- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Omongan Pejabat Jangan 'Ditelan Bulat-Bulat'


TS
coretanpagi
Omongan Pejabat Jangan 'Ditelan Bulat-Bulat'
Skalanews - Pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mengimbau kepada masyarakat Indonesia untuk tidak begitu saja 'menelan bulat-bulat' setiap omongan yang keluar dari mulut para pejabat.
Pasalnya apa yang mereka bicarakan, terkadang atau bahkan banyak yang tidak sesuai dengan kenyataannya di lapangan. Masyarakat Indonesia, kata Hamdi, harus cerdas menyaring setiap perkataan yang dikeluarkan oleh sejumlah pejabat publik.
"Saya kira, kita harus lihat konteksnya lah. Orang buat pernyataan, apalagi politisi, selalu dipahami dalam konteks di mana dia bicara, kapan, dan tentang apa," kata Hamdi saat dihubungi oleh wartawan di Jakarta, Senin (14/10).
Hamdi pun mengambil contoh pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) non-aktif, Akil Mochtar, yang pernah mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat korupsi sebaiknya dipotong jarinya.
Namun ternyata beberapa waktu kemudian, Akil justru ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dua sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di MK.
"Saya rasa (statement Akil yang menyatakan, koruptor dimiskinkan dan potong jari beberapa waktu lalu, maksudnya) Akil mau meyakinkan publik, kalau dia orang bersih dan untuk menaikan citranya," kata Hamdi berpendapat.
Saat itu Akil, tutur Hamdi, mengatakan potong jari koruptor itu hanya untuk memberikan kesan kepada masyarakat luas, bahwa dia pro pemberantasan korupsi, atau anti korupsi, karena saat itu Akil berbicara pada konteks pemberantasan korupsi.
"Namun sekarang, (statement-statement seperti itu) menjadi sinisme di masyarakat, karena dia sendiri terlibat korupsi, sekarang masyarakat menilainya 'ini gila, nih Akil ini'. Artinya terjadi kemunafikan moral," sesal Hamdi.
Sama Seperti Anas
Hamdi pun mengambil contoh lain. Yakni terkait dengan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Anas Urbaningrum, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Dimana saat itu Anas dituding terlibat dalam kasus dugaan korupsi Hambalang.
"Dalam kasus Anas (yang bilang siap digantung di Monas kalau sepeser saja mengkorupsi proyek Hambalang), waktu dulu ada ribut-ribut Hambalang dan nama dia disebut-sebut oleh Nazar dan terus-terusan menjadi bulan-bulanan media," kata Hamdi.
Menurut Hamdi, statement siap digantung di Monas itu karena Anas sebenarnya waktu itu merasa kesal, dan lantas keluarlah pernyataan tersohor itu 'Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas'.
"Nah, tapi kan sekarang belum tentu digantung di Monas, karena kasusnya belum inkracht. Dan kalau pun nanti sudah ada putusan dari pengadilan, dia bisa bilang 'kan masih bisa mengajukan kasasi'," tuturnya.
Hal seperti itu, katanya bisa juga terjadi pada Akil nanti. Sebab saat ini Akil masih berstatus tersangka, proses peradilan belum berjalan, dan pengadilan belum menentukan Akil bersalah. "Jadi Akil masih bisa bilang begitu, untuk menghindari apa yang pernah diucapkan," kata dia.
Terlalu Percaya Diri
Hamdi lantas menilai, pernyataan-pernyataan seperti dari Akil dan Anas itu keluar lantaran mereka terlalu percaya diri dengan power atau kekuasaan yang mereka miliki. Sehingga mereka berpikir tidak akan tertangkap, meski benar melakukan korupsi.
"Karena berkuasa dan punya jaringan untuk mengamankan perbuatannya dari jeratan hukum. Secara psikologis dia merasa gitu, kecil kemungkinan untuk tertangkap. Jadi untuk meyakinkan orang. Mungkin hal yang sama menjangkiti Anas. Jadi karena terlalu pede," kata Hamdi.
Ketika ditanyakan bagaimana dengan pernyataan yang dilontarkan oleh mantan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan siap potong jari dan leher jika dia ikut terlibat dalam suap sengketa Pilkada di MK, Hamdi menjawab bisa saja terjadi hal yang sama.
"Ketika ada suara-suara atau kecurigaan, mungkin saja Mahfud main juga, karena dulu Akil adalah wakilnya. Dan dia sekarang, mau meyakinkan publik. Tapi kita enggak tahu juga, apakah Pak Mahfud terbukti suap atau tidak, karena waktu berjalan ke depan," katanya.
Pencitraan Capres
Namun demikian Hamdi berpendapat, bisa saja Mahfud mengatakan hal seperti itu dalam rangka pencitraan menuju pencalonannya sebagai calon presiden (Capres), dalam gelaran Pemilu Presiden (Pilpres) di tahun 2014 mendatang.
"Bisa saja. Seperti Akil yang menyebut potong jari. Akil itu juga kan sedang mencari perhatian, supaya citranya positif. Walaupun tujuannya berbeda dengan Mahfud. Tapi sekarang taruhannya, kalau yang dikatakan berbeda kenyataan," kata dia menegaskan.
Oleh karena itu Hamdi mengingatkan, bahwa dalam kasus Akil dan Anas, ternyata sebenarnya orang yang berkuasa tidak bisa mengatur segalanya, tidak kebal hukum, dan terbukti masih rentan tertangkap oleh KPK jika melakukan korupsi.
"Dan sekarang jadi ejekan masyarakat. Tapi hal lain yang perlu dicermati, di peraturan kita enggak ada potong jari dan gantung di Monas, paling besar cuma dihukum 20 tahun penjara. Tapi terkadang, ucapan memang tidak sesuai dengan tindakan," katanya. (Risman Afrianda/day)
http://skalanews.com/berita/detail/1...an-Bulat-Bulat
Pasalnya apa yang mereka bicarakan, terkadang atau bahkan banyak yang tidak sesuai dengan kenyataannya di lapangan. Masyarakat Indonesia, kata Hamdi, harus cerdas menyaring setiap perkataan yang dikeluarkan oleh sejumlah pejabat publik.
"Saya kira, kita harus lihat konteksnya lah. Orang buat pernyataan, apalagi politisi, selalu dipahami dalam konteks di mana dia bicara, kapan, dan tentang apa," kata Hamdi saat dihubungi oleh wartawan di Jakarta, Senin (14/10).
Hamdi pun mengambil contoh pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) non-aktif, Akil Mochtar, yang pernah mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat korupsi sebaiknya dipotong jarinya.
Namun ternyata beberapa waktu kemudian, Akil justru ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dua sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di MK.
"Saya rasa (statement Akil yang menyatakan, koruptor dimiskinkan dan potong jari beberapa waktu lalu, maksudnya) Akil mau meyakinkan publik, kalau dia orang bersih dan untuk menaikan citranya," kata Hamdi berpendapat.
Saat itu Akil, tutur Hamdi, mengatakan potong jari koruptor itu hanya untuk memberikan kesan kepada masyarakat luas, bahwa dia pro pemberantasan korupsi, atau anti korupsi, karena saat itu Akil berbicara pada konteks pemberantasan korupsi.
"Namun sekarang, (statement-statement seperti itu) menjadi sinisme di masyarakat, karena dia sendiri terlibat korupsi, sekarang masyarakat menilainya 'ini gila, nih Akil ini'. Artinya terjadi kemunafikan moral," sesal Hamdi.
Sama Seperti Anas
Hamdi pun mengambil contoh lain. Yakni terkait dengan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Anas Urbaningrum, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Dimana saat itu Anas dituding terlibat dalam kasus dugaan korupsi Hambalang.
"Dalam kasus Anas (yang bilang siap digantung di Monas kalau sepeser saja mengkorupsi proyek Hambalang), waktu dulu ada ribut-ribut Hambalang dan nama dia disebut-sebut oleh Nazar dan terus-terusan menjadi bulan-bulanan media," kata Hamdi.
Menurut Hamdi, statement siap digantung di Monas itu karena Anas sebenarnya waktu itu merasa kesal, dan lantas keluarlah pernyataan tersohor itu 'Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas'.
"Nah, tapi kan sekarang belum tentu digantung di Monas, karena kasusnya belum inkracht. Dan kalau pun nanti sudah ada putusan dari pengadilan, dia bisa bilang 'kan masih bisa mengajukan kasasi'," tuturnya.
Hal seperti itu, katanya bisa juga terjadi pada Akil nanti. Sebab saat ini Akil masih berstatus tersangka, proses peradilan belum berjalan, dan pengadilan belum menentukan Akil bersalah. "Jadi Akil masih bisa bilang begitu, untuk menghindari apa yang pernah diucapkan," kata dia.
Terlalu Percaya Diri
Hamdi lantas menilai, pernyataan-pernyataan seperti dari Akil dan Anas itu keluar lantaran mereka terlalu percaya diri dengan power atau kekuasaan yang mereka miliki. Sehingga mereka berpikir tidak akan tertangkap, meski benar melakukan korupsi.
"Karena berkuasa dan punya jaringan untuk mengamankan perbuatannya dari jeratan hukum. Secara psikologis dia merasa gitu, kecil kemungkinan untuk tertangkap. Jadi untuk meyakinkan orang. Mungkin hal yang sama menjangkiti Anas. Jadi karena terlalu pede," kata Hamdi.
Ketika ditanyakan bagaimana dengan pernyataan yang dilontarkan oleh mantan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan siap potong jari dan leher jika dia ikut terlibat dalam suap sengketa Pilkada di MK, Hamdi menjawab bisa saja terjadi hal yang sama.
"Ketika ada suara-suara atau kecurigaan, mungkin saja Mahfud main juga, karena dulu Akil adalah wakilnya. Dan dia sekarang, mau meyakinkan publik. Tapi kita enggak tahu juga, apakah Pak Mahfud terbukti suap atau tidak, karena waktu berjalan ke depan," katanya.
Pencitraan Capres
Namun demikian Hamdi berpendapat, bisa saja Mahfud mengatakan hal seperti itu dalam rangka pencitraan menuju pencalonannya sebagai calon presiden (Capres), dalam gelaran Pemilu Presiden (Pilpres) di tahun 2014 mendatang.
"Bisa saja. Seperti Akil yang menyebut potong jari. Akil itu juga kan sedang mencari perhatian, supaya citranya positif. Walaupun tujuannya berbeda dengan Mahfud. Tapi sekarang taruhannya, kalau yang dikatakan berbeda kenyataan," kata dia menegaskan.
Oleh karena itu Hamdi mengingatkan, bahwa dalam kasus Akil dan Anas, ternyata sebenarnya orang yang berkuasa tidak bisa mengatur segalanya, tidak kebal hukum, dan terbukti masih rentan tertangkap oleh KPK jika melakukan korupsi.
"Dan sekarang jadi ejekan masyarakat. Tapi hal lain yang perlu dicermati, di peraturan kita enggak ada potong jari dan gantung di Monas, paling besar cuma dihukum 20 tahun penjara. Tapi terkadang, ucapan memang tidak sesuai dengan tindakan," katanya. (Risman Afrianda/day)
http://skalanews.com/berita/detail/1...an-Bulat-Bulat
0
2.4K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan