- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hasil Riset Gunung Padang, Mana Makalah Ilmiahnya?
TS
Pitung.Kw
Hasil Riset Gunung Padang, Mana Makalah Ilmiahnya?
Quote:
Hasil Riset Gunung Padang, Mana Makalah Ilmiahnya?
Penulis : Yunanto Wiji Utomo Kamis, 17 Oktober 2013 | 20:20 WIB
KOMPAS.com — Tim Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang telah merampungkan riset arkeologi dan geologi guna mengungkap misteri gunung purba di Jawa Barat itu.
Diduga sebelumnya, Gunung Padang menyimpan bangunan peninggalan peradaban masa lampau di perutnya. Bangunan itu berukuran lebih besar dan berumur lebih tua dari Piramida Giza di Mesir.
Lewat riset terbaru, tim mengungkap bahwa memang ada bangunan dari masa lampau di perut Gunung Padang. Bahkan, bangunan itu dibangun oleh empat peradaban berbeda.
Hasil penelitian tersebut terdengar mencengangkan. Publikasi tentang hasil penelitian itu ramai di media massa dan diperbincangkan banyak orang di media sosial. Namun, mengapa tidak ada publikasi di jurnal ilmiah seperti hasil riset umumnya?
Arkeolog senior Junus Satrio mempertanyakan, "Kita lihat banyak di media massa. Tapi, mana paper ilmiahnya? Saya tidak lihat."
Menurut Junus, adalah suatu kewajiban bagi peneliti untuk memublikasikan hasil risetnya di jurnal atau konferensi ilmiah. Ia mengatakan, setiap peneliti harus bersikap terbuka dan bersedia dikritisi.
Publikasi dalam konferensi dan jurnal ilmiah akan menguji analisis anggota tim peneliti Gunung Padang.
"Syaratnya, kalau konferensi, harus melibatkan orang-orang yang memang pakar di bidangnya. Karena sekarang banyak para peneliti yang sebenarnya kurang dalam akademiknya," ungkap Junus.
Publikasi di jurnal ilmiah juga mesti diperhatikan dengan semakin banyaknya majalah atau jurnal yang kurang berkualitas.
"Temuan piramida misalnya, banyak dipublikasikan di majalah-majalah yang sebenarnya secara ilmiah kurang. Akhirnya juga memang tidak terbukti," kata Junus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/10/2013).
Junus mengungkapkan, pada dasarnya metode yang dilakukan oleh tim riset Gunung Padang sudah benar. Namun, analisisnya yang harus diuji.
"Sekarang, kita coba saja hasil analisis tim dibuka di depan pakar-pakar di ASEAN. Diterima atau tidak analisis itu? Banyak arkeolog dan geolog di ASEAN yang sudah kelas dunia. Kalau ASEAN saja tidak diterima, bagaimana di tingkat dunia?" kata Junus.
Ali Akbar, arkeolog Universitas Indonesia yang termasuk tim riset Gunung Padang, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/10/2013), mengatakan, publikasi di jurnal internasional penting, tetapi memakan waktu lama. "Bisa sampai dua tahun," katanya.
http://sains.kompas.com/read/2013/10...campaign=Ktswp
Penulis : Yunanto Wiji Utomo Kamis, 17 Oktober 2013 | 20:20 WIB
KOMPAS.com — Tim Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang telah merampungkan riset arkeologi dan geologi guna mengungkap misteri gunung purba di Jawa Barat itu.
Diduga sebelumnya, Gunung Padang menyimpan bangunan peninggalan peradaban masa lampau di perutnya. Bangunan itu berukuran lebih besar dan berumur lebih tua dari Piramida Giza di Mesir.
Lewat riset terbaru, tim mengungkap bahwa memang ada bangunan dari masa lampau di perut Gunung Padang. Bahkan, bangunan itu dibangun oleh empat peradaban berbeda.
Hasil penelitian tersebut terdengar mencengangkan. Publikasi tentang hasil penelitian itu ramai di media massa dan diperbincangkan banyak orang di media sosial. Namun, mengapa tidak ada publikasi di jurnal ilmiah seperti hasil riset umumnya?
Arkeolog senior Junus Satrio mempertanyakan, "Kita lihat banyak di media massa. Tapi, mana paper ilmiahnya? Saya tidak lihat."
Menurut Junus, adalah suatu kewajiban bagi peneliti untuk memublikasikan hasil risetnya di jurnal atau konferensi ilmiah. Ia mengatakan, setiap peneliti harus bersikap terbuka dan bersedia dikritisi.
Publikasi dalam konferensi dan jurnal ilmiah akan menguji analisis anggota tim peneliti Gunung Padang.
"Syaratnya, kalau konferensi, harus melibatkan orang-orang yang memang pakar di bidangnya. Karena sekarang banyak para peneliti yang sebenarnya kurang dalam akademiknya," ungkap Junus.
Publikasi di jurnal ilmiah juga mesti diperhatikan dengan semakin banyaknya majalah atau jurnal yang kurang berkualitas.
"Temuan piramida misalnya, banyak dipublikasikan di majalah-majalah yang sebenarnya secara ilmiah kurang. Akhirnya juga memang tidak terbukti," kata Junus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/10/2013).
Junus mengungkapkan, pada dasarnya metode yang dilakukan oleh tim riset Gunung Padang sudah benar. Namun, analisisnya yang harus diuji.
"Sekarang, kita coba saja hasil analisis tim dibuka di depan pakar-pakar di ASEAN. Diterima atau tidak analisis itu? Banyak arkeolog dan geolog di ASEAN yang sudah kelas dunia. Kalau ASEAN saja tidak diterima, bagaimana di tingkat dunia?" kata Junus.
Ali Akbar, arkeolog Universitas Indonesia yang termasuk tim riset Gunung Padang, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/10/2013), mengatakan, publikasi di jurnal internasional penting, tetapi memakan waktu lama. "Bisa sampai dua tahun," katanya.
http://sains.kompas.com/read/2013/10...campaign=Ktswp
kalo ndak mau dibilang Hoax, ya mbok segera dipublikasikan hasil penelitiannya
Quote:
Hasil Riset Tim Mandiri Gunung Padang Digugat
Penulis : Yunanto Wiji Utomo Kamis, 17 Oktober 2013 | 16:53 WIB
Seorang penjaga membersihkan situs Megalitikum Gunung Padang di kawasan Cianjur, Jawa Barat, Jumat (15/3/2013). | ANDREAN KRISTIANTO
0
0
KOMPAS.com — Hasil penelitian Tim Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang digugat oleh sejumlah arkeolog dan geolog. Beberapa pihak mengatakan, analisis data pada riset tersebut terlalu "jump to conclusion".
Hasil analisis tomografi mengungkap adanya zona dengan kecepatan suara lambat. Menurut tim peneliti Gunung Padang, hasil itu menunjukkan adanya ruang di perut gunung yang merupakan bangunan dari peradaban masa lampau.
Awang Harun Satyana, geolog dari ESDM, mengungkapkan bahwa tim riset terlalu dini mengambil kesimpulan. Keberadaan zona dengan cepat rambat suara yang lambat bisa disebabkan oleh banyak faktor.
"Mungkin memang ada ruang, tapi apakah lalu berarti buatan manusia?" tanya Awang. Ia mengatakan, ruang yang ada mungkin saja sebuah goa yang memang lazim dijumpai di wilayah vulkanik seperti Gunung Padang.
Hasil pengeboran menunjukkan adanya water loss, di mana saat pengeboran air cepat meresap. Menurut tim riset Gunung Padang, hal tersebut menunjukkan adanya ruang tempat air itu mengalir.
Namun, menurut Awang, hal itu bisa terjadi bila bor menembus bagian batuan yang memiliki pori-pori besar dan banyak. Pada kondisi itu, water loss yang tinggi sangat mungkin terjadi.
Tim riset Gunung Padang juga menemukan adanya struktur batuan yang tak seperti susunan alam umumnya. Batu-batu tersebut tersusun tak seperti batu umumnya di alam, ada yang vertikal dan horizontal, serta ada yang tersusun membentuk dinding dan pagar.
Awang menuturkan, batuan alam memang umumnya tersusun vertikal. Namun, untuk bisa menyimpulkan bahwa batu sengaja disusun manusia, perlu dilihat dahulu letak batuan tersebut.
Dari sisi arkeologis, tim riset Gunung Padang menemukan adanya empat lapisan budaya. Lapisan paling dasar ada pada kedalaman 19 meter. Menurut analisis karbon, lapisan tersebut berusia 10.000 tahun.
Siswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, mengungkapkan, "Untuk bisa mengatakan ada lapisan budaya, ya harus ada jejak budayanya."
Menurut Siswanto, sebelum mengungkapkan bahwa memang ada lapisan budaya dan batuan yang disusun manusia, jejak budayanya harus ditemukan terlebih dahulu.
Jejak budaya, dalam arkeologi, bisa kompleks seperti relief batu atau adanya gerabah. Namun, bisa juga yang sangat dasar seperti bekas penggunaan alat untuk memecah batuan guna menyusun bangunan.
"Kita pasti bisa menemukan, mana yang pecah oleh alam dan mana yang akibat manusia," kata Siswanto.
http://sains.kompas.com/read/2013/10...Padang.Digugat
Penulis : Yunanto Wiji Utomo Kamis, 17 Oktober 2013 | 16:53 WIB
Seorang penjaga membersihkan situs Megalitikum Gunung Padang di kawasan Cianjur, Jawa Barat, Jumat (15/3/2013). | ANDREAN KRISTIANTO
0
0
KOMPAS.com — Hasil penelitian Tim Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang digugat oleh sejumlah arkeolog dan geolog. Beberapa pihak mengatakan, analisis data pada riset tersebut terlalu "jump to conclusion".
Hasil analisis tomografi mengungkap adanya zona dengan kecepatan suara lambat. Menurut tim peneliti Gunung Padang, hasil itu menunjukkan adanya ruang di perut gunung yang merupakan bangunan dari peradaban masa lampau.
Awang Harun Satyana, geolog dari ESDM, mengungkapkan bahwa tim riset terlalu dini mengambil kesimpulan. Keberadaan zona dengan cepat rambat suara yang lambat bisa disebabkan oleh banyak faktor.
"Mungkin memang ada ruang, tapi apakah lalu berarti buatan manusia?" tanya Awang. Ia mengatakan, ruang yang ada mungkin saja sebuah goa yang memang lazim dijumpai di wilayah vulkanik seperti Gunung Padang.
Hasil pengeboran menunjukkan adanya water loss, di mana saat pengeboran air cepat meresap. Menurut tim riset Gunung Padang, hal tersebut menunjukkan adanya ruang tempat air itu mengalir.
Namun, menurut Awang, hal itu bisa terjadi bila bor menembus bagian batuan yang memiliki pori-pori besar dan banyak. Pada kondisi itu, water loss yang tinggi sangat mungkin terjadi.
Tim riset Gunung Padang juga menemukan adanya struktur batuan yang tak seperti susunan alam umumnya. Batu-batu tersebut tersusun tak seperti batu umumnya di alam, ada yang vertikal dan horizontal, serta ada yang tersusun membentuk dinding dan pagar.
Awang menuturkan, batuan alam memang umumnya tersusun vertikal. Namun, untuk bisa menyimpulkan bahwa batu sengaja disusun manusia, perlu dilihat dahulu letak batuan tersebut.
Dari sisi arkeologis, tim riset Gunung Padang menemukan adanya empat lapisan budaya. Lapisan paling dasar ada pada kedalaman 19 meter. Menurut analisis karbon, lapisan tersebut berusia 10.000 tahun.
Siswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, mengungkapkan, "Untuk bisa mengatakan ada lapisan budaya, ya harus ada jejak budayanya."
Menurut Siswanto, sebelum mengungkapkan bahwa memang ada lapisan budaya dan batuan yang disusun manusia, jejak budayanya harus ditemukan terlebih dahulu.
Jejak budaya, dalam arkeologi, bisa kompleks seperti relief batu atau adanya gerabah. Namun, bisa juga yang sangat dasar seperti bekas penggunaan alat untuk memecah batuan guna menyusun bangunan.
"Kita pasti bisa menemukan, mana yang pecah oleh alam dan mana yang akibat manusia," kata Siswanto.
http://sains.kompas.com/read/2013/10...Padang.Digugat
terlalu cepat klaimnya, entar kalo ndak terbukti bakal bikin malu aja
0
2.8K
Kutip
32
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan