melihat kalimat “Piye kabare, enak jamanku toh?” yang merupakan kalimat guyonan ala kaum elite terdahulu?
ironisnya, apabila kita renungkan ada benarnya kalimat guyonan tersebut.
karena sekarang kita tidak pernah berlari….
akankah kita benar-benar siap dengan demokrasi yang kita elu-elukan ini?
skian trit dr ane gan.. ane jg g nolak yg dingin"



0
1.2K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan