Pada 20 November 2012, saya mempertontonkan film dokumenter saya tentang Dadaab –“One Flew Over Dadaab”; di Universitas Indonesia, dan lalu membicarakan tentang kehancuran negara ini. Salah satu mahasiswa kemudian bertanya kepada saya: “Lalu apa yang bisa kami lakukan? Bagaimana caranya menyelamatkan Indonesia?”
Saya menjawab bahwa saya tidak bisa memutuskan bagaimana cara; ini adalah negaranya – bukan negara saya. Saya tidak bisa menyembuhkan, saya hanya membantu mendiagnosa.
Namun siang itu saya berkata pada mereka, para mahasiswa dan professor yang ada di sana, mengenai kolaborasi antara kaum elit mereka dan militer dengan campur tangan Amerika dan Eropa. Saya menceritakan pada mereka bagaimana Indonesia sangat dicintai oleh Barat, oleh kaum ekonomi elit Barat dan rezim politik Amerika dan Eropa. “Rakyat Indonesia ini kelaparan, mereka sudah kehilangan semuanya, namun dengan murah hati mereka masih saja memberi makan kaum Barat. Mereka mengorbankan segalanya demi kesejahteraan Amerika, dan juga perusahaan-perusahaan multi-nasional lainnya.”
Saya juga menjelaskan pada mereka bahwa selama mereka menghancurkan hutan-hutan yang ada, menambang habis apa yang tersisa di lapisan bumi di atas negara ini, mengkonsumsi produk asing dan tidak melakukan apapun demi kesejahteraan rakyatnya sendiri, Indonesia akan tetap disebut ‘demokratis’, ‘toleran’ dan bahkan ‘sukses’.
“Negara anda sudah dikolonisasi dan dirusak oleh Eropa; lalu dihancurkan oleh kudeta yang didukung oleh Amerika di tahun 1965 dan oleh sistem kapitalis liar. Kader jihad yang juga melangsungkan pembunuhan pada 1965 dan berperang demi Barat di Afganistan sekarang sedang menghancurkan sisa-sisa semangat sekuler di era Sukarno.”
“Dan lalu kaum ‘oposisi’ kalian, rakyat ‘sipil’ itu: ke mana mereka mencari pertolongan? Kita semua tahu: Mereka kembali lagi kepada Barat! Mereka berpergiaan antara Jakarta dan Amsterdan, antara Jakarta dan Berlin, London, New York! Mereka mendapatkan semua pendanaannya di sana. Apakah anda yakin dan dengan polos berpikir bahwa Barat akan mendanai kaum oposisi demi kepentingan ekonomi dan geo-politik? Yang benar saja!”
Saat itu saya berbicara di universitas yang menempatkan sistem kapitalis paling parah, semenjak 1965; universitas yang berkolaborasi penuh dengan Von Hayek dan konsep ekonomi Friedman tentang sistem kapitalis yang tidak diawasi dan tidak terlarang. Universitas yang pada dasarnya sudah ‘dibeli’ oleh Barat, guna mengimplementasikan apa yang Naomi Klein sebut sebagai “Shock Doctrine”, untuk diujicobakan langsung pada manusia.
Mereka mengijinkan saya untuk berbicara. Namun saya sadar bahwa tidak ada satupun yang benar-benar peduli, tidak ada satupun yang takut mendengar apa yang saya sampaikan. Apa yang saya utarakan saat itu, hanya terserap oleh dinding-dinding universitas. Kehadiran saya tampaknya hanyalah sebuah pertujukan ‘badut’.
Seseorang kemudian bertanya lagi tentang "bagaimana merubah kondisi yang ada sekarang?" Semua tokoh-tokoh besar yang saya kenal, mulai dari Eduardo Galeano hingga Pramoedya Ananta Toer langsung alergi dengan pertanyaan semacam itu, dan juga saya, akhir-akhir ini.
Saya mengingatkan mereka akan kata-kata terakhir dari mendiang Ananta Toer, novelis terhebat di Asia Tenggara, yang dikatakannya kepada saya. Ia adalah seorang tahanan di masa pemerintahan Suharto, seorang penulis yang karya-karyanya dibakar habis, yang disisihkan dan sepanjang hidupnya memiliki kepahitan akan negara ini:
“Bukan reformasi – revolusi!” Diproklamasikannya dengan lantang di depan lensa kamera saya. “Indonesia tidak akan pernah bisa berubah melalui sebuah reformasi, hanya dengan revolusi!”
Menunggangi kuda kayunya, Jokowi dan wakilnya tidak mengusung janji revolusioner apa-apa. Coba lihat lebih dekat pistol plastik produksi massal mereka; dengarkan baik-baik kalimat-kalimat mereka.
Jokowi bukanlah seorang Hugo Chavez versi Indonesia, atau Evo Morales, Lula atau Ho Chi Minh.
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu siapa dia. Saya hanya tahu dia bukan siapa. selesai gan
entah apa yang sebnarnya terjadi, tapi kita harus tahu untuk menjadi warga kota yang kritis
http://crissybelle.blogspot.com/2013/09/melihat-dari-sisi-yang-lain-jokowi.html?showComment=1381387120420#c1691374432673641540
Andre Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Ia juga menulis sebuah novel politik yang baru saja dirilis kembali, “Point of No Return”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diskusinya dengan Noam Chomsky mengenai teror yang dilakukan oleh kaum Barat di seluruh dunia baru saja diterbitkan, “On Western Terrorism”. Penerbit Pluto di Inggris juga telah menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di bulan Agustus 2012. Terjemahan buku ini 'Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara' akan diterbitkan segera oleh penerbit Badak Merah. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di
http://andrevltchek.weebly.com/atau akun Twitternya, @AndreVltchek.
Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika Serikat, Counterpunch, dengan judul ”Governor Jokowi Enters Jakarta On A Wooden Horse”, edisi 23-25 November 2012.
http://www.counterpunch.org/2012/11/23/governor-jokowi-enters-jakarta-on-a-wooden-horse/