jedinAvatar border
TS
jedin
KOMITMEN INDRA SYAFRIE DITENGAH TERPURUKNYA MENTAL PSSI
KOMITMEN INDRA SYAFRIE DITENGAH "TERPURUK NYA MENTAL PSSI"

Ketika Negara Absen, Tukang Pos Datang Memberi Kejutan (Sebuah Catatan Untuk Indra Sjafri) By Eddward Samadyo Kennedy, Senin, 14/10/2013 15:50

"Saya tidak mau bernegosiasi dengan negara"

-- Indra Sjafri --

Indonesia sebagai negara adalah sebuah omong kosong yang tiada habisnya. Berbagai masalah sudah berserakan di semua lini dan nyaris musykil diperbaiki. Anda bisa lihat: korupsi pengadaan kitab suci, impor kedelai yang gila-gilaan, elit partai berlabel agama yang gemar menjajal vagina, hingga ketua lembaga yang seharusnya berperan sebagai martir tertangkap tangan menerima uang suap.

Sebegitu menjijikannya kerusakan di negara ini sampai-sampai akal sehat manusia yang paling tidak waras pun merasa terhina. Memelesetkan sedikit kata-kata Adrian Veidt dalam Watchmen, grafik novel karya Alan Moore: “It doesn't take a genius to see that the world (Indonesia—red) has problems.”

Yang absurd adalah, banyak orang masih percaya negara ini dapat menyembuhkan boroknya. Wajar saja, setiap hari televisi selalu menjual mimpi-mimpi manis melalui moralis-moralis pengutip ayat atau produser-produser reality show. Penonton diajak percaya bahwa negara ini baik-baik saja karena selalu ada orang-orang yang berjoget riang di depan layar kaca. Selain itu, jika Anda sempat berkunjung ke toko buku, lihatlah buku jenis apa yang paling banyak diburu pembeli. Ya, buku motivasi.

Ketika motivasi dan tawa haha-hihi tak jelas maknanya adalah barang dagangan yang paling laris, apa fungsi logika sebenarnya?

Pun demikian, dengan berbagai suntikan optimisme dosis tinggi seperti itu, apa yang berubah di negara ini? Tak ada. Setiap hari media selalu membawa kebusukan. Setiap hari selalu ada orang kaya yang menghamburkan uangnya untuk membeli tas seharga 15 juta rupiah dan orang miskin yang mengais tempat sampah untuk mengisi perutnya yang sudah dua hari kosong.

Menurut hemat saya, dengan segala kekacauan yang ada, bukan sebuah keanehan, sebenarnya, jika suatu saat nanti puncak kemuakan orang-orang di negara ini dimulai oleh puluhan anak sekolah yang menolak untuk melakukan upacara bendera pada suatu Senin pagi. Dan bukan sesuatu yang mengherankan jika kelak mayoritas orang di negara ini percaya apa yang pernah ditulis Jorge Luis Borges dalam Brodie's Report: “I believe that in time we will have reached the point where we will deserve to be free of government.”

Dunia sepakbola di negara ini pun kerusakan parah turut terjadi. Tentu saja kita mengerti itu. Bertahun-tahun lamanya kita disuguhkan pemandangan seorang terpidana korup duduk bersebelahan dengan presiden di tribun stadion yang paling terhormat. Bertahun-tahun lamanya para pemain tak dibayarkan gajinya oleh klub tempat mereka bernaung. Diego Mendieta, jika Anda masih ingat, bahkan sampai harus mati terlebih dahulu agar honor yang menjadi haknya diberikan.

Indra Sjafri paham betul hal kebengisan tersebut. Sejak dipercaya menangani timnas junior sejak 2011 lalu, pria Minang ini pernah satu tahun melatih tanpa gaji sepeser pun dan tujuh bulan bekerja tanpa dikontrak. Kita tak pernah tahu apakah ia mengeluh karena hal tersebut. Kita tak pernah tahu juga apakah ia mengutuk para cecurut tengik yang memiliki andil atas hilangnya hak Indra selama 1 tahun 7 bulan tersebut.

Satu yang kita tahu, Indra Sjafri tak pernah berhenti. Ia tak pernah berhenti dan terus menjelajah ke seantero pelosok negara ini untuk mencari bibit-bibit muda potensial, salah satu poin terpenting dalam dunia sepakbola, yang ironisnya tak pernah mampu dipahami oleh para elit Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia a.k.a PSSI. Ia terus melatih anak-anak itu. Ia terus melatih, menjelajah, melatih, menjelajah. Dan apa yang didapatnya? Ia dipecat dari kursi pelatih U-19 karena pertikaian murahan PSSI-KPSI beberapa bulan lalu dan digantikan manusia antah berantah bernama Luis Manuel Blanco.

Syukur, Blanco yang tak pernah jelas curriculum vitae-nya itu justru menolak tawaran menukangi timnas U-19. Indra Sjafri pun kembali melatih. Tanpa digaji. Ya, tanpa menerima gaji. Terlepas dari apa dilakukan Indra Sjafri merupakan bentuk pencitraan atau tidak, saya tak terlalu peduli betul. Satu hal, bekerja tanpa dibayar adalah sebuah komitmen yang tak semua orang normal mau melakukannya.

Dan Indra Sjafri pun memulai kerjanya. Babak kualifikasi Piala Asia U-16 adalah cobaan awal baginya. Ia langsung gagal, anak asuhnya tak dapat lolos ke putran final karena hanya mampu menyelesaikan turnamen di peringkat tiga klasemen. Akan tetapi, ia menolak memutus komitmennya. Kakinya terus menjejaki pelosok daerah, kepalanya terus mencari cara membentuk fondasi strategi paling pas untuk pasukannya.

Perlahan tapi pasti, Indra Sjafri mulai memperlihatkan sentuhan magsinya. Di tahun 2012, ia sukses membawa timnas U-17 meraih gelar juara HKFA International Youth Football Invitation Tournament. Masih di ajang yang sama, pada bulan Februari lalu, Indra Sjafrie membawa pasukan U-19 nya menjadi juara. Dan keberhasilan Indra tak sampai di situ. Berturut-turut ia membawa anak asuhnya meraih gelar juara Piala AFF U-19 dan terakhir lolos ke putaran final Piala AFC setelah mengkoyak-koyak Korea Selatan dua malam lalu.

Yang menarik dari Indra Sjafri adalah, dengan keadaan yang selama ini memojokannya, ia tak lantas menjadi seorang melankoli murung yang biasa kita lihat di televisi: menghamba pada belas kasihan, bermurung durja selaksa dunia telah melaknatnya sehebat mungkin. Justru sebaliknya, Indra Sjafri memperlihatkan perangai yang cenderung pongah, berapi-api, dan gemar berbicara blak-blakan. Ada kesan menantang dalam beberapa kalimat yang ia ucapkan.

Pun demikian, saya percaya, melalui kepongahan yang tampak itu, Indra Sjafri bukanlah sedang menunjukkan sikap yang negatif. Ia hanya orang yang paham kualitas dirinya dengan sangat baik. Ia paham cara untuk bersilat lidah atau sekadar menaikturunkan tensi di saat yang tepat. Bukan sebuah keanehan, sebenarnya, sebab Indra Sjafri merupakan pria asli Minang. Dalam adat Minangkabau, kepandaian berkata-kata adalah salah satu atribut wajib yang harus dipelajari bagi setiap pria yang hendak merantau.

Sebagai “bukti” argumen saya di atas tentang “kepongahan” sekaligus kepandaian Indra Sjafri dalam berkata-kata, saya mencari beberapa pernyatan yang sempat dilontarkannya di berbagai media online. Berikut saya kutipkan langsung tanpa editan sama sekali.

“Malaysia bukan lawan Indonesia. Mereka sudah menjadi tim pecundang. Buktinya saat babak fase grup Piala AFF, kami seharusnya bisa mengubur mereka di Sidoarjo. Ada empat peluang yang seharusnya masuk ke gawang Malaysia. Mereka hanya dihinggapi Dewi Fortuna saja.” (inilah..com, pasca kemenangan atas Vietnam di final AFF U-19, Rabu 25/09/2013.).

"Selama ini cara pengelolaan salah, penataan salah. Tapi sekarang sudah ada arah menuju perbaikan. Kalau itu dilakukan, saya yakin itu 10 tahun lagi Indonesia nggak ada lawan. Pokoknya kalau scouting benar, pembinaan benar, main di lapangan juga benar, tinggal siul-siul kita.” (Beritasatu.com perihal keyakinannya terhadap perbaikan penataan sepakbola Indonesia, Rabu 25/09/2013).

“Evan Dimas hebat di kelompok umur, tapi apakah hebat di kelompok umur lebih tinggi. Belum saatnya Evan atau pemain lain melompot di kelompok jauh berbeda.” (Suaramerdeka.com, jawabannya ketika menanggapi isu pemanggilan anak asuhnya ke timnas U-23 oleh Rahmad Darmawan, Kamis 26/09/2013).

“Saya punya prinsip main, jangan cepat kehilangan bola. Dan jangan main bola-bola jauh. Benar saya terinspirasi dengan ‘tiki-taka’, tapi saya menamakan cara bermain kita sendiri. Bukan ‘tiki-taka’ atau yang lainnya.” (Suarapembaruan.com, tentang penolakan label ‘tiki-taka’ atas gaya bermain yang ia terapkan, Jumat 27/09/2013).

"Kapan Korea Selatan juara dunia? Kan tidak pernah. Apabila perlu mereka sudah kalah sebelum bermain itu yang harus dibikin, jangan kita berada di posisi bawah terus. Kita itu lebih besar daripada Korea Selatan, itu yang harus kita kembangkan. Sampaikan ke Korea, siap–siap tanggal 12 Oktober kita kalahkan.” (Dewibola.com, jelang pertandingan kontra Korsel, Minggu 06/10/2013).

"Kami tidak akan melakukan counter attack, sebab bagi kami kalah atau menang sama saja, jadi ya harus menang. Kami berada pada form bagus karena ini pertandingan ketiga dan kami berada pada puncak performa.” (Kompas.com, satu hari jelang pertandingan lawan Korsel, Jumat 11/10/2013).

"Pemain-pemain ini dipilih dengan standar yang tinggi. Saya sudah bilang, ada empat kriteria yang ditetapkan tim pelatih saat menentukan para pemain. Keempat kriteria itu adalah skill, taktikal, fisik, dan mental. Semuanya harus baik. Jadi mau tertinggal 2-0 di babak pertama pun, sebelum peluit panjang berbunyi mereka harus selalu yakin menang. Mereka ini militan semua. Mereka tak mau diinjak-injak di negaranya sendiri. Kepada mereka, selamat menikmati kemenangan ini.”(detik..com, pasca kemenangan Indonesia dari Korsel, Sabtu 12/10/2013 kemarin).

“Tadi kita bukan hanya menang. Tadi kita permainkan Korea, kita kolongin mereka. Mulai dari sekarang, kita harus berpikir bahwa Indonesia raksasa Asia!” (Goal.com, masih di momen yang sama).

"Banyak EO yang sudah menawarkan lawan, tapi saya tidak mau. Kalau mau, saya sudah ada jadwal silakan kalau ada EO yang mau mengakomodasi. Jangan menjual tim nasional dengan cara seperti itulah." (detik..com tanggapannya atas beberapa event organizer yang menawari timnas pasca kemenangan atas Korsel, Minggu 13/10/2013).

"Soal kontrak silahkan tanya ke PSSI saja. Belum ada pembicaraan. Saya tidak mau bernegosiasi dengan negara.” (detik..com perihal kontrak kerja barunya yang masih belum juga diurus PSSI, Minggu 13/10/2013).

Dari berbagai pernyataan yang ia lontarkan, secara pribadi saya menyukai komentarnya yang terakhir. Benar, buat apa berdialog dengan negara? Kemana negara ketika ia bersusah payah menelusuri rimba raya untuk mencari para pemuda pengolah bola nan handal? Kemana negara, PSSI, atau apalah namanya, ketika ia membutuhkan gaji dan kejelasan kontraknya? Nol. Kosong. Mereka tak pernah hadir.

Negara hanya hadir ketika mereka berkelahi tanpa malu memperebutkan kursi empuk legitimasi tertinggi. Negara hanya hadir ketika mereka hendak memecat Indra Sjafri dan menggantikannya dengan pria dari ujung Amerika Latin sana yang namanya bak matador kacangan. Negara hanya hadir ketika para anak didik Indra Sjafri berhasil menjadi juara AFF U-19 dan lolos ke putaran final AFC, lalu bertingkah seolah-olah hasil kerja keras Indra adalah buah karya mereka juga. Wow!

Dalam kajian ilmu sosial dan politik, seseorang yang menolak (kehadiran) negara sejatinya layak dimasukan ke dalam kategori ‘anarkis’. Sebab ‘anarkisme’, dalam pengertiannya yang paling sederhana, adalah paham yang menganggap tidak perlu atau menuntut keruntuhan sistem negara. Tentu saja, adalah sebuah guyonan yang tak lucu untuk melabeli Indra Sjafri sebagai seorang ‘anarkis’ hanya karena potongan pernyatannya tersebut. Lagi pula, apa manfaatnya melabeli atau mendefinisikan seseorang dengan ideologi tertentu?

Sebagai seorang mantan tukang pos, biarlah Indra Sjafri terus menghadirkan kejutan di tengah kekosongan negara ini melalui “surat-surat” yang diantarnya, melalui kalimat-kalimat dan hasil kerjanya. Seperti yang pernah ditulis Nietzsche dalam salah satu bukunya yang kurang akrab di telinga, ‘Human, All Too Human’

“A letter is an unannounced visit, the postman the agent of rude surprises. One ought to reserve an hour a week for receiving letters and afterwards take a bath”
Spoiler for RESPECT:


DUKUNG TERUS GARUDA MUDA GARUDA JAYAemoticon-I Love Indonesiaemoticon-I Love Indonesia
0
4.3K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan